Anda di halaman 1dari 54

Filsafat Islam Ontologi

Bab Pendahulaun

Sophia, Philosophia, Metafisika dan Al-Hikmah

Ada lebih dari 25 definisi tentang filsafat atau ontologi yang pernah diberikan oleh para
filosof sejak Socrates hingga Spencer dan Mulla Sadra1.

Falsafeh berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-
kerja (mashdar) yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan dari
philos dan sophia; atau philia dan sophia yang pertama berarti cinta dan yang kedua
berarti kebijaksanaan. Oleh karena itu, philosophia berarti cinta kebijaksanaan. Plato
menyebut Socrates sebagai seorang philosophos (filosof) dalam pengertian seorang
pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan hasil arabisasi, suatu mashdar yang
berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.

Sebelum Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sophis)
yang berarti para cendikiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran
realitas (kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam
kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata "sophis" (sophist, sophistes)
kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan
hujah-hujah yang keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry (cara berpikir
yang menyesatkan), yang mempunayi asal kata yang sama dalam bahasa Arab dengan
kata safsathah, yang artinya sama.
Karena kerendahan hatinya dan karena ingin menghilangkan kesan negatif kaum sophis,
Socrates melarang orang lain menyebut dirinya seorang sophis,). Oleh karena itu, ia
menyebut dirinya sebagai filososophos (pecinta kebijaksanaan).

Filsafat telah didefenisikan secara beragam. John Dewey, misalnya, mengumpamakan


hubungan antara filsafat dan ilmu dengan pengajaran dan pendidikan. Bertrand Rusell
dan para ahli matematika juga memberikan definisi yang berbeda-beda tentang filsafat 2.

1
M. Ali Gerami, Falsafeh, hal 19-20, Markaz e Entesharat e Daftar Tablighat e Islami, cet ke 4 1373 H. Sy.
Alferd North Whitehead mendefinisikan filsafat sebagai: "perlawanan ruh terhadap
keyakinan-keyakinan yang telah diterima karena kebodohan3.

Istilah Metafisika muncul pertama kali dalam arti sekarang dalam karya filosof
neoplatonis, Simplicius. Ilmu yang dilukiskan oleh istilah ini sudah dimulai secara
sistematis dalam abad ke-4 sebelum Masehi oleh Aristoteles. Metafisika bergelut dengan
yang "metafisis", dengan apa yang melampaui yang fisis. Namun "fisis" di sini sama
sekali tidak mengartikan hal yang sama bagi orang Yunani sebagaimana diartikan oleh
ahli-ahli fisika modern. Karena, "fisis" berarati seluruh dunia pengalaman ragawi sejauh
ia tunduk pada alam. Yakni, ia tunduk pada proses "menjadi" atau "dilahirkan" dengan
cara terentu. Karenanya, disebut "metafisis" apa yang secara hakiki tidak dapat dialami
panca indera, tidak dapat berubah dan sedikit banyak rohani. Tetapi yang disebut
"matafisi" bukan tidak dapat diketahui sebagaimana dikukuhkan Nicolai Hartmann.
Istilah metafisika berasal dari suatu buku Aristoteles yang tak berjudul dalam
pengkasifikasian karya-karya yang dibuat oleh Andronikos dari Rhodi. Jadi, istilah ini
berarti buku "pasca raga"4.

Para sejarawan filsafat di Barat modern biasanya mengklasifikan sejarah filsafat Barat ke
dalam tiga periode: kuno, pertengahan dan modern. Filsafat yang berkembang di Athena,
Alexandria dan pusat-pusat pemikiran Hellenik serta Hellenistik dan Roma disebut
filsafat-filsafat klasik. Sedangkan yang berkembang bersamaan dengan Kristenisasi
2
Bertrand Rusell, A History of Western Philosophy, P.XIII, New York 1964, An Outline of Philosophy, p.
2, New York 1962.
3
Modes of Thought, Philosophy of Education, Edited by H.W.Burns and C.J.Bruner, p.3, New York 1962.
4
Alexander Agung mengalahkan Darius di tahun 331 S.Ldi Arbela (sebelah Timur Tigris). Alexander
datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha
untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. la sendiri mulai berpakaian secara Persia dan orang-
crang Persia banyak yang diangkatnya menjadi pengiring-pengiringnya. la kawin dengan Statira, anak
Darius dan pada waktu itu juga 24 dari jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajurit kawin atas anjurannya
dengari wanita-wanita Persia di Susa. Selain dari mengadakan hubutrg an-hubungan perkawinan ia
dirikan pula kota-kota dan koioni-koloni yang penduduknya diatur begitu rupa sehingga terdiri dari ke-
dua golongan Yunani dan Persia. Setelah Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga:
Macedonia di Eropa, Kerajaan Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria sebagai ibu-kota dan Kerajaan
Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota penting Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan
Bacira di Persi sebelah Timur. Ptolemcus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk
menyatuakan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tak berhasil, kebudayaan dan
peradaban Yunani meninggalkan bekas besar di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai di
sana ialah bahasa Yunani Lorens )Lihat Bagus, Kamus Filsafat, 624, Gramedia). .
Eropa sejak sekitar abad keempat dan kelima sesudah Masehi hingga perceraian
peradaban pertengahan disebut pertengahan yang di dalamnya juga termasuk filsafat
Islam dan Yahudi. Sebelumnya, bahkan di Barat sendiri jenis pemikiran seperti ini
dikenal sebagai Skolastikisme, yang bertahan khususnya di kalangan Katolik sampai
abad-abad berikutnya dan nyatanya tidak pernah enar-benar lenyap sampai saat ini. Dan
kemudian ada filsafat yang berkembang dari penolakan terhadap penggabungan antara
filsafat, teologi dan ajaran agama Kristen serta menyandarkan dirinya pada humanisme,
rasionalisme dan gagasan-gagasan Renaisans lainnya yang tumbuh subur khususnya pada
abad ke-11 / ke-17. Semuanya berlanjut sampai saat ini dan disebut modern, yang
sekarang oleh sebagian kalangan disebut pascamodern.

Tiga periode filsafat Barat ini, yang pertama kurang lebih dipengaruhi oleh Islam dan
agama Kristen walaupun sebelum abad pertengahan umat Kristen tahu lebih sedikit
tentang filsafat Yunani dbandingkan kaum Muslim, padahal aliran-aliaran filsafat Roma
yang lahir kemudian mempunyai peran yang jauh lebih penting dalam Kristen Eropa
dibandingkan dalam Islam. Sedangkan yang disebut filsafat Kristen pertengahan tentu
saja sangat terkait dengan filsafat Islam terutama sejak abad ke-6 / 12 dan seterusnya
ketika banyak sumber Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Akibatnya, periode
filsafat Barat ini dapat dikatakan paralel dengan filsafat Islam dan memiliki banyak
hubungan historis dan morfologis antar keduanya.

Menjelang akhir abad pertengahan ilmu-ilmu pengetahuan positif mulai melepaskan diri
dari filsafat, dan filsafat pada gilirannya berusaha membebaskan diri dari teologi.
Peristiwa-peritiwa ini menimbulkan masalah yang sangat mempengaruhi alam pikiran
Eropa dan Amerika dewasa ini

Akhirnya, filsafat modern yang tumbuh dari penolakan terhadap cara pandang dunia
tradisional peradaban Kristen pertengahan dan berdasarkan pada akal manusia serta
pengertian wahyu yang independen, tidak memiliki keterkaitan dengan dunia Islam dan
sesuatu yang unik dalam perdaban Barat. Setidaknya demikian sampai abad yang lalu
ketika modernisasi mulai merambah dan menancapkan akar-akarnya di tanah peradaban-
peradaban lain termasuk beberapa wilayah dunia Islam tertentu yang membuat banyak
pemikir Muslim menjadi terpengaruh oleh pemikiran Eropa modern.5
Filsafat pertama (prote philosophia) atau yang lazim disebut ontologi (berasal dari kata
Yunani on merupakan bentuk netral dari oon dengan generatifnya ontos; artinya 'yang
ada sebagai yang ada; a being as being) tidaklah sama dengan filsafat yang sedang
berkembang di Barat modern dewasa ini. 6.

Filsafat Islam telah memasuki usia 1200 tahun. Dinamika rasional dalam dunia Islam
dimulai dengan gerakan penerjemahan karya-karya Yunani dan Alexandria pada abad
kedua, ketiga dan keempat. Disebutkan pula bahwa sebagian dari buku-buku terjemahan
itu tidak lolos dari distorsi dan kekeliruan yang fatal, seperti buku Tasu'at atau Ontologia
yang ditulis dengan nama Aristoteles, padahal tidak sepenuhnya sesuai dengan
pandangannya. Namun gerakan ini mencapai puncaknya pada abad ketiga. Pada abad
inilah umat Islam memasuki era penulisan dan penelitian. Ya'qub bin Ishaq Al-Kindi
(wafat 260 H) tercatat sebagai filosof Muslim pertama yang mempersembahkan banyak
karya dan tulisan.

Era Alexandria adalah batas pembeda antara Hellenis dan Islam. Para pengikut Plato dan
para pengikut Aristoteles terpecah menjadi dua kelompok besar. Al-Farabi menulis
sebuah buku kecil yang sangat terkenal, Al-jam'u baina Ra'yai Al-Hakimain (Kompilasi
pendapat dua filosof). Dalam buku ini Al-Farabi menjelaskan pokok-pokok perbedaan
pendapat antara Plato dan Aristoteles.

5
Ada pula yang membagi sejarah filsafat dapat dibagi dalam beberapa periode dengan corak yang
berubah-ubah. Yaitu Peride Mithos, seperti filsafat yang didasarkan pada keyakinan akan peran dewa Zeus
dan lainnya. Periode filsafat kuno, yaitu filsafat kosmosentis (800-400 SM), yang menenkan fokus
“logos”, seperti Sokrates, atau bercorak antroposentrif kjuno, seperti Plato dan Aristoteles. Periode
pertengahan, yaitu filsafat teosentris,: Santo Agustinus, Thomas Aquinas. Periode modern, yaitu filsafat
modern yang antroposentris, seperti reinassance, aufklarung Kant, rasionalisme Descartes, Spinoza dan
Leibniz, empirisme Hume dan Locke, idealisme Hegel. Periode pasca Modern, yang tidak lagi bercorak
khusus bahkan terlihat acak, mulai dari fenomenologi—yang menolak Cogito tertutup Descartes dengan Cogito
Cogitata, eksistensialisme, heurmenetika, dan dekons truksi, gagasan paradigma Thomas Kuhn,
Wildenband, Krickerts, dan Feyerabend, filsafat Analitik Wittgesntein, mazhab Frankfurt Adorno,
Horkheimer dan Habermas dan New left-nya Marcue hingga “kematian epistemologi” yang
dikumandangkan Rortry.
6
Syed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Sayed Hossein Nasr, 156, Mizan.
Namun yang patut dipertanyakan adalah apakah peran para filosof Muslim dalam sejarah
filsafat hanyalah mengulang-ulang pendapat para filosof terdahulu? Apakah mereka
hanya perantara dan transformator filsafat Yunani kuno ke Eropa modern? Apakah
filsafat Islam sudah berakhir pada Ibn Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, selanjutnya tidak
ada sesuatu yang patut diperhatikan lagi? Adakah wacana-wacana dalam filsafat Islam
yang layak diperbandingkan dengan filsafat Eropa modern?

Isu-isu filsafat Islam, menurut Muthahhari, dapat dibagi secara historis kronologis
menjadi empat kelompok;
1. Isu-isu yang tetap seperti semula sejak digagas, tidak diubah, dikoreksi maupun
disempurnakan. Sebagian besar bagian-bagian ilmu logika tergolong kelompok
pertama.
2. Isu-isu yang telah disempurnakan oleh para filosof Muslim, namun
penyempurnaan ini hanya untuk menguatkan isu-isu tersebut dengan argumen-
argumen tambahan. Argumen monoteisme, unitas wujud dan sebagainya.
3. Isu-isu yang telah berubah substansi namun tampilannya tetap seperti semula. Ide
atau yang biasa disebut dengan Al-mutsul yang hingga kini identik dengan Plato.
Gagasan para filosof Muslim tentang 'ide-ide' interval sangat berbeda dengan
idealisme Platonis.
4. Isu-isu mutakhir dan baru (dalam substansi maupun tampilan) yang
diketengahkan sejak pada era Islam. Ashalah Al-wujud, Al-wujud Al-zihni,
Hukum-hukum tentang ketiadaan, Al-harakah Al-jawhariyah, dan sebagainya.
Sebagian dari tema-tema mutakhir tersebut akan kita bahas secara singkat dalam
buku ini Insya Allah. Tentu, buku ini tidak akan mampu memberikan
pemahaman yang menyeluruh tentang filsafat Mazhab Qom, namun setidaknya ia
dapat dijadikan sebagai buku panduan.

Menurut Jalaluddin Asytiani, Barat mengagungkan Ibn Sina dan Shurawardi karena
keduanya dianggap pewaris filsafat Barat kuno, yaitu Yunani. Sedangkan Mulla Sadra
tidak mendapat perhatian dan perlakuan yang adil dan setimpal karena menggagas
mazhab filsafat yang orisinil dan berbasis pada kesyiahannya7.

Tetapi, menurut Muthahhari, hipotesa bahwa Plato adalah seorang iluminasionis patut
diragukan bahkan ditolak, karena tidak ada bukti-bukti otentik dari buku-buku para
filosof sebelumnya yang memunculkan ide iluminasi Plato. Muthahhari memastikan
bahwa Suhrawardi sengaja menyebut Plato sebagai guru iluminasi-nya agar pandangan-
pandangannya lebih bisa diperhatikan semua kalangan8.

Paripatetisme (Al-Hikmah Al-Masysya’iyah) adalah aliran filsafat yang identik dengan


Al-Farabi, Ibn Rusyd dan Ibn Sina (Asy-Syaikh Ar-Ra'is). Aristoteles dan para
pengikutnya dijuluki 'paripatetis' (masysya'iyn yang berasal dari kata kerja dalam bahasa
Arab: masya yamsyi) karena Aristoteles selalu mengajarkan filsafat sambil berjalan.
Sebenarnya, menurut Muthahhari, gelar yang tepat untuk mereka adalah kaum
deduksionis (Al-istidlaliyun) atau penganut aliran dedkuksi (Al-mazhab al-burhani) yang
merupakan pasangan bagi iluminasionisme (Al-Mazhab Al-Isyraqi).

Namun benarkah Para filosof Al-mazhab Al-isyraqi adalah pelanjut pandangan Plato dan
kaum paripatetis adalah pengikut Aristoteles? Apakah Plato dan Aristoteles (disebutkan
dalam sejarah) pernah berselisih pendapat tentang kesejatian wujud dan quiditas atau
tentang unitas dan pluralitas wujud atau tentang gradasi 'imkan' ataukah kedua filosof
Yunani kuno itu tidak pernah memperdebatkannya?

Harus diakui bahwa secara umum Plato dan muridnya, Aristoteles, berbeda pendapat
dalam beberapa masalah seputar wujud. Artinya, Aristoteles menolak sebagian besar
pandangan Plato tentang wujud.

