masa
perikanan,
dan
perniagaan
termasuk
mata
pencaharian
14
kepada tradisi dan kepercayaan asli yaitu memuja leluhur. Pada umumnya
golongan ini berdiam di daerah pedalaman dan jauh dari pusat kekuasaan
kerajaan. Kedua golongan masyarakat ini dalam kehidupan bermasyarakat seharihari dapat bekerjasama.
Menurut Nina H. Lubis (2003:67-154) dalam Naskah Carita Parahyangan sejarah
kerajaan di Tatar Sunda dimulai dengan menyebutkan nama sejumlah tokoh yang
dianggap tokoh fiktif dan lebih bersifat mitos. Tokoh-tokoh tersebut adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
Sang Resiguru;
Rajaputra;
Kandiawan;
Wretikandayun;
Rahyang Mandiminyak;
Purbasora;
Rahyang Jambri atau Rahyang Sanjaya atau Rakai Mataram;
Rahyang Tamperan;
Sang Manarah;
Sang Manistri;
Welengan;
Rakyan Wuwus;
Sri Jayabhupati;
Prabu Maharaja;
Prabu Wangi;
Prabu Niskala Wastukancana;
Rahyang Ningratkancana (Dewa Niskala);
Sri Baduga Maharaja;
Sang Ratu Jayadewata (Prabu Guru Dewataprana/Prabu Ratu Dewata/Sang
Mokteng Rancamaya);
Prabu Surawisesa;
Saksi Sang Mangabatan;
Tohaan;
Sang Nilakendra;
Nusiya Mulya;
Periode akhir Kerajaan Sunda dimulai pada saat sebelum Portugis menguasai
Malaka, jalur perniagaan di Kepulauan Nusantara selalu melewati Selat Malaka,
baik yang bertujuan ke Cina maupun ke Maluku. Oleh karena itu, pelabuhanpelabuhan yang terdapat di pesisir utara Kerajaan Sunda kurang begitu
berkembang. Adanya penguasaan Malaka oleh Potugis menyebabkan Selat Sunda
memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan
15
Nusantara, kondisi ini terjadi karena para pedagang muslim enggan berdagang
melalui Selat Malaka dan lebih senang melalui Selat Sunda dengan menggunakan
rute Aceh-pantai barat Sumatera-Selat Sunda-pesisir utara Pulau Jawa-Nusa
Tenggara-Maluku. Akibatnya pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di sepanjang
pesisir utara Kerajaan Sunda semakin memegang peranan yang sangat penting
dalam perdagangan di Kepulauan Nuasantara.
Bagi Kerajaan Sunda, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut di atas
memberikan keuntungan yang besar bagi perkembangan perekonomian yaitu
memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Kerajaan Sunda. Namun
menjadikan kekhawatiran di kalangan penguasa karena dengan masuknya
saudagar muslim maka agama Islam akan semakin besar pengaruhnya di Kerajaan
Sunda. Sejak tahun 1479 pengaruh Islam di Kerajaan Sunda sudah cukup kuat
sejalan dengan tumbuhnya Cirebon sebagai pusat kekuasaan baru di pesisir utara
Tatar Sunda. Bagi Kerajaan Sunda pertumbuhan Cirebon merupakan ancaman
serius karena mengembangkan kehidupan bercorak Islam.
Sejak masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata usaha membatasi pedagang
muslim sudah dilakukan di antaranya:
a. Mengurangi jumlah pedagang muslim yang masuk ke pelabuhan.
b. Mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki ideologi sama
dengan Kerajaan Sunda, yaitu menjalin kerjasama dengan Portugis yang
memusuhi Islam untuk mengimbangi pasukan Kerajaan Demak dan Cirebon.
Kerajaan Sunda memperbolehkan Portugis melakukan perdagangan bebas di
pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda, dan Portugis memberikan
bantuan militer apabila Kerajaan Sunda diserang oleh Kerajaan Demak dan
Banten.
c. Merealisasikan
kerjasama
dengan
Portugis
dengan
penandatanganan
perjanjian politik antara Kerajaan Sunda dan Portugis pada tanggal 21 Agustus
1522 yang berisi:
16
17
Meskipun bangsa Portugis belum dapat diterima sepenuhnya oleh para pedagang
dan syahbandar yang telah dipengaruhi oleh Islam, aktivitas perdagangan di
pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Kerajaan Sunda tetap berjalan. Pelabuhanpelabuhan yang dikuasai Kerajaan Sunda saat itu yaitu Banten, Pontang, Cikande,
Tangerang, Kalapa, Krawang, dan Cimanuk (Indramayu). Dari ketujuh pelabuhan
tersebut yang berkembang pesat hanya Pelabuhan Banten yang terletak di Selat
Sunda dan pelabuhan Kalapa di muara Sungai Ciliwung (sekitar Teluk Jakarta).
Kenyataannya Portugis mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa dan tidak
memberikan bantuan kepada Kerajaan Sunda padahal pemberian dari Kerajaan
Sunda terus mengalir. Pelabuhan Calapa (Kalapa) dipilih Portugis dengan alasan
selain merupakan pelabuhan terbesar, terbaik, dan terpenting, juga memiliki
sistem pemerintahan secara teratur dan lengkap dengan adanya pengadilan, hakim
dan klerk. Selama menunggu bantuan dari Portugis, Kerajaan Sunda terus
berperang melawan pasukan muslim. Peperangan terus dilakukan walaupun Raja
Sunda telah berganti. Pada tahun 1551-1567 pada saat pemerintahan Prabu
Nilakendra Kerajaan Sunda mengalami kekalahan perang melawan pasukan
gabungan Banten, Cirebon, dan Demak.
