Daftar Isi:
1. Sejarah
2. Penguasa Pasir
3. Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe
4. Referensi
5. Pranala luar
1. Sejarah
1. 1. Kerajaan Sadurangas
Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan
kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang
berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya
Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630Masehi.
Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi
ratu (ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti
menjadi kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten
Paser, Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar
tahun 1516[1].
Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong
diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang
memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh
halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang
dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat
berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya,
setahun kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki
yang diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra
Jaya. Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak
perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya
dan enam tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang
diberi nama Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.
1. 2. Islamisasi
Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan,
diantaranya berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau
tahun 1920 Masehi yang berjudul "Palayaran mencari raja tanah Paser"
Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan judul "Sejarah kerajaan Kutai
dan Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat ditelusuri dari
sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul
"Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri
Petong ditulis oleh III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo,
Velome 9 kerajaan Paser juga disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan
judul "Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri 4, 1866.
2. Penguasa Pasir
Nama Penguasa Gelar Tahun
Berkuasa
Putri Di Dalam Petung 1516-xxxx
Aji Tunggul xxxx-1607
Aji Mas Anom Indra bin Aji 1607-1644
Mas Pati Indra
Aji Anom Singa Amulana bin 1644-1667
Aji Mas Anom Indra
Aji Perdana bin Aji Anom Penambahan Sulaiman 1667-1680
Singa Maulana
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Penambahan Adam 1680-1705
Singa Maulana
Aji Geger bin Aji Anom Singa Sultan Aji Muhammad 1703-1738
Maulana Alamsyah(Sultan Pasir I)
Aji Negara bin Sultan Aji Sultan Sepuh Alamsyah(Sultan 1738-1768
Muhammad Alamsyah Pasir II)
Aji Dipati bin Panembahan Sultan Dipati Anom 1768-1799
Adam Alamsyah(Sultan Pasir III)
Aji Panji bin Ratu Agung Sultan Sulaiman 1799-1811
Alamsyah(Sultan Pasir IV)
Aji Sembilan bin Aji Sultan Ibrahim Alamsyah 1811-1815
Muhammad Alamsyah
Aji Karang bin Sultan Mahmud Han Alamsyah 1815-1843
Sulaiman Alamsyah
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Sultan Adam Alamsyah 1843-1853
Alamsyah
Aji Tenggara bin Aji Kimas Sultan Sepuh II Alamsyah 1853-1875
Aji Timur Balam Sultan Abdurahman Alamsyah 1875-1890
Sultan Muhammad Ali 1880-1897
Alamsyah[10]
Pangeran Nata bin Pangeran Sultan Sulaiman Alamsyah 1897-1898
Dipati Sulaiman
Pangeran Ratu bin Sultan Sultan Ratu Raja Besar 1898-1900
Adam Alamsyah Alamsyah
Pengeran Mangku Jaya Sultan Ibrahim Khaliluddin 1900-1906
Kesuma
4. Referensi
1. ^ Pemkab Paser - Sejarah Paser
2. Vr, Cilik Riwut. Kalimantan Membangun alam dan kebudayaan,
PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 halaman
119-120
3. (nl) J.L.A. Brandes, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja
op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het
eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te
Tjakranagara op Lombok 1902.
4. ^ (ms)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan
oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037,
Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul
Ehsan,Malaysia 1990.
5. ^ (id) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara
Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse
Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip
Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan
Rakjat 1965
6. Sudah itu maka Marhum Panembahan menyuruh Kiai Lurah
Tjutjuk orang empat puluh sebuah perahu ke Pasir, ia itu mengambil
Haji Tunggul serta anak isterinya - Artinya Haji (Aji) itu orang besarnya,
bukannya haji artinya orang datang dari Mekkah - Sudah itu datang
Haji Tunggul itu dengan anak isterinya serta keluarganya. Sudah itu
anaknya yang perempuan bernama Haji Ratna itu dijadikan oleh
Marhum Panembahan lawan Dipati Ngganding. Hatta sudah itu
beranak perempuan dinamai Andin Djuluk. Sudah itu beranak pula itu
perempuan namanya Andin Hayu. Banyak tiada tersebut (Cuplikan
HIKAYAT BANJAR).
7. Putri di Dalam Petung merupakan gelar anumerta yang
berkaitan dengan mitos putra/putri yang keluar dari buluh betung
sebagai cikal bakal dinasti raja-raja yang terdapat dalam mitos Melayu.
8. Kemudian lagi tersebut ada seorang anak orang besar Pasir
bernama Raden Aria Mandalika. Asal bapanya itu priyayi dari Giri
beristerikan anak Haji Tunggul, orang Pasir. Maka Raden Aria
Mandalika datang ke Martapura diperisterikan lawan Gusti Limbuk itu,
saudara Raden Kasuma Raga itu. Maka pangandika Marhum
Panembahan pada Haji Tunggul itu:"Dahulunya anak Haji Tunggul itu
menjadi pawaranganku jadi mintuha oleh Dipati Anta-Kasuma itu,
maka sekarang ini Aria Mandalika ini sudah beristeri lawan cucuku Si
Dayang Limbuk. Adapun akan upati di Pasir itu akan berikan arah
cucuku itu. Lamun ada suruhanku meminta atau maambili maka
serahkan, lamun tiada itu jangan seperti zaman dahulu kalanya itu."
Maka sembah Haji Tunggul itu:"Kaula junjung kaula suhun nugraha
sampian itu atas batu kepala kaula." Itulah mulanya Pasir itu maka
tiada tiap-tiap tahun menghantarkan upati ke Banjar, ke Martapura itu
(Cuplikan HIKAYAT BANJAR).
