Anda di halaman 1dari 15

Raja Purnawarman dari Tarumanegara

Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang cukup dikenal. Beliau bahkan diberitakan telah
membawa Nagara Taruma pada masa keemasannya.
Purnawarman dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (kira-kira 16
Maret 372 M). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, Purnawarman dinobatkan sebagai raja
Tarumanagara ketiga pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (kira-kira:
tanggal 12 Maret 395 M). Ia berusia 23 tahun ketika dinobatkan menjadi Raja dan memerintah
selama 39 tahun, dari tahun 395 hingga 434 dengan dibantu adiknya, Cakrawarman, panglima
angkatan perang Tarumanagara. Sementara pamannya, Nagawarman, adalah panglima angkatan
laut. Dari permaisurinya (putri dari seorang raja bawahan Tarumanagara), Purnawarman
memiliki beberapa anak lelaki dan perempuan.
Raja Purnawarman membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat
ke pantai yang dinamainya Sundapura. Pada masanya, kekuasaan Tarumanagara mencakup
wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah bagian barat. Prasasti lain yang memberitakan
Purnawarman, yakni Prasasti Cidanghiyang atau disebut juga Prasasti Lebak karena ditemukan

di Kampung Lebak di tepi Sungai Cidanghiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten. Hal ini
membuktikan bahwa daerah Banten dan pantai Selat Sunda juga termasuk wilayah kekuasaan
Tarumanagara.
Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk
Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara
tradisional, Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja di Jawa Barat masa silam.
Daerah-daerah kekuasaan Tarumanagara pada masa Purnawarman di antaranya; Salakanagara,
Cupunagara, Nusa Sabay, Purwanagara, Hujungkulwan (Ujung Kulon), Gunung Kidul,
Purwalingga, Agrabinta, Mandalasabara, Bhumisagandu, Paladu, Kosala, Legon, Indraprahasta,
Manukrawa, Malabar, Sindangrejo, Wanagiri, Purwagaluh, Cangkwang, Gunung Gubang,
Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik, Salakagading, Pasirbatang, Karangsidulang, Gunung
Bitung, Tanjungkalapa, Pakwan Sumurwangi, Kalapagirang, Tanjungcamara, Sagarapasir,
Rangkas, Puradalem, Linggadewa, Wanadatar, Jatiagong, Satyaraja, Rajatapura, Sundapura,
Dwakalapa, Pasirmuhara, dan Purwasanggarung.
Berita dari luar negeri tentang Kerajaan Tarumanagara ini datang dari seorang pendeta Buddha
asal Cina bernama Fa-Hsien. Dalam catatannya, Fa-Shien menyebutkan adanya Kerajan
Tolomo di Jawa sebelah barat. Tolomo adalah ucapan lidah orang Cina bagi kata Taruma.
Syahdan, pada 414 M (pada masa pemerintahan Raja Purnawarman), Fa-Hsien berangkat dari Sri
Lanka untuk pulang ke Kanton di Cina.
Pendeta Buddha ini sebelumnya sudah bertahun-tahun belajar tentang agama Buddha di
kerajaan-kerajaan yang bercorak Buddha, seperti di Sriwijaya. Setelah dua hari berlayar, kapal
yang tumpanginya diterjang badai. Sang pendeta pun terdampar dan terpaksa mendarat di Ye Po
Ti, ejaan Cina bagi kata Jawadwipa atau Pulau Jawa. Besar kemungkinan, tanah yang ia darati
adalah Tarumanagara yang memang terletak di Pulau Jawa bagian barat.
Prasasti Masa Purnawarman

Prasasti Ciaruteun ditemukan di bukit rendah bepermukaan datar dan diapit tiga batang sungai:
Cisadane, Cianten, dan Ciaruteun. Prasasti ini semula terletak di aliran Sungai Ciaruteun, 100
meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam
bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang
gagah berani yang termahsyur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Pada Prasasti Ciaruteun terdapat pandatala atau jejak kaki, yang berfungsi mirip tanda tangan
pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti ini menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan
kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, di antara bawahan
Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah)
Pasir Muhara. Sampai abad ke-19, tempat itu masih disebut Pasir Muara (kini termasuk wilayah
Kec. Cibungbulang).
Sementara itu, Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi
keterangan sebaris puisi berbunyi:

Kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi, Airawata adalah nama gajah tunggangan Dewa Indra, Dewa Perang dan Dewa
Guntur. Gajah perang Purnawarman pun diberi nama Airawata. Bahkan, bendera Kerajaan
Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota
yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu
ditatahkan pada Prasasti Ciaruteun (para ahli sejarah masih berdebat tentang maknanya). Ukiran
kepala gajah bermahkota teratai dan ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki tersebut masih
belum terpecahkan bacaannya sampai kini. Sebagian ahli menduganya sebagai lambang labahlabah, matahari kembar, atau kombinasi matahari dan bulan (surya-candra).
Di daerah Bogor, ada satu prasasti lainnya, yaitu Prasasti Jambu (kadang disebut Prasasti
Kolengkak) yang berada di puncak Bukit Kolengkak, Desa Pasir Gintung, Kec. Leuwiliang. Pada
bukitnya mengalir Sungai Cikasungka. Prasasti ini pun berukiran sepasang telapak kaki dan
diberi keterangan berbentuk puisi dua baris, berbunyi:
Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya yang termashur serta setia kepada
tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma,
serta baju zirah (warman)-nya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya.
Kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng
musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia), tetapi
merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Pembuatan Kanal dan Saluran Irigasi
Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran
sungai dimaksudkan untuk menghindari banjir yang kerap mengganggu wilayah Tarumanagara
dan mengatasi masalah kekeringan selama kemarau.
Tahun 410 M ia memperbaiki aliran sungai Gangga di daerah Cirebon yang waktu itu termasuk
kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya disebut Cisuba, mulai diperbaiki
(diperdalam dan diperindah tanggulnya) selesai pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira,

selesai pada tanggal 12 bagian terang bulan Posya tahun 332 saka. Sebagai tanda penyelesaian
karyanya Sang Purnawarman mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta
(sangaskarthadaksina) kepada para brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap
pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah itu berupa : sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah
seekor yang diberikan kepada raja Indraprahasta dan jamuan makanan dan minuman yang lezat.
Ribuan orang laki-laki dan perempuan dari desa sekitarnya yang ikut serta berkarya-bakti,
mereka semua mendapat hadiah dari Sang Raja Purnawarman.
Dua tahun kemudian Sang Purnawarman memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang
terletak di (kerajaan) Cupunegara. Sungai tersebut mengalir sampai ke istana kerajaan. Pekerjaan
dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tangal 1 bagian gelap
bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 M). Hadiah yang dianugrahkan Sang
Purnawarman pada upacara selamatannya ialah: sapi 400 ekor, pakaian dan makanan lezat).
Setiap orang yang ikut serta mengerjakan saluran ini mendapat hadiah dari raja.
Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta mau pun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja
Purnawarman membuat prasasti yang ditulis pada batu sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu
dengan kata-kata berbunga (sarwa bhasana) mengenai kebesarannya dan sifat-sifat yang ibarat
Dewa Wisnu melindungi segenap makhluk di bumi dan di akhir kelak. Prasasti itu ditandai
lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang yang
biasa membawa perahu dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.
Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian
terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 M), Sang Purnawarman
memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan
upacara selamatan Sang Purnawarman sedang sakit sehinga terpaksa ia mengutus Mahamntri
Cakrawarman sedang sakit sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk
mewakilinya. Sang Mahamenteri disertai beberapa orang menteri kerajaan, panglima angkatan
laut, sang tanda, sang juru sang adyaksa beserta pengiring lengkap datang di tempat upacara
dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau
( mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Taruma nagara,