Pada masa pemerintahan terakhir Nusiya Mulya sebagai pengganti Prabu
Nilakendra (1567-1579), kondisi pertahanan keamanan Kerajaan Sunda dapat
dipertahankan, namun terjadi perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan
agama karena masuknya ajaran Islam. Pada masa ini Islam mulai memperoleh
kemenangan dalam pertempuran secara bertahap dengan dikuasainya satu persatu
wilayah Kerajaan Sunda seperti Rajagaluh, Kalapa, Pakuan, Galuh, Datar,
Mandiri, Jawakapala, Gegelang, dan Salajo. Pada akhirnya Kerajaan Sunda yang
berpusat di Pakuan Pajajaran berakhir tahun 1579.
Keberhasilan pasukan muslim menaklukkan Kerajaan Sunda dimulai dengan
usaha yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Fatahillah)
yang memerintah tahun 1479-1568 di Kesultanan Cirebon yang bergabung dengan
18
19
ke
Sumedanglarang.
Akibatnya
terjadi
peperangan
antara
perbuatan
Geusan
Ulun,
banyak
rakyat
meninggalkan
Berdasarkan
karya
sastra
Jawa
Kuna,
misalnya
naskah
20
yang sudah ditaklukkan terlebih dahulu oleh Mataram pada tahun 1595.
Selanjutnya Sultan Agung membagi wilayah Mataram menjadi beberapa
kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati. Untuk mengawasi
seorang bupati serta mengkoordinasikan para bupati ini salah seorang bupati
diangkat menjadi Wedana Bupati. Wedana Bupati pertama adalah Rangga
Gempol I (1620-1625) yang kedua Dipati Ukur (1641-1656) dan terakhir adalah
Pangeran Rangga Gempol II (1641-1656). Setelah itu jabatan Wedana Bupati
dihapuskan dan selanjutnya para bupati bertanggung jawab langsung kepada
Sultan Mataram.
Tahun 1641 Sultan Mataram melakukan reorganisasi wilayah Parahyangan akibat
peristiwa Dipati Ukur. Wilayah kekuasaan Dipati Ukur yang meliputi
Sumedanglarang dahulu yaitu Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura,
Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi kabupaten Sumedang,
Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung. Daerah Galuh dibagi menjadi
Bojonglopang, Imbanagara, Utama, Kawasan dan Banyumas. Selain itu di
Karawang dibangun koloni yang penduduknya didatangkan dari Jawa.
Setelah Sultan Agung wafat tahun 1645, putranya Sunan Amangkurat I
meneruskan reorganisasi wilayah barat. Daerah itu dibagi menjadi dua belas ajeg
(tanda secara jelas) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Kasen, Wirabaya (Galuh), Sekace, Banyumas, Ayah, dan
Banjar.
Kekuasan Mataram atas Parahyangan berakhir dengan adanya perjanjian 19-20
Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705 antara Mataram dengan VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) yang menyebutkan dalam perjanjian pertama Mataram
menyerahkan wilayah Parahyangan Timur dan dalam perjanjian kedua Mataram
menyerahkan wilayah Parahyangan tengah dan Parahyangan barat kepada VOC.
Penyerahan Parahyangan kepada VOC dilakukan Mataram sebagai balas jasa
kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di
21
Mataram.
dilakukan
22
Pada tahun 1871 preangerstelsel yang telah berlangsung sejak tahun 1677
dihapuskan. Preangerstelsel menurut Nina H. Lubis (2003:485) yang dikutip dari
Edi S. Ekadjati (1974:85) disebutkan:
Ia tidak secara tegas menyebutkan preangerstelsel ini sebagai pemerintahan
tidak langsung. Ia mengartikan sistem ini merupakan aturan-aturan
penanaman kopi di wilayah Priangan. Akan tetapi, ia pun menegaskan
bahwa preangerstelsel dilaksanakan dengan landasan tatanan tradisional
yang telah lama dikenal oleh para bupati di Priangan. Tatanan tradisional
itu berupa ikatan feodal dan ikatan desa.
Kemudian setelah itu diberlakukan Preanger Reorganisatie. Menurut peraturan
tersebut Keresidenan Parahyangan dibagi menjadi sembilan afdeeling yang
masing-masing dipimpin seorang asisten residen. Afdeeling itu ada yang bersatu
dengan kabupaten sehingga di samping ada penguasa pribumi yang disebut bupati
ada pula penguasa Hindia Belanda yang disebut asisten residen. Sebagian
afdeeling berdiri sendiri terpisah dari kabupaten, di sini yang menjadi kepala
pribumi adalah patih.
Pada tahun 1901 dilakukan reorganisasi wilayah kembali. Afdeeling Cicalengka
dihapuskan dan wilayahnya sebagian digabungkan dengan afdeeling Bandung.
Sebagian lagi digabungkan dengan Afdeeling Limbangan. Afdeeling Sukapura
Kolot dihapuskan dan sebagian wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling
Sukapura, sebagian wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling Limbangan.
Afdeeling Tasikmalaya dihapuskan wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling
Sukapura. Kemudian ibukota Sukapura yang tadinya Manonjaya dipindahkan ke
Tasikmalaya.
Tahun 1913 nama kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, nama
Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 1915
kabupaten Galuh dijadikan bagian dari Keresidenan Parahyangan dan diganti
menjadi Kabupaten Ciamis. Tahun 1921 Afdeeling Sukabumi menjadi Kabupaten
Sukabumi dan tahun 1922 dimasukkan ke Keresidenan Parahyangan.