9. Kemudian daripada itu tatkala Kiai Martasura ke Mangkasar,
zaman Karaing Patigaloang itu, ia menyuruh pada Marhum
Panembahan itu meminjam Pasir itu akan tempatnya berdagang serta
bersumpah:" Barang siapa anak cucuku hendak aniaya lawan negeri
Banjar mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh
Marhum Panembahan. Itulah mulanya Pasir - serta diberi desa
namanya Satuidan Hasam-Hasamdan Kintap, dan Sawarangan itu,
Banacala, Balang Pasir dan Kutai danBerau serta Karasikan - itu tiada
mahanjurkan hupati ke Martapura itu. (Cuplikan HIKAYAT BANJAR)
10. Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda, Jilid 2 Seksi Sejarah
Perlawanan Terhadap Belanda, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional (Indonesia), Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982 (Sultan Muhammad Ali yang
pertama berani menentang Belanda sehingga ia dibuang dan mangkat di
Banjarmasin)
11. (nl) Willem Adriaan Rees, De bandjermasinsche krijg van 1859-
1863: met portretten, platen en een terreinkaart, Bagian 1, D. A. Thieme,
1865.
Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah
sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang
wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan
kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah
dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan. Dalam
tahun 1853 penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa.
Quote:
Sejarah
Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan kawan-
kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang berjudul
“Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan
Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630 Masehi. Pada saat
Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi ratu (ratu
pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi
kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten Paser,
Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1516
Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong
diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang
memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh
halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang
dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat
berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun
kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang
diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak perempuan,
yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya dan enam
tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama
Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Quote:
Islamisasi
QUOTE
09-09-2011,
#2
03:37 PM
agiesandie Quote:
kaskus addict
UserID: 320112
8
Join Date: Jul
2011
Location: GAK
GILA PULLBAR
KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21
1797, Kedaulatan atas Paser dan Pulau Laut diserahkan kembali oleh
VOC kepada Sultan Banjar Sunan Nata Alam. Belanda kemudian
digantikan oleh kolonial Inggris.
QUOTE
09-09-2011, 03:50 PM #3
agiesandie Quote:
kaskus addict
Penguasa Pasir
UserID: 3201128
Join Date: Jul 2011
Location: GAK GILA
PULLBAR KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21
Sejarah kuno
Di sekitar abad ke lima, Kalimantan bagian Selatan, yang
sekarang menjadi daerah Paser. Daerah ini terbagi dua
bagian, Bagian Timur merupakan dataran rendah, landai
hingga bergelombang memanjang dari Utara ke Selatan
lebih melebar dibagian Selatan berawa-rawa dan daerah
aliran sungai. Bagian Barat merupakan daerah
bergelombang, berbukit-bukit dan bergunung-gunung
sampai ke perbatasan propinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah, di daerah ini terdapat sungai yang
cukup besar dan panjang.
QUOTE
09-09-2011, 03:58 PM #4
agiesandie Quote:
kaskus addict
Tempat perlindungan
Masyarakat ini menempati rumah panggung segi empat
panjang, atap miring empat puluh lima derajat kesamping
kiri dan kanan, muka dan belakang, memakai dinding.
Rumah ini tanpa ruang pemisah dan berdaun pintu, tinggi
rumah dari permukaan tanah kurang lebih dua meter. Atap
rumah terbuat dari daun nipah, bisa juga dari kulit kayu
sungkai, lantai dari pohon niung atau bambu yang dipecah-
pecah dan dijalin denga rotan, bahan bangunan dari anak-
anak kayu bundar. Sebelum mengenal paku untuk bahan
penikat masyarakat ini menggunakan rotan. Masyarakat
Paser, termasuk masyarakat homogen, jadi sudah terbiasa
tinggal dalam satu rumah dua atau tiga kepal keluarga yang
terdiri dari anak menantu, saudara dari Ibu atau Bapak
tinggal dalam satu rumah, hidup rukun dan damai.
Bergotong royong atau nyempolo dalam bahasa Paser,
bekerja bergotong royong tanpa mengharapkan upah dan
balas jasa. Kegotongroyongan atau nyempolo dalam bahasa
Paser adalah ciri khas masyarakat Paser yang sudah
membudaya sejak nenek moyang mereka
Quote:
Gotong royong
[IMG]
Cara penguburan
QUOTE
09-09-2011, 04:07 PM #5
agiesandie Quote:
kaskus addict
UserID: 3201128
Join Date: Jul 2011
Location: GAK GILA
PULLBAR KAYA LO
Posts: 2,113
Blog Entries: 21
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk
menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone).
La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas
memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah
ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung
Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan
tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng
turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban
pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam
menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh
lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera
melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La
Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa
Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu
kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat
banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu
harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung
bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung
tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan
pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama
perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang
akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-
lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar
menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam
perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini
membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng
diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe,
yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng
sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut
yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan
puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing
Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji
Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera,
yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To
Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya
kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-
raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang
Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi,
La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone,
banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai
Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi
dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara
lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai
sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona
menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar
diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat
kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir
punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.
La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai,
membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah
sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu,
terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara
dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah
ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran
rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air,
dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus
sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan
atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri
kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan
SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-
orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang
bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita
setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan
Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung
Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat
yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan
peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah
leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di
Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada
La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan
Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur,
perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae
dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada
La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737)
mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-
lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan
Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang
sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga
datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan
taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju
Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667
menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan
bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La
Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan
tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan
Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang
dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan
di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah
negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk
melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga
diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih
menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora
untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap
tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang
dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan
akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis
Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam
perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng
dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan
rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk
menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat
sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam
pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan
dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas
wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.