Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN UMUM WILAYAH SUNDA PARAHYANGAN

2.1 Latar Belakang Sejarah


Sejarah Tatar Sunda dimulai dengan Kerajaan Tarumanagara, dengan bukti
berupa prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5. Kerajaan ini diduga berakhir
pada abad ke-7. Bukti-bukti kuat mengenai Sunda baru muncul dengan
ditemukannya prasasti dari abad ke-11 yang memberitakan tentang Maharaja Sri
Jayabhupati Raja Sunda. Selama beberapa abad pusat kerajaan berpindah-pindah,
dimulai dari Galuh (Ciamis) kemudian ke Pakuan Pajajaran (Bogor), Kawali
(dekat Galuh) dan berakhir di Pakuan.
Kerajaan Tarumanagara merupakan pusat kerajaan pertama di Tatar Sunda dan
juga termasuk kerajaan pertama di Nusantara. Rajanya yang terkenal adalah
Purnawarman.

Pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanagara pada

masa

pemerintahan Purnawarman setidak-tidaknya mencakup sebagian wilayah Tatar


Sunda mulai dari Kabupaten Pandeglang, Cisadane-Tangerang di bagian barat,
Kabupaten Bogor di bagian selatan dan daerah Jakarta di bagian utara, daerah
Bekasi dan Kerawang di bagian timur.
Kehidupan masyarakat pada masa itu diperkirakan sudah mengenal perburuan,
pertambangan,

perikanan,

dan

perniagaan

termasuk

mata

pencaharian

penduduknya yaitu dalam bidang pertanian, pelayaran, dan peternakan.


Masyarakat pada masa itu sudah mengenal aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Sementara itu agama yang dianut masyarakat Tarumanagara adalah agama HinduKuna (Weda) dengan penekanan pemujaan kepada Wisnu Triwikrama atau
Wikranta, selain itu berkembang pula agama Budha dan kepercayaan masyarakat
terhadap leluhur. Kondisi ini menggambarkan ada dua golongan masyarakat
Tarumanagara yaitu golongan masyarakat yang sudah menyerap kebudayaan dari
India yang beragama Hindu dan Budha. Golongan ini terbatas pada kalangan
istana dan kerabat kerajaan. Golongan kedua ialah mereka yang masih berpegang

14

kepada tradisi dan kepercayaan asli yaitu memuja leluhur. Pada umumnya
golongan ini berdiam di daerah pedalaman dan jauh dari pusat kekuasaan
kerajaan. Kedua golongan masyarakat ini dalam kehidupan bermasyarakat seharihari dapat bekerjasama.
Menurut Nina H. Lubis (2003:67-154) dalam Naskah Carita Parahyangan sejarah
kerajaan di Tatar Sunda dimulai dengan menyebutkan nama sejumlah tokoh yang
dianggap tokoh fiktif dan lebih bersifat mitos. Tokoh-tokoh tersebut adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.

Sang Resiguru;
Rajaputra;
Kandiawan;
Wretikandayun;
Rahyang Mandiminyak;
Purbasora;
Rahyang Jambri atau Rahyang Sanjaya atau Rakai Mataram;
Rahyang Tamperan;
Sang Manarah;
Sang Manistri;
Welengan;
Rakyan Wuwus;
Sri Jayabhupati;
Prabu Maharaja;
Prabu Wangi;
Prabu Niskala Wastukancana;
Rahyang Ningratkancana (Dewa Niskala);
Sri Baduga Maharaja;
Sang Ratu Jayadewata (Prabu Guru Dewataprana/Prabu Ratu Dewata/Sang
Mokteng Rancamaya);
Prabu Surawisesa;
Saksi Sang Mangabatan;
Tohaan;
Sang Nilakendra;
Nusiya Mulya;

Periode akhir Kerajaan Sunda dimulai pada saat sebelum Portugis menguasai
Malaka, jalur perniagaan di Kepulauan Nusantara selalu melewati Selat Malaka,
baik yang bertujuan ke Cina maupun ke Maluku. Oleh karena itu, pelabuhanpelabuhan yang terdapat di pesisir utara Kerajaan Sunda kurang begitu
berkembang. Adanya penguasaan Malaka oleh Potugis menyebabkan Selat Sunda
memegang peranan yang sangat penting dalam perdagangan di Kepulauan

15

Nusantara, kondisi ini terjadi karena para pedagang muslim enggan berdagang
melalui Selat Malaka dan lebih senang melalui Selat Sunda dengan menggunakan
rute Aceh-pantai barat Sumatera-Selat Sunda-pesisir utara Pulau Jawa-Nusa
Tenggara-Maluku. Akibatnya pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di sepanjang
pesisir utara Kerajaan Sunda semakin memegang peranan yang sangat penting
dalam perdagangan di Kepulauan Nuasantara.
Bagi Kerajaan Sunda, perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut di atas
memberikan keuntungan yang besar bagi perkembangan perekonomian yaitu
memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Kerajaan Sunda. Namun
menjadikan kekhawatiran di kalangan penguasa karena dengan masuknya
saudagar muslim maka agama Islam akan semakin besar pengaruhnya di Kerajaan
Sunda. Sejak tahun 1479 pengaruh Islam di Kerajaan Sunda sudah cukup kuat
sejalan dengan tumbuhnya Cirebon sebagai pusat kekuasaan baru di pesisir utara
Tatar Sunda. Bagi Kerajaan Sunda pertumbuhan Cirebon merupakan ancaman
serius karena mengembangkan kehidupan bercorak Islam.
Sejak masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata usaha membatasi pedagang
muslim sudah dilakukan di antaranya:
a. Mengurangi jumlah pedagang muslim yang masuk ke pelabuhan.
b. Mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki ideologi sama
dengan Kerajaan Sunda, yaitu menjalin kerjasama dengan Portugis yang
memusuhi Islam untuk mengimbangi pasukan Kerajaan Demak dan Cirebon.
Kerajaan Sunda memperbolehkan Portugis melakukan perdagangan bebas di
pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda, dan Portugis memberikan
bantuan militer apabila Kerajaan Sunda diserang oleh Kerajaan Demak dan
Banten.
c. Merealisasikan

kerjasama

dengan

Portugis

dengan

penandatanganan

perjanjian politik antara Kerajaan Sunda dan Portugis pada tanggal 21 Agustus
1522 yang berisi:

16

Portugis dapat mendirikan sebuah benteng di sekitar Banten.


Raja Sunda akan memberikan lada sebanyak yang dibutuhkan Portugis
sebagai penukaran barang-barang kebutuhan Kerajaan Sunda yang
dibawa oleh Portugis.
Portugis bersedia membantu Kerajaan Sunda apabila diserang oleh
Kerajaan Demak atau kerajaan lainnya.
Raja Sunda akan menghadiahkan seribu karung lada (350 kuintal) setiap
tahunnya kepada Raja Portugis sejak pembangunan benteng dimulai.

Gambar II.1 Naskah perjanjian Sunda Kelapa tahun 1522


(Sumber : Nina Lubis, 2003:92)

17

Meskipun bangsa Portugis belum dapat diterima sepenuhnya oleh para pedagang
dan syahbandar yang telah dipengaruhi oleh Islam, aktivitas perdagangan di
pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Kerajaan Sunda tetap berjalan. Pelabuhanpelabuhan yang dikuasai Kerajaan Sunda saat itu yaitu Banten, Pontang, Cikande,
Tangerang, Kalapa, Krawang, dan Cimanuk (Indramayu). Dari ketujuh pelabuhan
tersebut yang berkembang pesat hanya Pelabuhan Banten yang terletak di Selat
Sunda dan pelabuhan Kalapa di muara Sungai Ciliwung (sekitar Teluk Jakarta).
Kenyataannya Portugis mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa dan tidak
memberikan bantuan kepada Kerajaan Sunda padahal pemberian dari Kerajaan
Sunda terus mengalir. Pelabuhan Calapa (Kalapa) dipilih Portugis dengan alasan
selain merupakan pelabuhan terbesar, terbaik, dan terpenting, juga memiliki
sistem pemerintahan secara teratur dan lengkap dengan adanya pengadilan, hakim
dan klerk. Selama menunggu bantuan dari Portugis, Kerajaan Sunda terus
berperang melawan pasukan muslim. Peperangan terus dilakukan walaupun Raja
Sunda telah berganti. Pada tahun 1551-1567 pada saat pemerintahan Prabu
Nilakendra Kerajaan Sunda mengalami kekalahan perang melawan pasukan
gabungan Banten, Cirebon, dan Demak.
Pada masa pemerintahan terakhir Nusiya Mulya sebagai pengganti Prabu
Nilakendra (1567-1579), kondisi pertahanan keamanan Kerajaan Sunda dapat
dipertahankan, namun terjadi perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan
agama karena masuknya ajaran Islam. Pada masa ini Islam mulai memperoleh
kemenangan dalam pertempuran secara bertahap dengan dikuasainya satu persatu
wilayah Kerajaan Sunda seperti Rajagaluh, Kalapa, Pakuan, Galuh, Datar,
Mandiri, Jawakapala, Gegelang, dan Salajo. Pada akhirnya Kerajaan Sunda yang
berpusat di Pakuan Pajajaran berakhir tahun 1579.
Keberhasilan pasukan muslim menaklukkan Kerajaan Sunda dimulai dengan
usaha yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Fatahillah)
yang memerintah tahun 1479-1568 di Kesultanan Cirebon yang bergabung dengan

18

Kesultanan Banten. Cirebon semula merupakan daerah Kerajaan Sunda yang


melepaskan diri.

