Anda di halaman 1dari 28

Kesultanan Paser

Daftar Isi:
1. Sejarah
2. Penguasa Pasir
3. Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe
4. Referensi
5. Pranala luar

Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas)


adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516[1] dan dipimpin oleh
seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah
kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang,
ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapandan sebagian
wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

1. Sejarah

1. 1. Kerajaan Sadurangas

Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan
kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang
berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya
Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630Masehi.
Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi
ratu (ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti
menjadi kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten
Paser, Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar
tahun 1516[1].

Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong
diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang
memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh
halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang
dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat
berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya,
setahun kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki
yang diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra
Jaya. Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak
perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya
dan enam tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang
diberi nama Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.

1. 2. Islamisasi

Islamisasi di Kerajaan Paser melalui beberapa jalur, antara lain :

 Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya


dengan Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga
perkawinan Sayyid Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak
Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya.
 Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada jaman
mereka, yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara,
termasuk pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser
dengan para pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk
tertarik untuk memeluk agarna Islam.
 Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu
Mansyur Indra Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan
berhubungan badan dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal
ini disebabkan sari bambu yang melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan
Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut[2]

Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan,
diantaranya berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau
tahun 1920 Masehi yang berjudul "Palayaran mencari raja tanah Paser"
Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan judul "Sejarah kerajaan Kutai
dan Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat ditelusuri dari
sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul
"Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri
Petong ditulis oleh III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo,
Velome 9 kerajaan Paser juga disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan
judul "Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri 4, 1866.

1. 3. Versi Hikayat Banjar


 Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, Pasir salah
satu daerah taklukan Gajah Mada dari Majapahit.[3]
 Menurut Salasilah Kutai, seorang putera dari Maharaja Sakti binAji
Batara Agung Paduka Nira menjadi raja muda di Pasir. Putera dari raja muda
tersebut yang bernama Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya kemudian
dilantik menjadi Raja Kutai Kartanegara V menggantikan Raja Kutai
Kertanegara IV Aji Raja Mandarsyah.
 Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis tahun1663, sejak
masa kekuasaan Rahadyan Putra/Raden Suryacipta yang
bergelarMaharaja Suryanata (= Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa),
pangeran dari Majapahit yang menjadi raja ke-2 Negara Dipa (= Banjar kuno)
pada zaman Hindu, orang besar (penguasa) Pasir sudah menjadi taklukannya.
Pasir dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas
angin (= negeri di sebelah timur atau utara) yang takluk/menyerahkan upeti
kepada Maharaja Suryanata hingga masa Maharaja Sukarama, selanjutnya
sampai masa Sultan Suriansyah.[4]
 1636, Pasir kembali ditaklukan atas bantuan VOC sesuai Perjanjian 4
September 1635, antara Sultan Banjar dengan VOC.[5]
 Penguasa/orang besar/adipati Pasir, Aji Tunggul menjadi
bawahan Sultan Banjar, Mustainbillah yang berkuasa tahun1595-1642. Ketika
itu keraton Kesultanan Banjar telah dipindahkan dari Banjarmasin ke daerah
Batang Banyu karena sebelumnya pada tahun 1612 diserang VOC, tatkala itu
Marhum Panembahan (= Mustainbillah) menyuruh Kiai Lurah
Cucukmembawa sebuah perahu beserta awak perahu empat puluh orang
untuk menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika
tiba dikeraton Banjar waktu itu berada di daerah Batang Banyu, Aji
Ratna puteri Aji Tunggul dinikahkan dengan Dipati
Ngganding (adipati Kotawaringin) kemudian memperoleh dua anak, Andin
Juluk dan Andin Hayu.[6]Kemudian Kemudian Andin Juluk
menikahi Pangeran Dipati Anta-Kasumaputera Sultan Mustainbillah dengan
permaisuri Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/raja
Kotawaringin menggantikan Dipati Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan
Andin Juluk ini memperoleh empat anak : Putri Gelang, Raden Tuan, Raden
Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu menikahi Pangeran Dipati
Tapasenaputera Sultan Mustainbillah dari selir orang Jawa, kemudian
memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja dan Putri Samut.[4]
 Perkawinan seorang puteri dari Aria Manau (Aji Tunggul), Sri Sukma
Dewi yang bergelar Putri Betung [7]dengan Abu Mansyur Indra Jaya
(pimpinan ekspedisi agama Islam dari Giri) yang dikaruniai empat orang
anak, yaitu :
1. Aji Mas Pati Indra
2. Aji Putri Mitir
3. Aji Mas Anom Indra
4. Aji Putri Ratna Beranak
 Beberapa tahun kemudian setelah pernikahan Aji Ratna dan Dipati
Ngganding di negeri Banjar, seorang cucu Aji Tunggul[8]yaitu Raden Aria
Mandalika (= Aji Mas Pati Indra?) putera daripriyayi dari Giri yang menikah
dengan puteri dari Aji Tunggul datang berkunjung ke Kesultanan Banjar
ketika keraton berada di Martapura, kemudian Raden Aria Mandalika oleh
Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya Putri Limbuk/Dayang
Limbuk puteri dari swargi Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya
perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan
mengantarkan upeti tiap-tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti
tersebut sudah diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali
hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau
mengambilnya. Dengan demikian, Pasir mendapat pembebasan pembayaran
upeti, bahkan kemungkinan Raden Aria Mandalika menjadi raja muda di
Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika dan
Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang. Setahun
setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian
mangkat.[4] Dengan demikian maka penguasa Pasir kemungkinan masih
termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum Panembahan, Raja Kutai
Kartanegara II Aji Batara Agung Paduka Nira dan bangsawan dari Giri.
 Kemudian Sultan Mustain Billah menyuruh Kiai
Martasura keMakassar(= Gowa) untuk menjalin hubungan bilateral kedua
negara pada masa I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, Raja
Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa 1638-
1654, ia meminjam Pasir kepada Marhum Panembahan sebagai tempat
berdagang. Sejak itu Pasir dan wilayah ring terluar tidak lagi mengirim upeti
ke Banjar.[9] Peristiwa pada abad ke-17 ini menunjukkan pengakuan Makassar
(Gowa-Tallo) mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar terhadap daerah di
sepanjang tenggara dan timur pulau Kalimantan. Pada masa itu Sultan
Makassar terfokus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di kawasan timur
Nusantara hingga diberlakukannya Perjanjian Bungaya. Pada abad ke-18 Raja
Bugis-Wajo, La Madukelleng menawan daerah Kutai, Pasir, Pagatan dan
menyerang Banjarmasin tetapi berhasil dipatahkan.
 1765, VOC membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan
Pasir kembali untuk memungut upeti.[5]
 1787, Pasir sebagai salah satu vazal Banjarmasin yang diserahkan Sultan
Banjar Tahmidullah II kepada VOC dalam Traktat 13 Agustus 1787 ketika
Banjar [beserta Kalimantan] menjadi tanah yang dipinjam dari VOC atau
sebagai daerahprotektorat VOC.[5]
 1797, Kedaulatan atas Pasir [dan Pulau Laut] diserahkan kembali oleh
VOC kepada Sultan Banjar Tahmidullah II. Belanda kemudian digantikan oleh
kolonial Inggris.[5]
 1817, Pasir diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda
dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara
SultanSulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout
van Boekholzt. Hal ini terjadi setelah Belanda masuk kembali ke Kalimantan
menggantikan Inggris.[5]
 1823, Pasir menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823antara SultanSulaiman
dari Banjar dengan Hindia Belandadiwakili Residen Mr. Tobias.[5]
 1826, Pasir ditegaskan kembali menjadi daerah pendudukan Hindia
Belanda menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar dengan
Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826H.[5]
 1906-1918, masa perjuangan rakyat Pasir melawan pemerintahan
kolonialHindia Belanda.
 Hingga 1959, Wilayah Pasir berstatus kawedanan di dalam wilayah
Provinsi Kalimantan Selatan.

