Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari
ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh Adityawarman
pada tahun 1347. Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an. Kerajaan
ini runtuh pada masa Perang Padri.
Wilayah kekuasaan
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan
berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo
(legenda adat) berbahasa Minang ini [1]:
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di
dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah
sebagai berikut:
Raja Pagaruyung, yang disebut juga sebagai Raja Alam, melaksanakan tugas-tugas
pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus.
Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-
masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai, artinya "orang besar"
(menteri-menteri utama) yang berempat. Mereka adalah:
Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk dalam Basa Ampek Balai, namun derajatnya sama.
Ia bertugas sebagai panglima angkatan perang.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 Nagari, yang merupakan satuan wilayah
otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai
kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri
dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk
persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang.
Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil
ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
[sunting] Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tanah
Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto), umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh
para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut.
Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui
para penghulu mereka. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para
penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung ini,
Raja Pagaruyung hanya bertindak sebagai penengah meskipun ia tetap dihormati.
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau
ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan
penduduk Limopuluah Koto merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau
Kampar Kiri dan Rantau Kampar Kanan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah
luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau
seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang
memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan.
Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan
menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang
merupakan penghasil lada. Namun dari berita Cina diketahui Pagaruyung mengirim utusan
ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri
dari Majapahit.
Pagaruyung pada masa Adityawarman dan putranya, Ananggawarman cukup kuat dan
mendominasi Sumatera bagian tengah. Namun keturunan Adityawarman selanjutnya
agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian
lepas dan ditaklukkan Kesultanan Malaka[2], dan kemudian menjadi negara-negara
merdeka.
Pada abad ke-17 Pagaruyung menjadi kesultanan Islam. Raja Islam pertama ini bernama
Sultan Alif.
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri,
meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam
pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka
meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan golongan bangsawan (kaum
adat). Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan Pagaruyung dan kaum Padri pecah
pertengkaran yang menyebabkan banyak keluarga raja terbunuh. Namun Sultan Muning
Alamsyah selamat dan melarikan diri ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada
Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah beserta 19 orang
pemuka adat lain menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada
Belanda. Sebagai imbalannya Belanda akan membantu berperang melawan kaum Padri.
Namun pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagar Syah,
ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar, atas tuduhan pengkhianatan. Sultan
dibuang ke Betawi, dan akhirnya meninggal di pekuburan Mangga Dua.