7
Jalal al-Din Asytiani, Naqdi bar Tahafut Al-Falasifah, hal. 167, The Center of Publication of the Office of
Islamic Propagation, Qom 2000.
8
Ibn an-Nadim, Al-Fihrist, hal. 309-385, Abdul-Jabbar Ar-Rifa'I, Faidah Al-Manthiq wa al-Falsafah,
Murtadha Muthahhari, Muhadharat fil Falsafah Al-Islamiyah , 35, The Center of Publication of the Office
of Islam Propagation, Qom, 1987.
Sedangkan dalam karya-karya filosof Muslim, kata filsafat diganti dengan terma yang
diyakini lebih islami, yaitu Al-hikmah. Ia didefinisikan sebagai 'pengetahuan tentang
realitas segala sesuatu'. Namun definisi ini masih diperdebatkan hingga kini. Definisi
populer filsafat, di hawzah Qom, adalah ilmu yang membahas hukum-hukum umum
setiap maujud. Ada juga yang menganggapnya sebagai ilmu tentang ada dan hukum
universalnya. Para filosof yang menganggap filsafat hanya sebagai ilmu tentang ada
sendiri memberikan sejumlah definisi yang berbeda tentang filsafat pertama atau
ontologi.

Subjek utama dalam filsafat Islam hanyalah 'maujud sebagai maujud', sebagai sebuah
pengertian universal yang memiliki ekstensi (mishdaq) yang beragama. Sementara
sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mahiyyah, yang merupakan ciri pembeda antar
segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan unik. Kata Ibn Sina, "filsafat
adalah pengetahuan yang paling utama tentang objek yang paling mulia9."

Filsafat Islam tidak terbagi. Ia adalah sebuah unit intelektual tunggal yang mengantarkan
pada realitas universal, yang merupakan titik temu setiap realitas. Karena itulah, teologi
Islam dan teologi Kristen tidak dapat dianggap sebagai bagian dari filsafat, karena ia
didasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibakukan. Teologi atau ilmul-kalam
hanyalah sebuah ilmu yang disusun untuk merasionalisasi dan menjustifikasi keyakinan-
keyakinan yang dipostulatkan, yaitu agama tertentu.

Secara umum, para filososf Muslim membagi filsafat menjadi dua: Pertama adalah
Filsafat Teori atau Filsafat teoritis (Al-falsafah Al-Nazhariyah), yaitu ilmu yang
membahas hal-hal yang terlah terjadi dan ada. Kedua adalah Filsafat Praktis (Al-falsafah
Al-amaliyah), yaitu ilmu yang memabahas perbuatan-perbuatan yang semestinya
dilakukan.

9
Al-Mmu'jam Al-Falsafi, juz 2, hal. 160-164, Ali Irwani, Syarh Al-musthalahat Al-falsafiyah, hal. 270-271,
Ridha Ash-Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, 32, The Center of Publication of the Office of Islam Propagation,
Qom.
Mereka membagi filsafat teori menjadi tiga: Pertama adalah Filsafat Pertama (Al-falsafah
Al-Ula) atau filsafat tertinggi (Al-iilm Al-a’la), yang meliputi masalah-masalah umum
dan ketuhanan. Kedua adalah Filsafat Menengah (Al-falsafah Al-Wustha), yang
membahas aneka ilmu matematik seperti geometri, anatomi, musik dan lainnya. Ketiga
adalah Filsafat Bawah, yang meliputi ilmu-ilmu alam.10

Ontologi dan Epistemologi dalam Filsafat Islam

Epistemologi adalah bidang filsafat yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan
manusia. Keyakinan atau teori apapun yang penah ada dalam benak setiap manusia
bersembur dari epistemologi. Epistemologi membahas definisi pengetahuan, macam-
macam pengetahuan, alat-alat pengetahuan, batas-batas pengetahuan, dan proses
terbentuknya sebuah pengetahuan. Karena itulah, ia sangat perlu untuk dipelajari,
terutama bagi para pencari kebenaran.11

Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani ‘episteme’ yang
berarti ‘pengetahuan’ (kwowledge) dan ‘logos’ yang berarti ‘teori’, dan dapat diartikan
dalam bahasa Indonesia dengan ‘teori pengetahuan’. Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa
Inggris digunakan kali pertama oleh J.F. Ferrier dalam Intstitues of Metaphysics pada
tahun 1854. Sedangkan yang pertama kali menggunakannya dalam bahasa Jerman
‘Evkenntnistheorie’ adalah K. R. Reinhold.12
Sebenarnya para filosof Islam kurang setuju dengan pengedepanan epistemologi atau
filsafat pengetahuan atas ontologi atau filsafat keberadaan, karena, beberapa alasan.
Pertama, pengetahuan tidak akan bisa dibicarakan sebelum ke-ada-an subjek pengetahu
dipastikan. Kedua, pengetahuan adalah salah satu dari bidang ontologi, karena
pengetahuan adalah entitas subjek yang merupakan pasangan bagi entitas objektif atau
realitas, realitas yang terinderakan (al-waqi’ al-mahsus) dan realitas tak terinderakan

10
M. Ali Gerami, Falasfeh, Mrakaz e Entesharat e Daftar e Tablighat Islami, cet ke 4 1373 H. Sy.
.
11
Chiholm, Theory of Knowledge, , hal. 5
12
D.D. Runes, The Dictionary of Philosophy, ed, P. 94, M, dikutip Taqi Fa’ali dalam Ma’refat Shenashi
dini va Mo’asher, The Center of Publication of the Office of Islam Propagation, hal. 28.
(namun ternalarkan)13. Realitas ternalarkan (Al-waqi’ al-ma’qul) itu bermacam dua;
realitas tak terinderakan yang bersifat interval (alam al-mitsal), seperti mimipi, dan
realitas tak terinderakan yang bersifat abstrak secara total.

Epistemologi adalah bidang filsafat yang secara khusus membahas entitas ternalarkan (al-
maujud al-ma’qul). Salah satu dari realitas atau entitas objektif yang tak terinderakan dan
tidak berupa benda adalah pengetahuan, karena ia adalah entitas objektif yang tidak
menyandang sifat-sifat kebendaan.14

Alasan-alasan yang dikemukakan para filosof ketimuran tersebut sangat tepat. Namun,
karena ‘ke-ada-an’ tidak akan pernah diyakini sebelum subjek mengetahuinya lebih dulu,
maka tema-tema pembahasan dalam buku ini mengikuti sistematika urutan modern yang
dimulai dengan epistemologi. Harap dimaklumi.

Dalam benak kita, sejak lahir hingga kini, telah terkumpul ribuan atau bahkan jutaan
konsep tentang berbagai sesuatu yang pernah kita tangkap, seperti rumah yang kita lihat,
aroma segar parfum dari Paris, rasa sedap makanan di warung langganan dan sebagainya.
Namun, sebagian dari konsep-konsep itu ada yang benar dan sesuai dengan fakta, ada
yang salah dan tidak faktual, dan ada pula tidak bisa dianggap benar maupun salah.
Apakah ketidaktahuan itu? Apakah pengetahuan itu? Berapa macamnya? Berapa alat
pengetahuan? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar atau sesuai dengan
realitas objektif? Bisakah memperoleh pengetahuan yang benar? Dengan sarana apakah?
Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dijawab oleh epistemologi.

Bagian dan isu pertama yang kita bahas adalah “tindak mengetahui”, “subjek yang
mengetahui”, dan “objek yang diketahui”. Tanpa pemahaman yang jelas tentang peta dan
rambu-rambu pengetahuan, maka manusia (makhluk berakal budi) sulit bahkan mustahil
dapat memasuki dan menjelajahi dunia pengetahuan. Karenanya, tak pelak bagian ini

13
Mulla Sadra, Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 151, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. M. Fana’ee
Ashkevari,Elme Huzhuri, hal. 19
14
Ridha Al-Sahdr, Al-Falsafah Al-Ulya, The Center of Publication of the Office of Islam Propagation, hal.
270-275. An Introduction to Contemporary Epistemology, P. 1, The Encyclopedia of Philosophy, P. 63).
harus menjadi “garis start” bagi setiap pencari kebenaran dan kebijakan.15

Ketidaktahuan atau kebodohan (Al-jahl) dapat diartikan dengan ketiadaan atau


ketakhadiran konsep suatu objek (dalam pengetahuan hushuli) dan ketidakhadiran entitas
immaterial sebuah objek (dalam pengetahuan hudhuri).

Ketidaktahuan dapat dibagi, berdasarkan peringkat, menjadi dua; 1) Kebodohan


sederhana (Al-Jahl Al-Basith). Yaitu ketidaktahuan yang disadari oleh ‘subjek yang tidak
mengetahui’. 2) kebodohan kompleks (Al-Jahl Al-Murakkab). Yaitu ketidaktahuan yang
tidak disadari oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’. Manusia yang bodoh secara
kompleks (mengalami komplikasi kebodohan), tidak akan pernah berpeluang untuk
menjadi ‘manusia berpengetahuan’. Karena itulah, pembahasan-pembahasan dalam buku
ini hanya bisa diikuti oleh manusia tidak tahu secara sederhana dan calon ‘manusia
berpengetahuan’.

Ke-tahu-an dan Pengetahuan


Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam material, maka kita akan
menemukan benda pertama terkecil di dalamnya, yang disebut dengan atom atau partikel
atau energi. Yang pasti, ada sebuah entitas material yang merupakan asal muasal dari
alam yang kompleks ini. Setiap entitas material di alam ini adalah kumpulan dari atom-
atom yang jumlahnya tak terkirakan.

Atom memiliki substansi dan ciri tertentu. Ada entitas material tertentu yang memiliki
ciri atom dan sekaligus menyandang sifat-sifat substansial yang tidak ada dalam setiap
entitas atomik atau materi. Batu dapat dipandang sebagai benda, karena ia berada dalam
ruang dan waktu, dapat dipandang sebagai atom, karena benda terkecil adalah atom, dan
15
Ketidaktahuan adalah lawan dari ‘ketahu-an’ atau pengetahuan. Karenanya, kita perlu membahasnya
meski secara singkat. Disebutkan bahwa salah seorang filosof atau pemikir Islam membagi manusia
menjadi empat; 1) ‘Manusia berpengetahuan’ yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah
‘manusia berpengetahuan’. 2) ‘Manusia berpengetahuan’ yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa
dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’. 3) Manusia tidak berpengetahuan yang mengetahui atau
mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia tidak berpengetahuan’ 4) Manusia tidak berpengetahuan yang
tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia yang tidak berpengetahuan.
dapat pula dipandang sebagai benda padat, karena ciri kepadatannya yang khas, demikian
pula air yang merupakan benda atomik sekaligus benda yang menyandang sifat cair,
demikian pula gas, api atau ion.

Selain benda padat, cair dan gas, terdapat entitas material padat, cair dan gas yang
memiliki ciri-ciri khas lebih. Tumbuh-tumbuhan dengan segala macamnya, daun,
kembang, tangkai, pokok, buah, biji dan sebagainya bukanlah sekedar benda padat,
namun ia “berkembang” dan “tumbuh”.

Di tengah tumbuh-tumbuhan, ada sekelompok entitas yang merupakan benda bekembang


sekaligus “berindera” dan “berperasaan”, yaitu hewan atau binatang. Ia bergerak dengan
kehendak dan nalurinya, makan, minum, melakukan aktivitas seksual, menyusui anaknya
dan sebagainya.

Di tengah hewan ada sekelompok hewan yang tidak hanya berperasaan dan berindera,
namun juga berakal (mempunyai akal).Dialah manusia.

Lalu, apakah ‘tahu itu? Apakah pengetahuan itu? Apakah subjek pengetahu itu? Apakah
objek yang diketahui itu? Berapakah macam pengetahuan? Apakah alat pengetahuan itu?
Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan? Bagaimana membedakan antara
pengetahuan yang benar dan tidak benar? Apa hubungan antara pengetahuan yang benar
dan keyakinan? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat perlu untuk dijawab.

Pertama-tama kita perlu memahami bahwa istilah “pengetahuan” yang kami gunakan di
sini bersifat umum, bukan hanya terbatas pada pengetahuan yang kini lebih sering
disebut dengan “ilmu pengetahuan” dan “sains”. Pengetahuan yang kami bahas di sini
adalah setiap konsep mental yang lazim disebut “knowledge” dan “al-ilm’ atau ‘ al-
ma’rifah”.

Jika seseorang mengklaim “tahu” atau “berpengetahuan” dan berkata: “Saya tahu bahwa
besok hujan akan turun’, maka syarat-syarat apakah yang semestinya telah dipenuhinya,
sehingga kita dapat menganggapnya berhak mengaku dirinya berpengetahuan atau
mengetahui?

Ada sekelompok ulama Muslim yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang
perlu didefinisikan meski mengakuinya sulit, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Juwaini
dan Al-Ghazali.16 Sementara sekelompok filosof dan teolog lainnya, seperti Abu Bakr
Al-baqilani (403 H), Abul-Hasan Al-Asy’ari (260-324 H) Ibnu Faorak Al-Asy’ari (406)
Al-Iji, Al-Fakhr Ar-Razi, Sa’duddin At-Taftazani, para filosof Ikhwan Ash-Shafa,
Quthbuddin Asy-Syirazi dan Ibn Ali Sina telah memberikan beragam definisi tentang
pengetahuan.

Berdasarkan pengamatan Nasiruddin Thusi, perdebatan tajam dan panjang tentang


definisi pengetahuan, bukan karena ketakjelasannya, namun semata-mata karena
hakikatnya sangatlah gamblang. Karena itu, ada sekelompok filosof yang menolak untuk
memberikan definisi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa, pengetahuan adalah
sesuatu yang sangat gamblang sehingga tidak perlu didefinisikan, sebagaimana pendapat
Al-Razi (543-606 H). Ia mengemukakan dua alasan untuk itu.17

Lebih dari itu, Sebagian filosof lain beranggapan bahwa pengetahuan mustahil
didefinisikan. Mereka mengingatkan bahwa pengetahuan adalah suatu hakikat yang
dihayati dan disaksikan langsung oleh batin manusia secara inheren. Adapun yang
disebut-sebut sebagai definisi pengetahuan, menurut mereka, tidak lebih dari upaya-
upaya untuk memahami dan menafsirkan penyaksian batin tersebut secara filosofis dan
konseptual serta menemukan cirri-ciri khususnya, seperti definisi “Pengetahuan yaitu
hadirnya yang diketahui (objek) pada jiwa pengetahu (subjek).”