2. Penguasa Pasir
Nama Penguasa Gelar Tahun
Berkuasa
Putri Di Dalam Petung 1516-xxxx
Aji Tunggul xxxx-1607
Aji Mas Anom Indra bin Aji 1607-1644
Mas Pati Indra
Aji Anom Singa Amulana bin 1644-1667
Aji Mas Anom Indra
Aji Perdana bin Aji Anom Penambahan Sulaiman 1667-1680
Singa Maulana
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Penambahan Adam 1680-1705
Singa Maulana
Aji Geger bin Aji Anom Singa Sultan Aji Muhammad 1703-1738
Maulana Alamsyah(Sultan Pasir I)
Aji Negara bin Sultan Aji Sultan Sepuh Alamsyah(Sultan 1738-1768
Muhammad Alamsyah Pasir II)
Aji Dipati bin Panembahan Sultan Dipati Anom 1768-1799
Adam Alamsyah(Sultan Pasir III)
Aji Panji bin Ratu Agung Sultan Sulaiman 1799-1811
Alamsyah(Sultan Pasir IV)
Aji Sembilan bin Aji Sultan Ibrahim Alamsyah 1811-1815
Muhammad Alamsyah
Aji Karang bin Sultan Mahmud Han Alamsyah 1815-1843
Sulaiman Alamsyah
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Sultan Adam Alamsyah 1843-1853
Alamsyah
Aji Tenggara bin Aji Kimas Sultan Sepuh II Alamsyah 1853-1875
Aji Timur Balam Sultan Abdurahman Alamsyah 1875-1890
Sultan Muhammad Ali 1880-1897
Alamsyah[10]
Pangeran Nata bin Pangeran Sultan Sulaiman Alamsyah 1897-1898
Dipati Sulaiman
Pangeran Ratu bin Sultan Sultan Ratu Raja Besar 1898-1900
Adam Alamsyah Alamsyah
Pengeran Mangku Jaya Sultan Ibrahim Khaliluddin 1900-1906
Kesuma

3. Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe

Kesultanan Pasir mengadakan kontrak dengan Belanda pada 18 November


1850 di bawah Sultan Mahmud Han.[11] Kesultanan Pasir merupakan salah
satu daerahleenplichtige landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboemenurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.