Sementara itu Banten dipimpin Pangeran Hasanuddin atau

Maulana Hasanuddin yang memerintah tahun 1552-1570. Pangeran Hasanuddin


atau Maulana Hasanuddin kemudian diganti oleh putranya Maulana Yusuf yang
memerintah tahun 1570-1580. Masa pemerintahannya lebih menitikberatkan pada
pengembangan kota, keamanan wilayah, daerah pedalaman Kerajaan Sunda
termasuk pusat pemerintahannya yaitu Pakuan Pajajaran.
Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1526), terjadi pertempuran
gabungan antara Cirebon dan Demak untuk merebut Pelabuhan Kalapa (Sunda
Kelapa). Pada saat itu gabungan pasukan muslim ini membantu Pangeran
Hasanuddin atau Maulana Hasanuddin berperang di Banten yang merupakan
bawahan Kerajaan Sunda untuk melawan Portugis. Tahun 1527 Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Fatahillah) dapat menaklukkan Sunda Kelapa
dan sejak itu Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta.
Setelah kerajaan Sunda runtuh, wilayah kekuasan Syarif Hidayatullah yang
hampir meliputi seluruh Provinsi Jawa Barat sekarang ditambah sebagian wilayah
Jawa Tengah terbagi-bagi ke dalam empat pusat kekuasaan yaitu Banten, Cirebon,
Sumedanglarang yang semula merupakan bawahan Kerajaan Sunda dan Galuh
yang setelah kepindahan pusat kerajaan ke Pakuan Pajajaran masih tetap sebagai
kerajaan kecil.
Sumedanglarang berusaha menjadi penerus Kerajaan Sunda, tetapi mengalami
kegagalan, karena:
a. Adanya kekuatan kerajaan lain yang mengepung dari berbagai arah yaitu
Kesultanan Banten dari sebelah barat, Kesultanan Cirebon dari sebelah utara
dan Kerajaan Mataram dari sebelah timur. Keadaan ini diatasi dengan cara
Prabu Geusan Ulun menyatakan diri masuk Islam di Cirebon dan kemudian
berguru ke Demak untuk memperdalam pengetahuan agama. Cirebon pun
mengakui kedudukan Geusan Ulun sebagai penguasa Sumedanglarang.

19

b. Tindakan Prabu Geusan Ulun sebagai nalndra (penguasa) Sumedanglarang


sendiri melemahkan kekuasaanya. Sepulang berguru dari Demak, dia singgah
di Cirebon dan melarikan Ratu Harisbaya istri Panembahan Ratu Sultan
Cirebon

ke

Sumedanglarang.

Akibatnya

terjadi

peperangan

antara

Sumedanglarang dan Cirebon. Pertikaian ini diselesaikan setelah daerah


Majalengka diserahkan oleh Geusan Ulun sebagai penebus kesalahannya
kepada Panembahan Ratu Sultan Cirebon.
c. Akibat

perbuatan

Geusan

Ulun,

banyak

rakyat

meninggalkan

Sumedanglarang. Kemudian datang ancaman dari kerajaan Mataram.


Sumedanglarang merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya
sehingga putra Geusan Ulun yaitu Aria Suriadiwangsa I sebagai pengganti
ayahnya menyatakan penyerahan diri kepada Mataram tahun 1620. Nama
wilayah Sumedanglarang diganti menjadi Priangan.
Nina H. Lubis dalam tulisannya (1998:42) menyebutkan arti priangan berasal dari
kata prayangan yang artinya memberikan atau menyerahkan dengan hati yang
suci. Istilah ini dikaitkan dengan penyerahan diri Aria Suriadiwangsa I kepada
Sultan Agung. Disebutkan pula oleh Nina H. Lubis, menurut Ajat Rohaedi dalam
Toponimi Tanah Sunda, istilah prayangan merupakan perubahan dari kata
parahyangan yang artinya tempat tinggal hyang (leluhur) yang harus dihormati.
Selanjutnya Nina H. Lubis juga menjelaskan (2003:109) Parahyangan berasal
juga dari kata Parhiyangan yaitu kata serapan dari bahasa Jawa Kuna
Parhyangan.

Berdasarkan

karya

sastra

Jawa

Kuna,

misalnya

naskah

Nagarakertagama pupuh 76:1-12, Parahyangan disebut sebagai salah satu tempat


suci dharma lpas pratista Siwa. Demikian pula dalam relief candi di Jawa Timur
abad ke 13-15, Parahyangan pada umumnya mengacu pada kompleks bangunan
suci bagi Dewa Siwa.
Sultan Agung selaku penguasa Mataram kemudian menyerahkan pemerintahan di
sebelah barat kepada Aria Suriadiwangsa I yang diberi gelar Dipati Kusumadinata
I atau Rangga Gempol I. Wilayah Parahyangan ini juga meliputi daerah Galuh

20

yang sudah ditaklukkan terlebih dahulu oleh Mataram pada tahun 1595.
Selanjutnya Sultan Agung membagi wilayah Mataram menjadi beberapa
kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati. Untuk mengawasi
seorang bupati serta mengkoordinasikan para bupati ini salah seorang bupati
diangkat menjadi Wedana Bupati. Wedana Bupati pertama adalah Rangga
Gempol I (1620-1625) yang kedua Dipati Ukur (1641-1656) dan terakhir adalah
Pangeran Rangga Gempol II (1641-1656). Setelah itu jabatan Wedana Bupati
dihapuskan dan selanjutnya para bupati bertanggung jawab langsung kepada
Sultan Mataram.
Tahun 1641 Sultan Mataram melakukan reorganisasi wilayah Parahyangan akibat
peristiwa Dipati Ukur. Wilayah kekuasaan Dipati Ukur yang meliputi
Sumedanglarang dahulu yaitu Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura,
Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi kabupaten Sumedang,
Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung. Daerah Galuh dibagi menjadi
Bojonglopang, Imbanagara, Utama, Kawasan dan Banyumas. Selain itu di
Karawang dibangun koloni yang penduduknya didatangkan dari Jawa.
Setelah Sultan Agung wafat tahun 1645, putranya Sunan Amangkurat I
meneruskan reorganisasi wilayah barat. Daerah itu dibagi menjadi dua belas ajeg
(tanda secara jelas) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Kasen, Wirabaya (Galuh), Sekace, Banyumas, Ayah, dan
Banjar.
Kekuasan Mataram atas Parahyangan berakhir dengan adanya perjanjian 19-20
Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705 antara Mataram dengan VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) yang menyebutkan dalam perjanjian pertama Mataram
menyerahkan wilayah Parahyangan Timur dan dalam perjanjian kedua Mataram
menyerahkan wilayah Parahyangan tengah dan Parahyangan barat kepada VOC.
Penyerahan Parahyangan kepada VOC dilakukan Mataram sebagai balas jasa
kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di

21

Mataram.

Pengambilalihan wilayah Priangan atau Parahyangan

dilakukan

berangsur dan pada 15 Nopember 1684, daerah Parahyangan ditangani Gubernur


Jenderal Johanes Camphuijs. Bupati pertama yang mendapat surat pengangkatan
dari VOC adalah Wangsatanu yang ditetapkan menjadi Bupati Pamanukan pada
24 Desember 1701.
Setelah pemerintahan berpindah dari VOC ke tangan Pemerintah Hindia Belanda
pada awal abad ke-19, terjadi lagi reorganisasi wilayah pemerintahan. Gubernur
Jenderal H.W. Daendels meletakkan jabatannya, wilayah Parahyangan yang
sebenarnya hanya terdiri dari kabupaten-kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang,
Parakanmuncang dan Karawang. Wilayah ini dikenal juga sebagai prefectuur
preanger regentschappen.
Pada masa pemerintahan panyelang (pengganti sementara atau interregnum)
Inggris tahun 1811-1816, Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur
Inggris memperkenalkan istilah keresidenan sebagai pengganti landdrost-ambt.
Sejak saat itu dikenal istilah residen sebagai pemimpin keresidenan yang
berkedudukan di ibu kota keresidenan. Pada akhir masa pemerintahan Inggris,
Pulau Jawa terbagi atas 16 keresidenan, salah satunya Keresidenan Parahyangan
yang ibu kotanya di Cianjur. Kabupaten Karawang tidak termasuk ke Keresidenan
Parahyangan tetapi digabungkan ke Keresidenan Bogor. Pada masa pemerintahan
Raffles ini diperkenalkan pula jabatan wadana yang mengepalai disrik. Distrik
merupakan daerah bagian dari kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh
pembantu bupati.
Setelah beberapa dekade kabupaten-kabupaten yang ada di Parahyangan
mengalami reorganisasi hingga tahun 1859 menjadi kabupaten-kabupaten
Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Tahun 1864 ibu kota
Keresidenan Parahyangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung.

22

Pada tahun 1871 preangerstelsel yang telah berlangsung sejak tahun 1677
dihapuskan. Preangerstelsel menurut Nina H. Lubis (2003:485) yang dikutip dari
Edi S. Ekadjati (1974:85) disebutkan:
Ia tidak secara tegas menyebutkan preangerstelsel ini sebagai pemerintahan
tidak langsung. Ia mengartikan sistem ini merupakan aturan-aturan
penanaman kopi di wilayah Priangan. Akan tetapi, ia pun menegaskan
bahwa preangerstelsel dilaksanakan dengan landasan tatanan tradisional
yang telah lama dikenal oleh para bupati di Priangan. Tatanan tradisional
itu berupa ikatan feodal dan ikatan desa.
Kemudian setelah itu diberlakukan Preanger Reorganisatie. Menurut peraturan
tersebut Keresidenan Parahyangan dibagi menjadi sembilan afdeeling yang
masing-masing dipimpin seorang asisten residen. Afdeeling itu ada yang bersatu
dengan kabupaten sehingga di samping ada penguasa pribumi yang disebut bupati
ada pula penguasa Hindia Belanda yang disebut asisten residen. Sebagian
afdeeling berdiri sendiri terpisah dari kabupaten, di sini yang menjadi kepala
pribumi adalah patih.
Pada tahun 1901 dilakukan reorganisasi wilayah kembali. Afdeeling Cicalengka
dihapuskan dan wilayahnya sebagian digabungkan dengan afdeeling Bandung.
Sebagian lagi digabungkan dengan Afdeeling Limbangan. Afdeeling Sukapura
Kolot dihapuskan dan sebagian wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling
Sukapura, sebagian wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling Limbangan.
Afdeeling Tasikmalaya dihapuskan wilayahnya digabungkan dengan Afdeeling
Sukapura. Kemudian ibukota Sukapura yang tadinya Manonjaya dipindahkan ke
Tasikmalaya.
Tahun 1913 nama kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, nama
Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 1915
kabupaten Galuh dijadikan bagian dari Keresidenan Parahyangan dan diganti
menjadi Kabupaten Ciamis. Tahun 1921 Afdeeling Sukabumi menjadi Kabupaten
Sukabumi dan tahun 1922 dimasukkan ke Keresidenan Parahyangan.