16
Al-Iji, Syarh Al-Mawaqif, juz 1, hal. 67, Instisyarat e Razi, Qom. Ja’far Subhani, Nazhariyah Al-
Ma’rifah, hal. 18, The Center of Publication of the Office of Islam Propagation,
17
Al-Iji, Syarh Al-Mawaqif, juz 1, hal. 69-76, Instisyarat e Razi, Qom. At-Taftazani, Syarh Al-Maqashid,
hal. 185-197, Intisyarat e Razi. Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa, juz 1, hal. 262, Daftar e Tablighat e Islami, 1405
H. Ibn Sina An-Najah, hal. 344, Intisyarat e Mortazawi, Tehran. Quthbud-Din Asy-Syirazi Durratut-taj, 65,
33, Tehrean. Ibn Sina Asy-Syifa’ Kitab An-nafs, hal. 50, Intisyarat e Kirab-khanah Ayatullah Najafi, Qom.
At-Ta’liqat, hal. 69, 82, Intisyarat e Kitab-khanah Ayatullah Najafi, Qom. Ibn Sina, Asy-Syifa’, Al-Ilahiyat,
361, Intisyarat e Kitab-khaneh Ayatullah Najafi, Qom. Ibn Sina, AlIsyarat, juz 2, hal. 308, Intisyarat e
Kitab-khanah Ayatullah Njafi, Qom. Ja’far Subhani, Nazhariyah Al-Ma’rifah, hal. 20, Muassasah An-
Nasyr Al-Islami, Qom..
Definisi pengetahuan telah mendapat banyak kritik. Salah satu kritik tajam dilontarkan
oleh Edmund Gettier yang dikutip oleh Alvin Plantigna. 18

18
Fanaei Eshkevari, Elm e Hudhuri, hal. 21, Ibrahimiyan, Ma’refat Shesnasyi, ibid, 49, Al-Asfar Al-
Arba’ah, juz 3 3, hal. 278, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981.
Universalia-universalia

Salah satu tema penting yang harus dipelajari dalam teologi umum sebelum memasuki
tema-tema lainnya adalah unicersalia (Al-ma’qulat). 19

Pembagian ini sangat penting diketahui dan dipahami secara mendalam oleh para
peminat filsafat agar tidak tersesat oleh terma-terma universalia yang sama namun
memiliki maksud dan relasi konteks yang berlainan. Misbah Yazdi bahkan
menyayangkan keteledoran para filosof Barat, seperti Kant dan Hegel, dalam
menggunakan terma tanpa acuan yang jelas. Hal ini bukan hanya tidak dapat dipahami
tapi malah membingungkan. Misbah Yazdi membahas masalah kerancuan dalam
memahami universalia ini secara detail 20

Ada yang membagi universalia menjadi tiga, yaitu universalia prima, yaitu universalia
seconda logis dan universalia seconda ontologis,sebagaimana dilakukan oleh paar filosof
terdahulu. Ada pula yang terlebih membagi universalia menjadi prima dan sconda, lalu
membagi universalia seconda logis dan universalia ontologis

Konsep univesal (universalia) bermacam dua,


Pertama, Konsep prima atau universalia esensial (Al-Ma’qulat Al-Mahawiyah), yaitu
konsep universal yang tercerap dalam benak setelah menemuka persona-persona yang
berada dalam himpunannya, seperti konsep tentang pena, buku dan manusia.

19
Berkenaan dengan istilah-istilah dalam filsafat, dunia filsafat Barat pernah mengalami kekacauan luar
biasa karena masing-masing filosof menggunakan istilah-istilah khas yang boleh jadi tidak digunakan oleh
lainnya atau digunakan namun dengan pengertian yang berbeda. Karena itulah, tidak sedikit orang yang
kebingungan setiap kali membaca karya filosof tertentu. Puncak dari kekacauan ini adalah munculnya
sejumlah filosof modern, seperti Bertrand Russel dalam bukunya Our Knowledge of the External (1914),
Ludwig Wittgeinstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus (1921), Alfred Ayer dan lainnya
yang berusaha “menertibkan” bahas filasafat dengan menciptakan aliran yang dikenal dengan Atomisme
Logis atau Filsafat Analitik atau Analitisme. (Kamus Filsafat, 100-101, Filsafat Analitik, Kamus Logika,
The Liang Gie, Falsafeh ye Tahlili, Shadeq Larijani, 87).Kekacauan ini nyaris tidak pernah terjadi dalam
dunia filsafat Timur, terutama Islam, karena mereka telah mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan
sebelum memasuki tema-tema inti filsafat.
20
Muhadharat fi AI-Aidiulijiyyyah AI-Muqaranah (Tehran: Wizarah AI-I rsyad AI-Islami, 1982), dan buku
Pasdari Az Sangarha-ye lydi'uluzhik, artikel tentang dialektika, (Qum: Dar Rah-e Haqq, 1982 M)-Taqi
Mishbah Yazdi. (dikutip dari footnoote Musa Kazhim dalam Buku Daras Filsafat karya Misbah Yazdi,
Mizan, 2003).
Kedua, Konsep universal (universalia) sekonda atau Al-Ma’qulat Ats-Tsanawiyah dibagi
dua:
1. Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-Falsafiyah adalah konsep-konsep
yang dilahirkan dalam bidang filsafat melalui komparasi dan diskusi. Istilah-
istilah dalam ontologi atau metafisika adalah produk dari universalia pertama ini.
seperti pengertian “kausa” dan ‘efek” yang disimpulkan secara naluriah melalui
interaksi real.
2. Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-manthiqiyah adalah konsep-konsep
univerasl yang menifest-manifestnya hanya ada dalam benak, seperti konsep
tetang ‘konsep’ ‘manifest’ ‘proposisi’ dan istilah-istilah yang digunakan dalam
logika.21
Menurut Misbah Yazdi, konsep-konsep skonda logis sebenarnya tidak termasuk dalam
kategori universalia sekunder, menurut sebagian filosof, namun termasuk “universalia
primer”.22

21
Mohammad Fanaei Eshkawari, Secondaery Intelligible (Ma’qol e Tsani), hal. 15-16, The Imam
Khomeini Education and Reasearch Institute, Qom, Iran, 1997.
22
M. Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, vol. 1, hal. 202-203., Muassasah An-Nasyr Al-Islami,
Qom.
Bab Kedua : Ontologi

Eksistensi dan Non-eksistensi


Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh
hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh
buku-buku magnum opus filsafat, seperti Asy-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq
karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam karya Khajeh Nasiruddin Thusi
menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun harus digarisbawahi di sini
bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari
tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang
lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.
Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud
masih belum pernah terbuktikan sebagai fsondasi dari apa yang disebut sebagai realitas.

Ketiadaan
Ketiadaan adalah ketidak-sesuatuan. Ia adalah kekosongan semata. Ia tidak mempunyai
realitas.23 Karenanya, ia tidak berbeda, karena yang berbeda dengan ketiadaan bukanlah
ketiadaan. Ia juga tidak dapat dikabarkan, karena yang bisa dikabarkan hanyalah yang
ada.24

Kendati demikian para filosof membagi ketiadaan menjadi dua; 1) Ketiadaan sejati,
yaitu ketiadaan yang murni. 2) Ketiadaan nisbi, yaitu ketiadaan yang dikaitkan dengan
sisi-sisi tertentu seperti ketiadaan azali (eternal) dan ketiadaan temporal (aksidental)
dengan relasi batas, demikian juga ketiadaan potensial dan ketiadaan aktual dan
sebagainya. 25

23
M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal. 28, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, . Mulla
Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 340-341, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981
24
M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom 28,Mulla Sadra,
Al-Asfar Al-Arba’ah, 348, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981, Sabzewari, Syarh Al-Mandhumah, hal.
47. Instiyarat e Mostafawi, Qom.
25
M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah al-Hikmah,hal. 28, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom Al-Fakhr
Ar-Razi, Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, 1, 100, Ara’ Ahlil-Madinah Al-Fadhilah, 11, Al-Mausu’ah Al-
Falsafaiyah, 204-205, Ibn Sina, Ilahiyat Asy-Syifa’ 125, Intisyarat e Kitab-khanah Ayatullah Najafi, Qom.
Rasa’il Ikhwanush-Shafa, 3, 385, Daftar e Tablighat e Islami, Qom. Tafsir ma Ba’da Ath-Thabi’ah, 1311.
Selanjutnya istilah “ketiadaan” yang akan dibagi dalam beberapa versi pembagian di
bawah adalah identik dengan ketiadaan relatif, karena ketiadaan mutlak tidak bisa
dikabarkan apalagi dibagi.

Ke-adaan atau eksistensi (Al-Wujud), meski tidak bisa didefinisikan secara tepat, telah
didefinisikan dengan bermacam cara. Ke-ada-an mungkin bisa didefinisikan secara
sederhana sebagai “adanya sesuatu”.

Pengeritan “wujud” sangatlah gamblang (ekstemporal) sehingga tidak bisa diperantarai


dengan penjelasan apapun, baik dengan forma maupun dengan terma, sebagaimana
lazimnya dalam setiap pendefinisian. “Sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada adalah
sesuatu yang ada” atau “ia adalah sesuatu yang dapat dikabarkan.”26
“Wujud” adalah pengertian yang memiliki arti sama dalam setiap proposisinya. Mulla
Sadra mengatakan bahwa fakta tentang adanya kesamaan arti antar berbagai macam
esensi (Al-Mahiyah, keapaan) adalah sesuatu yang nyaris apriori prima, sebagaimana
dikutip Thabatabai.27 Hal ini didukung oleh sejumlah filosof.28

Ada kalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk sebuah pengertian tentang
“wujud”. Ia diperlakukan sama dengan pengertian-pengertian lainnya, yaitu sebagai
sesuatu yang konstruktif, artifisial atau i’tibari.

Wujud, sebagai sebuah pengertian, bukan realitas, terbagi dua;


Pertama, wujud, sebagai pengertian khusus. Yaitu predikat yang dilekatkan atas sesuatu,
misalnya “benda itu putih”, yang berarti “benda yang ada itu berwarna putih”.

Kedua, wujud, sebagai pengertian umum. Yaitu arti umum dan aprior yang menjadi dasar
perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada setiap quiditas atau esensi
26
M. H. M. H. Thabathabai, Bidayah al-Hikmah, 10, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Ridha Ash--
Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, hal. 78, The Center of Publication of the Office of Islamic Prpopagation, Qom.
27
M. H. Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 13, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom Hikmah Al-
Isyraq, 182, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 35, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981.
28
Al-Mabahtis Al-Masyriqiyah, juz 1, hal. 18-22, At-Taftazani, Syarh Al-Maqashid, juz 1, hal. 61-62,
Instisyarat e Razi, Qom. Al-Iji, Syarh Al-Mawaqif, hal 90-92, Instisyarat e Razi, Qom. Qawa’id Al-Maram,
39, Allamah Al-Hilli, Kasyf al-Murad, 24, Daftar e Tablighat, Qom. .
(mahiyyah), misalnya “manusia itu ada”, “bulan itu ada”, “putih itu ada”. Jadi, pengertian
“wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek, sedangkan pengertian “wujud yang
terikat” adalah wujud predikat dalam setiap premis.29

Para filosof penganut Ashalatul-Wujud menyebutkan sejumlah ciri khas hakikat


“wujud”. Antara lain sebagai berikut:

Pertama:
Hakikat “wujud” adalah sederhana (basith), tidak kompleks, bahkan realitas adalah satu-
satunya yang sederhana dan tak tersusun.

Alasan-alasannya sebagai berikut:


1. Seandainya hakikat “wujud” kompleks atau tersusun, maka pasti ia terdiri atas
beberapa bagian. Tentu, (setiap) bagian tersebut berupa wujud atau bukan wujud.
Seandainya bagian tersebut bukanlah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari
“wujud” (yang diasumsikan tersusun dari beberapa bagian itu), karena selain
wujud atau ketiadaan, sedangkan ke-ada-an tidak dapat dikombinasikan dengan
kenir-adaan. Sebaliknya, jika bagian tersebut adalah wujud, maka berarti ia
bukanlah bagian dari “wujud”, karena ia adalah wujud itu sendiri, bukan bagian
darinya.
2. Sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari wujud itu hanya bisa mengambil
salah satu dari tiga sifat sebagai berikut; a) menjadi titik kesamaan antara realitas
wujud dengan selainnya; b) menjadi ciri khas bagi realitas wujud itu sendiri.
Pilihan pertama tertolak, karena tidak ada sesuatu selain realitas wujud, sehingga
setiap kali ada sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari realitas wujud, maka
seketika ia menjadi realitas itu sendiri semata. Pilihan kedua juga tertolak, karena
sesuatu disebut sebagai bagian apabila ia memiliki ciri khas yang
membedakannnya dari yang lain. Karena realitas wujud tidak terdiri atas bagian-
bagian yang sama, maka ia juga tidak terdiri atas bagian-bagian yang masing-
masing mempunyai ciri khas. Itu berarti bahwa realitas wujud adalah sederhana
29
Ridha Ash-Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, hal. 80, The Center of Publication of the Office of Islamic
Prpopagation, Qom.
dan tidak terdiri atas bagian-bagian. Apabila realitas wujud tidak memiliki bagian
yang sama, maka ia tidak mempunyai genus dan materia (potensi). Apabila
hakikat wujud tidak mempunyai bagian yang khusus, maka ia tidak mempunyai
deferentia (fashl) dan forma. Jadi, realitas wujud bersifat sangat sederhana
(basith).
3. Apabila realitas wujud tidak mempunyai genus dan defrensia, maka ia bukanlah
quiditas (mahiyah), karena quiditas adalah gabungan dari genus dan deferensia.
Apabila realitas wujud tidak beresensi atau mempunyai quiditas, maka hakikat
“wujud” itu adalah dirinya sendiri semata. Karena realitas wujud bukanlah
quiditas, maka ia tidak menyandang sifat-sifat quiditas, seperti universal,
partikulari, genus, deferensia, substansi, dan aksiden.

Kedua:
Hakikat “wujud” tidak mempunyai lawan (dhidd), karena lawan bagi sesuatu adalah
sesuatu yang lain atau yang kedua, yang berbeda secara esensial atau berdasarkan
quiditasnya, padahal tidak ada sesuatu selain realitas wujud, bahkan setiap sesuatu yang
diasumsikan sebagai selain dari realitas wujud adalah wujud itu sendiri. Karena realitas
wujud tidak mempunyai quiditas atau esensi, maka ia tidak mempunyai lawan atau rival,
sebab perbedaan dan keberlainan antar dua hal disebab oleh quiditas atau esensi
(mahiyah).

Ketiga:
Hakikat “wujud” tidak mempunyai kembaran atau padanan, sebab sesuatu disebut
sebagai padanan atau kembaran itu bukanlah sesuatu yang dikembarinya itu sendiri.
Dengan kata lain, dua sesuatu yang mirip atau sama harus berlainan. Kalau tidak,
keduanya bukanlah dua, namun satu.

Keempat:
Hakikat “wujud’ bukanlah akibat dari suatu sebab. Artinya, ia ada dengan sendirinya
yang secara otomatis menolak kenir-ada-an dari dirinya.
Kelima:
Sifat-sifat kesempurnaan seperti “hidup” dan lainnya adalah berasal dari hakikat
“wujud”, bukan dari selain dirinya. Seandainya sifat-sifat kesempurnaan tersebut tidak
berasal dari realitas wujud, maka berarti sifat-sifat tersebut nir-ada.30 (

Eksistensi dan Esensi


Perselisihan di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalitas
wujud dan mahiyah; mana lebih awal atau lebih prinsipiil dan berperan mengobjektifkan
sebuah maujud?

Ada tiga aliran besar dalam metafisika Islam, yaitu sebagai berikut:

Esensialisme
Yaitu aliran dalam ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului eksistensi, dan
bahwa sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah satu
alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas objektif,
dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud wujudnya itu pasti mempunyai wujud, dan
begitulah seterusnya. Suhruwardi dan para pengikut iluminasionisme menganggap esensi
atau quaditas sebagai sesuatu yang real, sedangkan eksistensi sebagai sesuatu yang
bersifat memorial (dzihni) dan konstruktif.

Menurut iluminasi, penyingkapan terhadap realitas dan pencarian Tuhan tidak bisa
dilakukan dan tidak akan berhasil apabila hanya dengan mengandalkan spekulasi
rasional. Penyingkapan terhadap realitas, menurut iluniasionisme, harus disertai dengan
pensucian jiwa. Kata Al-Isyraq' yang berarti penyorotan cahaya (pencerahan) berkaitan
dengan dasar pemikiran aliran ini. Mulla Sadra dan Thabathabai, telah memberikan
bantahan-bantahan jitu atas argumen-argumen kaum esensialis, sebagaimana akan kita
ketahui nanti 31

30
Risha Ash-Shadr, Al-falsafah Al-Ulya, hal. 86, Maktba Al-I’lami Al-Islami, Qom.
31
M. H. Thabathabai, Nihayah Al-hikmah, 14-15, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Hani Dris, Ma
ba’da Ar-Rusydiyah, 149, Dar Al-Ghadir, 2000. Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz, hal. 39-40, Dar At-
Turats Al-Arabi, Beirut, 1981.
Mulla Sadra tidak menampik posisi urgen warisan hikmah al-isyraq sebagai salah satu
elemen pembentuk Al-Hikmah Al-Muta’aliyah. Ia sangat berhutang budi kepada
Suhrawardi selama proses perkembangan dan kematangannya, sebagaimana dikutip
Henry Corbin.32.