sebuah patung Wisnu dan bahan makanan. Setian orang yang ikut serta dalam pekerjaan ini
memperoleh hadiah dari Sang Maharaja Purnawarman.
Para petani menjadi senang hatinya karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya dengan
mendapat pengairan (kawwayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian tidak akan menderita
kekeringan dalam musin kemarau.
Kemudian Sang Purnawarman memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati
dan Candrabaga itu beberapa tahun sebelumnya telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh
alurnya oleh Sang Rajadirajaguru kakek Sang Purnawarman. Jadi Sang Maharaja Purnawarman
mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya.
Pengerjaan kali Gormati dan Candrabaga ini dilangsungkan sejak tanggal 8 bagian gelap bulan
Palguna sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 M). Ribuan
penduduk laki-laki dan perempuan dari desa-desa sekitarnya berkarya-bakti siang-malam dengan
membawa berbagai perkakas. Mereka itu berjajar memanjang di tepi sungai. Sambungmenyambung tidak terputus tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.
Selanjutnya Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan hadiah-harta kepada para brahmana.
Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat, sedangkan para pemuka dari
daerah ada yang dihadiahi kerbau (mahisa), ada yang dihadiahi perhiasan emas dan perak, ada
yang dihadiahi kuda dan bermacam-macam hadiah lainnya lagi. Di sana Sang Maharaja
membuat prasasti yang ditulis pada batu.
Demikian pula di tempat-tempat lain, Sang Purnawarman banyak membuat prasasti batu yang
dilengkapi dengan patung peribadinya, lukisan telapak kaki tunggangannya yaitu gajah bernama
Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang or lebah),
sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya dengan tulisan pada batunya.
Di tempat pemujaan ( pretakaryan) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Taruma
nagara dan jasa-jasa sang mahara. Semua itu ditulis pada prasasti batu di sepanjang tepi sungai di
beberapa daerah.

Pada tanggal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni) sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada
(Juni/Juli) tahun 341 Saka (413 M) Sang Purnawarman memperbaiki, memperteguh alur dan
memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma di Jawa Barat. Selamatan dan hadiah
harta dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan
lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah-hadiah lain.
Pembangunan kanal dan pembaharuan aliran-aliran sungai tersebut sangat berpengaruh terhadap
kehidupan perekonomian. Kedua sungai tersebut selain berfungsi sebagai sarana pencegah banjir,
juga berfungsi sebagai sarana lalu lintas air (sumber irigasi) dan perdagangan antara
Tarumanagara dengan kerajaan atau daerah lain (perdagangan di tepian sungai semakin ramai).
Kekeringan pun tidak pernah melanda di seluruh penjuru negeri Tarumanagara meskipun dalam
kondisi kemarau. Penggalian sungai yang dilakukan secara bersama-sama ini memperlihatkan
semangat gotong-royong masyarakat Tarumanagara. Pustaka Jawadwipa menyebutkan, pada
masa Tarumanagara aktivitas gotong royong ini disebut karyabhakti.
Akhir hayat
Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 24 November 434, dalam usia 62 tahun. Beliau
dipusarakan di tepi sungai Citarum. Tahta kerajaan kemudian dipegang oleh putranya yang
bernama Wisnuwarman yang memerintah dari tahun 434 hingga 455.

Raja BalaPutraDewa dari Kerajaan Sriwijaya

Nama Balaputra dewa disebutkan satu kali di dalam prasasti Balaputra-Jatiningrat yang berasal
dari tahun 856 M atau 778 menurut tahun Saka. Selain itu, nama Balaputradewa pun disebut di
dalam prasasti Nalanda sebagai salah seorang raja di Swarnadwipa atau Sriwijaya.
Balaputradewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra dilihat dari silsilah bahwa Balaputra
merupakan anak bungsu dari Samaragrawira (Rakai Warak) dan sekaligus cucu dari Dhanarandra
(Rakai Panunggalan) atau yang lebih dikenal dengan gelar Wirawairimathana (pembasmi para
perwira). Oleh karena itu, jelas bahwa Balaputra adalah adik dari Samaratungga (Rakai Warak).
Balaputradewa kehilangan haknya untuk memerintah di Bhumi Jawa dikarenakan putera tertua
kerajaan adalah Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak
memimpin kerajaan di Bhumi Jawa. Samaratungga mempunyai seorang putri bernama
Pramodhawardhani yang kemudian menikah dengan Jatiningrat.
Adapun penyebab Balaputradewa berada di Swarnadwipa adalah akibat dari lepasnya Kamboja
dari kekuasaan Samaragrawira. Oleh karena itu, Samaragrawira memutuskan untuk membagi
dua kekuasaan yaitu: Samaratungga berkuasa di Jawa dan Balaputradewa berkuasa di Sriwijaya.