23

Tahun 1903 di Jawa dan Madura diberlakukan Undang-undang Desentralisasi


yang menghasilkan pembentukan pemerintah kota atau gemeente. Bandung di
samping sebagai ibu kota kabupaten juga dijadikan gemeente tahun 1914. Pada
dasarnya gemeente dibentuk untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
Eropa yang tinggal di kota-kota yang bersangkutan sehingga anggota dewan kota
atau gemeeenteraad kebanyakan orang Belanda. Elite pribumi yang duduk dalam
dewan ini jumlahnya amat sedikit. Kebanyakan diambil dari kalangan pejabat
pangreh praja seperti bupati, patih dan wadana.
Bandung sebagai ibukota keresidenan, pada awal abad ke-20 mengalami
perkembangan yang amat pesat, terutama setelah jalur kereta api BataviaBandung-Cilacap dibuka. Beberapa kantor besar kemudian di tempatkan di
Bandung seperti Departemen Peperangan, Departemen Komunikasi, Departemen
Pos dan Telekomunikasi dan Departemen Enegi dan Pertambangan. Seiring
dengan perpindahan kantor-kantor ini, jumlah orang Eropa pun meningkat.
Disusul pula dengan meningkatnya orang Cina yang membuka toko-toko
keperluan orang Eropa. Selain itu Bandung juga menjadi pusat liburan orangorang Eropa di daerah Parahyangan karena iklimnya sejuk. Urbanisasi pun terjadi.
Orang-orang dari sekitar Bandung berdatangan mencari pekerjaan.
Tahun 1924 dibentuk otonomi propinsi. Tiap propinsi terbagi atas daerah-daerah
otonom kabupaten, termasuk stadsgemeente (kota praja) yang merupakan
kelanjutan gemeente. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga
Propinsi, salah satunya adalah Provincie WestJava yang beribukota Batavia.
Propinsi ini dibagi 5 keresidenan, 18 kabupaten dan 6 kota praja. Keresidenankeresidenan itu adalah Banten, Batavia, Bogor, Parahyangan, dan Cirebon.
Keresidenan Parahyangan terdiri atas kabupaten Bandung, Sumedang dan
Sukabumi yang semula menjadi bagian keresidenan Parahyangan, dimasukkan ke
Keresidenan Bogor.

24

Sejak tahun 1926 hingga tahun 1942 Keresidenan Parahyangan dibagi menjadi
Afdeeling Parahyangan Barat beribu kota di Sukapura, terdiri atas kabupaten
Sukabumi dan Cianjur. Afdeeling Parahyangan Tengah beribu kota Bandung yang
terdiri atas Kabupaten Bandung dan Sumedang, Afdeeling Parahyangan Timur
beribu kota Tasikmalaya terdiri atas Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Dengan memperhatikan perkembangan sejarah Sunda (Jawa Barat) sampai
dengan tahun 1942 dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang masuk ke Sunda
adalah kebudayaan Hindu, Cina, Persia, Arab, Eropa (Portugis, Belanda, dan
Inggris) serta Jawa. Kini jumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat ada 25 buah,
dua di antaranya yaitu Cimahi merupakan pemekaran dari kabupaten Bandung
dan Banjar yang merupakan pemekaran dari kabupaten Ciamis. Kabupaten dan
kota di Jawa Barat sekarang adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Kabupaten Bandung
Kabupaten Bekasi
Kabupaten Bogor
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cirebon
Kabupaten Garut
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Karawang
Kabupaten Kuningan
Kabupaten Majalengka
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Subang

n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.

Kabupaten Sukabumi
Kabupaten Sumedang
Kabupaten Tasikmalaya
Kota Bandung
Kota Banjar
Kota Bekasi
Kota Bogor
Kota Cimahi
Kota Cirebon
Kota Depok
Kota Sukabumi
Kota Tasikmalaya

2.2 Keadaan Geografis


Nama Sunda pertama kali disebut dalam sebuah prasasti yaitu prasasti Kebon
Kopi II atau prasasti Rakyan Jurupangambat berangka tahun 854 Saka atau 932
Masehi dan berbahasa Melayu-Kuna. Dalam prasasti itu disebutkan ba (r)
pulihkan haji sunda (memulihkan Raja Sunda). Sumber tertulis lainnya yang
memberitakan tentang kelanjutan Kerajaan Sunda adalah sumber berupa naskah
dari luar tatar Sunda. Naskah itu yaitu Kidung Sunda, Kidung Sundayan, dan
Pararaton. Dalam sumber-sumber ini nama Sunda disebut sebagai nama daerah,
bangsa, dan adat kebiasaan.

25

Sumber tertulis dari luar negeri yang menyebut nama Sunda seperti di tulis Nina
H. Lubis (2003:80), berasal dari abad ke-14 dan ke-15 antar lain berita Cina dan
Portugis. Berita Cina yaitu dari Dinasti Ming (1368-1643) antar lain menyebutkan
nama Sun-ta, sedangkan berita dari Portugis dalam hal ini berita yang berasal dari
Tome Pires menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara di Tatar Sunda
yang mempunyai hubungan niaga dengan Potugis adalah Regno de Cumda.
Sementara itu Antonio Pigafetta (1522) memberitakan Sunda sebagai daerah yang
banyak menghasilkan lada dan kesaksian seorang penyair dalam pelayaran dengan
Magelhaens mengenai adanya negara bernama Sunda.
Dalam naskah-naskah yang ditulis antara abad ke-17 hingga awal abad ke-20,
baik yang ditulis dalam bentuk babad, carita, serat, ataupun wawacan. Kerajaan
Sunda lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran ataupun Kerajaan Galuh karena
adanya kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan sebutan nama ibukotanya.
Naskah-naskah ini juga menyebutkan tokoh sentral kerajaan Sunda yaitu Raja
Pajajaran adalah Prabu Siliwangi. Para ahli menyebutkan apabila memperhatikan
karakter tokoh Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran yang selalu bersikap adil,
bijaksana, pelindung, dan pengayom rakyat, maka yang di maksud Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja. Ada pula yang berpendapat bahwa Prabu
Siliwangi adalah nama julukan beberapa Raja Sunda atau nama dinasti.
Sebelumnya dikenal istilah Jawa Barat, daerah ini lazim disebut Tatar Sunda atau
Tanah Pasundan, yang oleh orang Belanda disebut Soendalanden. Maka yang
dimaksud Tatar Sunda atau Tanah Pasundan atau Soendalanden pada waktu itu
menurut Judistira K. Garna (1980:11) adalah daerah Jawa Barat sekarang yang
terletak antara 550'-750' lintang selatan, dan antara 10448'-10848' bujur timur.
Luasnya mencapai 46.890 km2 atau 2,46% dari luas seluruh Indonesia.
Wilayah keresidenan Parahyangan pada abad ke-19 luasnya kurang lebih 1/6
Pulau Jawa. Di sebelah utara berbatasan dengan keresidenan Batavia dan Cirebon,
di sebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan Banyumas, di sebelah selatan,

26

sebelah barat daya berbatasan dengan Samudra Hindia, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Banten.
Wilayah Parahyangan sangat subur karena merupakan daerah vulkanis yang
dibentuk oleh gunung-gunung berapi dengan ketinggian antara 1.800 hingga
3.000 m di atas permukaan laut, seperti Gunung Gede, Gunung Galunggung,
Gunung Papandayan, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Guntur dan Gunung
Cikuray.
Sungai-sungai besar seperti Citarum, Cisokan, Cimanuk dan Citanduy ikut
mewarnai lingkungan Keresidenan Parahyangan. Sungai Cimanuk merupakan kali
yang cukup penting, bahkan sudah dikenal perannya sejak zaman Kerajaan Sunda
karena di muara sungai ini ada pelabuhan dagang yang cukup ramai sekaligus
merupakan pembatas kerajaan. Kali ini juga memegang peranan penting
khususnya karena bisa dipakai sebagai sarana transportasi pengangkutan kopi dan
garam, sungai itu adalah Citanduy dan Citarum. Di aliran Citarum terdapat
gudang-gudang kopi milik VOC seperti di Cikao dan Karangsambung.
Secara geografis dan administratif pemerintahan wilayah Sunda (Jawa Barat)
dipisahkan dengan wilayah Jawa Tengah oleh dua buah sungai, yaitu sungai
Cilosari yang mengalir ke utara dan sungai Citanduy yang mengalir ke selatan
kedua buah sungai ini sekaligus menjadi batas. Selain perbedaan bahasa,
perbedaan lain antara penduduk Jawa Barat dengan penduduk Jawa Tengah
adalah bentuk fisik dan gaya hidup yang dipengaruhi falsafah kedaerahan, bentukbentuk benda perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti rumah, alat masak,
busana, dan lain-lain juga adat istiadat yang dijalankan dalam kehidupan.
Banyak pengaruh kebudayaan dari luar masuk ke wilayah Sunda dan
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya serta perjalanan sejarahnya namun
pengaruh pada tiap daerah ini berbeda. Ada daerah yang lebih banyak mendapat
pengaruh kebudayaan Melayu dan kebudayaan Cina seperti Jakarta dan daerah