Bila Averoisme berhasil mengantarkan filsafat Islam ke puncak filsfat aristotelian, maka
sebaliknya Suhruwardi dengan filsafat isyraqnya menundukkan aristotelian dan filsafat
Yunani secara umum dan menjadikannya sebagai objek kritik, sebagaimana tercermin
dalam karyanya, Rayf An-Nasha’ih Al-Imaniyah wa kasyf Al-fadha’ih Al-Yunaniyah
(sejumlah nasihat keimanan dan penyingkapan atas skandal-skandal Yunani). Tentu kritik
Suhrawardi terhadap filsafat Yunani tidak melenyapkan penghargaannya yang tinggi atas
khazanah pemikiran filsafat Yunani, yang telah memberikan pengaruh-pengaruh positif
bagi filsafat iluminasi.

Suhrawardi telah mengantarkan filsafat isyraq menuju puncak teringgi kejayaan dan
kegemilangan, sebagaimana terlihat dalam penguasaan yang luar biasa terhadap agama-
agama dan filsafat-filsafat kuno lalu mengumpulkannya dalam yaitu titik temu, yaitu
wujud. Dari situlah, berangkat dari prinsip ‘cahaya’, Suhrawardi berhasil mendirikan
sebuah bangunan filsafat yang sangat megah, Al-Hikmah Al-Isyrqaiyah, yang telah
mengalihkan perhatian dunia dari filsafat paripatetik yang mencuatkan Ibn Sina, Ibn
Rusyd dan Al-Kindi kepada filsafat Isyraq yang platonian dan bernuasa Persia. 33

Filsafat Iluminasi di Yunani kuno dihubung-hubungkan dengan Plato dan Pytagoras, dan
kadang kala dikaitkan dengan para filosof skolastik, di Alexandria dan dikaitkan pula
dengan Plotinus atau para filosof neo platonis, dan dalam peradaban Islam dilekatkan
dengan Syihabud-Din Suhrawardi (581 M)34.

Eksistensialisme

32
Henry Corbin, Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, terjemah Arab Uwaidat, Beirut, 1983.
33
Hani Dris, Ma ba’da Ar-Rusydiyah, hal. 38, Dar Al-Ghadir, Beirut, 2000.
34
Sajjadi, Philosophical Glossary of Mulla Sadra, 20, Wezarat e Farhang wa Ershad e Islami, Tehran.
Ibn Sina dan Mulla Sadra menegaskan "ashalatul-wujud" (kesejatian wujud) dan ketidak-
asalan esensi (al-mahiyyah). Salah satu alasannya, ialah apabila wujud bukanlah asal,
maka adakah yang mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Mereka
menegaskan bahwa yang mempunyai realitas objektif (Al-waqi'iyah Al-kharijiyah) adalah
esksistensi, sedangkan esensi adalah sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial
(i'tibari).

Meski demikian, para filosof eksistensialis masih berbeda pendapat tentang wujud yang
disepakati sebagai ashil atau sejati itu, apakah sembarang wujud atau tidak wujud
tertentu. Misbah meyakini bahwa wujud yang sejati yang menjadi musuh mahiyyah
hanyalah wujud madiri saja (mahmuuli), sedangkan 'wujud bergantung' tidak terlibat di
dalamnya. Namun menurut Jawadi Amuli, wujud dalam permasalahan itu mencakup dua
makna (mandiri dan bergantung) tersebut. Menurutnya, wujud menjadi syarat bagi
mahiyyah ketika menyandang predikat. Sedangkan Misbah Yazdi tidak meyakini wujud
sebagau syarat bagi mahiyah dalam predikasi primer (Al-haml al-awwali, yaitu roposisi
yang bermuatan subjek dan objek yang konseptual subjektif, haml mafhum ala al-
mafhum Menurut, Bamhanyar, memastikan bahwa penolakan terhadap kesejatian wujud
meniscayakan sikap agnosistik.35

Muhammad Taqi Misbah Yazdi menganggap prinisp 'kesejatian wujud' sebagai masalah
yang badihi sehingga tidak perlu pembuktian, karena wujud identik dengan realitas dan
hakikat, sedangkan esensi berbeda dengan realitas, bahkan ia hanya berada bila
bersanding dengan wujud. Tanpa wujud, apapun termasuk esensi tidak akan real.
Menurutnya, esensi adalah entitas buatan (maujud i'tibari). Esensi (Al-mahiyah,
keapapaan, quiditas) adalah setiap 'sesuatu' yang muncul sebagai jawaban atas 'apa itu'.
Ia adalah sesuatu yang dikenali dari substansinya. Ia juga didefinisikan sebagai
universalia natural (Al-kulli Ath-thabi'iyi) yang bisa mengada dan bisa pula meniada.36

35
Bahmanyar, At-tahshil, 286, Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 1, Dar At-Turats Al-Arabi,
Beirut, 1981. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal. 16, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Hani
Dris, Ma ba’da Ar-Rusydiyah, 149, Dar Al-Ghadir, 2000.
36
Sabzewari, Syarh Al-Manzhumah, juz 2, hal. 10, Instiyarat e Mostafawi, Qom. Mulla Sadra, Al-Asfar Al-
Arba’ah, juz 8, 85, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981.
Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan analisis intelektual yang
sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan baru dalam filsafat bahwa
wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari
semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri Sejak itu, kata Rahman,
wujudiyyah atau "eksistensialisme"37 lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas
Muslim.

Dualisme
Mazhab Kesejatian wujud dan esensi.Yaitu aliran dalam ontologi yang menganggap
wujud dan esensi sebagai asal sekaligus. Namun Dualisme II tidak sama dalam
menjelaskan rincian prinispnya.

Karena itu Dualisme I dapat dibagi dua. Pertama adalah Dualisme Al-Ahsa'i yang
menegaskan dualisme dikotomis antara wujud dan esensi. Kedua Dualisme Fayyazi yang
menekankan dualisme uniter antara wujud dan mahiyah. Pendapat yang dikemukakan
'secara malu-malu' belakangan ini oleh Fayyazi, salah guru besar muda di Hawzah Qom,
cukup menggegerkan dan mengundang kontroversi serta polemik dalam kuliah-kuliah
dan jurnal-jurnal filsafat di Iran. Murid tertua Jawadi Amuli dan Mishbah Yazdi, dengan
Dualisme-nya mengembalikan unitas kepada wujud, dan menafsirkan pluralitas lewat
mahiyyah. Karena ia meyakini bahwa wujud adalah esensi itu sendiri (Al-Wujud Ain Al-

37
Yang perlu kita ingat ialah bahwa kita harus membedakan antara eksistensialisme dalam ontologi Islam
dan eksistensialisme dalam pandangan para filosof fenomenologi Barat. Eksistensialisme modern, yang
memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan bahwa eksistensi mendahului esensi,
yang berasal dari para filosof Yunani dan berkembang di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren
Kierkegaard dan Friedrich Nietzche, juga bukan Eksistensialisme ateistik, yang dipelopori oleh Jean Paul
Sartre yang menjadi cikal bakal Humanisme. (Matafisika 124). Edmund Husserl dan para pendukungnya
seperti Hanz R dari Inggris (1867-1941), William Ralf dari Jerman (1861-1945), Murice B. dari Perancis
(1861-1948) dan N. Hartman dari Jerman (1882-1950), berpijak dari anggapan bahwa setiap gejala
memiliki esensi, berpendapat bahwa setiap fenomena mempeoleh esensinya tanpa perantara. Kaum
eksistensialis juga mau membahas ke-ada-an, namun menurut mereka, hanya melalui eksistensi manusia,
prinisp universal eksistensi dapat dipelajari. (Filsafat Modern Eropa, terj. Parsi, hal. 203, Ali Gerami,
Falsafeh, hal. 43, Matinya Metafisika, Donny Gahral Adian, 52, Bambu). Eksistensialisme Barat tak lebih
dari sekadar sebuah pendekatan antropologis; bukan sebuah sistem filsafat yang universal dengan subjek
al-wujud. Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni
materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara apa adanya. Sedangkan
eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin
mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate Reality).
Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat theistik bahkan sufistik; sementara
aliran filsafat eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.
Mahiyyah), maka unitas juga adalah pluralitas (Al-Wahdah fi Ain Al-Katsrah). Begitulah
konsep tasykik versi "malu-malu" ini.

Menurut mereka, seandainya wujud adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh-


pengaruh eksternal dan objektif, padahal wujud adalah realitas yang unik dan sederhana,
maka apakah yang membedakan antara ayam dan Agus, misalnya. Karena itulah, mereka
mengakatan bahwa esensi atau quiditas adalah pembeda antar entitas objektif. Itu berarti
esensi, sebagaimana eksistensi, memberikan pengaruh fundamental bagi realitas setiap
entitas.38 Dengan demikian, maujud dapat dibagi dua; beresensi dan tidak beresensi.

Setelah mengetahui bahwa esensi menjadi real apabila mendapatkan wujud, dan bahwa
esensi sebenarnya adalah maujud yang beresensi, maka perlulah kita mengetahui seluk
beluk esensi. Esensi (Al-mahiyah, keapapaan, quiditas) adalah setiap 'sesuatu' yang
muncul sebagai jawaban atas 'apa itu'. Ia adalah sesuatu yang dikenali dari substansinya.
Ia juga didefinisikan sebagai universalia natural (Al-kulli Ath-thabi'iyi) yang bisa
mengada dan bisa pula meniada. 39

Esensi, menurut Mulla Sadra, tidak menyandang sifat universal maupun partikular, plural
maupun singular. Manusia, misalnya, sebagai esensi, tidak dapat dikaitkan dengan
pluralitas karena apabila terikat dengan “kesatuan” maka semestinya manusia tidak
mungkin banyak, dan juga tidak bisa dikaitkan dengan singularitas, karena manusia juga
bisa banyak. Esensi manusia adalah natur manusia tanpa kondisi apapun.40

38
Sabzewari, Syarh Al-Manzhumah, juz 2, hal. 171, Instiyarat e Mostafawi, Qom. M. H. Thabathabai,
Bidayah Al-hikmah, 13, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Thabathabi dan Murtadha Muthahhari,
Ushul Al-falsafah wa Al-madzhab Al-waqi'i, jilid 3, Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 39, Dar
At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. Al-Masya'ir, hal. 14, 37, Ridha Ash-Shadr, Al-falsafah Al-Ulya, 80, The
Center of Publication of the Office of Islam Propagation, Qom.
39
Sabzewari, Syarh Al-Manzhumah, juz 2, 10, Instiyarat e Mostafawi, Qom. Mulla Sadra, Al-Asfar Al-
Arba’ah, juz 8, 85. Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. Mehdi Haeri Yazdi, The Pyramid of Existence,
206-207, Cultural Studies anda Reseach Institute, Tehran, 1983.
40
Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 2, hal. 1, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981 -
Esesnsi pertama kali dibagi dua: 1) Esensi kompleks (Al-mahiyah Almurakkabah). Yaitu
sesuatu yang hakikatnya adalah akumulasi dari beberapa hal. 2) Esensi sederhana (Al-
mahiyah Al-basithah). Yaitu sesuatu yang haikaktnya tidak tersusun.41

Esensi dapat dibagi berdasarkan penyandangannya menjadi dua: 1) Substansi


(penyandang), yaitu adalah substansi yang menyandang aksiden atau sesuatu yang
dilekati oleh entitas-entitas non substansial lainnya, seperti kaegori “manusia” yang
merupakan sebuah substansi yang menyandang “gembira”, “di Surabaya” dan “kemarin”.
Ia diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai “jauhar”. 2) Aksiden (sandangan), yaitu
pengertian yang disandang oleh substansi.

Substansi, ditinjau dari eksistensinya terbagi menjadi lima; 1) Forma, (Ash-Shurah), yaitu
tampilan khusus seseuatu, seperti gambar (tampilan) manusia, pohon, dan sebagainya. 2)
Benda (materi, Al-Maddah), yaitu inti setiap entitas dan mengenakan forma, seperti
benda kayu dalam tampilan kursi, benda katun dalam forma kemeja, dan sebagainya. 3)
Raga, (body, Al-Jism) yaitu entitas (sesuatu) yang terdiri atas benda dan forma.4) Jiwa
(An-Nafs, Ar-Ruh, spirit), entitas non bendawi namun berhubungan (bersambung)
dengan raga material dan bekerja di dalamnya secara misterius. 5) Akal (Al-Aql, intelek),
yaitu substansi unik yang mempunyai kemampuan untuk memahami dengan perantara
benda, dan kadang kala tanpa perantaranya. 42

Bagaimanakah pola hubungan antara mahiyah dan wujud? Pertanyaan ini bisa dijawab
dengan dua asumsi sebagai berikut:
1. Mahiyah dalam realitas. Wujud sebagai sesuatu yang ditambahkan atau
disandingkan atau disandangkan pada (dengan) mahiyah (quiditas) dalam realitas
(al-karij). Artinya, dalam realitas objektif terdapat dua item; mahiyah (ke-apa-an)
dan wujud (ke-ada-an) yang melekat pada mahiyah, seperti sebuah warna yang
melekat pada dinding. Hampir tidak filosof yang beranggapan demikian.
2. Mahiyah dalam benak. Wujud ditambahkan pada mahiyah dalam benak, bukan
41
Al-Fakhr Ar-Razi, Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, juz 1, hal. 51, Intisyarat e Bidar, Qom. Mathali' Al-
anzhar, 48, Al-Iji, Syarh Al-mawaqif, 114, Instisyarat e Razi, Qom..
42
Hakadza Nabda’, 232-233, Metafisika, 123-124, Klubertanz, 1955, Notonagoro, 1671, Dasar-dasar
Filsafat, 5.10.
dalam realitas. Artinya, pengertian “wujud” dalam benak (zihn) bukanlah
pengertian “manusia”, “kayu” dan pengertian-pengertian esensial (yang disarikan
dari esensi sesuatu), bukan pula entitas-entitas personalny dan bukan pula bagian-
bagiannya. Dengan kata lain, “wujud ditambahkan pada mahiyah” berarti akal
dalam kapasitas analitiknya dapat membedakan pengertian “manusia’ (sebagai
esensi) dan pengertian :”wujud”.

Pluralitas dan Unitas Eksistensi


Meskipun sama-sama menerima orisisnalitas eksistensi, dalam menanggapi pertanyaan
apakah hakikat wujud atau eksistensi (bukan eksistensi objektif, maujud) itu tunggal, dua
atau beragam, para filosof eksistensialis terbagi ke dalam beberapa aliran besar.