4. Referensi
1. ^ Pemkab Paser - Sejarah Paser
2. Vr, Cilik Riwut. Kalimantan Membangun alam dan kebudayaan,
PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 halaman
119-120
3. (nl) J.L.A. Brandes, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja
op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het
eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te
Tjakranagara op Lombok 1902.
4. ^ (ms)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan
oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037,
Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul
Ehsan,Malaysia 1990.
5. ^ (id) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara
Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse
Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip
Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan
Rakjat 1965
6. Sudah itu maka Marhum Panembahan menyuruh Kiai Lurah
Tjutjuk orang empat puluh sebuah perahu ke Pasir, ia itu mengambil
Haji Tunggul serta anak isterinya - Artinya Haji (Aji) itu orang besarnya,
bukannya haji artinya orang datang dari Mekkah - Sudah itu datang
Haji Tunggul itu dengan anak isterinya serta keluarganya. Sudah itu
anaknya yang perempuan bernama Haji Ratna itu dijadikan oleh
Marhum Panembahan lawan Dipati Ngganding. Hatta sudah itu
beranak perempuan dinamai Andin Djuluk. Sudah itu beranak pula itu
perempuan namanya Andin Hayu. Banyak tiada tersebut (Cuplikan
HIKAYAT BANJAR).
7. Putri di Dalam Petung merupakan gelar anumerta yang
berkaitan dengan mitos putra/putri yang keluar dari buluh betung
sebagai cikal bakal dinasti raja-raja yang terdapat dalam mitos Melayu.
8. Kemudian lagi tersebut ada seorang anak orang besar Pasir
bernama Raden Aria Mandalika. Asal bapanya itu priyayi dari Giri
beristerikan anak Haji Tunggul, orang Pasir. Maka Raden Aria
Mandalika datang ke Martapura diperisterikan lawan Gusti Limbuk itu,
saudara Raden Kasuma Raga itu. Maka pangandika Marhum
Panembahan pada Haji Tunggul itu:"Dahulunya anak Haji Tunggul itu
menjadi pawaranganku jadi mintuha oleh Dipati Anta-Kasuma itu,
maka sekarang ini Aria Mandalika ini sudah beristeri lawan cucuku Si
Dayang Limbuk. Adapun akan upati di Pasir itu akan berikan arah
cucuku itu. Lamun ada suruhanku meminta atau maambili maka
serahkan, lamun tiada itu jangan seperti zaman dahulu kalanya itu."
Maka sembah Haji Tunggul itu:"Kaula junjung kaula suhun nugraha
sampian itu atas batu kepala kaula." Itulah mulanya Pasir itu maka
tiada tiap-tiap tahun menghantarkan upati ke Banjar, ke Martapura itu
(Cuplikan HIKAYAT BANJAR).
9. Kemudian daripada itu tatkala Kiai Martasura ke Mangkasar,
zaman Karaing Patigaloang itu, ia menyuruh pada Marhum
Panembahan itu meminjam Pasir itu akan tempatnya berdagang serta
bersumpah:" Barang siapa anak cucuku hendak aniaya lawan negeri
Banjar mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh
Marhum Panembahan. Itulah mulanya Pasir - serta diberi desa
namanya Satuidan Hasam-Hasamdan Kintap, dan Sawarangan itu,
Banacala, Balang Pasir dan Kutai danBerau serta Karasikan - itu tiada
mahanjurkan hupati ke Martapura itu. (Cuplikan HIKAYAT BANJAR)
10. Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda, Jilid 2 Seksi Sejarah
Perlawanan Terhadap Belanda, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional (Indonesia), Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982 (Sultan Muhammad Ali yang
pertama berani menentang Belanda sehingga ia dibuang dan mangkat di
Banjarmasin)
11. (nl) Willem Adriaan Rees, De bandjermasinsche krijg van 1859-
1863: met portretten, platen en een terreinkaart, Bagian 1, D. A. Thieme,
1865.
Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah
sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang
wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan
kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah
dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan. Dalam
tahun 1853 penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa.
Quote:

Sejarah

Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan kawan-
kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang berjudul
“Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan
Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630 Masehi. Pada saat
Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi ratu (ratu
pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi
kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten Paser,
Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1516

Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong
diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang
memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh
halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang
dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat
berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun
kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang
diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak perempuan,
yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya dan enam
tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama
Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Quote:

Islamisasi

Jalur perkimpoian-perkimpoian dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya


dengan Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga
perkimpoian Sayyid Ahmad Khairuddin yang kimpoi dengan Aji Mitir anak
Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya.
Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada zaman
mereka, yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara,
termasuk pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser
dengan para pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk
tertarik untuk memeluk agarna Islam.
Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kimpoi dengan Abu
Mansyur Indra Jaya, sudah beberapa kali kimpoi, akan tetapi jika akan
berhubungan badan dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal
ini disebabkan sari bambu yang melekat pada Putri Petong. kimpoilah dengan
Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut
Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan,
diantaranya berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau
tahun 1920 Masehi yang berjudul "Pelayaran mencari raja tanah Paser"
Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan judul "Sejarah kerajaan Kutai dan
Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat ditelusuri dari
sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul
"Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri
Petong ditulis oleh III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo,
Velome 9 kerajaan Paser juga disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan judul
"Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri 4, 1866.