23
24
Sejak tahun 1926 hingga tahun 1942 Keresidenan Parahyangan dibagi menjadi
Afdeeling Parahyangan Barat beribu kota di Sukapura, terdiri atas kabupaten
Sukabumi dan Cianjur. Afdeeling Parahyangan Tengah beribu kota Bandung yang
terdiri atas Kabupaten Bandung dan Sumedang, Afdeeling Parahyangan Timur
beribu kota Tasikmalaya terdiri atas Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Dengan memperhatikan perkembangan sejarah Sunda (Jawa Barat) sampai
dengan tahun 1942 dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang masuk ke Sunda
adalah kebudayaan Hindu, Cina, Persia, Arab, Eropa (Portugis, Belanda, dan
Inggris) serta Jawa. Kini jumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat ada 25 buah,
dua di antaranya yaitu Cimahi merupakan pemekaran dari kabupaten Bandung
dan Banjar yang merupakan pemekaran dari kabupaten Ciamis. Kabupaten dan
kota di Jawa Barat sekarang adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
Kabupaten Bandung
Kabupaten Bekasi
Kabupaten Bogor
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cirebon
Kabupaten Garut
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Karawang
Kabupaten Kuningan
Kabupaten Majalengka
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Subang
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.
Kabupaten Sukabumi
Kabupaten Sumedang
Kabupaten Tasikmalaya
Kota Bandung
Kota Banjar
Kota Bekasi
Kota Bogor
Kota Cimahi
Kota Cirebon
Kota Depok
Kota Sukabumi
Kota Tasikmalaya
25
Sumber tertulis dari luar negeri yang menyebut nama Sunda seperti di tulis Nina
H. Lubis (2003:80), berasal dari abad ke-14 dan ke-15 antar lain berita Cina dan
Portugis. Berita Cina yaitu dari Dinasti Ming (1368-1643) antar lain menyebutkan
nama Sun-ta, sedangkan berita dari Portugis dalam hal ini berita yang berasal dari
Tome Pires menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara di Tatar Sunda
yang mempunyai hubungan niaga dengan Potugis adalah Regno de Cumda.
Sementara itu Antonio Pigafetta (1522) memberitakan Sunda sebagai daerah yang
banyak menghasilkan lada dan kesaksian seorang penyair dalam pelayaran dengan
Magelhaens mengenai adanya negara bernama Sunda.
Dalam naskah-naskah yang ditulis antara abad ke-17 hingga awal abad ke-20,
baik yang ditulis dalam bentuk babad, carita, serat, ataupun wawacan. Kerajaan
Sunda lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran ataupun Kerajaan Galuh karena
adanya kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan sebutan nama ibukotanya.
Naskah-naskah ini juga menyebutkan tokoh sentral kerajaan Sunda yaitu Raja
Pajajaran adalah Prabu Siliwangi. Para ahli menyebutkan apabila memperhatikan
karakter tokoh Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran yang selalu bersikap adil,
bijaksana, pelindung, dan pengayom rakyat, maka yang di maksud Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja. Ada pula yang berpendapat bahwa Prabu
Siliwangi adalah nama julukan beberapa Raja Sunda atau nama dinasti.
Sebelumnya dikenal istilah Jawa Barat, daerah ini lazim disebut Tatar Sunda atau
Tanah Pasundan, yang oleh orang Belanda disebut Soendalanden. Maka yang
dimaksud Tatar Sunda atau Tanah Pasundan atau Soendalanden pada waktu itu
menurut Judistira K. Garna (1980:11) adalah daerah Jawa Barat sekarang yang
terletak antara 550'-750' lintang selatan, dan antara 10448'-10848' bujur timur.
Luasnya mencapai 46.890 km2 atau 2,46% dari luas seluruh Indonesia.
Wilayah keresidenan Parahyangan pada abad ke-19 luasnya kurang lebih 1/6
Pulau Jawa. Di sebelah utara berbatasan dengan keresidenan Batavia dan Cirebon,
di sebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan Banyumas, di sebelah selatan,
26
sebelah barat daya berbatasan dengan Samudra Hindia, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Banten.
Wilayah Parahyangan sangat subur karena merupakan daerah vulkanis yang
dibentuk oleh gunung-gunung berapi dengan ketinggian antara 1.800 hingga
3.000 m di atas permukaan laut, seperti Gunung Gede, Gunung Galunggung,
Gunung Papandayan, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Guntur dan Gunung
Cikuray.
Sungai-sungai besar seperti Citarum, Cisokan, Cimanuk dan Citanduy ikut
mewarnai lingkungan Keresidenan Parahyangan. Sungai Cimanuk merupakan kali
yang cukup penting, bahkan sudah dikenal perannya sejak zaman Kerajaan Sunda
karena di muara sungai ini ada pelabuhan dagang yang cukup ramai sekaligus
merupakan pembatas kerajaan. Kali ini juga memegang peranan penting
khususnya karena bisa dipakai sebagai sarana transportasi pengangkutan kopi dan
garam, sungai itu adalah Citanduy dan Citarum. Di aliran Citarum terdapat
gudang-gudang kopi milik VOC seperti di Cikao dan Karangsambung.
Secara geografis dan administratif pemerintahan wilayah Sunda (Jawa Barat)
dipisahkan dengan wilayah Jawa Tengah oleh dua buah sungai, yaitu sungai
Cilosari yang mengalir ke utara dan sungai Citanduy yang mengalir ke selatan
kedua buah sungai ini sekaligus menjadi batas. Selain perbedaan bahasa,
perbedaan lain antara penduduk Jawa Barat dengan penduduk Jawa Tengah
adalah bentuk fisik dan gaya hidup yang dipengaruhi falsafah kedaerahan, bentukbentuk benda perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti rumah, alat masak,
busana, dan lain-lain juga adat istiadat yang dijalankan dalam kehidupan.