Pluralisme
Kaum erutama kaum paripatetis, menganggap wujud sebagai realitas-realitas yang
beragam. Kaum Paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur berkeyakinan
bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam, mencakup Tuhan dan setiap makhluk-
Nya. Dengan kata lain, menurut mereka, Tuhan memiliki hakikat wujud tersendiri yang
berbeda secara total dengan hakikat wujud setiap makhlukNya. Misbah Yazdi menolak
unitas wujud personal dalam filsafat yang dijunjung Jawadi. Karenanya, ada garis merah
antara filsafat dan irfan, tidak bisa saling melintas dan dicampur-adukan. Sedangkan
Jawadi Amuli berpendapat bahwa filsafat sebagai garis start yang dilintas hingga ifran
sebagai garis finish. Secara tegas Misbah Yazdi mengatakan bahwa irfan bukan sebuah
ilmu, yang dideskripsikan dan dikomunikasikan. Ia menolak apa yang disebut dengan
irfan teoritis (Al-irfan An-nazhari), dan bahwa yang ada hanyalah irfan praktis (Al-irfan
Al-amali). Ini mirip dengan wahdatul syuhud Mutahhari sebagai pembenarannya atas
wahdatul wujud.

Kaum paripatetik dan para pengnut monisme beranggapan bahwa sesungguhnya entitas-
entitas objektif (Al-maujudat Al-ainiyah) adalah salah satu dari beberapa asumsi sebagai
berikut:
Pertama: Entitas-entitas itu semua adalah person-person dari satu spesis, seperti Budi,
agus dan salim. Mereka adalah person-person manusia yang merupakan spesisnya.
Ketiganya menyatu dalam satu spesis; manusia. Mereka berbeda-beda dan plural karena
masing-masing memiliki sifat-sifat khas, seperti warna kulit, postur tubuh, dll.

Kedua: Entitas-enbtitas itu semua berhimpun dalam satu genus, seperti manusia, kuda,
anjing yang bertemu satu dalam binatang yang merupakan genusnya. Genus itu menjadi
titik kesamaan entitas-entitas tersebut. Mereka berbeda-beda dan plural dengan spesis-
spesis masing-masing, seperti manusia yang sama dengan bintang yang berakal dan kuda
yang sama dengan binatang yang meringkik, dll.

Ketiga: Entitas-entitas itu semua adalah realitas-realitas yang yang saling berbeda
secarasubstansial. Mereka sama sekali tidak memiliki titik keasamaan.

Kaum paripatetis menolaknya, karena, menurut mereka, ia meniscayakan wujud sebagai


universalia natural (Al-kulli ath-thabi'iy), seperti manusia, yang tidak menjadi konkret
(Al-musyakhash) tanpa dilekati dengan presikat-predikat yang signifikan dan mencolok.

Namun, berdasarkan asumsi klaim tentang pluralitas realitas setiap entitas, maka
prfedikat-predikat pembeda yang signifikan itu juga tidak akan efektif menjadi pembeda
selama predikat-predikat itu maujud, dan selama setiap maujud adalah realitas atau
hakikat yang berlainan. Dengan kata lain, para filosof paripatetis menolak kemungkinan
pertama, karena pertama; ia meniscayakan ketersusunan suatu tealitas (dari spesis dan
sifat-sifat khas); kedua, sifat-sifat khas adalah juga realitas. Berdasarkan pluralitas
wujud, di samping ada perbedaan dia tara sifat-sifat itu, juga tiap-tiap sifat itu berbeda
dengan realitas subjeknya (Budi, Agus, Salim, dll).

Singkatnya, para penganut filsafat paripateik yang menganggap wujud sebagai ragam
realitas menolak prinsip gradasi, dengan beralasan bahwa, meskipun wujud beragam,
namun masing-masing berlainan secara esensial dan bersifat sederhana.43

43
Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba'ah, juz 1, hal. 36. Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981
Monisme
Ada sekelompok filosof dan sufi yang mentang pluralitas wujud. Masing-masing
memberikan alasan yang berbeda-beda. Para filosof yang menganggap wujud sebagai
satu realitas terpecah menjadi beberapa aliran sebagai berikut;

Kaum Sufi berpendapat bahwa hakikat wujud sejati dan "realitas" (wujud objektif,
entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi entitas-entitas lain
bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan "Wahdatul Wujud wal Maujud" atau
“Wahdatul Wujud wa Wahdatul Maujud” . Dengan kata lain, mereka menganggap Tuhan
sebagai satu satunya hakikat "ke-ada-an" sekaligus realitas objektif dari ke-ada-an atau
"yang ada". Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis fiktif.

Ad-Dawani berpendapat, "Wujud sejati" hanya ada pada dzat Allah. Sedangkan "Maujud
sejati" mencakup makhluk-makhluk. Karena itulah mereka mendukung ashalah al-
mahiyyah.

Prinsip wahdatul-wujud dalam filsafat Sadra ini melihat unitas wujud terbentang lebar
pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari Wajibul- wujud sampai ke
mumkinul wujud (contingent beings) yang beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya
melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah tasykik al-wujud atau graditas wujud
yang sistematis. Prinsip ini pada perkembangannya melahirkan gagasan kosmologis
Sadra yang spektakuler, yang tidak akan kita bahas di sini.

Latar belakang teori “Gardasi wujud” Sadra berkaitan dengan logika Aristotelian tentang
perbedaan antara dua jenis universalia atau pengertian yang mengandung konotasi
keberlakuan secara universal (al-kulli), antara al-kulli al-mutawathi (universal univocal),
seperti manusia (universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di
antara individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi "human-ness
(kemanusiaannya)" dan al-kulli musyakkak (universalia equivocal atau universalia
ambigu), seperti warna "putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang
ragamnya bergraditas; ada putih-nya saju, putih-nya kapas, dan sejenisnya. Titik
persoalannya adalah apakah al-kulli al-musyakkik -yang membawahi suatu esensi dengan
segala variannya- ini akan mengalami perubahan wujud ketika terjadi intensifikasi di
dalam dirinya ataukah tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana, apakah ketika warna
putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi "putih"nya juga berubah
atau tidak berubah? Apakah perbedaan graditas dalam satu esensi akan menyebabkan
esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya dahulu.

Mulla Sadra berpendapat, bahwa realitas-realitas wujud memiliki titik kesamaan dan
kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain, realitas-realitas wujud yang berlainan itu
satu. Namun perbedaan tersebut tidak meniscayakan ketersusunan sehingga tidak dapat
diuraikan menjadi genus dan defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan
gradasinya, sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu
namun kualitas pencahayaannya berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu
gradual dan bertingkat-tingkat.44 Mulla Sadra menganggap kesatuan (Al-wahdah) sebagai
pasangan intim ke-ada-an, sehingga setiap kali ada kesatuan, maka pasti di situ ada
wujud, dan begitu pula sebaliknya. Keduanya sama pula dalam keberlakuan atas person-
person objektifnya, sehingga bila kualitas wujud sesuatu lemah, maka kesatuannya juga
lemah, dan bila kesatuannya lemah maka ke-ada-annya juga lemah.45

Kali ini Mulla Sadra berseberangan dengan Ibn Sina. Ia, sebagaimana kaum
iluminasionis dan para urafa', mendukung prinsip kesatuan wujud, meski ia berbeda
dalam rinciannya. Mulla Sadra, mengemukakan teori "Al-Wahdah fi Ain Al-Katsrah",
yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai kesekutuan dan kesatuan yang
berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan
tersebut, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada pendapat Mulla Sadra tentang
pembagian wujud kepada mandiri (mustaqil) dan bergantung (rabith).

44
M. Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, 399-405, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
45
Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, As-Safar Ats-Tsani, hal. 100, juz 2, As-Ssafar Ats-tsalits, hal.
300, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981.
Namun, demikian mereka berbeda pendapat tentang beberapa tema dalam prinisp unitas
wujud. Misbah misalnya, beranggapan bahwa gradasi (Tasykik Al-wujud) hanya bersifat
vertikal (thuuli), karena gradualitas dalam wujud hanya bisa diinterpretasi dengan
kausalitas, sedangkan pada gradasi horisontal (At-tasykik Al-aradhi) relasi kausalitas
tidaklah ada. Sedangkan Jawadi Amuli meyakini dua macam gradasi (gradulitas) vertikal
dan horisontal sekaligus. 46

Pada mulanya pembagian ini hanya terjadi dalam logika klasik Aristetelian, yang
membagi universalia ke dalam universalia univok (al-kulli al- mutawathi’) dan
universalia equivok (ambigu, gradual, al-kulli al-musyakkik). Paripatetisme menerapkan
pembagian ini pada esensi maujud-maujud partikular, bukan esensi tunggal. Jadi, ketika
warna hitam meningkat atau kian kental dalam raga, misalnya, tidak ada perbedaan
dalam ke-hitam-an, tapi yang terjadi sebenarnya munculnya spesies baru hitam yang
menggantikan (meniadakan) spesies hitam sebelumnya. Iluminasionisme menolak
anggapan ini, karena esensi “kehitaman” itu memiliki jenjang entensitas, sehingga hitam
itu sendiri yang mengalami peningkatan dan pengentalan, bukan pergantian atau mutasi
eksistensial, sebagaimana dilontarkan Paripatetisme.

Bertolak dari pandangannya tentang unitas wujud dalam gradasinya, Sadra berpendapat,
bahwa hakikat "wujud' itu sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat, ambigu
atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan
tumbuh-tumbuhan lebih sempurna dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat,
karena ia memliki sifat berkembang, konsumtif dan produktif.

Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, karena ia,
selain memiliki sifat-sifat yang ada pada tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat
kesempurnaan lainnya, seperti berperasaan, bergerak dan berkehendak. Ia memberikan
sebuah contoh untuk mendukung hipotesanya. Menurutnya, benda padat, tumbuh-

46
M. Taqi Misbah Yazdi menolak argumen wujud rabith- yang dikemukakan Allamah Thabahabai, yang
dipertahankan oleh Jawadi Amuli, dengan alasan bahwa berdalil dengan menganalisa proposisi tidaklah
valid, karena pembahasan tentang proposisi ada di mantik dan tidak bersangkutan dengan realitas objektif.
Ia menganggap analisa prinsip kausalitas sebagai dalil valid atas keniscayaan wujud rabith
tumbuhan dan binatang sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada
pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat
gradual, ada yang kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski
semuanya adalah cahaya.

Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini keyakinan kaum Pahlavi, para filosof Iran
kuno47 yang beranggapan bahwa dari wujud tingkat tertinggi tak berhingga, sedangkan
wujud paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan tidak mandiri.

Para filosof Sadraisme sejak Sabzewari menganut trend 'Gradasi Wujud'. Pendapat kaum
paripatetis tentang pluralitas wujud yang dikemukakan oleh para filosof pra Mulla Sadra,
seperti Ibn Sina dan Al-Farabi, telah ditinggalkan dan hanya menjadi wacana diskusi.

Ada dua macam universalia ontologis yang menjadi cikal bakal teologi umum (al-ilahiyat
bi alma’na al-am), yaitu: 1) Kepastian ada, kepastian tiada dan ketidakpastian, 2) sebab
dan akibat.

Kepastian dan Ketidakpastian Eksistensial


Secara ontologis, konsep dapat dibagi menjadi dua;
Pertama, kepastian ada (Al-wujub). Yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu yang tidak
diakibatkan oleh sebab lain atau sesuatu yang ada secara pasti dan niscaya. Inilah yang
disebut dengan wajibul-wujud li dzatihi Dengan kata lain, ‘kepasti-ada-an’ adalah bentuk
hubungan niscaya antara subjek dan predikat.

Ada beberapa ciri khas ‘entitas wajib’ li zatih. Antara lain sebagai berikut:
1. Ekisistensinya tidak membutuhkan hubungan dengan selain diriNya. Seandainya
keberadaanNya berhubungan dengan selain diri-Nya, maka ia pasti lenyap saat
hubungan tersebut lenyap.
2. Eksistensinya sederhana. Seandainya tersusun, maka nisacaya ia bergantung pada
47
Sabzewari, Syarh Al-Manzhumah, 22-23, 43-44, juz 2, hal. 105, Instiyarat e Mostafawi, Qom. Mulla
Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz, 1, hal. 432, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. Ridha Ash-Sadr, Al-
Falsafah Al-Ulya, 90 M. Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, juz 1, 403-405, Muassasah An-Nasyr
Al-Islami, Qom. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-hikmah, 24-26, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
bagian-bagiannya dan berhubungan dengannya. Bagian-bagian –sebagai bagian-
bukanlah himpunannya –sebagai himpunan-. Seandainya bergantung pada selain
diriNya, maka ia adalah sesuatu yang mungkin, bukan wajib.
3. Ia bukanlah raga (jism), karena raga terdiri atas beberapa bagian, sedangkan
ketersusunan meniscayakan ketidakpastian, sebagaimana disebutkan dalam ciri
kedua diatas.
4. Ia bukanlah predikat yang melekat pada substansi, seperti warna dan bentuk,
karena predikat hanya ada apabila ada substansi yang menyandangnya.
5. Ia tidak berubah, sebab perubahan hanya akan terjadi dengan pengurangan atau
penambahan baik dalam substansi maupun dalam sifat-sifatnya.
6. Ia tidak berbilang, karena keterbilangan meniscayakan ketersusunan. 48

Kedua, kepastian tiada (Al-Imtina’). Yaitu kenir-ada-an yang tidak diakibatkan oleh
sebab selain dirinya, atau ‘sesuatu’ yang tiada secara pasti dan niscaya. Deangan kata
lain, kepasti-tiada-an adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.

Ciri khasnya ialah bahwa ‘sesuatu yang pasti tiada’ adalah yang tidak menyandang ciri-
ciri sesuatu yang wajib dan ciri-ciri sesuatu yang mungkin, seperti ia tidak memerlukan
sebab bagi ketiadaannya.

Ketiga, ketidakpastian ada dan tiada (Al-Imkan). Yaitu ke-ada-an sesuatu yang
diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan ketiadaannya
tidak pasti. inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li ghairihi. Dengan kata lain,
‘ketidak-pastian’ (Al-imkan) adalah bentuk hubungan tidak niscaya antara subjek dan
predikat.49

Ciri-ciri “yang tidak pasti adalah sebagai berikut:


1. Berposisi netral antara ada dan tiada. Ia tidak akan mengada atau meniada tanpa
sebab. Seandainya sesuatu yang mungkin mengada secara objektif tanpa sebab,
maka ia wajib, bukan mungkin. Seandainya ia meniada secara objektif tanpa
48
Al-Bahadili, Muhadharat, 228-229
49
Hasti Shenasi, hal. 83, The Imam Khomaini Education and Research Institute, Qom.
sebab, maka berarti ia mustahil (pasti tiada).
2. Kelanggengan wujud sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan
wujud sesuatu yang menjadi sebabnya. Dan kelanggengan ketiadaan sesuatu yang
mungkin bergantung pada kelanggengan ketiadaan sebabnya. Seandainya tidak
memerlukan dan tidak bergantung pada kelanggengan sebabnya, maka berarti ia
dapat mengada tanpa bergantung pada sebab, padahal ia bukanlah wajib dan
bukan pula mustahil. 50

Mulla Sadra membedakan dua pengertian imkan:


1. Imkan mahawi (esensial), yaitu imkan yang dilihat sebagai esensi yang berposisi
netral antara ada dan tiada.
2. Imkan faqri (eksistensial). Inilah terminologi temuan Mulla Sadra. Berdasarkan
prinsip ahal al-wujud yang dipegangnya, ia menganggap akibat (am’lul) tidak
memiliki eksistensi yang mandiri, bahkan hubungannya dengan sebab (illah)
bukanlah hubungan mutual, namun hubungan ketergantungan dan hubungan
‘membutuhkan’. Karena itu, eksistensi mumkin bukanlah pada dirinya sebagai
pihak yang berdiri sejajar denga sebab (sebagai wajib), namun terletak pada
esensinya yang selalu membutuhkan eksistensi sebab. Imkan dalam pengertian
demikian bukanlah sifat bagi esensi, sebagaimana imkan bagian pertama, namun
merupakan sifat bagi wujud yang senantiasa ‘bergantung’ dan membutuhkan.51

Dengan argumentasi tentang ‘imkan faqri’, Mulla Sadra mengantarkan kita kepada
sebuah proposisi prinsipal bahwa karena ‘entitas bergantung itulah, akal meniscayakan
adanya wujud yang mandiri yang pasti ada yang menjadi tumpuan kebutuhan mumkin
yang senantiasa faqir dan membutuhkan eksistensi.