QUOTE

KaskusAd - Create an KasAD / Buat Iklan KasAD

09-09-2011,
#2
03:37 PM

agiesandie Quote:
kaskus addict

Versi Hikayat Banjar

UserID: 320112
8
Join Date: Jul
2011
Location: GAK
GILA PULLBAR
KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21

Keberadaan kerajaan Pasir yang pertama disebutkan di dalam


Kakimpoi Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, menyatakan
Pasir salah satu daerah taklukan Gajah Mada dari Majapahit.[4]
Sedangkan menurut Salasilah Kutai, seorang putera dari Maharaja
Sakti bin Aji Batara Agung Paduka Nira menjadi raja muda di Pasir.
Putera dari raja muda tersebut yang bernama Aji Pangeran
Tumenggung Bayabaya kemudian dilantik menjadi Raja Kutai
Kartanegara V menggantikan Raja Kutai Kertanegara IV Aji Raja
Mandarsyah. Kerajaan Pasir yang disebutkan dalam
Nagarakretagama maupun dalam Salasilah Kutai merupakan
kerajaan yang sama yang masih dalam pemerintahan Dinasti Kutai
Kartanegara. Kerajaan berikutnya yang muncul di Tanah Paser
adalah Kerajaan Sadurangas yang kelak mengganti namanya sebagai
Kesultanan Pasir Balengkong, yang asal mulanya didirikan seorang
panglima dari Kerajaan Kuripan-Daha (Banjar Hindu).

Menurut Hikayat Banjar (1663), semenjak masa kekuasaan


Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit untuk Negara Dipa (=
Banjar Hindu), orang besar (penguasa) Pasir sudah menjadi
taklukannya. Pasir dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah
satu tanah yang di atas angin (= negeri di sebelah timur atau utara)
yang takluk dan menyerahkan upeti kepada Maharaja Suryanata
hingga masa Maharaja Sukarama, selanjutnya sampai masa Sultan
Suriansyah.

Penguasa/orang besar/adipati Pasir, Aji Tunggul/Aji Tenggal[6]


(Aria Manau/Kakah Ukop) menjadi bawahan Sultan Banjar,
Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642. Ketika itu keraton
Kesultanan Banjar telah dipindahkan dari Pemakuan ke daerah
Batang Banyu (antara 1622-1632) karena sebelumnya pada tahun
1612 Keraton Kuin diserang VOC, tatkala itu Marhum Panembahan
(= Sultan Mustainbillah) menyuruh Kiai Lurah Cucuk membawa
sebuah perahu beserta awak perahu empat puluh orang untuk
menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika
tiba di keraton Banjar waktu itu berada di daerah Batang Banyu, Aji
Ratna puteri Aji Tunggul dinikahkan dengan Dipati Ngganding
(adipati Kotawaringin) kemudian memperoleh dua anak, Andin
Juluk dan Andin Hayu. Kemudian Andin Juluk menikahi Pangeran
Dipati Anta-Kasuma putera Sultan Mustainbillah dengan permaisuri
Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/raja Kotawaringin
menggantikan Dipati Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan Andin
Juluk ini memperoleh empat anak : Putri Gelang, Raden Tuan,
Raden Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu menikahi
Pangeran Dipati Tapasena putera Sultan Mustainbillah dari selir
orang Jawa, kemudian memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja
dan Putri Samut.

Perkimpoian seorang puteri dari Aria Manau/Kakah Ukop/Aji


Tunggul, bernama Sri Sukma Dewi yang bergelar Putri Betung
dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam
dari Giri) yang dikaruniai anak, yaitu :
1. Adjie Patih (Raden Aria Mandalika), memiliki anak bernama Adjie
Anum (Raden Kakatang)
2. Putri Adjie Meter, memiliki anak bernama Imam Mustafa dan
Putri Ratna Berana

Beberapa tahun berlalu setelah pernikahan Aji Ratna binti Aji


Tunggul dengan Dipati Ngganding di negeri Banjar, seorang cucu Aji
Tunggul[10] yaitu Raden Aria Mandalika (Adjie Patih) putera dari
priyayi dari Giri yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul (Aria
Manau/Kakah Ukop) datang berkunjung ke Kesultanan Banjar
ketika itu keraton telah dipindah dari Batang Banyu ke Martapura,
kemudian Raden Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah
dinikahkan dengan cucunya bernama Putri Limbuk/Dayang Limbuk
binti Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya perkimpoian ini
maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan upeti tiap-
tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah
diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika
ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau
mengambilnya. Dengan demikian, Pasir mendapat pembebasan
pembayaran upeti, bahkan kemungkinan Raden Aria Mandalika
(Adjie Patih) menjadi raja muda di Pasir sebagai perwakilan
Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika (Adjie Patih) dan Putri
Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang (Adjie
Anum). Setahun setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan
Mustainbillah kemudian mangkat. Dengan demikian maka penguasa
Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II Aji Batara Agung Paduka
Nira dan bangsawan dari Giri.

