Anda di halaman 1dari 11

KLIPING SKI

KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


Disusun guna memenuhi tugas remedial mata pelajaran SKI yang diampu oleh
Bapak Miftakhudin, S.Pd.I

Disusun oleh :
Falikh Sholakhuddin Naya
13
XII MIA 6

MAN 2 KUDUS
Tahun Pelajaran 2021/2022
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk pemeluk agama Islam yang
cukup besar di dunia. Perkembangan agama Islam yang sangat pesat hingga saat
ini tentu tak luput dari keberadaan kerajaan bercorak Islam yang membantu
penyebaran agama Islam di penjuru Indonesia, termasuk kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan.

Penyebaran agama Islam di Kalimantan sendiri dijelaskan dalam buku berjudul


Sejarah Indonesia Periode Islam yang disusun oleh Ricu Sidiq, Najuah Najuah,
Pristi Suhendro Lukitoyo (2020:16) yang menyebutkan bahwa di Kalimantan,
Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama
Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Hal tersebut diketahui dari temuan
pemakaman Islam kuno di hulu Sungai Pawan, yang terletak di Ketapang,
Kalimantan Barat. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut
adalah tahun 1340 Saka (1418 M). Sedangkan di Kalimantan Timur, Islam
masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang Banjar yang
disiarkan oleh Dayyan, seorang Khatib (ahli khotbah) dari Demak.

Dalam buku tersebut juga menjelaskan masuknya agama Islam di Kalimantan


Tengah dibuktikan dengan temuan masjid Ki Gede di Kotawaringin yang
bertuliskan angka tahun 1434 M. Peninggalan-peninggalan tersebut tentunya
membuktikan jejak penyebaran agama Islam di Kalimantan yang meluas.

Kerajaan-kerajaan Islam yang turut berperan dalam persebaran agama Islam di


Kalimantan rupanya cukup banyak. Sebagaimana yang disebutkan dalam buku
berjudul Praktik Ekonomi dan Keuangan Syariah oleh Kerajaan Islam di
Indonesia yang ditulis oleh Solikin M. Juhro (2021:38) yang menyebutkan
bahwa Kalimantan mempunyai beberapa kerajaan Islam yaitu Kerajaan
Sukadana, Banjar, Pontianak, Brunei, dan Kutai.

A. KERAJAAN SUKANDANA (TANJUNGPURA)

KerajaanTanjungpura atau Tanjompura merupa
kan kerajaan tertua di Kalimantan Barat yang
wujud sejak abad ke-8. Kerajaan ini mengalami
beberapa kali perpindahan ibu kota kerajaan,
pertama kali terletak di Negeri Baru Kabupaten
Ketapang, kemudian pindah ke Sukadana
pada abad ke-14 M dan pada abad ke-15 M
berubah nama menjadi Kerajaan Matan, sejak Rajanya Sorgi (Giri Kesuma)
memeluk Islam. Kerajaan Tanjungpura menjadi bukti bahwa peradaban
negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura
pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura.
Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti
tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi
Tanjungpura. Sebagian keturunan kerajaan ini tersebar dibeberapa wilayah
karena pernikahan dll. Ada yang menempati di Mempawah, Pontianak dan
beberapa kota lainnya. Menurut beberapa hasil telusuran, ada beberapa
keturunan kerajaan ini yang melepas gelarnya dan tidak menggunakan gelar
kerajaannya.

Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut
diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini
sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat
beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta
kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini
dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas
Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd.
Mulia:
Kerajaan Tanjungpura

1. Brawijaya (1454–1472)
2. Bapurung (1472–1487)
3. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan
Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana,
dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Sukadana merupakan nama yang disebutkan untuk kerajaan ini dalam Hikayat
Banjar.

1. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)


2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung
(1504–1518)
3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
4. Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
5. Panembahan Baroh (1533–1590)
6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
7. Ratu Mas Jaintan (1604–1622)
8. Giri Mustaka atau Murong-Giri Mustafa atau Sultan Muhammad
Syaifuddin atau Raden Saradipa/Saradewa (1622–1665); Menantu Ratu
Bagawan dari Kotawaringin
1. Gusti Kesuma Matan (Raden Buyut Kesuma Matan) atau Pangeran
Muda (Pangeran Putra)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan
Tanjungpura yang bergelar Sultan.

B. KESULTANAN BANJAR

KesultananBanjar atau Kesultanan Banjarmasin berdiri pada Tahun 1520.


Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke
dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas
terbentang dari Tanjung
Sambar sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini
semula beribu kota
di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke
beberapa tempat dan terkahir diMartapura.
Ketika beribu kota di Martapura disebut
juga Kerajaan Kayu Tangi.[18]
Wilayah terluas kerajaan ini pada masa
kejayaannya disebut empire/kekaisaran
Banjar membawahi beberapa negeri yang
berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan
daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala suku Dayak.
Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini
disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus
dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribu kota di kota
Negara, sekarang merupakan ibu kota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai
Selatan.
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad
ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya,
tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan
Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada
Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan
Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa. Supremasi Jawa
terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya,
tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646),
mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai
utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban
(1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada
tahun 1622 Mataram kembali merencanakan
program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan,
dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana
tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari
aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan
Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang,
Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut,
Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan
Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan
Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari
Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah
tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat
dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa
mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau
Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan
Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637
Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang
tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan
banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke
Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal
Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi
Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan
Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya
bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar
Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan
Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan
Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.
Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.

C. KESULTANAN PONTIANAK

Kesultanan Kadryiah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang


didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein
bin Ahmad Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Sayidina Husin di daerah muara
simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan sungai landak yang termasuk kawasan
yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua
pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan
Mempawah, Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu
Syahranum (Ratoe Sjerip) dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Tamjidillah
I), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam.[1][2][3][4][5][6] Setelah Habib
Husein, ayah Syarif Abdurrahman, wafat di Mempawah pada tahun 1771,
mereka memutuskan mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat
di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan
pengesahan sebagai Sultan Pontianak pada tahun 1778.

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra


ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari
Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka
hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai
Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada
tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan
Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami
Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana
Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan
Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Sultan Kerajaan Pontianak

1 September 1778 –
1 Sultan Syarif Abdurrahman bin Hussein al-Qadri
28 Februari 1808

Sultan Syarif Kasim bin Abdurrahman al-Qadri 28 Februari 1808 –


2
25 Februari 1819
Abdurrahmal-Qadri
25 Februari 1819 –
3 Sultan Syarif Usman bin Abdurrahman al-Qadri
12 April 1855
12 April 1855 – 22
4 Sultan Syarif Hamid I bin Usman al-Qadri
Agustus 1872
22 Agustus 1872 –
5 Sultan Syarif Yusuf bin Hamid I al-Qadri
15 Maret 1895
15 Maret 1895 – 24
6 Sultan Syarif Muhammad bin Yusuf al-Qadri
Juni 1944
Sultan Syarif Thaha Al-Qadri bin Syarif Usman 24 Juni 1944 – 29
7
Al- Qadri bin Sultan Syarif Yusuf Al - Qadri Oktober 1945
Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif 29 Oktober 1945 –
8
Hamid II bin Muhammad al-Qadri 30 Maret 1978
30 Maret 1978 – 15
* Interregnum
Januari 2004
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif
15 Januari 2004 – 31
9 Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad
Maret 2017
Alkadrie[12]
10 Sultan Syarif Mahmud bin Abubakar al-Qadrie 15 Juli 2017 – Kini