Sebab dan Akibat


Hukum ini sangat penting dan fundamental, terutama dalam bidang epistemologi. Hal itu
karena beberapa alasan sebagai berikut:

M. Al-Bahadili, Muhadharat, hal. 224-225.


50

51
Mohsen Gharawian, Maqalat e Falsafi, 94, Moasseseh Amuzesyi wa Pezuhesyi ye Imam Khomaini,
Qom.
Pertama: Pengakuan terhadap hukum kausalitas merupakan landasan bagi pembuktian
eksistensi realitas material, bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan penolakan terhadapnya
meniscayakan keraguan mutlak dan kebodohan.

Kedua: Seandainya eksistensi materi bisa dibuktikan tanpa berlandaskan hukum


kausalitas, maka pengetahuan akan materi hanyalah pengetahuan sederhana. Hal itu
karena ilmu pengetahuan, sepereti fisika, kimia, biologi dan sebagainya, mengandalkan
observasi sensual terhadap patikal-partikal tertentu berulang kali. Dengan kata lain, sain
mengandalkan pengalaman. Generalisasi hukum empiris berdasarkan hukum kausalitas.
Tanpa dilandasai hukum kausalitas, generalisasi hukum empiris tidak akan pernah bisa
terjadi.

Ketiga: Penolakan terhadap hukum kausalitas meniscayakan penerimaan atasnya.52


Renungkanlah! Prinsip kausalitas adalah dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam
segala bidang pemikiran manusia. Ini karena pemaparan dengan bukti tentang sesuatu
berarti bahwa jika bukti itu benar, maka adalah sebab bagi mengetahui sesuatu itulah
yang merupakan objek pemaparan. Ketika kita membuktikan suatu kebenaran tertentu
dengan eksperimen ilmiah atau dengan suatu hukum filsafat atau dengan persepsi
inderawi sederhana, sebenarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab
diketahuinya kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum)
keniscayaan, tentu kita tidak dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita membuang hukum-
hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya sebab-sebab tertentu bagi
setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan antara bukti yang kita sandari dan
kebenaran yang kita usahakan mendapatkannya dengan bukti ini. Tetapi kemungkinan
bahwa bukti itu benar tanpa memandu ke hasil yang dikehendaki, karena hubungan
kausal antara bukti dan hasil, antara sebab dan akibat, itu telah terputus.

Demikianlah, menjadi jelas bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya
prinsip kausalitas. Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk

52
Al-Bahadili, Muhadharat, 138-141, Dar At-Ta’aruf, Beirut, 1986. .
menolak prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan, juga
berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari prinsip
tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujjah tertentu, tidaklah melakukan usaha itu,
kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujjah yang mereka sandari itu adalah sebab
yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi hal itu sendiri
adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu.53

Hubungan antara sebab dan akibatnya adalah hubungan eksistensial real (objektif). Bila
hubungan tersebut terjalin, maka ke-ada-an akibat menjadi pasti, ke-ada-an sebab
memastikan ke-ada-an akibatnya , dan ketiadaan sebab juga memastikan ketiadaan
akibatnya. 54

Sebab berdasarkan eksistensinya bermacam dua; 1) Sebab sempurna (Al-illah At-


tammah), yaitu sebab yang selamanya menjadi penyebab keberadaan seluruh akibatnya,
sehingga ia tidak ada, maka akibatnya pun seketika tidak ada. Keberadaan kausa
sempurna meniscayakan keberadaan akibatnya. Ketiadaannya juga meniscayakan
ketiadaan akibatnya. 2) Sebab tidak sempurna (Al-illah An-naqishah), yaitu sebab yang
hanya menjadi sebab dalam salah satu aspek keberadaan akibat. Keberadaan kausa tidak
sempurna tidak meniscayakan keberadaan akibatnya. Namun ketiadaannya meniscayakan
ketiadaan akibatnya.55

Sebab juga dapat dibagi dua; 1) Sebab singular, yaitu sebab bagi satu akibat.2) Sebab
plural, yaitu beberapa kausa bagi satu akibat, seperti panas yang merupakan akibat dari
serangkaian sebab; matahari, panas, gerak dan sebagainya.

Sebab juga dapat dibagi dua; Sebab sederhana (Al-illah Al-basithah). Yaitu kausa yang
tidak terangkai, Sebab tersusun (Al-illah Al-murakkabah). Yaitu kausa yang terangkai
53
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, 211, M. H. Qadrdan Qaramaleki, Asl e Illiyat dar Falasafeh
wa Kalam, hal. 83, The Center of Publication of The Office of Islamic Propagation of The Islamic
Seminary of Qom.
54
Sedangkan para filosof Barat, seperti David Hume, menganggap hubungan kausalitas sebagai hubungan
konseptual subjektif, tidak objektif.?
55
M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal. 204, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Ridha Ash-
Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, hal. 115, . ,
dari beberapa bagian. Ada kalanya sebab sempurna itu sederhana dan ada kalanya
terrangkai.56
Sebab juga terbagi dua beradasrkan pengaruhnya; 1) Sebab eksternal, yaitu sebab yang
ada di luar subjek (diri) akibat, yang disebut dengan sebab keberadaan (Illatul-wujud). 2)
Sebab internal, yaitu sebab yang ada dalam diri akibat, yang disebut dengan sebab
elementer. (Illatul-qiwam).57

Sebab juga dapat dibagi jarak hubungannya dengan akibat menjadi dua; 1) Sebab dekat
(Al-illah Al-qaribah). Yaitu kausa yang secara langsung berhubungan dengan akibat. 2)
Sebab jauh (Al-illah Al-ba’idah). Yaitu kausa yang berhubungan dengan akibat dengan
perantara sebab lain.

Ada empat macam sebab, menurut Aristoteles dan para filosof Timur; 1) Sebab material
(Al-Illah Al-Maddiyah), seperti batu, pasir dan semen untuk rumah. 2) Sebab formal (Al-
Illah Ash-Shuriyah), seperti gambar “rumah” yang akan dibangun dalam benak arsitek
atau pemilik. 4) Sebab final (Al-Illah Al-Gha’iyah), yaitu seperti tujuan dibangunannya
rumah. 3) Sebab efesien (Al-Illah Al-Fa’ilah), seperti tukang dan kuli bangunan yang
akan bekerja membangun rumah. 58

Kausa efersien (Al-illah Al-fa’iliyah, Al-illah Al-fa’ilah sebab pelaku) terbagi banyak.
1) Al-Fa’il bil-thba’i (pelaku natural), yaitu pelaku yang menciptakan
perbuatan (berbuat, bertindak), namun tidak menyadari perbuatannya,
seperti api yang ‘menghangatkan’.
2) Al-Fa’il bi Al-Qasr (pelaku natural determinan), yaitu pelaku yang
melakukan perbuatan dan tidak menyadarinya, namun bertentangan

56
Ridha Al-Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, 116. The Center of Publication of The Office of Islamic
Propagation of The Islamic Seminary of Qom.
57
Ridha Al-Shadr, Al-Falsafah Al-Ulya, hal. 117, The Center of Publication of The Office of Islamic
Propagation of The Islamic Seminary of Qom. Mulla Sadra, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 126, Dar At-
Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. Muhammad Husein M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, 205,
Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
58
Asl e Illiyat, Dr. Qadardan M., 57-64, Kamus Filsafat, 194-195, Muhammad Husein M. H. Thabathabai,
Nihayah Al-Hikmah, hal. 201-216, The Center of Publication of The Office of Islamic Propagation of The
Islamic Seminary of Qom.
.
dengan naturnya, seperti batu yang terbang ke atas, karena dilemparkan.
3) Al-Fa’il bi Al-jabr (pelaku terpaksa), yaitu pelaku yang mengetahui
(menyadari) perbuatannya namun tidak menghendakinya, seperti
perbuatan yang dilakukan seseorang akibat penindasan atau tekanan
orang lain.
4) Al-Fa’il bi Arl-Ridha (pelaku dengan sukarela), yaitu pelaku yang
mengetahui secara detail perbuatannya serta menghendakinya.
Pengetahuan detail (Alilm At-tafshili)-nya adalah (akan perbuatan
tersebut) adalah perbuatan itu sendiri dalam kenyataannya.
5) Al-Fa’il bi Al-Qashd (pelaku dengan rencana). Yaitu pelaku yang
mengetahui secara detail perbuatannya dan menghendakinya, namun
pengetahuan detail-nya mendahului perbuatannya karena faktor lain,
seperti perbuatan manusia yang bersifat ikhtiari.
6) Al-Fa’il bi Al-Inayah, yaitu pelaku yang telah mengetahui secara detail
akan perbuatannya sebelum perbuatan itu sendiri, dan pengetahuannya
adalah sesuatu di luar dirinya, dan bahwa pengetahuannya tersebut adalah
penyebab bagi terjadinya perbuatannya, seperti seseorang di atas pucuk
tebing yang membayangkan akan jatuh lalu jatuh karena
membayangkannya.
7) Al-Fa’il bi At-Tajalli, yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan
mengetahuinya secara detail, bahkan pengetahuan detailnya (tentang
perbuatan tersebut) tidak lain adalah pengetahuan umum pelaku tentang
dirinya, seperti pengetahuan detail Allah tentang segala sesuatu yang
merupakan pengetahuan detail. 8) Al-Fa’il bi Al-Taskhir, yaitu pelaku
yang mana ia (pelaku sendiri) dan perbuatannya adalah untuk atau miliki
pelaku lain, seperti daya atau potensi-potensi natural dan hewani yang
diciptakan dan untuk jiwa manusia.

Thabatabai menganggap sebagian dari sembilan sebab efesien di atas tidak perlu
dimandirikan secara terpisah, karena, menurutnya, ada pelaku yang bila dicermati masuk
dalam kategori pelaku lainnya, seperti Ál-fail bil-inayah, yang semestinya masuk dalam
kelompok Al-fa’il bil-qashd, demikian pula Al-fa’il bil-jabr (pelaku terpaksa), yang
sejatinya tidak keluar dari Al-fa’il bil-qashd, karena pelakunya, kendati dipaksa,
melakukannya dengan ikhtiar.59

59
M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, Daftar e Tablighat, 222-224, Ridho Al-Shadr, Al-Falsafah Al-
Ulya, Daftar e Tablighat, 119, Th-Thusi, Syarh Al-Isyarat, juz 3, hal. 11-12, Al-Haidari, 1336 H. Mulla
Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 2, hal. 191-194, Dar At-Turats Al-Arabi, Beirut, 1981. Ali Syirwani,
Syarh Al-Mushtathalahat Al-Falsafiyah, hal. 261-265.
Rabith dan Mustaqil
Mulla Sadra membagi wujud dapat dibagi dua; mustaqil (mandiri) dan rabith (tidak
mandiri).

Wujud Mustaqil
Yaitu realitas yang menjadi substansi eksistensial. Entitas atau realitas yang memiliki
wujud mandiri wujud mandiri hanyalah satu yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima,
sedangkan wujud selainNya hanyalah 'wujud bergantung' atau relatif.

Wujud mandiri bermacam dua; 1) Wujud mandiri yang ada dengan sendirinya atau untuk
dirinya. Yaitu wujud yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya sendiri, seperti spesies-
spesies substansial yang meliputi manusia, kuda dan sebagainya. 2) Wujud mandiri yang
ada untuk selain dirinya. Yaitu yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya juga menegasi
ketiadaan dari sesuatu yang lain, atau menolak ketiadaan yang melekat atas quiditas
dirinya, seperti wujud 'sebab', seperti wujud 'ilmu' yang menolak ketiadaan (ketiadaan
ilmu) dari dirinya juga menolak kebodohann yang merupakan ketiadaan yang melekat
atas penyandangnya (substansi yang menyandang ilmu, Budi, mislanya).60

Wujud Rabith
Yaitu realitas yang berfungsi sebagai predikat yang bergantung pada substansi. Ia
bermacam bermacam dua; 1) Maujud atau entitas bergantung yang berdiri di antara dua
sisi, yang disebut dengan Al-Wujud Al-Maquli, seperti wujud relasi-relasi (Al-idhafat wa
an-nisab). 2) Maujud Wujud bergantung yang berdiri pada satu sisi semata, yang disebut
dengan Al-wujud Al-ma'luli, seperti wujud 'akibat' bila dikaitkan dengan sebabnya.

Untuk bergantung pada wujud mandiri, wujud tak mandiri tidak memerlukan adanya
penghubung beruapa wujud ketiga. Artinya, ada suatu ikatan atau relasi di antara kedua
wujud tersebut, namun tidak berupa wujud lain yang menjadi perantara. Seandainya
hubungan wujud tak mandiri dengan wujud mandiri diperantartai oleh wujud lain, maka
ia (wujud ketiga yang diasumsikan sebagai perantara tersebut), karena berupa wujud yang
60
M. H. Thabathabai, Nihayah Al-hikmah, hal. 40, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. Ridha Ash-
Shdar, Al-Falsafah Al-Ulya, hal. 90, Maktab Al-I’lam Al-Islami, Qom..
tak mandiri, memerlukan wujud keempat yang juga tidak mendiri sebagai penghubung,
dan begitulah seterusnya. Hubungan atau Ar-rabth (bukan wujud ketiga yang menjadi
penghubung atau rabith) ada dalam dua wujud tersebut; mandiri dan tak mandiri.61

M.T. Misbah Yazdi menolak argumen Al-wujud Al-rabith yang dikemukakan oleh
Thabathabai yang dipertahankan Jawadi, dengan alasan bahwa berdalil dengan
menganalisa proposisi tidaklah valid, karena filsafat tidak berurusan dengan proposisi, Ia
menganggap analisa prinsip kausalitas sebagai dalil valid atas keniscayaan al-wujud al-
rabith. Secara falsafi, setiap proposisi menurut Misbah, terdiri dari tiga elemen; subjek,
predikat dan kopula (pengubung). Allamah dan Jawadi menolak kopula dalam proposisi
negatif, propsisi yang bermuatan predikasi ontologis (al-haml al-awwali) dan proposisi
ontologis sederhana (al-halliyah al-basitah). Gholam Hosein Ibrahimi Dinani menolak
anggapan ini. Menurtnya, Wujud dalam ontologi Sadraisme juga terbagi dua; al-wujud
ar-rabith (eksistensi bergantung, tidak mandiri, wujud aksidental) dan wujud al-mustaqil
(wujud mandiri, wujud substansial).