1636, Paser kembali ditaklukan atas bantuan VOC sesuai Perjanjian


4 September 1635, antara Sultan Banjar dengan VOC.

1638, Sultan Mustain Billah menyuruh Kiai Martasura ke Makassar


(Tallo-Gowa) untuk menjalin hubungan bilateral kedua negara pada
masa I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan
Mahmud, Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan
Malikussaid Raja Gowa 1638-1654, ia meminjam Pasir kepada
Marhum Panembahan sebagai tempat berdagang. Sejak itu Pasir dan
wilayah ring terluar tidak lagi mengirim upeti ke Banjar. Peristiwa
sebelum adanya Perjanjian Bungaya ini menunjukkan pengakuan
Makassar (Tallo-Gowa) mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar
terhadap daerah di sepanjang tenggara dan timur pulau Kalimantan.
Pada masa itu Sultan Makassar terfokus untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan di kawasan timur Nusantara. Namun setelah
Perjanjian Bungaya (1667), Kesultanan Gowa dilarang berdagang ke
timur dan utara Kalimantan.

Pada abad ke-18 Raja Bugis-Wajo, La Madukelleng menawan daerah


Kutai, Paser, Pagatan dan menyerang Banjarmasin tetapi berhasil
dipatahkan. Sebelumnya La Madukelleng menikah dengan Andin
Anjang/Andeng Ajeng putri dari Aji Geger bin Aji Anom Singa
Maulana (Sultan Aji Muhammad Alamsyah). Ketika Sultan wafat,
istri La Maddukelleng dicalonkan menjadi Ratu Paser, Namun
sebagian orang-orang Paser menolak pencalonan tersebut dan
terjadi pemberontakan di kerajaan. Untuk meredakan keadaan La
Maddukelleng bersama Pasukannya menyerang dan menaklukkan
Paser. Ia menjadi Raja Pasir tahun 1726–1736. Salah seorang putri
La Maddukelleng dengan Andeng Ajeng bernama Aji Putri Agung
kemudian menikah dengan Sultan Aji Muhammad Idris (Sultan
Kutai XIV).

1736, Datanglah Utusan dari Kerajaan Wajo La Dalle Arung Taa,


memanggilnya kembali ke Wajo. Dengan kekuatan bersenjata yang
baru dibeli dari Inggris, La Madukkeleng bersama Sultan Aji
Muhammad Idris dan pasukan (Kerajaan Kutai), pasukan Kerajaan
Pagatan, dan beberapa tambahan pasukan kerajaan Johor,
berangkat ke Sulawesi untuk bergabung dengan Kerajaan Gowa,
Kerajaan Tallo, dan Kerajaan Wajo, untuk menghadapi Kerajaan
Bone dan VOC yang bersekutu dengan Ternate, Tidore, Bacan,
Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima.
Sepeninggal La Maddukelleng, selanjutnya kerajaan Paser dipimpin
Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Paser II) 1738–1799.

1765, VOC berjanji membantu Sultan Banjar Tamjidullah I yang pro


VOC Belanda untuk menaklukan Paser kembali untuk memungut
upeti. Paser sudah berada di bawah pengaruh La Madukkeleng yang
anti VOC Belanda

1768–1799, Pemerintahan Aji Dipati yang bergelar Sultan Dipati


Anom Alamsyah, ia menikahi Ratu Intan I binti Daeng Malewa, Ratu
negeri Cantung dan Batulicin.

1787, Paser sebagai salah satu vazal Banjarmasin yang diserahkan


Sultan Banjar Sunan Nata Alam kepada VOC dalam Traktat 13
Agustus 1787 setelah Pangeran Nata diakui oleh VOC sebagai Sultan
Banjarmasin dan berhasil menangkap ahli waris Kesultanan Banjar
yang sah Pangeran Amir bin Sultan Muhammadillah yang telah
dibantu Arung Trawe dan bangsawan Bugis-Paser tetapi gagal.
Sunan Nata Alam berkuasa atas tanah yang dipinjam dari VOC atau
sebagai daerah protektorat VOC.

1797, Kedaulatan atas Paser dan Pulau Laut diserahkan kembali oleh
VOC kepada Sultan Banjar Sunan Nata Alam. Belanda kemudian
digantikan oleh kolonial Inggris.

1799–1811, Pemerintahan Aji Panji yang bergelar Sultan Sulaiman


Alamsyah, ia menganeksasi negeri-negeri Tanah Bumbu yang berada
di bawah kekuasaan Raja Gusti Besar binti Pangeran Prabu bin
Daeng Malewa.

1817, Paser diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda


dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817
antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili
Residen Aernout van Boekholzt. Hal ini terjadi setelah Belanda
masuk kembali ke Kalimantan menggantikan Inggris.

1823, Paser menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam


Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara
Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili
Residen Mr. Tobias.

1826, Pasir ditegaskan kembali menjadi daerah pendudukan Hindia


Belanda menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dari
Banjar dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji
Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826.