Banyak pengaruh kebudayaan dari luar masuk ke wilayah Sunda dan
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya serta perjalanan sejarahnya namun
pengaruh pada tiap daerah ini berbeda. Ada daerah yang lebih banyak mendapat
pengaruh kebudayaan Melayu dan kebudayaan Cina seperti Jakarta dan daerah
27
pantai utara. Ada pula yang mendapat pengaruh kebudayaan Jawa seperti Banten
dan Cirebon. Perbedaan ini salah satunya terlihat dalam penggunaan bahasa
daerah Jakarta dan pantai utara yang menggunakan bahasa Melayu dan daerah
Banten dan Cirebon memakai bahasa campuran SundaJawa, sehingga dapat di
ketahui bahwa penduduk Jawa Barat adalah suku Sunda kecuali wilayah Jakarta
dan pantai utara.
Suku bangsa Sunda terdiri dari beberapa suku yang berbeda. Perbedaan ini timbul
karena beberapa unsur kebudayaan seperti gaya hidup, gaya bahasa dan adat
istiadat. Perbedaan ini menimbulkan anggapan bahwa yang disebut orang Sunda
hanyalah orang-orang yang berasal dari daerah Parahyangan. Hal ini menurut
pendapat Harjoso (1970:301) yang dikutip Jetty Daliaty S. (1979:10) bahwa:
pada daerah-daerah percampuran di mana bahasa Sunda dan bahasa Jawa
ada kecenderungan pada beberapa keluarga yang menggunakan bahasa
Sunda untuk tidak menyebut dirinya orang Sunda, akan tetapi menyebut
dirinya misalnya orang Cirebon atau orang Banten, dan menggunakan
istilah orang Sunda bagi orang Sunda Parahyangan. Salah satu keterangan
yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa yaitu bahwa bahasa
di Parahyangan lebih halus. Akan tetapi dikembalikan pula bahwa orang
Cirebon dan Banten melihatnya dari sudut penyebaran agama Islam. Dilihat
dari sudut kronologi sejarah, agama Islam lebih dahulu tersebar di daerah
Banten dan Cirebon. Sebaliknya bagi orang di Parahyangan semua orang
yang berbahasa Sunda sebagai bahasa ibunya di manapun ia tinggal adalah
orang Sunda.
Berdasarkan pendapat di atas maka suku Sunda terbagi menjadi tiga sub suku
yaitu Banten, Cirebon dan Parahyangan.
Berdasarkan topografinya Sunda terdiri dari tiga jenis, yaitu :
a. Daerah dataran rendah yang membentang dari barat ke timur merupakan
daerah pantai utara Jawa Barat. Dataran rendah ini berpotensi untuk
mengembangkan budaya sawah.
b. Daerah dataran tinggi di sepanjang bagian tengah Jawa Barat. Dataran ini
meliputi wilayah Pandeglang, Banten selatan, Sukabumi, Bogor, Bandung,
Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Daerah ini mengembangkan pertanian
ladang dan abad ke-18 mengembangkan pertanian sawah.
28
c. Daerah sepanjang pantai selatan Jawa Barat. Daerah ini dipenuhi dengan
perbukitan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Daerah ini meliputi Banten
selatan, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Dengan demikian wilayah Sunda dapat dibagi menjadi daerah pasisian atau
pakalran (pesisir utara Jawa Barat) dan daerah pedalaman perbukitan di bagian
tengah dan selatan, yang meliputi Banten utara, Tanggerang, Betawi, karawang,
Cirebon, dan daerah pakidulan (daerah pedalaman perbukitan).
Samudra Indonesia.
Sebelah barat
Sebelah utara
Sebelah timur
29
2.3.2
Batas Bahasa
Bahasa Sunda yang dipakai sebagian penduduk Jawa Barat atau di wilayah Sunda
dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu:
1. Bahasa Sunda Buhun (Sunda Lama) yang dipakai oleh suku Baduy di
pedalaman Banten.
2. Bahasa Sunda halus yang dipakai oleh penduduk Bandung, Ciamis, Cianjur,
Garut, Sukabumi, Sumedang, dan Tasikmalaya. Bahasa Sunda halus terdiri
dari basa Sunda lemes (bahasa Sunda halus), basa Sunda sedeng (bahasa
Sunda sedang), basa Sunda kasar (bahasa Sunda kasar), dan basa Sunda
cohag (bahasa Sunda kasar sekali). Bahasa Sunda dialek Cianjur dianggap
bahasa Sunda yang paling halus.
3. Bahasa Sunda kasar dipakai penduduk daerah Bogor sampai Jasinga. Bahasa
Sunda ini tidak mengenal tingkatan bahasa.
4. Bahasa Sunda campur Jawa yaitu bahasa campuran yang dipakai penduduk
daerah Banten, Cirebon, pantai utara sebelah timur, Ciamis Selatan, beberapa
kampung di Brebes, Tegal dan Banyumas.
30
Maka berdasarkan bahasa, yang termasuk daerah Sunda adalah daerah dengan
penduduk yang mendiami wilayah Jawa Barat yang berbahasa Sunda halus dan
bahasa Sunda kasar.
2.3.3
Batas Budaya
31
terdiri dari orang-orang Sunda. Judistira Garna (1980:13) mengatakan kelompokkelompok etnik di Indonesia pada dasarnya adalah kelompok yang homogen yang
memiliki identitas kebudayaan sendiri dan mempunyai batas-batas teritorial
tertentu.
Anggota-anggota masyarakat suku bangsa Sunda yang berdiam di daerah
pedesaan pada umumnya melakukan relasi sosial dengan anggota lainnya sesama
suku bangsa, sedangkan di daerah perkotaan kemungkinan relasi sosial dengan
suku bangsa lain akan lebih besar kemungkinannya terjadi.