Iskandar Muda dari Aceh

Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590 [1] Banda Aceh,
Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa
Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. [2] Aceh
mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana
daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional
sebagai

pusat

dari

perdagangan

dan

pembelajaran

tentang

Islam. [1]

Namanya kini diabadikan di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar


Muda di Aceh.

1. Keluarga dan masa kecil


Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak
leluhur ayah merupakan keturunan Raja Minangkabau di Pariaman. Namun sang ayah juga
masih memiliki hubungan darah dengan Aceh. Salah satu leluhurnya dahulu adalah seorang
puteri dari Makota Alam yang dipersunting oleh Raja Pariaman.
Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman
bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh
Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang sejatinya berhak
menuntut takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan
Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan
Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Pariaman, Minangkabau yang bernama Sultan Sri Alam. Secara hubungan
darah, leluhur Sultan Sri Alam juga masih memiliki hubungan darah dengan leluhur istrinya.
Yakni lewat silsilah abang dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]
Sebagai seorang putra Minangkabau yang menjalankan adat matrilineal, sang ayah yang bukan
putra mahkota kerajaan Pariaman, memilih keluar dari Pariaman setelah menikah dengan putri
dari Sultan Aceh. Beliau mengikuti istrinya menetap di Kutaraja, Aceh. Di Kesultanan Aceh,
beliau mendapatkan posisi sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Dari perkawinannya ini
lahirlah beberapa anak, salah satu diantaranya adalah Darma Wangsa Perkasa Alam dengan gelar
Sultan Iskandar Muda.

Karena bukan berasal dari keturunan laki-laki dari Sultan Aceh (melainkan dari jalur anak
perempuannya), serta dianggap berdarah non Aceh, maka secara adat patrilineal Aceh dan agama
Islam, Darma Wangsa Perkasa Alam tidak mendapatkan posisi untuk menjadi penerus kerajaan.
Konon secara kemampuan, beliau jauh lebih menonjol dibandingkan dengan putra mahkota
maupun para pangeran lainnya. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan dari keluarga besarnya.
Setelah Sultan Aceh wafat karena sakit, putra mahkota menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Sultan Aceh. Kesempatan ini digunakannya untuk menyingkirkan Darma Wangsa
Perkasa Alam. Beliau dijadikan buronan pihak istana dan dikejar hendak dibunuh. Beliau
berhasil melarikan diri dari Kutaraja dan menyingkir ke Pidie. Di sana beliau dilindungi oleh
pamannya, seorang bangsawan Pidie keturunan Minangkabau yang masih memiliki hubungan
darah dengan ayahnya maupun dengan ibunya. Di Pidie beliau belajar ilmu kemiliteran dan
pemerintahan di bawah bimbingan sang paman. Hal ini semakin mematangkan jiwa dan
kemampuannya.
Dalam suatu kesempatan terjadi kerusuhan di Kutaraja akibat interik para bangsawan internal
kesultanan. Darma Wangsa Perkasa Alam berhasil merebut kekuasaan dengan kemampuannya.
Meski begitu, beliau tidak serta merta menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Karena beliau
tahu posisinya dalam garis keturunan raja. Namun oleh para pembesar kerajaan yang bersimpati
kepadanya dan juga oleh rakyat di Kutaraja, beliau diberikan hak untuk memimpin Aceh. Beliau
dinobatkan sebagai Sultan pada tahun 1607 dan diberi gelar Sultan Iskandar Muda.

2. Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang
amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan
membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih
dapat disaksikan dan dikunjungi.

3. Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan
masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan
oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya
Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.[1]
Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra
dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai
jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.[3]

Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu bangunan bersejarah yang di bangun oleh
Sultan Iskandar Muda pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam
4. Kontrol di dalam negeri
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis
bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan

menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulbalang
(Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan
beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan
di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.[3]
5. Hubungan dengan bangsa asing

Makam Sultan Iskandar Muda


Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang
berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus
dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of
Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch
from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits pendiri dinasti Oranje juga pernah mengirim surat
dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik
mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan
secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun
karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus
menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada
akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan
sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan

Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali
dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air
di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Anda mungkin juga menyukai