1815–1843, Pemerintahan Sultan Mahmud Han Alamsyah, ia


membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda.

1849, Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië no. 40 tahun


1849, wilayah Paser termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut
Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.

1880–1897, Pemerintahan Sultan Muhammad Ali Alamsyah, dialah


yang pertama kali berani menentang Belanda sehingga ia dibuang
dan mangkat di Banjarmasin

1906-1918, masa perjuangan rakyat Paser melawan pemerintahan


kolonial Hindia Belanda.
Hingga 1959, Wilayah Paser berstatus kawedanan di dalam wilayah
Provinsi Kalimantan Selatan.
Last edited by agiesandie; 09-09-2011 at 04:20 PM..

QUOTE

09-09-2011, 03:50 PM #3

agiesandie Quote:
kaskus addict

Penguasa Pasir

UserID: 3201128
Join Date: Jul 2011
Location: GAK GILA
PULLBAR KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21

Putri Di Dalam Petung 1516-xxxx


Aji Mas Anom Indra bin Aji Mas Pati Indra 1607–1644
Aji Anom Singa Amulana bin Aji Mas Anom Indra 1644–
1667
Aji Perdana bin Aji Anom Singa Maulana 1667–1680
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana 1680–1705
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana 1680–1705
Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana 1703–1726
La Madukelleng 1703–1726
Aji Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah 1726–1736
Aji Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah 1738–1768
Aji Dipati bin Panembahan Adam 1768–1799
Aji Panji bin Ratu Agung 1799–1811
Aji Sembilan bin Aji Muhammad Alamsyah 1811–1815
Aji Karang bin Sultan Sulaiman Alamsyah 1815–1843
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Alamsyah 1843–1853
Aji Tenggara bin Aji Kimas 1853–1875
Aji Timur Balam 1875–1890
Pangeran Nata bin Pangeran Dipati Sulaiman 1897–1898
Pangeran Ratu bin Sultan Adam Alamsyah 1898–1900
Pangeran Mangku Jaya Kesuma 1900–1906
Quote:

Sejarah kuno
Di sekitar abad ke lima, Kalimantan bagian Selatan, yang
sekarang menjadi daerah Paser. Daerah ini terbagi dua
bagian, Bagian Timur merupakan dataran rendah, landai
hingga bergelombang memanjang dari Utara ke Selatan
lebih melebar dibagian Selatan berawa-rawa dan daerah
aliran sungai. Bagian Barat merupakan daerah
bergelombang, berbukit-bukit dan bergunung-gunung
sampai ke perbatasan propinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah, di daerah ini terdapat sungai yang
cukup besar dan panjang.

Ditepi-tepi sungai inilah penduduk asli (pribumi) bermukim,


mereka dikatakan ; masyarakat Bansu Tatau Datai Danum
dengan artian Masyarakat hidup di tepi-tepi air / pantai.
Mereka hidup berkelompok-kelompok, di tepi-tepi sungai
yang dapat memberikan nutrisi, seperti ikan, kerang, air
tawar dan lingkungan hutan yang memberikan umbi-
umbian, buah-buahan juga binatang buruan hutan, cukup
memberikan untuk kelangsungan hidup manusia.

Setiap kelompok dipimpin oleh seorang yang kuat dan


pemberani baik fisik maupun mental. Digambarkan pada
masa itu belum ada tataan aturan yang dapat untuk
mengatur tata cara kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Di saat itu yang berlaku dalam hukum rimba, siapa kuat
dialah yang berkuasa dan dapat berbuat sekehendak hatinya,
jadi kekuasaan tertinggi terletak di tangan orang-orang kuat
dan berani, sehingga segala sesuatunya tergantung di
tangannya, hal ini dikenal dengan hukum rimba, sistem ini
mirip dengan apa yang disebut diktator sekarang ini.
Sedangkan hukum adat sebagai penangkal mencegah
kesewenang-wenangan, kelaliman masa itu belum dikenal.

Kekuasaan seperti ini, semakin hari bertambah kurang


karena mereka mulai menyadari, diluar dirinya masih ada
kekuasaan yang lebih besar dari mereka, yaitu kekuasaan
Dewa. Kepercayaan ini semakin meresap dalam kehidupan
mereka, karena mereak beranggapan bahwa dewa-dewa dan
roh-roh halus menenpati di setiap pepohonan kayu-batu
besar,sehingga tempat-tempat itu dijadikan tempat-tempat
pemujaan untuk meminta berkah, keselamatan, rezeki dan
lain-lain.

Last edited by agiesandie; 09-09-2011 at 05:47 PM..

