Anda di halaman 1dari 4

Kerajaan di Kalimantan Selatan

1. KERAJAAN NEGARA DAHA


Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan sezaman dengan
kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini
berada di Muhara Hulak/kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan
dipindahkan dari pelabuhan lama Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan
(sekarang kota Marabahan, Barito Kuala). Pusat Kerajaan Negara Daha terletak di tepi sungai Negara dan berjarak 165 km di sebelah
utara Kota Banjarmasin, ibukota provinsi Kalimantan Selatan.
Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung,
(sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena kota itu dianggap sudah
kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga
berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.

Raja-raja Negara Daha: Raden Sakar Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari Kaburungan atau
Panji Agung Rama Nata putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu Waringin, ratu terakhir Negara Dipa
Raden Sukarama bergelar Maharaja Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I) Raden Paksa bergelar Pangeran
Mangkubumi
Raden Panjang bergelar Pangeran Tumenggung
Wilayah pengaruh kerajaan ini meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan
Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Islam datang ke daerah Kalimantan Selatan dari Giri pada masa Raden Sekar Sungsang yang pernah merantau ke pulau Jawa dan
disana telah memiliki anak bernama Raden Panji Sekar yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut. Tetapi
Islam baru menjadi agama negara pada tahun 1526 pada masa kekuasaan Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah. Aksara Arab-
Melayu telah digunakan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar.
Karena kemelut di Kuripan/Negara Daha, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri Paser di perbatasan Kerajaan Kutai
Kartanegara dan kemudian mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah tersebut. Peninggalan Kerajaan Negara Daha dapat dilihat Kota
Negara (Daha) dan Amuntai.

2. KERAJAAN SAMBAMBAN

Kerajaan Sebamban adalah suatu daerah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling
Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen
yang berkedudukan di Samarinda, Kalimantan Selatan. Pemerintah swapraja daerah tersebut dikuasakan kepada seorang
kepala bumiputera yaitu Pangeran Syarif Ali, putera dari Syarif Abdurahman Alaydrus Yang Dipertuan Kerajaan Kubu. Sekarang
wilayah swapraja ini menjadi kecamatan Angsana, Sungai Loban dan sebagian Kuranji.
Tahun 1849 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad van Nederlandisch Indi tahun 1849, berdasarkan
Bsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8, daerah
Sebamban ini termasuk dalam kawasan Tanah Bumbu dalam wilayah zuid en ooster afdeeling
Daerah Sabamban ini termasuk daerah-daerah pesisir yang diserahkan oleh Sultan Adam pada tahun 1826 kepada Hindia
Belanda.
Dalam tahun 1853 Landschap Sebamban berpenduduk sekitar 250 jiwa, tidak termasuk para penambang, kebanyakan orang
Banjar dan beberapa orang Bugis. Daerah Sebamban ini menghasilkan intan, emas, batubara, beras, dan kayu.
Dalam tahun 1898 Landschap Sabamban atau menurut istilah setempat Pulau Sabamban merupakan salah satu daerah
landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.
Pada masa sekarang ini, Sebamban menjadi salah satu daerah penempatan transmigrasi di Kalimantan Selatan.
Raja Sabamban
Penguasa (bestuurd door, banjar: lalawangan= pintu)) swapraja Sabamban bergelar Pangeran Syarif (bukan Sultan), yaitu :
Pangeran Syarif Ali Al-Idrus bin Syarif Abdurrahman Al-Idrus
Pangeran Syarif Hasan
Pangeran Syarif Qasim Al-Idrus bin Syarif Hasan Al-Idrus

3.KERAJAAN CANTUNG

Kerajaan Tjangtoeng dan Batoe Litjin (EYD: Kerajaan Cantung dan Batu Licin) adalah kerajaan pecahan dari kerajaan Tanah
Bumbu. Wilayah kerajaan Cantung dan Batu Licin mencakup Daerah aliran sungai Cantung dan Daerah Aliran Sungai Batulicin
serta daerah sekitarnya. Penguasa pertama kerajaan ini adalah Ratu Intan I puteri Ratu Mas. Ratu Mas adalah penguasa
terakhir kerajaan Tanah Bumbu, yang kelak terpecah menjadi beberapa wilayah kerajaan-kerajaan kecil. Pada Tahun 1870
kerajaan Tanah Bumbu dibagi kepada anak-anak Ratu Mas yaitu Pangeran Prabu dan Ratu Intan I. Pangeran Prabu
memperoleh wilayah utara (Kerajaan Bangkalaan), sedangkan wilayah selatan diberikan kepada Ratu Intan I. Pada tahun
1861? wilayah Kerajaan Batoe Litjin dan Tjangtoeng menjadi suatu wilayah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang
bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah
kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah daerah swapraja tersebut dikuasakan
kepada seorang kepala bumiputera yaitu Pangeran Syarif Hamid.
Batoe Litjin dan Tjangtoeng masing-masing merupakan daerah-daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe
menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.
Pada masa Republik Indonesia Serikat, wilayah ini termasuk ke dalam kesatuan kenegaraan Federasi Kalimantan Tenggara.
Sekarang wilayah swapraja ini menjadi kecamatan Hampang, Kelumpang Hulu, Batulicin dan kecamatan-kecamatan
pemekarannya. Batulicin sekarang merupakan ibukota dari Tanah Bumbu.