Masyarakat etnik Sunda termasuk masyarakat Indonesia yang menerima berbagai
pengaruh secara terus menerus dalam proses waktu yang panjang. Pengaruh dari
luar itu antara lain dari kebudayaan Hindu, Eropa khususnya Belanda, Cina, dan
Islam. Pengaruh luar itu memberikan dampak pada bentuk-bentuk simbol dan
kebudayaan materi serta unsur-unsur kebudayaan setempat.
Wilayah Parahyangan dihuni sebagian besar oleh suku Sunda yang sering disebut
urang gunung, wong gunung, atau tiyang gunung oleh orang yang tinggal di
pesisir. Supriatna (2004:68) menjelaskan bahwa dalam sebuah tulisan Saini K.M
(1999) menyampaikan untuk mengenal orang Sunda, yakni:
mengenali lebih dari satu ciri itu (lahir di tanah Pasundan dan pandai
berbahasa Sunda), mengenal dan menghargai adat istiadat Sunda, sejarah
Sunda, seni Sunda (termasuk sastra lama dan baru), filsafat, atau
pandangan hidup khas Sunda (kalau ada).
Dari keterangan di atas jelas penduduk di wilayah Sunda yang dapat disebut pria
Sunda dan wanita Sunda adalah mereka yang lahir di Tatar Sunda, berbahasa ibu
bahasa Sunda, mengenal, memahami, dan menghargai adat istiadat Sunda dalam
kehidupannya. Namun yang terpenting adalah sedikitnya mengenal sejarah
budaya Sunda baik itu sejarah wilayah, seni dan pandangan hidup orang Sunda.
32
menggunakan
berbagai
benda
sebagai
simbol
pemujaan
namun
2.4.3 Ekonomi
Wilayah Sunda yang beriklim tropis dikenal sebagai daerah agraris yang subur.
Cara bercocok tanam yang dilakukan masyarakat Sunda adalah ngahuma (pola
pertanian ladang), dan nyawah (pola pertanian menetap). Dewasa ini pola
pertanian menetap merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sunda
khususnya di daerah pedesaan. Sejak zaman Kerajaan Sunda, orang Sunda dikenal
bermata pencaharian sebagai peladang. Ciri yang menonjol pada masyarakat
peladang adalah kebiasaan selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang
subur. Kebiasaan berladang ini turut berpengaruh terhadap bangunan tempat
tinggal. Mereka tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh, cukup yang
sederhana saja. Kemungkinan besar itulah salah satu sebab mengapa di
Parahyangan tidak banyak peninggalan berupa candi atau keraton. Hingga
pertengahan abad ke-19 berladang masih merupakan pola yang umum di
pedalaman Jawa Barat. Usaha bersawah sebenarnya juga sudah digalakkan pada
waktu Mataram melebarkan kekuasannya ke wilayah Parahyangan. Di beberapa
daerah koloni dibuat pesawahan. Pesawahan baru dibuka secara luas di berbagai
daerah seperti Ciawi (Bogor), Bandung, Garut, dan Sumedang.
33
Pada abad ke-17 berkembang perekonomian dan perkebunan kopi. Kopi banyak
dihasilkan dari lereng Gunung Gede di Cianjur dan Bandung. Pada abad ke-19,
penduduk di daerah pegunungan selain bekerja di perkebunan kopi, ada juga yang
bekerja di perkebunan kina, teh, karet, kelapa, coklat, lada, dan serat nanas.
Perkebunan teh terbaik ada di Pangalengan dan di sekitar Gunung Patuha,
sedangkan perkebunan kina ada di Cinyiruan Kabupaten Bandung. Perkebunan
karet yang cukup besar berada di Kabupaten Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Karena adanya perkebunan maka dibangun jaringan jalan perkebunan, jalan raya,
dan jalan kereta api yang menghubungkan beberapa kota sehingga membuka
isolasi daerah pedalaman Parahyangan dan menunjang pembangunan kota. Rel
kereta api Batavia-Buitenzorg-Cianjur-Bandung dibangun tahun 1884 yang
diteruskan menuju Cilacap melalui Cibatu (Garut), Tasikmalaya dan Banjar
(Ciamis). Tahun 1918-1921 dibuat jalur kereta api menuju daerah perkebunan
yaitu
Bandung-Rancaekek-Tanjungsari,
Bandung-Ciwidey,
dan
Bandung-
34
a. Patik atau baliung, yang digunakan untuk nyacar yaitu menebang pohon di
sekitar areal ladang kemudian hasil tebangnya dibakar.
b. Aseuk yaitu sejenis tongkat panjangnya 1 m dan runcing pada bagian salah
satu ujungnya untuk ngaseuk. Ngaseuk merupakan proses menanam benih
padi dengan cara melubangi tanah untuk tempat benih padi.
c. Pacul untuk mencangkul.
d. Kord atau kujang untuk ngoyos atau membersihkan ladang dari rumput yang
tumbuh di sekitar tanaman.
Kesatuan kerja yang mengolah tanah huma adalah keluarga inti yang terdiri dari
tiga sampai lima orang, sedangkan masa panen yang biasanya memerlukan tenaga
lebih banyak, tambahan tenaga kerja diperoleh secara spontan dari lingkungan
setempat. Kerja gotong royong seperti ini disebut liliuran.
Pengaruh pola ngahuma pada masyarakat Sunda di Jawa Barat seperti antara lain
pengaruh jarak yang berjauhan antar huma membawa akibat juga jarak antar
rumah berjauhan. Keadaan ini membawa pengaruh pada pola hubungan antar
keluarga menjadi longgar. Kehidupan gotong royong pada masyarakat huma
hanya dilakukan pada peristiwa tertentu seperti panen. Keadaan ini membawa
kecenderungan kearah sikap individualistis.