QUOTE

09-09-2011, 03:58 PM #4

agiesandie Quote:
kaskus addict

Religi dan pengetahuan


Jauh sebelum mengenal agama, di daerah Paser ini,
masyarakat Paser mengenal kepercayaan animisme
supernatural, syamanisme dan sebagainya, mereka terikat
dengan makhluk-makhluk halus, roh-roh halus, kekutan-
kekuatan gaib dan kekuatan-kekuatan sakti. Di daerah
UserID: 3201128 Paser, dikenal dengan ilmu gaib, sebagai bentuk
Join Date: Jul 2011 kepercayaan “Kuno” yang mempercayai adanya kekuatan
Location: GAK GILA
PULLBAR KAYA LO
maha dasyat terdapat di alam semesta. Desa yang diartikan
Posts: 2,113 sebagai penguasa
Blog Entries: 21 tertinggi dalam kekuasaannya menguasai seluruh alam
semesta, dalam sistem ini terlihat dalam tata cara
pelaksanaan untuk maksud-maksud tertentu, misalkan pada
saat pembukaan hutan untuk lahan perladangan atau
persawahan, menanam padi dan sebagainya yang
dilaksanakan oleh seorang dukun / mulung, yang
mengetahui jampi-jampi atau soyong dalam bahasa Paser,
diucapkan kata-kata permohonan sesuai dengan yang
diharapkan.
Quote:

Kepercayaan kepada makhluk halus


Dunia ini dihuni oleh beberapa makhluk halus, ada yang
bersifat mengganggu manusia, ada yang membantu dan ada
pula yang tidak menggangu, juga tidak berfaedah bagi
manusia. Makhluk halus dikenal mendiami tempat-tempat
tertentu, di hutan, di pepohonan kayu besar di rawa-rawa, di
kuburan dan sebagainya. Menurut cerita rakyat, bahwa salah
satu pusat kediaman makhluk-makhluk halus didaerah
Paser adalah yang dikatakan “Raya” terletak di antara
Pondong dan Air Mati. Jika diklasifikasikan, makhluk halus
itu ada bermacam-macam, di antaranya :

* Makhluk halus asal kejadiannya sudah gaib, seperti hantu


atau uwok dalam bahasa Pasernya, jin dan setan.
* Makhluk halus dari manusia yang lenyap tanpa melalui
proses kematian seperti mahal imunan dan orang gaib.
* Makhluk halus dari roh manusia yang meninggal tidak
secara wajar, misalnya meninggal karena kecelakaan,
meninggal karena dibunuh.

Dalam kepercayaan masyarakat, makhluk halus kadang-


kadang menjelma dalam bentuk manusia, binatang atau
menjelma dalam bentuk benda-benda dan lain sebagainya.
Quote:

Tempat perlindungan
Masyarakat ini menempati rumah panggung segi empat
panjang, atap miring empat puluh lima derajat kesamping
kiri dan kanan, muka dan belakang, memakai dinding.
Rumah ini tanpa ruang pemisah dan berdaun pintu, tinggi
rumah dari permukaan tanah kurang lebih dua meter. Atap
rumah terbuat dari daun nipah, bisa juga dari kulit kayu
sungkai, lantai dari pohon niung atau bambu yang dipecah-
pecah dan dijalin denga rotan, bahan bangunan dari anak-
anak kayu bundar. Sebelum mengenal paku untuk bahan
penikat masyarakat ini menggunakan rotan. Masyarakat
Paser, termasuk masyarakat homogen, jadi sudah terbiasa
tinggal dalam satu rumah dua atau tiga kepal keluarga yang
terdiri dari anak menantu, saudara dari Ibu atau Bapak
tinggal dalam satu rumah, hidup rukun dan damai.
Bergotong royong atau nyempolo dalam bahasa Paser,
bekerja bergotong royong tanpa mengharapkan upah dan
balas jasa. Kegotongroyongan atau nyempolo dalam bahasa
Paser adalah ciri khas masyarakat Paser yang sudah
membudaya sejak nenek moyang mereka
Quote:

Gotong royong
[IMG]

Adanya kelompok kerjasama atau gotong royong bukanlah


satu kelompok organisasi formal akan tetapi para pekerja
dengan gotong royong itu secara spontan datang membantu
petani lainnya yang membutuhkan bantuan. Pembagian
kerja serta struktur organisasi tidak ada, informasi yang
disampaikan hanya melalui mulut ke mulut, kerjasama ini
oleh masyarakat Paser disebut nyempolo, gotong-royong
setengah hari tanpa makan siang, gotong-royong satu hari
penuh disediakan makan siang
Quote:

Cara penguburan

Jauh sebelum agama dikenal di daerah Paser ini upacara


penguburan ada tiga pelaksanaan, hal ini tergantung dengan
kelompok masing-masing :
* Orang yang sudah mati / meninggal dibuatkan sebuah
tebela atau yang mereka sebut Lungun, lungun dibuat dari
sepotong batang kayu yang dibelah menjadi dua bagian, dan
masing-masing belahan diberi lubang seukuran orang yang
mati, setelah mayat dimasukkan kedalam lungun lalu
ditutup dengan belahan tadi dan selanjutnya diikat dengan
rotan, selanjutnya lungun yang sudah berisi orang mati
dibawa ke dalam hutan jauh dari perkampungan penduduk,
dan diletakkan kebawah pohon atau digantung diatas pohon,
ada juga yang dimasukkan kedalam gua seperti dua
kilometer dari Desa Kesunge Kecamatan Batu Kajang, ada
terdapat sebuah gunung yang bernama Liang Lungun.
* Ada juga orang yang sudah mati dibawa ke dalam hutan
yang jauh dari perkampungan penduduk, disanalah si mayat
didudukkan dan dilengkapi dengan sebilah parang atau otak
dalam bahasa Pasernya diikatkan di pinggang si orang mati
dan di tangan kanannya sebilah tombak.