27

pantai utara. Ada pula yang mendapat pengaruh kebudayaan Jawa seperti Banten
dan Cirebon. Perbedaan ini salah satunya terlihat dalam penggunaan bahasa
daerah Jakarta dan pantai utara yang menggunakan bahasa Melayu dan daerah
Banten dan Cirebon memakai bahasa campuran SundaJawa, sehingga dapat di
ketahui bahwa penduduk Jawa Barat adalah suku Sunda kecuali wilayah Jakarta
dan pantai utara.
Suku bangsa Sunda terdiri dari beberapa suku yang berbeda. Perbedaan ini timbul
karena beberapa unsur kebudayaan seperti gaya hidup, gaya bahasa dan adat
istiadat. Perbedaan ini menimbulkan anggapan bahwa yang disebut orang Sunda
hanyalah orang-orang yang berasal dari daerah Parahyangan. Hal ini menurut
pendapat Harjoso (1970:301) yang dikutip Jetty Daliaty S. (1979:10) bahwa:
pada daerah-daerah percampuran di mana bahasa Sunda dan bahasa Jawa
ada kecenderungan pada beberapa keluarga yang menggunakan bahasa
Sunda untuk tidak menyebut dirinya orang Sunda, akan tetapi menyebut
dirinya misalnya orang Cirebon atau orang Banten, dan menggunakan
istilah orang Sunda bagi orang Sunda Parahyangan. Salah satu keterangan
yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa yaitu bahwa bahasa
di Parahyangan lebih halus. Akan tetapi dikembalikan pula bahwa orang
Cirebon dan Banten melihatnya dari sudut penyebaran agama Islam. Dilihat
dari sudut kronologi sejarah, agama Islam lebih dahulu tersebar di daerah
Banten dan Cirebon. Sebaliknya bagi orang di Parahyangan semua orang
yang berbahasa Sunda sebagai bahasa ibunya di manapun ia tinggal adalah
orang Sunda.
Berdasarkan pendapat di atas maka suku Sunda terbagi menjadi tiga sub suku
yaitu Banten, Cirebon dan Parahyangan.
Berdasarkan topografinya Sunda terdiri dari tiga jenis, yaitu :
a. Daerah dataran rendah yang membentang dari barat ke timur merupakan
daerah pantai utara Jawa Barat. Dataran rendah ini berpotensi untuk
mengembangkan budaya sawah.
b. Daerah dataran tinggi di sepanjang bagian tengah Jawa Barat. Dataran ini
meliputi wilayah Pandeglang, Banten selatan, Sukabumi, Bogor, Bandung,
Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Daerah ini mengembangkan pertanian
ladang dan abad ke-18 mengembangkan pertanian sawah.

28

c. Daerah sepanjang pantai selatan Jawa Barat. Daerah ini dipenuhi dengan
perbukitan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Daerah ini meliputi Banten
selatan, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Dengan demikian wilayah Sunda dapat dibagi menjadi daerah pasisian atau
pakalran (pesisir utara Jawa Barat) dan daerah pedalaman perbukitan di bagian
tengah dan selatan, yang meliputi Banten utara, Tanggerang, Betawi, karawang,
Cirebon, dan daerah pakidulan (daerah pedalaman perbukitan).

2.3 Batas Wilayah


Daerah Sunda dapat dibatasi menurut beberapa pengertian. Hal tersebut dapat
dilihat dari segi :
2.3.1 Administrasi Pemerintahan
Batas wilayah Parahyangan secara administratif adalah:
Sebelah selatan

Samudra Indonesia.

Sebelah barat

Sungai Cilaki, sungai Cikahuripan, gunung Simpang,


telaga Patngan, gunung Masigit, sungai Cisokan, dan
sungai Citarum.

Sebelah utara

Gunung Burangrang, gunung Tangkubanparahu, gunung


Bukittunggul, sungai Cipunagara, dan gunung
Tampomas.

Sebelah timur

Sungai Cilutung, gunung Cakrabuwana, sungai Cijulang,


dan sungai Citanduy.

29

Gambar II.2 Peta wilayah Sunda


(Sumber : Atlas Indonesia dan dunia, hlm. 19)

2.3.2

Batas Bahasa

Bahasa Sunda yang dipakai sebagian penduduk Jawa Barat atau di wilayah Sunda
dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu:
1. Bahasa Sunda Buhun (Sunda Lama) yang dipakai oleh suku Baduy di
pedalaman Banten.
2. Bahasa Sunda halus yang dipakai oleh penduduk Bandung, Ciamis, Cianjur,
Garut, Sukabumi, Sumedang, dan Tasikmalaya. Bahasa Sunda halus terdiri
dari basa Sunda lemes (bahasa Sunda halus), basa Sunda sedeng (bahasa
Sunda sedang), basa Sunda kasar (bahasa Sunda kasar), dan basa Sunda
cohag (bahasa Sunda kasar sekali). Bahasa Sunda dialek Cianjur dianggap
bahasa Sunda yang paling halus.
3. Bahasa Sunda kasar dipakai penduduk daerah Bogor sampai Jasinga. Bahasa
Sunda ini tidak mengenal tingkatan bahasa.
4. Bahasa Sunda campur Jawa yaitu bahasa campuran yang dipakai penduduk
daerah Banten, Cirebon, pantai utara sebelah timur, Ciamis Selatan, beberapa
kampung di Brebes, Tegal dan Banyumas.

30

Maka berdasarkan bahasa, yang termasuk daerah Sunda adalah daerah dengan
penduduk yang mendiami wilayah Jawa Barat yang berbahasa Sunda halus dan
bahasa Sunda kasar.

2.3.3

Batas Budaya

Wilayah Parahyangan sekarang secara geografis menurut Arthur S. Nalan


(2000:81) hanya terdiri dari Garut, Kabupaten Bandung, Kota Bandung,
Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya. Namun secara wilayah budaya sangatlah
berbeda karena Cianjur dan Bogor (sebelah timur) dan Purwakarta, masih dapat
dikategorikan pada wilayah budaya Parahyangan karena berbagai gaya hidup dan
pemakaian bahasanya, masih jelas menampakkan kesamaan dengan wilayah
Parahyangan yang disebutkan tadi.
R. Moh. Ali (1975:13) menyebutkan:
Pengisian sejarah Jawa Barat atas dasar etnografis dengan menyebut
sejarah suku bangsa Sunda, sejarah Pasundan atau sejarah Tatar Sunda
pada hakekatnya bertentangan dengan pengertian wilayah. Secara
etnografis apa yang disebut sejarah Pasundan melampaui wilayah Jawa
Barat, karena meliputi wilayah-wilayah di luar Jawa Barat. Antara lain
tempat bermukim orang Sunda dewasa ini, di daerah transmigrasi, daerah
kolonisasi (sebelum perang), dan daerah-daerah rantau lainnya. Kecuali
itu termasuk juga daerah-daerah kuno yang pernah atau masih didiami
orang Sunda.
Dari keterangan di atas, maka pengertian Sunda Parahyangan secara budaya
sangat luas meliputi berbagai daerah di wilayah Jawa Barat dan di luar Jawa Barat
yang pernah menjadi daerah perkembangan budaya Sunda.

2.4 Kehidupan Masyarakat


2.4.1 Penduduk
Daerah administrasi pemerintah tingkat I Jawa Barat merupakan tempat sebagian
besar orang Sunda hidup dan bertempat tinggal. Pada umumnya di kota-kota dan
pusat-pusat daerah perkotaan akan dijumpai percampuran dari berbagai kelompok
etnik yang berbeda, sedangkan di daerah pedesaan pada umumnya homogen

31

terdiri dari orang-orang Sunda. Judistira Garna (1980:13) mengatakan kelompokkelompok etnik di Indonesia pada dasarnya adalah kelompok yang homogen yang
memiliki identitas kebudayaan sendiri dan mempunyai batas-batas teritorial
tertentu.
Anggota-anggota masyarakat suku bangsa Sunda yang berdiam di daerah
pedesaan pada umumnya melakukan relasi sosial dengan anggota lainnya sesama
suku bangsa, sedangkan di daerah perkotaan kemungkinan relasi sosial dengan
suku bangsa lain akan lebih besar kemungkinannya terjadi.
Masyarakat etnik Sunda termasuk masyarakat Indonesia yang menerima berbagai
pengaruh secara terus menerus dalam proses waktu yang panjang. Pengaruh dari
luar itu antara lain dari kebudayaan Hindu, Eropa khususnya Belanda, Cina, dan
Islam. Pengaruh luar itu memberikan dampak pada bentuk-bentuk simbol dan
kebudayaan materi serta unsur-unsur kebudayaan setempat.
Wilayah Parahyangan dihuni sebagian besar oleh suku Sunda yang sering disebut
urang gunung, wong gunung, atau tiyang gunung oleh orang yang tinggal di
pesisir. Supriatna (2004:68) menjelaskan bahwa dalam sebuah tulisan Saini K.M
(1999) menyampaikan untuk mengenal orang Sunda, yakni:
mengenali lebih dari satu ciri itu (lahir di tanah Pasundan dan pandai
berbahasa Sunda), mengenal dan menghargai adat istiadat Sunda, sejarah
Sunda, seni Sunda (termasuk sastra lama dan baru), filsafat, atau
pandangan hidup khas Sunda (kalau ada).
Dari keterangan di atas jelas penduduk di wilayah Sunda yang dapat disebut pria
Sunda dan wanita Sunda adalah mereka yang lahir di Tatar Sunda, berbahasa ibu
bahasa Sunda, mengenal, memahami, dan menghargai adat istiadat Sunda dalam
kehidupannya. Namun yang terpenting adalah sedikitnya mengenal sejarah
budaya Sunda baik itu sejarah wilayah, seni dan pandangan hidup orang Sunda.