Wujud Rabith berfungsi sebagai infrastruktur sistem kosmik. Tanpa wujud rabith,
sistemm eksistensi tidak akan pernah dipahami oleh manusia. Seseorang yang hendak
memahami alam eksistensi tanpa wujud rabith hanya akan menangkap serangkaian
konsep yang acak. Tanpa wujud rabith, kita tidak akan bisa mensandingkan konsep
(sebagai subjek) dengan konsep lain sebagai predikatnya. Wujud rabith berfungsi
menyadarkan kita akan pola relasi kita dengan Sang Pencipta. Mulla Sadra melukiskan
semua maujud di alam imkan sejak malak hingga malakut sebagai ‘kebergantungan’
(rabth) itu sendiri. Jatidiri maujud-maujud mumkin terletakm pada ‘kebergantungan’
pada Sebab Pemilik, sebagai wujud yang mandiri.62

Sebagian filosof Sadraisme membagi wujud sejati menjadi dua;

Thabathabai,Nihayah Al-hikmah, 38, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, Dr. Gholam Hosein Ibrahimi
61

Dinani, .Wujud e Rabith va Mostaqel, hal. 234, Syerkat e Sahami ye Intisyar..


62
Gholam Hoesin Ibrahimi `Dinani, Wujud Rabith wa Mustaqil, hal. 157, Sterkat e Sahami ye Entesyar,
1. Wujud dalam dirinya (wujud fi nafsihi). Ia juga disebut dengan tharaf Al-rabth
dan wujud fi nafsihi qa'im bi An-nafs. Pemiliki wujud ini disebut al-maujud la-
mustaqil.
2. Wujud dalam selain dirinya (wujud fi ghairihi). Ia juga disebut dengan Ain Al-
rabth dan wujud fi ghairihi qa'im bil- ghair Pemiliki wujud demikian disebut al-
maujud al-rabith.63

Ada dua sebutan yang mirip namun harus dibedakan karena mengandung dua pengertian
yang berbeda, yaitu:
1. Al-wujud Ar-rabithi. Yaitu sesuatu yang wujud dalam dirinya adalah wujud itu
sendiri dalam selain dirinya, namun pengertian wujud yang dimilikinya adalah
wujud yang mandiri. Ia juga disebut dengan al-wujud al-ismi.
2. Al-wujud Ar-rabith. Yaitu sesuatu yang wujud dalam dirinya tidak mandiri. Ia
juga disebut dengan al-wujud Al-harfi.64.
Gerak dan Tidak Gerak
Entitas objektif juga dapat dibagi dua;
1. Entitas bergerak (dinamis, Al-mawjud Al-Mutaharrik).
2. Entitas menetap (statis, al-mawjud As-sakin).
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, kaum materialis dialektik beranggapan
bahwa gerak, dengan semua ragamnya, adalah akibat dari kontradiksi internal dalam
setiap benda. (An-nazhariyah al-maddiyah fil-ma’rifah, 92). Sedangkan kaum, spiritualis
membagi setiap entitas menjadi dua; entitas bergerak (dinamis, muajud mutaharrik) dan
entitas statis (maujud tsabit).

Definisi ‘gerak’
Gerak telah dididefinsikan dengan beberapa macam.
1. Definisi kaum spiritualis, yaitu perpindahan dari potensi ke aksi secara bertahap.
Kaitan ‘bertahap’ ditambahkan dalam definisi ini demi mengeluarkan

63
Asy-syarh Al-mabsuth li Al-manzhumah, juz 3, 17, Syarh Al-manzhumah, juz 3, hal. 13, ibid, hal. 61,
Estelahat e Falsafi, 257).
64
Mulla Zabzewari, Syarh Al-Manzhumah, hal. 61, Sajjafi, Farhang Ulum e Aqli, hal. 620, Anjoman e
Islami Hekmat wa Falsafeh Iran, 1361 Hsy., Ali Syirwani, Estelahat e Falsafi, 260, Daftar e Talighat e
Islami, Qom.
perpindahan secara drastis satu kali. Namun definisi ini bermasalah, karena ia
tidak mencakup gerak vertikal degradatif (Al-harakah ath-thuliyah an-nuzuliyah).
2. Definisi kaum materialis, yaitu pertentangan internal antara materi-materi alam.
(Teori Materialisme dalam pengetahuan, Roger Garaudy, 92).

Dua Macam Gerak


Gerak juga terbagi dua;
1. Gerak vertikal.
2. Gerak horisontal.

Dua macam gerak vertikal


Gerak vertikal bermacam dua;
1. Gerak vertikal menanjak atau promosional atau transendental (Al-harakah
Althulliyah Al-shu’udiyah. Yaitu yaitu gerak menuju kesempurnaan, seperti
‘keberkembangan’ dalam raga-raga yang berkembang, atau proses kesempurnaan
intelektual dan moral manusia. Dengan kata lain, gerak promosional transendental
adalah gerak eksistensial sebuah ‘entitas bergerak’. Gerak demikian adalah
semata-mata keberadaan yang ditimpali dengan keberadaan.
2. Gerak vertikal menurun (Al-harakah Al-Thuliyah Al-nuzuliyah). Yaitu gerak
menuju kekurangan atau degradasi ke belakang dan ke bawah.

Gerak demikian adalah ketiadaan yang ditimpali dengan ketiadaan sebelumnya.

Lawan ‘gerak degradasional’ adalah ‘kebertinggalan’ atau stagnasi (as-sukun)yang


berarti kelestarian dalam kesempurnaan yang telah tercapai, karena ia ketiadaan tiada,
yang berarti keberadaan.

Gerak horizontal
Pasangan ‘gerak vertikal’ adalah ‘gerak menyamping’ atau gerak horizontal. Ia adalah
pergerakan dari suatu situasi ke situasi lain yang masing-masing sama atau sejajar dalam
kualitas kesempurnaan, sehingga pergerakan tersebut tidak meniscayakan kekurangan
maupun kesempurnaan, seperti gerak transportatif (al-harakah al-intiqaliyah) atau gerak
posisional (al-harakah al-wazh’iyah).

Gerak semacam ini hakikatnya adalah ketiadaan yang berseiring dengan ketiadaan atau
‘pemakaian’ dan ‘pelepasan’ (lubs wa khul’).

Lawannya adalah stagnasi (as-sukun) yang tidak mengalami ‘pemakaian’ (keberadaan)


dan sekaligus ‘pelepasan’ (ketiadaan).

Gerak horizontal adalah gerak non eksistensial (fuqdan) dan eksistensial (wujdan). (al-
falsafah Al-ulya, 191, 193).

Gerak Berantara dan Gerak tak Berantara


Para ahli ontologi membagi gerak, dari aspek isinya, menjadi dua;
1. Gerak berantara atau perperantara (Al-harakah At-tawasuthiyah). Yaitu
entitas yang berada antara awal dan akhir, sehingga apabila diandaikan ia
berada di salah satu dari batas-batas jarak yang ditempuhnya, ia tidak berada
di batas sebelumnya dan tidak juga berada di batas setelahnya. Itu berarti
‘ke-berantara-an’ adalah sesuatu yang ada secara objektif, karena ia adalah
tetap dan tidak mengalami kebaharuan (pembaruan) dan tidak berjenjang.
Kerbaruan (At-tajaddud) dan keberjenjangan (At-tadarruj) dilihat dari sisi
relasi-relasi yang secara bersusulan berhubungan dengan setiap batas jarak
yang ditempuh. Relasi-relasi (An-nisab) di luar ‘keberantaraan’ (At-
tawassuth), ia sederhana, tidak terbagi dan tidak mempunyai bagian.
2. Gerak tak berantara (Al-harakah Al-qath’iyah). Yaitu entitas yang yang
dibayangkan berupa garis memanjang dan bersambung sebagai akibat dari
gerak berantara. Garis tersebut kian bertambah setiap saat. Ia adalah ukuran
yang mengalir dan tidak stabil (sayyal ghairu qar), seperti garis yang
memajang (memuai) dari turunnya tetesan hujan yang turun dari langit. (Al-
falsafah Al-ulya, 193).
Elemen-elemen gerak
Gerak terdiri atas enam elemen yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai berikut:
1. Penggerak. Karena gerak adalah hakikat yang relatif (berkaitan dengan
sesuatu di luar dirinya), maka berarti gerak berada di antara dua pihak; pihak
pemberi gerak (penggerak, al-muharrik), dan pihak penerima gerak (yang
bergerak, al-mutaharrik).

2. Karena gerak adalah sebuah fenomena kosmologis, maka ia tidak akan ada tanpa
sebab efesien (sebab pelaku, al-illah al-fa’ilah). Penggerak adalah kausa efesien
bagi gerak, meski bukan kausa sempurna (al-illah at-tammah).

3. Yang bergerak. Ia juga disebut sebagai ‘subjek gerak’. Karena gerak adalah
predikat yang melekat pada sesuatu, dan karena sifat adalah hakikat yang
tidak bisa berdiri sendiri, maka gerak tidak akan ada tanpa pelaku gerak (al-
mutaharrik).
4. Titik awal atau prinsip (al-mabda’). Karena gerak, sebagaimana disebutkan
di atas, adalah sebuah predikat bagi sesuatu, maka ia pasti didahului dengan
ketiadaan. Ketiadaannya terjadi dalam salah satu dari dua proses; Pertama,
dirinya (gerak) tiada ketika subjeknya (subjek gerak) ada. Kedua, gerak tiada
ketika subjeknya tiada. Itu berarti gerak bermula. Ketika gerak akan ada
atau bermula, maka berarti gerak berprinsip.
5. Titik akhir. Yaitu menjadi titik pemberhentian gerak. Begitu gerak berakhir,
maka seketika terjadi atau bermula-lah stagnasi (as-sukun). Ada kalanya titik
awal (al-mabda’) dan titik akhir (al-muntaha) bertemu dalam sebagian gerak,
sebagaimana dalam gerak-gerak siklus.
6. Pola gerak (ath-thariq). Cara gerak terdiri atas kategori-ketegori, yang
apabila ia beragam maka beragam pula geraknya. Apabila kategorinya
kualitatif, maka gerak terjadi secara kualitatif. Apabila kategorinya
kuantitatif, maka gerak terjadi secara kuantitatif.
7. Waktu gerak. Karena gerak adalah entitas kosmik yang tidak tetap, dan
karena kontak terus menerus harus selalu ada dalam entitas-entitas kosmik
tersebut, maka gerak termasuk salah satu dari macam-macam ukuran, dan
karena ukuran bisa dibagi, maka ia memelukan pengukur. Pengukur gerak
adalah waktu. Karenanya, setiap gerak bermasa selalu.

Kausa efesien gerak


Kausa efesien (sebab pelaku) gerak bermacam tiga;
1. Sebab pelaku natural (al-illah al-fa’ilah ath-thabi’iyah). Yaitu penggerak
yang merupakan karakteristik ‘sesuatu yang bergerak’ yang tak berperasaan.
2. Sebab pelaku instingtif (al-illah al-fa’ilah al-iradiyah). Yaitu kehendak yang
menjadi penyebab gerak.
3. Sebab pelaku determinan (al-illah al-fa’ilah al-qasriyah). Yaitu sesuatu di
luar subjek yang menjadi penyebab gerak. (al-falsafah Al-ulya, 191, 193)

Gerak dan kategori-kategori


Sebagaimana kita ketahui bahwa kategori secara umum dapat dibagi dua; aksiden-
aksiden yang berjumlah sembilan dan sebuah substansi. Berdasarkan kaitannya dengan
gerak, seluruh kategori (Al-maqulat) dapat dibagi tiga bagian.

Bagian pertama terdiri atas kategori-kategori yang mengalami gerak. Yaitu kuantitas (al-
kam) seperti pertumbuhan, kategori kualitas (Al-kaif) seperti gerah dari merah muda ke
merah tua, kategori posisi (Al-wazh’) seperti gerak dari posisi berdiri ke posisi duduk,
kategori tempat (Al-ain) seperti pergi dan kembali.

Bagian kedua terdiri atas kategori-kategori yang tidak mengalami gerak. Yaitu aksi (Al-
fi’l), kategori reaksi (Al-infi’al), kategori waktu (Mata), kategori relasi (Al-izhafah), dan
kategori pemilikan (Al-jidah).

Bagian ketiga adalah ketegori yang diperselisihkan. Yaitu substansi.

Para filsuf kuno beranggapan bahwa substansi tergolong kategori yang tidak mengalami
gerak, sebab substansi meniscayakan lenyapnya subjek gerak, yaitu ‘yang bergerak’,
karena ‘yang bergerak’ dalam semua kategori yang mengalami gerak adalah substansi.
Seandainya substansi menjadi rute gerak, maka niscaya gerak terjadi atau menjadi ada
tanpa ada ‘yang bergerak’ sebagai subjeknya, pahal itu mustahil, karena rute gerak
substansial adalah substansi sendiri, bukan lainnya. (Al-falsafah Al-ulya, 201-203).

Sedangkan Mulla Shadra beranggapan bahwa substansi mengalami gerak. Itulah


sebabnya, ia dikenal karena panadangannya yang spektakuler tentang ‘gerak substansial’
(Al-harakah Al-jawhariyahi). Gerak substansial sangat perlu untuk diketahui.

Gerak Substansial
Gerak substansial, yang dimaksud Mulla shadra, adalah adalah perjalanan (perpindahan)
dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute bagi diri
substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut. Jadi, yang bergerak
(Al-mutahharik) dalam semua macam gerak adalah substansi, bukan selainnya.
Contohnya adalah gerak yang dialami makanan. Asumsikan bahwa substansi yang
dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat, ia bergerak menuju kesempurnaan
ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan substansi berkembang. Ia melanjutkan
prosesnya dan menanjak dalam peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai
peringkat tertinggi. Tahap berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang
merupakan gerak dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan
menjadi substansi insani. Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari
sperma ke binatang adalah gerak substansial. (Al-falsafah Al-ulya, 202-206).
Entitas sensual dan entitas non sensual
Dalam pembagian terakhir, entitas dapat dibagi dua;
1. Entitas terinderakan (Al-maujud Al-mahsus), yang lazim disebut Al-maujud
Al-maujud Al-maddi. Ia disebut juga dengan materi, lebih tepatnya adalah
raga.
2. Entitas ternalarkan atau entitas tak terinderakan, yang lazim disebut Al-
maujud Al-ma’qul atau Al-maujud Al-mujarrad. Ia disebut juga dengan non
materi. (Al-falsafah Al-ulya, 229-230).
Salah satu dari entitas tak terinderakan adalah pengetahuan. Para filsuf ontologi Islam
menganggap pengetahuan sebagai sebuah maujud yang abstrak, dan karenanya ia tak
terpisahkan dari ontologi.

Esensi Substansial dan Esensi Aksidental


Dalam ontologi, esensi dapat dibagi berdasarkan penyandangannya menjadi dua:
Pertama : Substansi (penyandang). Yaitu substansi yang menyandang aksiden atau
sesuatu yang dilekati oleh entitas-entitas non substansial lainnya, seperti kaegori
“manusia” yang merupakan sebuah substansi yang menyandang “gembira”, “di
Surabaya” dan “kemarin”. Ia diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai “jauhar”.