Beberapa bulan kemudian setelah tulang belulang tengkorak


menjadi kering, tulang tengkorak tersebut dikumpulkan
menjadi satu, selanjutnya dikeramasi, dalam mengeramasi
diiringi dengan upacara yang dipimpin oleh seorang dukun
atau mulung, dan selanjutnya dibuat dalam sebuah rumah-
rumah yang sengaja dibuat. Rumah-rumah ini diletakkan di
ujung sebatang tihang.

Penguburan seperti ini, sebelum mereka mengenal agama,


akan tetapi ada juga cara penguburan sampai hari ini
mereka melakukan seperti berikut :

* Orang mati dikuburkan dengan cara biasa saja akan tetapi


di senja hari kerabat si mati berkumpul di halaman rumah,
dengan dipimpin seorang mulung kematian membuat api
unggun di halaman rumah, dengan membaca mantra atau
bersoyong dalam bahasa Paser, jika asap api yang berasal
dari api unggun tersebut lurus menuju kelangit, kerabat si
mati bergembira sambil berkata naik ke langit atau dombo
jaun, akan tetapi jika asap api tersebut tidak lurus karena
ditiup angin para kerabat bersedih, karena anggapan
mereka, jika tidak lurus berarti roh si mati tidak diterima
oleh para dewa, sedangkan yang lurus roh si mati diterima
oleh para dewa.

Last edited by agiesandie; 09-09-2011 at 06:24 PM..

QUOTE
09-09-2011, 04:07 PM #5

agiesandie Quote:
kaskus addict

Terbentuknya Kerajaan Paser

UserID: 3201128
Join Date: Jul 2011
Location: GAK GILA
PULLBAR KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21

Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel


Rasyid dan kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal,
et.al. Dalam bukunya yang berjudul “Budaya dan Sejarah
Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan Paser
pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630
Masehi. Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik
atau dinobatkan menjadi raja (raja pertama kerajaan Paser)
yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi kerajaan
Sadurengas.

Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra


Jaya. Putri Petong diyakini menganut kepercayaan
animisme atau suatu kepercayaan yang memuja roh-roh
halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk
memanggil roh-roh halus tersebut dibutuhkan sebuah
bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Panti, di dalam
panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat berbentuk
patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur
Indra Jaya, setahun kemudian Putri Petong melahirkan anak
yang pertama seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Nata
Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya. Tiga
tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak
perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu
Mansyur Indra Jaya dan enam tahun kemudian Putri Petong
melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Pati
Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.

Tentang Abu Mansyur Indra Jaya. Dapat ditelusuri dari


peninggalan batu-batuan yang diangkat dari kapal ketika
Abu Mansyur Indra Jaya pertama datang di Paser. Melihat
dari nama Abu Mansyur Indra Jaya pasti beliau dari Arab,
dan juga masih keturunan Alawiyah keturunan Nabi
Muhammad Rasullullah SAW gencar melaksanakan
islamisasi sambil berdagang. (Vr, H.M. Yusuf "Kisah
Kampung Daya Taka" diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten
Paser tahun 2000 menceritakan Putri Petong sebelum
menikah menyebut Dua Kalimat Syahadat dan membaca
ayat-ayat Al-Qur'an*)
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur
La Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 – wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah
seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo)
Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sabung) ayam di kerajaan tetangganya
Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa
dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke
Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu.
Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir
(Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia
berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama
pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai
Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa
menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone.
La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat),
beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi
pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari
penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe
Inilah La Maddukelleng :
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka
Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La
Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk
menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone).
La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas
memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah
ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung
Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan
tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng
turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban
pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam
menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh
lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera
melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La
Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa
Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu
kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat
banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu
harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung
bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung
tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan
pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama
perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang
akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-
lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar
menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam
perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini
membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng
diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe,
yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714

La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda


La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan
menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.

Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng
sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut
yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan
puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing
Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji
Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera,
yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To
Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya
kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-
raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang
Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi,
La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone,
banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai
Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi
dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara
lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai
sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona
menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar
diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat
kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir
punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.
La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai,
membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah
sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu,
terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara
dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah
ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran
rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air,
dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus
sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan
atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri
kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan
SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-
orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang
bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita
setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan
Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung
Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat
yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan
peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah
leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.

Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo


Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis
bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi
dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi
atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan
darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya
merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung
Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta
Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di
Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada
La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan
Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur,
perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae
dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada
La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737)
mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-
lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan
Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang
sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga
datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan
taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju
Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667
menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan
bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La
Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan
tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan
Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang
dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan
di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah
negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk
melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga
diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih
menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora
untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap
tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang
dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan
akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis
Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam
perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng
dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan
rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk
menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat
sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam
pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan
dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas
wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

Anda mungkin juga menyukai