32

2.4.2 Agama dan Kepercayaan


Di daerah pedesaan pada umumnya masyarakat Sunda beragama Islam namun
demikian ada juga yang beragama lain selain Islam namun tidak banyak
jumlahnya. Sistem religi masyarakat Sunda banyak dipengaruhi agama-agama
besar seperti Hindu dan Budha, seperti sistem religi masyarakat Baduy yang lebih
menolak (secara halus) pengaruh agama Islam. Namun wilayah Sunda selain
Baduy pada umumnya mendapat pengaruh agama selain Hindu dan Budha juga
Islam. Sehingga antara adat, kepercayaan, dan agama khususnya Islam terbentuk
menjadi satu kegiatan utuh seperti adanya upacara adat dengan tujuan tertentu
yang

menggunakan

berbagai

benda

sebagai

simbol

pemujaan

namun

menggunakan doa secara Islam.

2.4.3 Ekonomi
Wilayah Sunda yang beriklim tropis dikenal sebagai daerah agraris yang subur.
Cara bercocok tanam yang dilakukan masyarakat Sunda adalah ngahuma (pola
pertanian ladang), dan nyawah (pola pertanian menetap). Dewasa ini pola
pertanian menetap merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sunda
khususnya di daerah pedesaan. Sejak zaman Kerajaan Sunda, orang Sunda dikenal
bermata pencaharian sebagai peladang. Ciri yang menonjol pada masyarakat
peladang adalah kebiasaan selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang
subur. Kebiasaan berladang ini turut berpengaruh terhadap bangunan tempat
tinggal. Mereka tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh, cukup yang
sederhana saja. Kemungkinan besar itulah salah satu sebab mengapa di
Parahyangan tidak banyak peninggalan berupa candi atau keraton. Hingga
pertengahan abad ke-19 berladang masih merupakan pola yang umum di
pedalaman Jawa Barat. Usaha bersawah sebenarnya juga sudah digalakkan pada
waktu Mataram melebarkan kekuasannya ke wilayah Parahyangan. Di beberapa
daerah koloni dibuat pesawahan. Pesawahan baru dibuka secara luas di berbagai
daerah seperti Ciawi (Bogor), Bandung, Garut, dan Sumedang.

33

Pada abad ke-17 berkembang perekonomian dan perkebunan kopi. Kopi banyak
dihasilkan dari lereng Gunung Gede di Cianjur dan Bandung. Pada abad ke-19,
penduduk di daerah pegunungan selain bekerja di perkebunan kopi, ada juga yang
bekerja di perkebunan kina, teh, karet, kelapa, coklat, lada, dan serat nanas.
Perkebunan teh terbaik ada di Pangalengan dan di sekitar Gunung Patuha,
sedangkan perkebunan kina ada di Cinyiruan Kabupaten Bandung. Perkebunan
karet yang cukup besar berada di Kabupaten Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Karena adanya perkebunan maka dibangun jaringan jalan perkebunan, jalan raya,
dan jalan kereta api yang menghubungkan beberapa kota sehingga membuka
isolasi daerah pedalaman Parahyangan dan menunjang pembangunan kota. Rel
kereta api Batavia-Buitenzorg-Cianjur-Bandung dibangun tahun 1884 yang
diteruskan menuju Cilacap melalui Cibatu (Garut), Tasikmalaya dan Banjar
(Ciamis). Tahun 1918-1921 dibuat jalur kereta api menuju daerah perkebunan
yaitu

Bandung-Rancaekek-Tanjungsari,

Bandung-Ciwidey,

dan

Bandung-

Majalaya-Pangalengan. Para Preangerplanters (orang-orang Belanda yang


menjadi administrator atau pemilik perkebunan) inilah yang secara langsung atau
tidak langsung ikut memperkenalkan budaya barat.
Bercocok tanam di ladang atau ngahuma sekarang sudah jarang dilakukan, kecuali
di tempat-tempat tertentu seperti di daerah Banten khususnya Baduy. Namun
ngahuma masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di beberapa daerah di selatan
Jawa Barat. Ngahuma atau berladang tampaknya dikenal sejak jaman neolitikum
(zaman batu baru) yang merupakan suatu zaman di mana manusia masih
menggunakan alat perkakas hidup yang terbuat dari batu yang telah diasah.
Masyarakat Sunda hidup dengan cara berladang yang dilakukan sebelum
pengaruh Hindu masuk. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai
satu keluarga. Tiap-tiap keluarga mempunyai sebidang tanah yang dikerjakan oleh
semua anggota keluarga yang dianggap sudah mampu bekerja. Untuk berladang
pada umumnya mereka menggunakan alat-alat bercocok tanam antara lain:

34

a. Patik atau baliung, yang digunakan untuk nyacar yaitu menebang pohon di
sekitar areal ladang kemudian hasil tebangnya dibakar.
b. Aseuk yaitu sejenis tongkat panjangnya 1 m dan runcing pada bagian salah
satu ujungnya untuk ngaseuk. Ngaseuk merupakan proses menanam benih
padi dengan cara melubangi tanah untuk tempat benih padi.
c. Pacul untuk mencangkul.
d. Kord atau kujang untuk ngoyos atau membersihkan ladang dari rumput yang
tumbuh di sekitar tanaman.
Kesatuan kerja yang mengolah tanah huma adalah keluarga inti yang terdiri dari
tiga sampai lima orang, sedangkan masa panen yang biasanya memerlukan tenaga
lebih banyak, tambahan tenaga kerja diperoleh secara spontan dari lingkungan
setempat. Kerja gotong royong seperti ini disebut liliuran.
Pengaruh pola ngahuma pada masyarakat Sunda di Jawa Barat seperti antara lain
pengaruh jarak yang berjauhan antar huma membawa akibat juga jarak antar
rumah berjauhan. Keadaan ini membawa pengaruh pada pola hubungan antar
keluarga menjadi longgar. Kehidupan gotong royong pada masyarakat huma
hanya dilakukan pada peristiwa tertentu seperti panen. Keadaan ini membawa
kecenderungan kearah sikap individualistis.
Pada dasarnya masyarakat huma tidak memiliki tingkat undak usuk basa dalam
penggunaan bahasa. Keadaan ini dapat kita saksikan di daerah yang intensitas
pengaruh Mataramnya sangat kurang seperti di daerah Bogor dan daerah Banten.
Kesederhanaan dalam bidang bahasa juga menunjukkan bahwa masyarakat huma
tidak memiliki kebudayaan menulis melainkan cenderung kearah kebudayaan
lisan.
Di Jawa Barat sistem pertanian sawah dikenal abad ke-18 Masehi yang
diperkenalkan oleh orang-orang Mataram. Sehubungan dengan rencana kompeni
Belanda membuka daerah baru yang menghasilkan pangan dan rencana perluasan

35

perkebunan dengan jenis tanaman ekspor. Selain itu dengan sistem persawahan
Belanda menghendaki agar masyarakat Sunda yang pada waktu itu masih bersifat
nomaden dapat hidup dalam pola perkampungan yang menetap.
Berbeda dengan prinsip mengolah huma yang lebih menitikberatkan pada
pemeliharaan kesuburan tanah secara alami, maka pada pertanian sawah selain
menitikberatkan pada pemeliharaan kesuburan tanah juga intensifikasi pengolahan
tanah, macam tanaman, cara pemupukan tanah, dan pengaturan pengairan.
Pengaruh dari pengolahan sistem pertanian sawah, masyarakat Sunda mengenal
beberapa tradisi yaitu:
a. Teknik penggenangan air di sawah;
b. Adat pembagian air sawah yang diatur oleh lembaga adat dan pejabatnya yang
disebut raksabumi atau mayor, ulu-ulu, atau ngalambang;
c. Melakukan permohonan atau minta doa restu kepada nenek moyang agar
tidak ada gangguan atau hambatan dari makhluk halus, yang dikenal dengan
upacara selamatan tolakbala. Upacara ini dilakukan di sumber air yang
disebut hulu wotan dipimpin oleh ajengan, kuncn atau dukun;
d. Mengenal sistem kerja bersawah disertai upacaranya seperti: upacara nyambut
yaitu mengolah sawah dengan menggunakan alat singkal atau wuluku yang
kemudian digaru yaitu membalikkan tanah menggunakan alat seperti sisir
besar yang jarang. Kedua alat itu ditarik dengan kerbau. Ngababut yaitu
mencabut benih padi untuk dibersihkan pada saluran air dan disiapkan untuk
ditanam. Mitembeyan yaitu menanam benih padi pertama kali yang dilakukan
oleh kuncn atau dukun atau ajengan. Tandur yaitu menanam padi beramairamai oleh perempuan tua dan muda. Ngarambt yaitu membersihkan sawah
dan pematang sawah (galengan) dari rerumputan. Nyalin yaitu menuai padi
pertama kali sebelum dilakukan pann. Pann yaitu memotong padi dengan
menggunakan tm atau ketam atau anai-anai yang dikerjakan beramai-ramai;
e. Dewi Sri sebagai lambang indung par (induk padi) yaitu padi yang dituai
pertama kali setelah melalui proses upacara;

36

f. Perhitungan waktu untuk menentukan hari baik atau buruk untuk memulai
panen. Perhitungan ini berkembang pula untuk menentukan hari baik atau
buruk dalam segala bidang yang pada akhirnya ada kebiasaan meramal;
g. Pola pembagian hasil panen, ada sistem tebasan dan ada sistem nyeblok.
Sistem tebasan adalah menuai padi dengan menggunakan sabit dengan tenaga
kerja yang sedikit sedangkan sistem nyeblok adalah pembagian hasil panen
dengan perhitungan sapocong (seikat padi) dari lima pocong yang diperoleh
derep (orang yang ikut menuai padi) pada saat panen. Atau perbandingan 4:1;
h. Ukuran timbangan dengan menggunakan patokan seperti:
sapocong