D. KESULTANAN KUTAI

Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kertanegara Ing


Martapura adalah kerajaan Melayu yang bermula dari kerajaan Hindu pada
tahun 1300 di Kutai Lama dan berubah menjadi kerajaan Islam pada 1575 serta
berakhir pada 1960. Ibu kota kerajaan ini pada awalnya berada di Jaitan Layar
sebelum berpindah ke Tepian Batu, kemudian ke Pemarangan-
Jembayan hingga Tepian Pandan. Kerajaan Kutai Kertanegara juga
menganeksasi Kerajaan Kutai Martapura pada tahun 1635 sehingga wilayah
Kerajaan Kutai Kertanegara bertambah luas dan nama kerajaan pun bertambah
menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura.
Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang
bernama Jaitan Layar atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah
Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kute dalam
Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara
bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kertanegara di bawah pimpinan raja Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau
disebut pula: Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Kutai Dinasti
Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kertanegara pun
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing
Martapura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu dipimpin
Raja Makota. Lebih seabad kemudian, sebutan Raja diganti dengan sebutan
Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739) merupakan raja Kutai
Kertanegara pertama yang menggunakan gelar Sultan. Dan kemudian sebutan
kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin


(1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah
di atas angin (sebelah utara) yang mengirim
upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-
Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga
kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar.
Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah
pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC
dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk
menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636,
Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena
Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi
serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan
dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622). Sebelumnya Banjarmasin
merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak
runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada
pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan
Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan
(Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar
IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang
Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan
mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng
Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi
bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan


Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC
Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk
menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai
berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756. karena VOC bermaksud menyatukan
daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di
bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir,
pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung
Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami
kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian
dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat
VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada
abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak
sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian
besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809
VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas
dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat.
Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda
kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin
sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah
Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda
dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri
Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari
Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah
pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada
13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda
diwakili Residen Mr. Tobias.

Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri
Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda
di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia
Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4
Mei 1826.

Sultan Kesultanan Kutai Berkuasa Durasi


1. YM Adji Putri Karang Melenu 1300-1325 25 tahun

2. YM Adji Putri Paduka Suri 1325-1360 35 tahun

3. YM Adji Ratu Suri 1360-1420 60 tahun

4. YM Adji Ratu Suri 1420-1475 55 tahun

5. YM Adji Raja Putri 1475-1545 70 tahun

6. YM Adji Ratu Agung 1545-1610 65 tahun

7. YM Adji Ratu Tuan Rimah 1610-1635 25 tahun

8. YM Adji Ratu Suri 1635-1650 15 tahun

9. YM Adji Ratu Suri 1650-1665 15 tahun

10. YM Adji Ratu Suri 1665-1686 21 tahun

11. YM Adji Ragi gelar Adji Ratu Agung 1686-1700 2 tahun

12. YM Adji Ratu Suri 1700-1730 30 tahun

13. YM Adji Ratu Dene Coket 1730-1732 2 tahun

14. YM Adji Putri Agung 1732-1778 46 tahun

15. YM Adji Ratu Tatin gelar Adji Ratu


1780-1816 36 tahun
Agung
16. YM Adji Ratu Zujiah 1816-1845 29 tahun

17. YM Adji Ratu Sarifah 1845-1846 1 tahun

18. YM Adji Ratu Shalbiah 1846-1849 3 tahun

19. YM Adji Ratu Rubia 1849-1859 10 tahun

20. YM Adji Ratu Surya Agung 1859-1860 1 tahun

21. YM Adji Ratu Soja 1860-1880 20 tahun

22. YM Adji Ratu Victoria Fabiola 1880-1882 2 tahun

23. YM Adji Ratu Purnama 1882-1890 8 tahun

24. YM Adji Ratu Siti Jawiah 1890-1899 9 tahun

25. YM Adji Ratu Rebaya Agung 1899-1910 11 tahun

26. YM Adji Ratu Bahariah 1920-1930 10 tahun

27. YM Adji Ratu Hasanah 1930-1955 25 tahun

28. YM Adji Ratu Purboningrat 1955-1960 5 tahun

29. YM Adji Ratu Aida Amidjoyo 1999-2018 19 tahun

30. YM Adji Ratu Arifin 2018-Sekarang

Anda mungkin juga menyukai