Anda di halaman 1dari 14

1.

RAJA PURNAWARMAN

Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang cukup dikenal. Beliau bahkan


diberitakan telah membawa Negara Taruma pada masa keemasan. Dialah sang
pembangun Tarumanagara, Panji bagi segala Raja.
Purnawarman dilahirkan pada tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna di tahun
294 Saka (kira-kira 16 Maret 372 Masehi). Purnawarman telah dinobatkan sebagai
raja Tarumanagara ketiga tanggal 13 bagian terang bulan Caitra di tahun 317 Saka
(kira-kira tanggal 12 Maret 395 Masehi).
Ia berusia 23 tahun ketika dinobatkan menjadi Raja—kurang lebih dua tahun
sebelum ayahnya wafat—dan memerintah selama 39 tahun, dari tahun 395 hingga 434
Masehi.
Adiknya yang bernama Cakrawarman adalah panglima angkatan perang.
Sementara pamannya yang bernama Nagawarman adalah panglima dari angkatan laut.
Dari permaisurinya, yang konon merupakan putri dari seorang raja bawahan
Tarumanagara, Purnawarman memiliki beberapa anak lelaki dan perempuan, salah
satunya bernama Wisnuwarman.
Raja Purnawarman dikabarkan membangun ibu kota kerajaan yang baru pada
tahun 397 Masehi, terletak lebih dekat ke wilayah pantai.
Ibu kota baru Tarumanagara itu dinamainya Sundapura. Pada masa
pemerintahannya, kekuasaan Tarumanagara mencakup wilayah Jawa Barat, Banten,
dan Jawa Tengah bagian barat.

1
Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa di bawah
kekuasaan Purnawarman, terdapat 48 daerah yang membentang dari wilayah
Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang sekarang) sampai ke
wilayah Purwalingga (sekarang Purbalingg, Jawa Tengah). Cipamali (Kali Brebes)
dianggap sebagai batas kekuasaan.
Daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Tarumanagara pada masa
Purnawarman memerintah di antaranya; Agrabinta, Alengka, Bhumisagandu,
Cupunagara, Cangkwang, Dwakalapa, Gunung Bitung, Gunung Cupu, Gunung
Gubang, Gunung Kidul, Gunung Manik, Hujungkulwan (Ujung Kulon),
Indraprahasta, Jatiagong, Kalapagirang, Karangsidulang, Kosala, Legon, Linggadewa,
Malabar, Mandalasabara, Manukrawa, Nusa Sabay, Pakwan Sumurwangi, Paladu,
Pasirbatang, Pasirmuhara, Puradalem, Purwalingga, Purwanagara, Purwagaluh,
Purwasanggarung, Rajatapura, Rangkas, Sagarapasir, Salakagading, Salakanagara,
Satyaraja, Sindangrejo, Tanjungcamara, Tanjungkalapa, Wanadatar, dan Wanagiri.
Berita dari luar negeri tentang Kerajaan Tarumanagara ini berasal dari kronik
Cina yang mencatat kedatangan utusan setiap kerajan dan dari seorang pendeta
Buddha bernama Fa-Hsien. Dalam kronik Cina Dinasti Sui tercatat pada tahun 528
Masehi dan 523 Masehi telah datang utusan dati To Lo Mo yang terletak di sebelah
selatan.
Catatan selanjutnya dari Dinasti Tang, memberitakan bahwa pada tahun 666
Masehi dan 669 Masehi juga telah datang utusan dari To Lo Mo. Beberapa pendapat
menganggap Tolomo adalah “kesalahan lidah” orang Cina untuk menyebut Taruma.
Secara fonetik memang ada kemiripan anatra “Taruma” dan Tolomo. Fonetik atau
fonetika cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan meyelidiki bunyi dari
sudut pandang tuturan atau ujaran (parole).
Syahdan, pada 414 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, Fa-
Hsien berangkat dari Sri Lanka untuk pulang ke Kanton di Cina. Pendeta Buddha ini
sudah bertahun-tahun belajar tentang agama Buddha di kerajaan-kerajaan yang
bercorak Buddha, seperti di Sriwijaya.
Setelah berhari-hari berlayar, kapal yang ditumpanginya diterjang badai. Sang
pendeta pun terpaksa mendarat di wilayah “Ye Po Ti”, ejaan Cina bagi kata
Jawadwipa (Pulau Jawa). Besar kemungkinan, wilayah yang ia singgahi adalah
Tarumanagara. Tetapi ada juga yang menyatakan jika wilayah yang dimaksud adalah
way seputih (sungai Putih) yang ada di wilayah lampung.