3,25 kg padi kering


Kalau ukurannya tampak besar disebut bondot
Kalau ukurannya tampak kecil disebut dugel
= Ukuran sapocong yang telah diikat
saeundan
sageugeus = Ikatan padi yang terdiri atas dua eundan = 6 kati
= Ikatan padi yang terdiri atas tiga eundan
capit
= 100 kati
1 pikul
= 1200 kati
1 cang
= 6 kg padi kering = 12 kati
1gdng
200 gdng = 1 caeng
100 gedeng = 1 mada.
i. Pola penguasaan tanah atau sawah, ada yang dilakukan dengan sistem
penjualan ada pula yang dilakukan dengan sistem pemberian tanah.
Di daerah perkotaan di Jawa Barat heterogenitas dalam mata pencaharian hidup
mulai tampak. Menurut Hildred Geertz seperti ditulis Kusnaka Adimihardja
(1980:171) di perkotaan dikenal adanya penduduk dengan sebutan:
a. The urban elite yang terdiri dari kalangan diplomatik, pengusaha baik asing
maupun pribumi.
b. The Indonesian metropolitan superculture yaitu mereka yang masih dalam
proses pembentukan jati diri dengan simbol pendidikan tinggi, bicara dalam
bahasa asing, berpengalaman luar negeri dan menggunakan barang-barang
buatan luar negeri.
c. The urban middle class yang terdiri dari kalangan pegawai menengah,
pamongpraja, guru dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

37

d. The urban proletariat terdiri dari golongan buruh, pembantu rumah tangga,
tukang becak, pedagang kecil, dan lain-lain.

2.4.4 Pendidikan
Peranan orang tua terutama ayah dan ibu yang membentuk keluarga inti sangat
menentukan pendidikan dalam keluarga pada masyarakat Sunda. Masyarakat
Sunda memakai sistem garis keturunan secara bilateral yaitu keluarga batih atau
inti yang merupakan suatu kesatuan kerabat yang penting peranannya. Pendidikan
informal dikembangkan dalam keluarga inti yang turut membentuk proses
sosialisasi anak, pernikahan dan pembentukan keluarga turunannya dalam
masyarakat. Sistem bilateral juga mengandung pengertian bahwa masyarakat
Sunda melibatkan kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu dalam pendidikan,
serta pemakaian bin dan binti pada nama belakang anak-anaknya serta tidak
membedakan kerabat yang berasal dari garis keturunan pihak ibu dan kerabat dari
garis keturunan pihak ayah. Dalam pendidikan keluarga, diterapkan istilah khusus
untuk menyapa atau menyebut beberapa generasi ke atas dan ke bawah dari ego1,
seperti:
10.
9.
8.
7.
6.
5.
4.
3.
2.
1.

Tambak Galeng
Geplak
Kait Siwur
Udeng-Udeng
Janggawarng
Canggih
Bao
Buyut
Aki/Nini
Bapa/indung
Kuring (ego)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Anak
Incu
Umpi
Cicit
Muning
Angga santana
Kula santana
Prti santana
Wit wekas

Sumber : Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Geusan Ulun Sumedang

38

Ayah adalah kepala keluarga dan ibu sebagai sebagai penunjang keluarga
sehingga terdapat ungkapan indung nu ngandung bapa nu ngayuga (ibu yang
melahirkan ayah yang menjaga). Apabila ada kesalahan yang diperbuat anak,
permohonan maaf terlebih dahulu dimintakan kepada ibu dibandingkan kepada
ayah seperti ungkapan indung mah ged hampura (ibu selalu memaafkan). Hal ini
menunjukkan hubungan yang erat antara ibu dengan anak juga meletakkan status
tersendiri bagi wanita dalam keluarga Sunda.
Isi pokok pendidikan terdiri dari etika, sopan santun, penghormatan terhadap
orang tua, dan cara berinteraksi dengan keluarga lain serta pedoman hidup yang
dilatarbelakangi oleh agama.

2.4.5 Struktur Masyarakat


Masyarakat Sunda terbagi ke dalam beberapa tingkatan atau strata sosial yaitu
mnak (priyayi), santana (priyayi yang tidak memerintah) dan somah atau cacah
(rakyat biasa). Mnak merupakan golongan bangsawan yang memerintah di Tatar
Sunda. Golongan mnak menonjol setelah berdirinya kabupaten-kabupaten di
Jawa Barat yaitu sejak awal abad ke-17 khususnya di Parahyangan. Mnak terdiri
dari golongan mnak luhur atau mnak ged (priyayi golongan tinggi) seperti para
bupati, pejabat di bawahnya sampai dengan wadana, dan mnak leutik (priyayi
golongan kecil) yaitu pejabat di bawah wadana sampai pejabat tingkat desa
(pamong desa).
Yang dimaksud mnak dalam struktur masyarakat Sunda adalah priyayi
khususnya bupati, seperti yang diutarakan D.K Ardiwinata (1916:9) bahwa
ngan bupati ku sarra kudu dianggap mnak panggede-gedena, sabab alam
ayeuna teu aya deui ratuna bangsa pribumi lian ti bupati (hanya bupati
yang oleh semua orang harus dianggap priyayi tertinggi, sebab dewasa ini tidak
ada lagi ratunya pribumi selain bupati).

39

Sejak abad ke 20 golongan mnak bertambah yaitu golongan praja dan pegawai
negeri walaupun dari somah (rakyat biasa), sehingga dapat dikategorikan ada
mnak tradisional yaitu berdasarkan hubungan darah dan ada mnak anyar
(bangsawan baru) yaitu golongan mnak yang karena menduduki jabatan
pamongpraja dan pegawai negeri sipil, hanya cirinya ada pembeda dalam
pemakaian gelar Radn pada nama mnak tradisional.
Keadaan di atas seperti ditulis Ajip Rosidi (2000:409) bahwa ketika pengaruh
kebudayaan Jawa yang bersifat feodal masuk ke dalam budaya masyarakat Sunda
terutama di wilayah Parahyangan mengiringi masuknya kekuasaan politik
Mataram, keberadaan kaum mnak makin nyata dan berkembang. Walaupun
kedudukan tertinggi mnak Sunda itu hanya sebagai dalem (bupati) namun
mereka meniru pola hidup raja di Keraton Mataram. Mereka menciptakan gaya
hidup yang berbeda dan perbedaannya makin jelas dan kontras seperti pendopo
kabupaten dipagari sekelilingnya dengan tembok benteng yang tinggi agar
terpelihara dari kegiatan sehari-hari rakyat umum. Begitu pula dalam hal busana,
alat rumah tangga dan perlengkapan kabupaten di tempat tinggal dalem. Bendabenda itu mengandung simbol-simbol kebesaran sebagai penguasa. Kehidupan
mereka sehari-hari dipenuhi dengan upacara formal dan pelayanan seperti
layaknya di keraton raja. Bahasa dan tatakrama di lingkungan mereka dibedakan
dengan bahasa dan tatakrama di kalangan rakyat biasa dengan menggunakan
undak usuk basa.
Santana adalah golongan mnak yang tidak memerintah. Santana merupakan
strata tengah antara mnak dan somah. Santana pada umumnya merupakan
golongan masyarakat yang memiliki kekayaan namun secara keturunan bukan
keturunan mnak.
Somah merupakan masyarakat umum atau rakyat biasa. Mereka hidup sebagai
rakyat kebanyakan. Pada umumnya mereka hidup sederhana dan mengabdikan
diri pada golongan mnak.

40

2.4.6 Folklor Sunda


Adat istiadat di Sunda yang berkembang secara turun temurun dan telah menjadi
kebiasaan yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam jenisnya.
Adat istiadat yang dimaksud adalah Folklor Sunda. Folklor menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2003:319) merupakan adat istiadat tradisional dan cerita
rakyat yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibukukan. R. Djaka
Soeryawan (2001:21) menyebutkan bahwa:
menurut salah seorang ahli folklor di Amerika Serikat yang dimaksud
dengan folk adalah sekelompok orang-orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal kebudayaan yang membedakan dari kelompokkelompok
lainnya. Ciri-ciri itu bisa bermacam-macam, bisa bahasa, adat, religi dan
lain-lain. Yang dimaksud dengan lore adalah tradisi dari folk yaitu
kebudayaan yang telah diwariskan turun temurun yang bisa diakui
sebagai milik aslinya dan diturunkan melalui lisan atau dengan contohcontoh perbuatan.
Adat menurut Koentjaraningrat (1981:19) adalah wujud ideel dari kebudayaan
yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Arthur S. Nalan (2005:86) menyebutkan
James Danandjaja (1984) dalam tulisannya berjudul Folklor Indonesia,
menguraikan bahwa Jan Harold Brunvand, seorang ahli Folklor Amerika
membagi folklor menjadi tiga yaitu folklor lisan atau verbal folklore, folklor
sebagian lisan atau partly verbal folklore dan folklor bukan lisan atau non verbal
folklore.