Ratu Intan I anak Ratu Mas, menjadi Ratu Tjangtoeng I dan Batoe Litjin I (1780-1800) dan menikah dengan Sultan Anom dari
Pasir (dikenal sebagai Sultan Dipati Anom Alamsyah Aji Dipati (1768-1799).
Gusti Besar binti Pangeran Prabu (1820-1830) atau (18xx-1825) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal,
Cantung, Batulicin. Gusti Besar berkedudukan di Cengal. Cantung dan Batulicin diserahkan sepeninggal Ratu Intan. Gusti Besar
menikahi Aji Raden Bin Aji Negara (Sultan Sepuh 1 Alamsyah).
Gusti Muso
Aji Jawi (1840) (putera Gusti Besar)(1825-1840): Pangeran Aji Jawi/Aji Djawa (1840-1841) sebagai Raja Bangkalaan,
Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung dan Batulicin. Pada mulanya Cengal adalah daerah pertama yang berhasil direbut
kembali, kemudian Manunggul dan Sampanahan.

Raja Aji Mandura. Aji Mandura menganeksasi Buntar Laut, sepeninggal Gusti Dandai yang tidak memiliki ahli waris.Aji Madura
menikah dengan Ratu Jumantan (anak Pangeran Abdul Majid Kasuma. Pangeran Kusumanegara / Aji Darma.)

4. KERAJAAN KURIPAN

Kerajaan Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau Panggang, Hulu
Sungai Utara, Kalimantan Selatan.[1] Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).[2]
Diduga pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong
saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan Kabupaten Hulu
Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan
daerah aliran sungai Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan, penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama
kawasan yang ada di sebelah hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong berdasarkan nama daerah yang ada di sebelah
hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman Hindia Belanda disebut Distrik Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai
Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
Diduga nama Kerajaan Kuripan sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang
ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan
dimana kerajaan tersebut berada. Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan diduga adalah
nama lama kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.
Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja
Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh
wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu
Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan Kuripan ini diduga adalah kerajaan yang sama dengan Kerajaan Tanjungpuri atau Kerajaan Nan Sarunai atau mungkin
pula Nan Sarunai adalah bawahan dari Kuripan. Selanjutnya kekuasaan kerajaan orang pribumi kemudian digantikan penguasa
baru daerah ini yaitu Dinasti Negara Dipa yang berdarah Majapahit.
Pemerintahan suku Maanyan di kerajaan Nan Sarunai mendapat serangan dari Jawa (Majapahit) sebanyak dua kali yang
disebut orang Maanyan dengan istilah Nansarunai Usak Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke pedalaman pada daerah
yang dihuni suku Lawangan kecuali sebagian yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan orang Majapahit.
Diduga serangan yang kedua adalah serangan dari Pangeran Surya Nata I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja
Negara Dipa setelah menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai ini telah ada
pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam upacara kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran
Hindu-Kaharingan, sebelumnya tidak dikenal pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang asli.

5.KERAJAAN NEGARA DIPA

Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan
Negara Daha. Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.
Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang
Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan
Banjar. Pada mulanya negara Dipa merupakan bawahan kerajaan Kuripan yang merupakan kerajaan pribumi. Menurut Hikayat
Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel) yang
berjarak dua bulan perjalanan laut menuju pulau Hujung Tanah (Kalimantan).[3] Menurut Veerbek (1889:10) Keling, propinsi
Majapahit di barat daya Kediri. Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan
Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (atau Empu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari
Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika
bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan
kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu
Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku).
Setelah perpindahan ibukota kerajaan Negara Dipa dari Candi Laras (Margasari) ke Candi Agung (Amuntai), penggantinya
Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai (Tabalong?) berhasil memperoleh Puteri Junjung Buih yang
kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang
sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat
dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.
Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja
Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh
wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu
Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak
sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika
menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama
Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar
hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai
Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).
Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya

Anda mungkin juga menyukai