Disusun oleh :
Falikh Sholakhuddin Naya
13
XII MIA 6
MAN 2 KUDUS
Tahun Pelajaran 2021/2022
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk pemeluk agama Islam yang
cukup besar di dunia. Perkembangan agama Islam yang sangat pesat hingga saat
ini tentu tak luput dari keberadaan kerajaan bercorak Islam yang membantu
penyebaran agama Islam di penjuru Indonesia, termasuk kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan.
KerajaanTanjungpura atau Tanjompura merupa
kan kerajaan tertua di Kalimantan Barat yang
wujud sejak abad ke-8. Kerajaan ini mengalami
beberapa kali perpindahan ibu kota kerajaan,
pertama kali terletak di Negeri Baru Kabupaten
Ketapang, kemudian pindah ke Sukadana
pada abad ke-14 M dan pada abad ke-15 M
berubah nama menjadi Kerajaan Matan, sejak Rajanya Sorgi (Giri Kesuma)
memeluk Islam. Kerajaan Tanjungpura menjadi bukti bahwa peradaban
negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura
pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura.
Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti
tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi
Tanjungpura. Sebagian keturunan kerajaan ini tersebar dibeberapa wilayah
karena pernikahan dll. Ada yang menempati di Mempawah, Pontianak dan
beberapa kota lainnya. Menurut beberapa hasil telusuran, ada beberapa
keturunan kerajaan ini yang melepas gelarnya dan tidak menggunakan gelar
kerajaannya.
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut
diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini
sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat
beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta
kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini
dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas
Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd.
Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
1. Brawijaya (1454–1472)
2. Bapurung (1472–1487)
3. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan
Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana,
dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Sukadana merupakan nama yang disebutkan untuk kerajaan ini dalam Hikayat
Banjar.
B. KESULTANAN BANJAR
C. KESULTANAN PONTIANAK
1 September 1778 –
1 Sultan Syarif Abdurrahman bin Hussein al-Qadri
28 Februari 1808
D. KESULTANAN KUTAI
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kertanegara di bawah pimpinan raja Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau
disebut pula: Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Kutai Dinasti
Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kertanegara pun
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing
Martapura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu dipimpin
Raja Makota. Lebih seabad kemudian, sebutan Raja diganti dengan sebutan
Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739) merupakan raja Kutai
Kertanegara pertama yang menggunakan gelar Sultan. Dan kemudian sebutan
kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian
dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat
VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada
abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak
sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian
besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809
VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas
dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat.
Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda
kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin
sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah
Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda
dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri
Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari
Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah
pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada
13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda
diwakili Residen Mr. Tobias.
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri
Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda
di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia
Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4
Mei 1826.