2.4.6.1 Folklor Lisan


Folklor lisan bentuknya murni lisan. Tradisi yang menyangganya adalah tradisi
lisan. Bentuk-bentuk yang dapat dikategorikan sebagai folklor lisan antara lain
bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, titel kebangsawanan,
ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, pameo, dan pertanyaan
tradisional seperti teka-teki. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair.
Cerita prosa rakyat seperti mite, legenda dan dongeng, selain itu nyanyian rakyat.
Bahasa rakyat merupakan bahasa yang hidup dan berkembang di kaum somah
(rakyat), baik yang hidup di lembur singkur (kampung), di pegunungan, desa, kota

41

perbatasan, maupun kota besar. Bahasa rakyat biasanya bersifat egaliter atau
bersifat sama atau sederajat. Ajip Rosidi memiliki pandangan bahwa ciri-ciri
budaya di Sunda adalah budaya kerakyatan, sehingga ciri yang menonjol dari
masyarakat Sunda adalah melalui tutur bahasanya yang berkarakter kerakyatan.
Undak usuk basa menjadi bagian dalam bahasa rakyat tetapi tidak mengikat
secara ketat. Lentong (logat) bahasa Sunda terbentuk secara alami memiliki
keragaman dan keunikan. Besarnya pengaruh alam menunjukkan realitas yang
unik dari cara pengucapan dan kelisanan masyarakat pelakunya. Masyarakat
pegunungan di beberapa tempat di Jawa Barat cenderung menggunakan logat
meliuk panjang dan keras kedengarannya. Kondisi ini dapat didengar dari ucapan
orang-orang huma, lembur singkur, dan orang desa pada saat mereka berbicara
baik bicara sehari-hari maupun bicara lantang.
Julukan merupakan folklor lisan yang tumbuh di masyarakat Sunda, baik julukan
kehormatan maupun lingkungan julukan penghinaan. Julukan penghormatan atau
honorific names sebenarnya telah dimiliki masyarakat Sunda lama terhadap yang
diyakininya seperti dalam mitologi Sunda yaitu Sanghyang, Sunan Ambu, Pohaci,
Guriang, Rakan, Mbah, dan Dalem. Julukan penghormatan juga sering dipakai di
kalangan seniman kesenian rakyat, biasanya dipinjam dari nama-nama binatang
seperti Beunteur, Taws, Tilil, Saran, Heulang, Cangkurileung, dan nama
lainnya yang dianggap sebagai julukan kehormatan karena kepiawaian suaranya
seperti Si Geureuleung atau karena kekaguman pada mata seseorang sehingga di
sebut Si Mata Roda.
Pangkat tradisional adalah sistem kepangkatan yang terwarisi melalui tuturan lisan
pantun atau tuturan sepuh seperti badga (pelayan pria), emban (pelayan wanita),
juru pantun, juru demung, juru panday, ngalambang (pengatur air), raksabumi
(pengatur tanah), kandagalant (panglima perang), puun (pemimpin masyarakat
adat), dan lain-lain. Titel kebangsawanan di masyarakat Sunda tidak banyak
dikenal, seperti di masa kolonial dan pengaruhnya termasuk pengaruh budaya
priyayi Jawa terdapat titel kebangsawanan seperti Radn, Radn Ayu, Pangran

42

dan Ratu yang dipakai sampai sekarang tetapi dengan sebutan praktis dan pendek
misalnya Adn (raden pria), Ndn (raden wanita), Dnayu (raden ayu), dan lang
(pangeran). Di kalangan masyarakat Sunda golongan mnak yaitu Dalem untuk
menyebut para bangsawan. Aom untuk sebutan putra mnak dan Juag untuk
sebutan putri mnak.
Ungkapan tradisional yang terdiri dari peribahasa, pepatah dan pemeo di
masyarakat Sunda sangat banyak. Papatah (pepatah) disebut juga ppling
banyak tersampaikan

melalui seni pupujian atau nadoman, pemeo berupa

kalimat-kalimat singkat yang sering dipakai untuk meneguhkan sikap dan


semangat hidup seperti cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), pinter
(pintar), singer (cekatan), silih asah (saling memperbaiki diri), silih asuh (saling
menjaga), silih asih (saling memberi), moal ngakeul lamun teu ngakal (tidak akan
mempunyai nasi panas yang harus dikipasi apabila tidak berikhtiar).
Pertanyaan tradisional seperti teka teki dikenal masyarakat Sunda sebagai
tatarucingan atau babadan, biasanya bersifat kejutan dan berkesan main-main,
tetapi jika direnungkan tentang jawabannya, kita menyetujuinya. Misalnya budak
leutik ngambay peujit (anak kecil ususnya panjang), jawabannya adalah jarum
dengan benangnya. hayam rintit nonggng ka langit (ayam keriting dengan
ekornya yang menungging ke langit) jawabannya adalah buah nanas.
Puisi rakyat di kalangan masyarakat Sunda dikenal dengan rajah, plt,
jangjawokan, dan di kenal dengan puisi yang mengandung magis, karena
dianggap memiliki kekuatan-kekuatan esoterik yang hanya dipercaya oleh
pelakunya. Prosa rakyat di kalangan masyarakat Sunda dikenal lewat mite,
legenda, dan dongeng. Gambaran pembagian tiga dunia (imago mundi) telah
menunjukkan tentang pembagian tiga dunia yakni Buana Padang (dunia atas),
Buana Pancatengah (dunia manusia), dan Buana Rarang (dunia bawah). Dari
gambaran dunia tersebut dikenal penghuninya seperti Buana Padang dihuni Sunan
Ambu, para Pohaci, dan Guriang. Buana Pancatengah dihuni manusia, Buana

43

Rarang dihuni para siluman. Mitologi Sunda mengenalkan bentuk-bentuk tuturan


pantun Sunda

seperti Panggung Karaton, Lutung Kasarung, Budak Manjor,

Mundinglaya Dikusumah. Di samping itu masyarakat Sunda juga memiliki jenis


pantun yang dianggap kontroversial yakni Pantun Bogor yang menunjukkan
semacam periwayatan kerajaan Pajajaran sampai hancurnya oleh laskar Banten.
Tercatat judul-judulnya seperti Pakujajar Beukah Kembang, Disaeurna Talaga
Rancamaya, Lawang Gintung, Ronggng Tujuh Kalasirna, Dadap Malang Sisi
Cimandiri.
Legenda masyarakat Sunda sangat banyak memiliki legenda dengan asal usul
tempat atau toponimi alam (gunung, laut, dan hutan) misalnya yang terkenal
adalah legenda Sangkuriang dan Palabuhan Ratu. Dongeng biasanya pada masa
lalu dipakai sebagai pengantar tidur anak-anak, walaupun sekarang sudah
tergantikan oleh bacaan dan televisi, namun sesungguhnya dongeng masih
tersimpan dalamdalam di batin masyarakat Sunda, misalnya dongeng Si
Kabayan, Dalem Boncl, Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyt, Si Buncireung,
Si Leungli.
Nyanyian rakyat sangat populer di masyarakat Sunda karena pada masanya anakanak Sunda selalu dapat menyanyikan lagu-lagu permainan yang menyenangkan
diri mereka, seperti tokcang, prpt jngkol, cir gobang gocir, jaleuleuja, orayorayan, dan ayang-ayang gung. Bunyi syair dari lagu-lagu tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
Tokcang
Tokcang, tokcang,
Balagendir tosblong,
Angeun kacang, angeun kacang,
Sapariuk kosong.
Tokcang, tokcang,
Balagendir tosblong,
Angeun kacang, angeun kacang,
Sapependil kosong.

44

Tokcang, tokcang,
Malik pendil tosblong,
Angeun kacang, angeun kacang,
Sapariuk kosong.
Aya listrik di masigit,
Caangna kamana-mana,
Aya istri jangkung alit,
Karangan dina pipina.
Prpt Jngkol
Prpt Jngkol,
Jajahn,
Kadempt kohkol,
Jjrtan.
Cir Gobang Gocir
Cir gobang gocir,
Cab beureum lada,
Cing urang taksir,
Nu baju beureum saha?
Oray-orayan
Oray-orayan
Luar lor ka sawah
Tong ka sawah
Parna keur sedeng beukah
Ayang-ayang Gung
Ayang-ayang gung,
Gung goongna ram,
Mnak Ki Mas Tanu,
Nu jadi wadana,
Naha manh kitu,
Tukang olo-olo,
Loba anu giruk,
Ruket jeung kumpeni,
Niat jadi pangkat
Katon kagorngan
Ngantos kangjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong

45

2.4.6.2 Folklor Sebagian Lisan


Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur
lisan dan unsur bukan lisan. Dikelompokkan menjadi kepercayaan rakyat,
permainan rakyat, teather rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta
rakyat.
Kepercayaan masyarakat Sunda tumbuh dan berkembang sejalan dengan sistem
kepercayaan seperti di kampung Kanekes, Cisungsang, Cisolok, Kampung Naga
dan masyarakat adat bentukan baru seperti Cigugur Kuningan. Agama asli yang
mereka miliki menghadirkan pola-pola penghormatan terhadap karuhun (leluhur)
mereka menjadi esoteric (bersifat khusus, rahasia dan terbatas) bagi masyarakat
Sunda sekarang. Namun renungan religiositas mereka sangatlah tinggi

dan

diyakini sekali kekuatannya sehingga mereka tak mau melanggarnya.


Permainan rakyat di dalam masyarakat Sunda sangatlah lekat dalam kehidupan,
terbukti permainan rakyat yang digolongkan sebagai kaulinan urang lembur atau
(permainan orang kampung) didapat bermacam-macam nama yang unik seperti
bbntngan, congkak, dogdog lojor, cor, gatrik, kobak, mong congkok, ngadu
karbit, atau seseblungan, ngadu muncang, oray-orayan, palalan, prangpring,
pacublek-cublek uang, sur-sar, srok, susumputan, turih oncom, ucing
kalangkang, ucing sumput, ucing kuriling, dan galah Bandung.
Teather rakyat di kalangan masyarakat Sunda telah dikenal sejak lama, sejak
masyarakat memanfaatkan waktu luangnya dan menciptakan permainan berlakon
seperti ogl, longsr, rog, ubrug kemudian sandiwara (serapan dari tonil).
Teather rakyat di Sunda terdiri dari teater oncor dan teater layar. Pembagian ini
didasarkan pada penandanya yakni oncor dan layar. Teather rakyat merupakan
teather total yang semua unsur seni terdapat di dalamnya seperti musik, tari, rupa
lakon, di samping hal-hal lain yang bebas bergerak di benak penonton karena
ucapan pelaku atau tuturan pelakon.