Pada dasarnya masyarakat huma tidak memiliki tingkat undak usuk basa dalam
penggunaan bahasa. Keadaan ini dapat kita saksikan di daerah yang intensitas
pengaruh Mataramnya sangat kurang seperti di daerah Bogor dan daerah Banten.
Kesederhanaan dalam bidang bahasa juga menunjukkan bahwa masyarakat huma
tidak memiliki kebudayaan menulis melainkan cenderung kearah kebudayaan
lisan.
Di Jawa Barat sistem pertanian sawah dikenal abad ke-18 Masehi yang
diperkenalkan oleh orang-orang Mataram. Sehubungan dengan rencana kompeni
Belanda membuka daerah baru yang menghasilkan pangan dan rencana perluasan
35
perkebunan dengan jenis tanaman ekspor. Selain itu dengan sistem persawahan
Belanda menghendaki agar masyarakat Sunda yang pada waktu itu masih bersifat
nomaden dapat hidup dalam pola perkampungan yang menetap.
Berbeda dengan prinsip mengolah huma yang lebih menitikberatkan pada
pemeliharaan kesuburan tanah secara alami, maka pada pertanian sawah selain
menitikberatkan pada pemeliharaan kesuburan tanah juga intensifikasi pengolahan
tanah, macam tanaman, cara pemupukan tanah, dan pengaturan pengairan.
Pengaruh dari pengolahan sistem pertanian sawah, masyarakat Sunda mengenal
beberapa tradisi yaitu:
a. Teknik penggenangan air di sawah;
b. Adat pembagian air sawah yang diatur oleh lembaga adat dan pejabatnya yang
disebut raksabumi atau mayor, ulu-ulu, atau ngalambang;
c. Melakukan permohonan atau minta doa restu kepada nenek moyang agar
tidak ada gangguan atau hambatan dari makhluk halus, yang dikenal dengan
upacara selamatan tolakbala. Upacara ini dilakukan di sumber air yang
disebut hulu wotan dipimpin oleh ajengan, kuncn atau dukun;
d. Mengenal sistem kerja bersawah disertai upacaranya seperti: upacara nyambut
yaitu mengolah sawah dengan menggunakan alat singkal atau wuluku yang
kemudian digaru yaitu membalikkan tanah menggunakan alat seperti sisir
besar yang jarang. Kedua alat itu ditarik dengan kerbau. Ngababut yaitu
mencabut benih padi untuk dibersihkan pada saluran air dan disiapkan untuk
ditanam. Mitembeyan yaitu menanam benih padi pertama kali yang dilakukan
oleh kuncn atau dukun atau ajengan. Tandur yaitu menanam padi beramairamai oleh perempuan tua dan muda. Ngarambt yaitu membersihkan sawah
dan pematang sawah (galengan) dari rerumputan. Nyalin yaitu menuai padi
pertama kali sebelum dilakukan pann. Pann yaitu memotong padi dengan
menggunakan tm atau ketam atau anai-anai yang dikerjakan beramai-ramai;
e. Dewi Sri sebagai lambang indung par (induk padi) yaitu padi yang dituai
pertama kali setelah melalui proses upacara;
36
f. Perhitungan waktu untuk menentukan hari baik atau buruk untuk memulai
panen. Perhitungan ini berkembang pula untuk menentukan hari baik atau
buruk dalam segala bidang yang pada akhirnya ada kebiasaan meramal;
g. Pola pembagian hasil panen, ada sistem tebasan dan ada sistem nyeblok.
Sistem tebasan adalah menuai padi dengan menggunakan sabit dengan tenaga
kerja yang sedikit sedangkan sistem nyeblok adalah pembagian hasil panen
dengan perhitungan sapocong (seikat padi) dari lima pocong yang diperoleh
derep (orang yang ikut menuai padi) pada saat panen. Atau perbandingan 4:1;
h. Ukuran timbangan dengan menggunakan patokan seperti:
sapocong
37
d. The urban proletariat terdiri dari golongan buruh, pembantu rumah tangga,
tukang becak, pedagang kecil, dan lain-lain.
2.4.4 Pendidikan
Peranan orang tua terutama ayah dan ibu yang membentuk keluarga inti sangat
menentukan pendidikan dalam keluarga pada masyarakat Sunda. Masyarakat
Sunda memakai sistem garis keturunan secara bilateral yaitu keluarga batih atau
inti yang merupakan suatu kesatuan kerabat yang penting peranannya. Pendidikan
informal dikembangkan dalam keluarga inti yang turut membentuk proses
sosialisasi anak, pernikahan dan pembentukan keluarga turunannya dalam
masyarakat. Sistem bilateral juga mengandung pengertian bahwa masyarakat
Sunda melibatkan kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu dalam pendidikan,
serta pemakaian bin dan binti pada nama belakang anak-anaknya serta tidak
membedakan kerabat yang berasal dari garis keturunan pihak ibu dan kerabat dari
garis keturunan pihak ayah. Dalam pendidikan keluarga, diterapkan istilah khusus
untuk menyapa atau menyebut beberapa generasi ke atas dan ke bawah dari ego1,
seperti:
10.
9.
8.
7.
6.
5.
4.
3.
2.
1.
Tambak Galeng
Geplak
Kait Siwur
Udeng-Udeng
Janggawarng
Canggih
Bao
Buyut
Aki/Nini
Bapa/indung
Kuring (ego)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Anak
Incu
Umpi
Cicit
Muning
Angga santana
Kula santana
Prti santana
Wit wekas
38
Ayah adalah kepala keluarga dan ibu sebagai sebagai penunjang keluarga
sehingga terdapat ungkapan indung nu ngandung bapa nu ngayuga (ibu yang
melahirkan ayah yang menjaga). Apabila ada kesalahan yang diperbuat anak,
permohonan maaf terlebih dahulu dimintakan kepada ibu dibandingkan kepada
ayah seperti ungkapan indung mah ged hampura (ibu selalu memaafkan). Hal ini
menunjukkan hubungan yang erat antara ibu dengan anak juga meletakkan status
tersendiri bagi wanita dalam keluarga Sunda.