Substansi, menurut sebagian besar para filsuf ontologi, 65 ditinjau dari eksistensinya
terbagi menjadi lima: 1) Forma, (Ash-Shurah), yaitu tampilan khusus seseuatu, seperti
gambar (tampilan) manusia, pohon, dan sebagainya. 2) Materia (Al-Maddah), yaitu inti
setiap entitas dan mengenakan forma, seperti benda kayu dalam tampilan kursi, benda
katun dalam forma kemeja, dan sebagainya. Raga. 3) Raga (body, Al-Jism) yaitu entitas
(sesuatu) yang terdiri atas benda dan forma. 4) Jiwa (An-Nafs, Ar-Ruh, spirit), entitas
non bendawi namun berhubungan (bersambung) dengan raga material dan bekerja di
dalamnya secara misterius. 5) Akal (intelek), yaitu substansi unik yang mempunyai
kemampuan untuk memahami dengan perantara benda, dan kadang kala tanpa
perantaranya. 66

65
Para ahli logika membagi universalia substansial menjadi terbagi tiga: 1) Spesies (An-Nau’), yaitu
universalia yang terdiri atas genus dan difrentia (ciri pembeda), seperti “manusia”. 2) Genus (Al-Jins), yaitu
universalia yang lebih luas dari spesies, seperti “hewan” yang berlaku atas manusia dan Bambang dan
kuda. 3) Diffrentia (Al-Fashl), yaitu ciri khas inheren yang membedakan antara sebuah spesies dan spesies
lainnya, seperti “berakal” bagi manusia, atau “menggonggong” bagi anjing.
66
Namun, ada pola pembagian substansi yang lebih ringkas, yaitu materi dan non materi. Materi bermacam
dua; materia (hyle, al-huyula) dan forma, sedangakn non materi bermacam dua; jiwa (An-anfs) dan inetelek
(al-aql).
Kedua :Aksiden (sandangan). Yaitu pengertian yang disandang oleh substansi.
Berdasarkan penerapannya, terbagi dua: 1) Aksiden umum (common accident, Al-Aradh
Al-Am), yaitu ciri khas yang tidak menjadi bagian inheren dalam persona, seperti
“berjalan” bagi manusia, yang juga ada pada spesies lain, anjing, misalnya. 2) Aksiden
khusus (proper accident, Al-Aradh Al-Khash), yaitu ciri khas yang menjadi bagian
inheren dalam persona, namun hanya bersifat kondisional dan efeksional, seperti “dapat
menjadi heran”, karena heran hanya ada pada spesies manusia.

Para ahli logika kuno mempunyai cara dan versi pembagian lain, yaitu memasukkan
substansi dan aksiden dalam “kategori-kategori”. Kategori (Al-Maqulat) berasal dari
bahasa Yunani kategoria, yang disusun dari kata kata dan agoreuein, dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab dengan Al-maqulat. Ia adalah arti-arti abstrak dan konsep primer
yang sederhana (tak tersusun). Kategori bisa diartikan sebagai ‘pernyataan”

Aristoteles, bapak Logika, menyebutkan 10 kategori. Semua entitas yang berbentuk


substansi termasuk dalam kategori pertama, sedangkan sembilan kategori lainnya hanya
untuk entitas yang berupa aksiden (non subtansial). 9 kateori aksidental
adalah sebagai berikut:
1. Kuantitas (Al-Kammiyah), yaitu jumlah atau besaran, baik yang bersambung
(geometri) maupun yang tak bersambung (hitung).
2. Kualitas (Al-Kaifiyah), yaitu sifat-sifat sensual eksoteris, seperti rasa, warna,
aroma, dan sesual secara esoteris, seperti dugaan dan perasaan.
3. Relasi (An-Nisbah, Al-Idhafah), yaitu hubungan antara sesuatu dengan sesuatu
lain dengan membandingkan hubungan lain, seperti seorang wanita adalah ibu
dengan relasi anak, sekaligus anak dengan relasi ibu.
4. Posisi (Al-Wadh'), yaitu keadaan tertentu dalam realitas, seperti berdiri, duduk,
dan sebagainya.
5. Lokasi (Al-Makan), yaitu tempat yang menjadi ruang sebuah benda berada,
seperti (ia berada) di rumah, di pasar, dan seterusnya.
6. Durasi (Az-Zaman), yaitu jarak waktu yang menjadi tempo sebuah benda berada,
seperti “(ia tidur) tadi, besok, dan seterusmya.
7. Possesi (Al-Milkiyyah), yaitu kepemilikan, seperti “rumah Agus”, “uangku”, “Ia
punya mobil”, dan sebagainya.
8. Aktus (Al-Fi'liyah), yaitu kegiatan atau tindakan, seperti “(dia) meruncingkan
(pensi)”, “(aku) membangun (rumah)”, dan sebagainya.
9. Pasi (Al-Infi'aliyah), yaitu keterpengaruhan atau kependeritaan akibat sesuatu
oleh sesuatu yang lain, seperti “setelah kuobati, rasa sakitnya hilang”, “ia muntah
karena mabuk perjalanan”, dan sebagainya.67

67
Hasti Syenasi ye Islami, hal. 141-142, The Imam Khomeini Education and Reasearch Institute, Qom,
Iran, 1997
Substansi Material dan Substansi Immaterial
Setelah membagi esensi (al-mahiyah) menjadi dua, substansi (al-hawhar) dan aksiden (al-
arazh), ontologi membagi substansi menjadi dua materi dan non materi.

Pengertian ‘materi’ ini sekurang-kurangnya dapat dipisahkan menjadi dua kelompok


pengertian yang mencakup pengertian ‘materi’ yang dikemukakan sebelum
berkembangnya ilmu fisika modern dan pengertian yang dikemukakan setelah
berkembangnya ilmu fisika modern. Dewasa ini pengertian materi pada umumnya
diartikan semakna seperti yang dimakudkan Thomas Aquinas sebagai materia sekunda
tersebut. Herndaknya dimaklumi bahwa selama ini para filosof belum mempunyai
pendapat yang sama mengenai signifikansi dari materi atau benda material ini. Oleh
karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every thing that is, is material.”
(Setiap sesuatu apapun yang ada itu bersifat material) selama ini masih mempunyai
cakupan arti yang bermakna ganda.

Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka kemudian materi atau benda material
tersebut didefinisikan sebagai peradaan yang terdiri dari bagian-bagian proses yang
mencakup berbagi kualitas fisis. Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan
waktu, ukuran, bentuk, kealaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan listrik,
gerak (spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness). 68
68
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah materi (matter) ini menjadi populer terutama pada
masa skolastik, setelah Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Beliau
mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda. Yang dimaksudkan
dengan materi prima (prime matter) atau hyle adalah potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian
positif apapun. Hyle atau materia prima ini akan merupakan barang sesuatu tertentu yang bereksistensi
dengan cara bersatu dengan bentuk atau morph. Gabungan antara hyle dan morph inilah yang kemudian
dapat diidentifikasi sebagai mislanya saja emas, preak, atau yang lainnya. Dan gabungan antara hyle dan
morph sebagai bentuk substansial (bentuk yang menyebabkan barang sesuatu menjadi barang sesuatu
tertentu) yang demikian ini digolongkannya sebagai materia sekunda. (Rudolf Allers, 1975). Daftar kualitas
fisis tersebut masih bersifat terbuka bagi penambahan, namun yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa
semuanya itu terdiri atas berbagai ciri yang merupakan objek ilmu fisika. (Keith Campell, 1967). Secara
singkat, sifat-sifat fisis tersebut dapat diungkapkan sebagai: sifat publik, sifat dapat dikontrol, non mental,
alami, atau tercerap indera. Pernyataan-pertanyaan seperti “apa yang terhitung sebagai suatu peradaan
fisis?” dan “apa yang terhitung sebagai milik dari kebanyakan peradaan fisis tersebut?” tidaklah
dikemukakan jawabannya yang pasti. Konsekuensi dari kenyataan tersebut, jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan: “apakah suatu benda material tersebut?” dan “apakah yang dimaksudkan oleh materialisme
dengan ‘materi’ tersebut?” juga tidak mendapatkan jawaban-jawaban yang pasti pula. Yang jelas, dapatlah
dikemukakan bahwa kesadaran, ketertujuan, aspirasi, dan kecakapan mencerap atu mengindera tidaklah
tergolong kualitas materi tersebut. Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas, uraian Louis Kattsoff
(1953) yang mengkaitkan pengertian materi dengan pengertian evolusi yang akan dikutip berikut ini perlu
Agar dapat membedakan materi dan non materi, kita perlu mengenali ciri-ciri khas materi
sebagai berikut: 1) Materi Ia berada dalam tiga dimensi dan terdiri atas tiga garis bersiku.
2) Materi terinderakan. 3) Materi mengisi ruang. 4) Ia memanjang dalam tiga arah. 5)
Materi berakhir dan terbatas. 6) Materi memiliki berat. 7) Ia bertempat. 8) Materi Ia
berada dalam posisi tertentu. 9) Materi dapat dibagi secara natural maupun rasional.69

Berdasarkan penelitian sain, telah diketahui bahwa materi dan energi adalah dua forma
bagi satu kuantitas fisik, yang apabila muncul sejumlah energi, maka kemunculannya
sama dengan perubahan materi dalam jumlah yang sama, demikian sebaliknya. Atas
dasar penemuan ini, maka sifat-sifat padat, cair dan gas, mengisi ruang dan sebagainya
hanyalah aksieden-aksiden yang baru melekat benda.
Realitas immaterial, dalam ontologi Timur dan Islam, bermacam dua; 1) Realitas interval
atau realitas ideal. Yaitu realitas immaterial yang memberikan pengaruh-pengaruh
material, seperti bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya, yang lazim disebut alam al-
barzarkh dan alam al-mitsal. 2) Realitas abstrak. Yaitu realitas immaterial yang tidak
memberikan pengaruh-pengaruh material sama sekali, yang lazim disebut dengan alam
at-tajarrud, alam al-aql atau alam al-uqul al-mujarradah. Realitas abstrak atau non-
materi (Al-mujarrad) adalah setiap sesuatu yang sama sekali tidak menyandang ciri-ciri
benda.70

Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling dekat dengan kausa prima atau prinsip
pertama (al-mabda’ al-awwal) adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki oleh
realitas interval atau realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah
realitas material, yang merupakan domain kekuarangan, keburukan dan ketidakpastian.
dimengerti dengan baik. Jika orang mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan istilah ‘materi’,
jawabannya mungkin berupa pengertian-pengertian kelestarian, sebab akibat, keadaan sebagai benda mati,
dan suatu kerangka ruang dan waktu. Dikatakan bahwa istilah ‘materi’ hendaknya dipakai untuk hal-hal
yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun yang bersifat mikroskopis. Dan inilah hal-
hal yang bersifat lestari dalam kerangka ruang dan waktu. Dikatakan pula bahwa pelbagai tingkatan
kenyataan perkembangan melalui proses yang rumit yang berasal dari materi dalam tingkatannya yang
lebih rendah. Meski demikian, pada hakekatnya evolusi merupakan pemolaan kembali, suatu penyusunan
yang baru dan yang lebih berliku-liku dari materi. Dalam hal ini tidak ada hal-hal lain yang terrsangkut.”
69
M. Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139-140, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
Ridha Ash-Shadr Al-falsafah Al-Ulya, hal. 170-177, Maktab Al-I’lam Al-Islami, Qom.
70
M. Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
Realitas dalam ontologi Islam, sebagaimana disebutkan oleh Thabatabai, bermacam tiga,
yaitu 1) Realitas material, yaitu realitas yang merupakan gabungan dari materi dan
potensi, yang lazim disebut dengan alam al-maddah wal-quwwah). 2) Realitas
immaterial, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan kemuliaan
dan kesempurnaan.

Realitas immaterial juga bermacam dua:


1. Realitas interval atau realitas ideal, yaitu realitas immaterial yang memberikan
pengaruh-pengaruh material, seperti bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya, yang
lazim disebut alam al-barzarkh dan alam al-mitsal. 2) Realitas abstrak murni,
yaitu realitas immaterial yang tidak memberikan pengaruh-pengaruh material
sama sekali, yang lazim disebut dengan alam at-tajarrud, alam al-aql atau alam
al-uqul al-mujarradah. Yaitu Realitas abstrak atau non-materi (Al-mujarrad)
adalah setiap sesuatu yang sama sekali tidak menyandang ciri-ciri benda.71
2. Realitas abstrak, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan
kemuliaan dan kesempurnaan, memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut: 1)
Maujud abstrak pasti adalah pengetahuan (al-Aql). 2) Setiap entitas abstrak pasti
adalah subjek pengetahu (al-aqil). 3) Setiap entitas abstrak pasti adalah objek
yang diketahui (Al-Ma’qul).

Tiga realitas atau tiga alam (al-awalim al-tsalatsah) tersebut diatas berkaitan secara
vertikal. Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling dekat dengan kausa prima atau
prinsip pertama (al-mabda’ al-awwal) adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki
oleh realitas interval atau realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah
realitas material, yang merupakan domain kekurangan, keburukan dan ketidakpastian.72

Khusus mengenai al-aql, perlu diketahui bahwa kata ‘aql’ berbeda dengan pengetahuan
atau al-ilm, karena al-ilm adalah entitas subjektif (al-mawjud az-zihni), sedangkan al-aql
adalah entitas objektif (al-mawjud al-khariji). 73
71
M.Taqi Misbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
72
M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal. 303, 303-304, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
73
Para filosof menyebutkan sejumlah entitas abstrak atau ‘objek pengetahuan’ (al-ma’qul), seperti
kefahaman (al-fahm), Al-hifzh (kehafalan), pengenalan (al-aql)
Ál-aql,dalam ontologi Sadraisme, melewati empat tahap sebagai berikut:
1. Al-aql Al-huyulani. Yaitu tahap ketika jiwa bebas dari semua entitas-entitas
‘ternalarkan’ atau entitas tak terinderakan, baik yang ekstemporal maupun yang
non ekstemporal. Tahap ini adalah tahap persiapan untuk meraih pengetahuan
badihi dan non badihi.
2. Al-Aql bil-malakah. Yaitu tahap ketika jiwa telah meraih pengetahuan-
pengetahuan (entitas-entitas tak terinderakan) badihi, baik yang masih konseptual
maupun yang telah menjadi assentual.
3. Al-aql bil-fi’l. Yaitu tahap ketika jiwa telah memproduksi pengetahuan-
pengetahuan non ekstemporal (aposterior) dari pengetahuan-pengetahuan
ekstemporal yang telah ia peroleh sebelumnya. Pada tahap ini entitas immaterial
abstrak mulai menyingkap sesuatu yang sebelum tidak ia ketahui.
4. Al-aql Al-mustafad. Yaitu tahap tertinggi ketika entitas abstrak (Al-aql) telah
melakukan penyimpulan (Al-istintaj) dari sejumlah pengetahuan-pengetahuan
badihi dan non badihi yang ada dalam dirinya. 74

74
Perlu diketahui pula, bahwa kata ‘abstrak’ telah dikonsumsi secara liar oleh kalangan di luar filsafat
sehingga mengalami distrosi dan reduksi substansial dalam pengertiannya. Kini ‘abstrak’ telah dipahami
secara populer dan secara non akademik sebagai sesuatu yang tidak jelas, tak bermakna dan kabur. Tentu
fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran materialisme yang menolak eksistensi realitas non
material, sebagaimana perkatan “it s does ’nt matter” (itu bukanlah benda yang diartikan “tidak ada’ atau
‘sepele’) dalam percakapan Inggris populer, demikian juga kata ‘fakta’ dan ‘realitas’ atau ‘kenyataan’ yang
telah diadopsi secara tidak fair untuk arti yang menyimpang dari pengertian substansialnya dan artikan
sebagai ‘fakta empiris’, realitas material‘ dan ‘kenyataan yang terinderakan’. Ridha Ash-Shadr, Al-
Falsafah Al-ulya, 241, Al-Iji, Syarh Al-Mawaqif, juz 6, hal. 43, Instisyarat e Razi, Qom. .

Anda mungkin juga menyukai