46

Tari rakyat di kalangan masyarakat Sunda sangatlah lekat dengan upacara


kesuburan. Di dalam kitab kuno Siksa Kanda (ng) Karesian terdapat kata
patapukan, cecetaan yang merupakan tari rakyat yang populer. Dalam Pantun
Bogor tentang upacara langlang bumi di mana tari rakyat ditampilkan melalui
tarian sakral yang ditarikan oleh seorang ronggng kembang dan empat orang
ronggng panyeta. Tari rakyat sangat melekat dengan kehidupan masyarakat
Sunda karena tradisi tarinya sejalan dengan kebutuhannya. Tari rakyat yang terus
berkembang yaitu Ketuk tilu dan jaipongan serta bajidoran.
Adat istiadat di kalangan masyarakat Sunda tetap berjalan dan terjaga oleh
masyarakat adat di kampung-kampung adat dengan tujuan menjalankan tatali
paranti karuhun (adat istiadat dari leluhur) yang tak mungkin dilanggar, karena
apabila dilanggar akan mendatangkan mamala (petaka). Masyarakat adat di Sunda
sebagai masyarakat yang sangat potensial di dalam memperlakukan alam karena
hirup jeung alam (hidup dengan alam), tak ada jiwa eksploitasi seperti masyarakat
kota yang moto hidupnya adalah bisnis. Karena itu kearifan tradisi yang mereka
miliki akan menjadi sumber inspirasi. Tak pernah ada kabar kerusakan hutan atau
kerusakan lingkungan karena mereka taat pada ajaran karuhun-nya. Ketaatan ini
yang turut melestarikan leuweung larangan (alam raya) yang harus dijaga dan
diatur pengelolaannya.
Tradisi upacara di kalangan masyarakat Sunda umumnya lekat dengan proses
perjalanan hidup yaitu kelahiran, kedewasaan, perkawinan dan kematian. Sejak
lahir bayi tak pernah lepas dari pra-natal, kelahirannya sendiri, dan pasca natal.
Upacara yang dilakukan ialah upacara opat sasih (empat bulanan), upacara nujuh
sasih (tujuh bulanan), dan upacara menjelang kelahiran. Untuk menghadapi akhil
balig umumnya pria Sunda disunat dengan segala upacara sunat dengan kesenian
hiburan tergantung daerahnya.
Upacara perkawinan merupakan upacara sakral yang menarik dengan sejumlah
tradisi seperti neundeun omong (berjanji), ngalamar/nyeureuhan/nanyaan

47

(meminang), papacangan (tunangan), seserahan (menyerahkan), helaran (iringiringan), ngeuyeuk seureuh (menyiapkan sirih pinang), siraman (memandikan
calon pengantin), ngaras (meminta restu orang tua sebelum menikah), upacara
saat menikah yaitu akad nikah (ijab kabul), upacara setelah menikah yaitu
munjungan (sungkem), sawr (menabur), nincak endog (injak telur), buka pintu,
dan huap lingkung (pengantin saling menyuapi nasi kuning pada pasangannya).
Hanya untuk kematian tak ada upacara yang menonjolkan keramaian tetapi tetap
menjalankan semacam upacara berdoa bersama seperti tahlilan mengingat harihari kematian, seperti tiluna (hari ke-3), tujuhna (hari ke-7), matang puluh (hari
ke-40), natus (hari ke seratus), mendak atau khaol (setahun).
Pesta rakyat di kalangan masyarakat Sunda identik dengan kariyaan (keramaian)
sebagai ungkapan rasa syukur terutama berkaitan dengan masa panen, musim
tanam padi, peringatan hari besar yang disucikan, penghormatan leluhur desa,
pergantian atap rumah keramat. Pesta rakyat bersifat sangat egaliter karena
masyarakat penyangga pesta tersebut benar-benar menjalankan secara sungguhsungguh baik dalam swadaya maupun swakelola benar-benar dijalankan dari satu
generasi ke generasi lain dengan lancar bahkan semakin bertambah variasi
acaranya sehingga pesta rakyat selalu dirasakan sebagai milik bersama. Pesta
rakyat itu antara lain upacara srn taun, badirian, ngarot, nadran, labuh saji,
sidekah bumi, ngunjung buyut, buka sirap dan ngalaksa.

2.4.6.3 Folklor Bukan Lisan


Folklor bukan lisan terdiri dari folklor material dan folklor non material. Folklor
material seperti arsitektur rakyat, kerajinan rakyat, busana dan perhiasan,
makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional, sedangkan folklor non
material seperti gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat tradisional dan musik
rakyat.

48

Di kalangan masyarakat Sunda pahuma (peladang), pada masa lalu tempat tinggal
mereka berpindah-pindah oleh karena itu arsitektur rumahnya sangat sederhana
dan mudah dipindahkan. Namun setelah masyarakat Sunda menjadi pasawah
(pesawah) tempat tinggal menjadi menetap oleh karena itu arsitek rumahnya pun
tidak sesederhana dulu bahkan berkembang dengan kelengkapan balong (kolam)
yang biasanya bersatu dengan pacilingan (kakus), kebon (kebun), buruan
(pekarangan). Arsitektur Sunda memiliki nama-nama Jolopong, Capit Gunting,
Julang Ngapak, Badak heuay, Tagog Anjing, dan Parahu Kumereb. Lampit dan
samak merupakan alas tempat duduk khas di dalam rumah Sunda. Di samping
rumah, masyarakat Sunda masih memiliki lumbung padi yang disebut leuit.
Arsitektur leuit sangat menarik karena di setiap tiang penyangga dipasang kayu
berdiameter tiga puluh centimeter yang berfungsi sebagai anti tikus. Tikus tak
mungkin bisa mencapai leuit karena sudah terjegal oleh kayu tersebut.

Bentuk Jolopong

Bentuk Capit Gunting

49

Bentuk Julang Ngapak

Bentuk Badak Heuay

Bentuk Tagog anjing

Bentuk parahu Kumereb

Gambar II. 3 Bentuk arsitektur tradisional rumah Sunda


(Sumber : Diar Risdiana, Skripsi, 2005)

Leuit Lenggang

Leui Gugudangan

50

Leuit Kurumbung
Gambar II. 4 Berbagai bentuk leuit
(Sumber : Diar Risdiana, Skripsi, 2005)

Kerajinan di kalangan masyarakat Sunda umumnya menjadi pilihan waktu


senggang oleh karena itu banyak dihasilkan bentuk kerajinan dari bahan bambu
seperti karanjang, pengki, boboko, ayakan, tampir, tolombong, telebug, dingkul,
ttnong, carangka, dan tingkep. Juga kerajinan dari bahan batu seperti cotmutu, jubleg. Kerajinan dari tanah seperti kendi, pendil, cngclngan dan pot
kembang.
Di dalam perkembangannya, kerajinan rakyat mendapatkan banyak varian bentuk
dan desain serta pilihan bahan. Sejalan dengan kebutuhan pasar serta banyak yang
fungsinya berubah menjadi hiasan dan cinderamata. Terdapat kerajinan rakyat
yang sangat mengakar dengan dunia seni yakni batik dan ukiran. Batik di wilayah
Sunda berpusat di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cirebon dan Indramayu. Ukiran
yang menonjol adalah wayang golk dan kedok topng.
Busana bagi masyarakat Sunda lama menunjukkan status sosial. Busana kaum
somah berbeda dengan busana kaum santana dan kaum mnak. Dikenal pakan
sapopo (busana sehari-hari), pakan nyaba (busana untuk bepergian), pakan
pasrn (busana khusus). Busana untuk pria dan wanita sangat berbeda. Busana

51

pria umumnya pangsi dan kamprt yang dilengkapi iket dan sarung. Namun
busana pria di kalangan mnak mengesankan ketidakpraktisan karena selain ada
aturan tertentu juga pemakainya sangat memperhatikan etika dan estetika
berbusana. Busana kaum mnak dilengkapi udeng dan bendo yang indah baik
model maupun motifnya juga memakai sandal tarumpah.
Busana kaum wanita di kalangan mnak umumnya memakai kain samping batik
(kain panjang batik) dan kabaya (kebaya) dengan motif batik Sunda dilengkapi
dengan selendang yang juga berfungsi sebagai tiung (kerudung). Juga biasanya
memakai gelung (sanggul) yang diberi hiasan ronce melati. Perhiasannya secara
umum terbuat dari emas, terdiri dari seperangkat perhiasan seperti suweng
(anting), geulang (gelang), dan kongkorong (kalung). Busana wanita kaum somah
umumnya memakai kebaya sederhana dan kain panjang polos hasil tenunan
sendiri, jarang memakai batik, walau pun dalam perkembangannya batik rakyat
dipakai sebagai pengganti kain panjang polos. Perhiasannya sederhana, kadang
terbuat dari perak atau tembaga atau emas sepuhan dan hanya memakai hiasan
suweng jarang memakai geulang dan kongkorong.

Gambar II. 5 Contoh busana mnak


(Sumber : Nian S. Djumena, 1990:63)

52

Gambar II. 6 Busana somah wanita dari kalangan petani


(Sumber : Album Busana tradisional Indonesia, 1998/1999:74)
Makanan dari beras sebagai ciri khas makanan Sunda adalah leupuet, buras,
tangtang angin, loganda, lontong, papais, ranginang, opak, awug, dodongkl, dan
tumpeng. Makanan dari bahan tepung dan bahan lainnya seperti ikan dan kacangkacangan antara lain gorngan dan grjg. Selain itu dikenal pula empal gentong
(Cirebon), hucap (Kuningan), kcap (Majalengka), tahu (Sumedang), gorng
oncom dan peuyeum ketan (Bandung), borondong (Kab. Bandung), moci dan
manisan (Cianjur) serta taleus (Bogor). Minuman rakyat yang menjadi minuman
khas Sunda adalah lahang, bajigur, bandrk, kopi tubruk, th gula watu,
dawegan, dan rujak mulud.

53

Anda mungkin juga menyukai