Isi pokok pendidikan terdiri dari etika, sopan santun, penghormatan terhadap
orang tua, dan cara berinteraksi dengan keluarga lain serta pedoman hidup yang
dilatarbelakangi oleh agama.
39
Sejak abad ke 20 golongan mnak bertambah yaitu golongan praja dan pegawai
negeri walaupun dari somah (rakyat biasa), sehingga dapat dikategorikan ada
mnak tradisional yaitu berdasarkan hubungan darah dan ada mnak anyar
(bangsawan baru) yaitu golongan mnak yang karena menduduki jabatan
pamongpraja dan pegawai negeri sipil, hanya cirinya ada pembeda dalam
pemakaian gelar Radn pada nama mnak tradisional.
Keadaan di atas seperti ditulis Ajip Rosidi (2000:409) bahwa ketika pengaruh
kebudayaan Jawa yang bersifat feodal masuk ke dalam budaya masyarakat Sunda
terutama di wilayah Parahyangan mengiringi masuknya kekuasaan politik
Mataram, keberadaan kaum mnak makin nyata dan berkembang. Walaupun
kedudukan tertinggi mnak Sunda itu hanya sebagai dalem (bupati) namun
mereka meniru pola hidup raja di Keraton Mataram. Mereka menciptakan gaya
hidup yang berbeda dan perbedaannya makin jelas dan kontras seperti pendopo
kabupaten dipagari sekelilingnya dengan tembok benteng yang tinggi agar
terpelihara dari kegiatan sehari-hari rakyat umum. Begitu pula dalam hal busana,
alat rumah tangga dan perlengkapan kabupaten di tempat tinggal dalem. Bendabenda itu mengandung simbol-simbol kebesaran sebagai penguasa. Kehidupan
mereka sehari-hari dipenuhi dengan upacara formal dan pelayanan seperti
layaknya di keraton raja. Bahasa dan tatakrama di lingkungan mereka dibedakan
dengan bahasa dan tatakrama di kalangan rakyat biasa dengan menggunakan
undak usuk basa.
Santana adalah golongan mnak yang tidak memerintah. Santana merupakan
strata tengah antara mnak dan somah. Santana pada umumnya merupakan
golongan masyarakat yang memiliki kekayaan namun secara keturunan bukan
keturunan mnak.
Somah merupakan masyarakat umum atau rakyat biasa. Mereka hidup sebagai
rakyat kebanyakan. Pada umumnya mereka hidup sederhana dan mengabdikan
diri pada golongan mnak.
40
41
perbatasan, maupun kota besar. Bahasa rakyat biasanya bersifat egaliter atau
bersifat sama atau sederajat. Ajip Rosidi memiliki pandangan bahwa ciri-ciri
budaya di Sunda adalah budaya kerakyatan, sehingga ciri yang menonjol dari
masyarakat Sunda adalah melalui tutur bahasanya yang berkarakter kerakyatan.
Undak usuk basa menjadi bagian dalam bahasa rakyat tetapi tidak mengikat
secara ketat. Lentong (logat) bahasa Sunda terbentuk secara alami memiliki
keragaman dan keunikan. Besarnya pengaruh alam menunjukkan realitas yang
unik dari cara pengucapan dan kelisanan masyarakat pelakunya. Masyarakat
pegunungan di beberapa tempat di Jawa Barat cenderung menggunakan logat
meliuk panjang dan keras kedengarannya. Kondisi ini dapat didengar dari ucapan
orang-orang huma, lembur singkur, dan orang desa pada saat mereka berbicara
baik bicara sehari-hari maupun bicara lantang.
Julukan merupakan folklor lisan yang tumbuh di masyarakat Sunda, baik julukan
kehormatan maupun lingkungan julukan penghinaan. Julukan penghormatan atau
honorific names sebenarnya telah dimiliki masyarakat Sunda lama terhadap yang
diyakininya seperti dalam mitologi Sunda yaitu Sanghyang, Sunan Ambu, Pohaci,
Guriang, Rakan, Mbah, dan Dalem. Julukan penghormatan juga sering dipakai di
kalangan seniman kesenian rakyat, biasanya dipinjam dari nama-nama binatang
seperti Beunteur, Taws, Tilil, Saran, Heulang, Cangkurileung, dan nama
lainnya yang dianggap sebagai julukan kehormatan karena kepiawaian suaranya
seperti Si Geureuleung atau karena kekaguman pada mata seseorang sehingga di
sebut Si Mata Roda.
Pangkat tradisional adalah sistem kepangkatan yang terwarisi melalui tuturan lisan
pantun atau tuturan sepuh seperti badga (pelayan pria), emban (pelayan wanita),
juru pantun, juru demung, juru panday, ngalambang (pengatur air), raksabumi
(pengatur tanah), kandagalant (panglima perang), puun (pemimpin masyarakat
adat), dan lain-lain. Titel kebangsawanan di masyarakat Sunda tidak banyak
dikenal, seperti di masa kolonial dan pengaruhnya termasuk pengaruh budaya
priyayi Jawa terdapat titel kebangsawanan seperti Radn, Radn Ayu, Pangran
42
dan Ratu yang dipakai sampai sekarang tetapi dengan sebutan praktis dan pendek
misalnya Adn (raden pria), Ndn (raden wanita), Dnayu (raden ayu), dan lang
(pangeran). Di kalangan masyarakat Sunda golongan mnak yaitu Dalem untuk
menyebut para bangsawan. Aom untuk sebutan putra mnak dan Juag untuk
sebutan putri mnak.
Ungkapan tradisional yang terdiri dari peribahasa, pepatah dan pemeo di
masyarakat Sunda sangat banyak. Papatah (pepatah) disebut juga ppling
banyak tersampaikan
43
44
Tokcang, tokcang,
Malik pendil tosblong,
Angeun kacang, angeun kacang,
Sapariuk kosong.
Aya listrik di masigit,
Caangna kamana-mana,
Aya istri jangkung alit,
Karangan dina pipina.
Prpt Jngkol
Prpt Jngkol,
Jajahn,
Kadempt kohkol,
Jjrtan.
Cir Gobang Gocir
Cir gobang gocir,
Cab beureum lada,
Cing urang taksir,
Nu baju beureum saha?
Oray-orayan
Oray-orayan
Luar lor ka sawah
Tong ka sawah
Parna keur sedeng beukah
Ayang-ayang Gung
Ayang-ayang gung,
Gung goongna ram,
Mnak Ki Mas Tanu,
Nu jadi wadana,
Naha manh kitu,
Tukang olo-olo,
Loba anu giruk,
Ruket jeung kumpeni,
Niat jadi pangkat
Katon kagorngan
Ngantos kangjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
45
dan
46
47
(meminang), papacangan (tunangan), seserahan (menyerahkan), helaran (iringiringan), ngeuyeuk seureuh (menyiapkan sirih pinang), siraman (memandikan
calon pengantin), ngaras (meminta restu orang tua sebelum menikah), upacara
saat menikah yaitu akad nikah (ijab kabul), upacara setelah menikah yaitu
munjungan (sungkem), sawr (menabur), nincak endog (injak telur), buka pintu,
dan huap lingkung (pengantin saling menyuapi nasi kuning pada pasangannya).
Hanya untuk kematian tak ada upacara yang menonjolkan keramaian tetapi tetap
menjalankan semacam upacara berdoa bersama seperti tahlilan mengingat harihari kematian, seperti tiluna (hari ke-3), tujuhna (hari ke-7), matang puluh (hari
ke-40), natus (hari ke seratus), mendak atau khaol (setahun).
Pesta rakyat di kalangan masyarakat Sunda identik dengan kariyaan (keramaian)
sebagai ungkapan rasa syukur terutama berkaitan dengan masa panen, musim
tanam padi, peringatan hari besar yang disucikan, penghormatan leluhur desa,
pergantian atap rumah keramat. Pesta rakyat bersifat sangat egaliter karena
masyarakat penyangga pesta tersebut benar-benar menjalankan secara sungguhsungguh baik dalam swadaya maupun swakelola benar-benar dijalankan dari satu
generasi ke generasi lain dengan lancar bahkan semakin bertambah variasi
acaranya sehingga pesta rakyat selalu dirasakan sebagai milik bersama. Pesta
rakyat itu antara lain upacara srn taun, badirian, ngarot, nadran, labuh saji,
sidekah bumi, ngunjung buyut, buka sirap dan ngalaksa.
48
Di kalangan masyarakat Sunda pahuma (peladang), pada masa lalu tempat tinggal
mereka berpindah-pindah oleh karena itu arsitektur rumahnya sangat sederhana
dan mudah dipindahkan. Namun setelah masyarakat Sunda menjadi pasawah
(pesawah) tempat tinggal menjadi menetap oleh karena itu arsitek rumahnya pun
tidak sesederhana dulu bahkan berkembang dengan kelengkapan balong (kolam)
yang biasanya bersatu dengan pacilingan (kakus), kebon (kebun), buruan
(pekarangan). Arsitektur Sunda memiliki nama-nama Jolopong, Capit Gunting,
Julang Ngapak, Badak heuay, Tagog Anjing, dan Parahu Kumereb. Lampit dan
samak merupakan alas tempat duduk khas di dalam rumah Sunda. Di samping
rumah, masyarakat Sunda masih memiliki lumbung padi yang disebut leuit.
Arsitektur leuit sangat menarik karena di setiap tiang penyangga dipasang kayu
berdiameter tiga puluh centimeter yang berfungsi sebagai anti tikus. Tikus tak
mungkin bisa mencapai leuit karena sudah terjegal oleh kayu tersebut.
Bentuk Jolopong
49
Leuit Lenggang
Leui Gugudangan
50
Leuit Kurumbung
Gambar II. 4 Berbagai bentuk leuit
(Sumber : Diar Risdiana, Skripsi, 2005)
51
pria umumnya pangsi dan kamprt yang dilengkapi iket dan sarung. Namun
busana pria di kalangan mnak mengesankan ketidakpraktisan karena selain ada
aturan tertentu juga pemakainya sangat memperhatikan etika dan estetika
berbusana. Busana kaum mnak dilengkapi udeng dan bendo yang indah baik
model maupun motifnya juga memakai sandal tarumpah.
Busana kaum wanita di kalangan mnak umumnya memakai kain samping batik
(kain panjang batik) dan kabaya (kebaya) dengan motif batik Sunda dilengkapi
dengan selendang yang juga berfungsi sebagai tiung (kerudung). Juga biasanya
memakai gelung (sanggul) yang diberi hiasan ronce melati. Perhiasannya secara
umum terbuat dari emas, terdiri dari seperangkat perhiasan seperti suweng
(anting), geulang (gelang), dan kongkorong (kalung). Busana wanita kaum somah
umumnya memakai kebaya sederhana dan kain panjang polos hasil tenunan
sendiri, jarang memakai batik, walau pun dalam perkembangannya batik rakyat
dipakai sebagai pengganti kain panjang polos. Perhiasannya sederhana, kadang
terbuat dari perak atau tembaga atau emas sepuhan dan hanya memakai hiasan
suweng jarang memakai geulang dan kongkorong.
52
53