2
Prasasti Masa Purnawarman
Prasasti Ciaruteun ditemukan di sebuah bukit yang diapit tiga aliran sungai:
Cisadane, Cianten, dan Ciaruteun. Semula prasasti tersebut terletak di aliran Sungai
Ciaruteun, 100 meter dari pertemuan sungai Ciaruteun dengan Sungai Cisadane.
Ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, Prasasti Ciaruteun berbunyi:
Kedua jejak telapak kaki yang seperti telapak kaki Wisnu ini kepunyaan raja
dunia yang gagah berani yang termasyhur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

“Prasasti Ciaruteun”. Foto dari Tropenmuseum


Pada Prasasti Ciaruteun terdapat pandatala atau jejak kaki. Ada yang
menyamakan bahwa pandatala itu berfungsi sama seperti tanda tangan. Tapi
kemungkinan tidak sesederhana itu, jejak kaki justru mempunyai makna yang lebih
tinggi, jejak kaki bisa bermakna kekuasaan berada di bawah kaki-nya.
Kehadiran prasasti ini menunjukkan bahwa daerah tersebut berada di bawah
kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, di antara daerah
yang menjadi wilayah kekuasaan Tarumanagara pada masa pemerintahan
Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. Sampai abad
ke-19, tempat itu masih disebut Pasir Muara (kini termasuk wilayah Kec.
Cibungbulang).
Prasasti Tugu diketemukan di wilayah Batutumbuh, desa Tugu, Kelurahan
Tugu Selatan, Kec. Koja, Jakarta utara. Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa,
terpahat pada batu bulat seperti telur. Prasasti Tugu memberitakan Penggalian Sungai
Candrabaga dan Gormati yang dilakukan Purnawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya.
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang
mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk

3
mengalirkannya ke laut, saluran sungai ini sampai di istana kerajaan yang
termasyhur.
Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-
kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaan serta menjadi panji-panji bagi segala
raja-raja,.
Kemudian dia pun bertitah lagi untuk menggali saluran sungai yang permai
dan berair jernih Gomati namanya, setelah saluran sungai tersebut mengalir melintas
di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Raja.
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro gelap bulan dan selesai
pada hari tanggal ke-13 paro terang bulan Caitra, hanya berlangsung 21 hari
lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Upacara
baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
Sementara itu, Prasasti Telapak Gajah, dinamakan demikian karena bergambar
sepasang telapak kaki binatang gajah, terdapat keterangan sebaris puisi berbunyi:
Kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
milik penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi, Airawata adalah nama gajah tunggangan Dewa Indra yang
juga dikenal sebagai Dewa Perang. Gajah miliki Purnawarman pun diberi nama
Airawata, kemungkinan gajah itu menemaninya saat berperang. Bahkan, menurut
beberapa pendapat, lambang panji atau bendera dari Kerajaan Tarumanagara adalah
(kepala) gajah yang diberi hiasan bunga teratai di atas kepalanya.
Demikian juga dengan mahkota yang dikenakan Purnawarman konon
berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu juga ditatahkan pada
Prasasti Ciaruteun. Para ahli sejarah masih berbeda pendapat tentang maknanya.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai dan ukiran sepasang tanda di depan
telapak kaki tersebut masih belum terpecahkan maknanya sampai kini. Sebagian ahli
menduganya sebagai lambang lebah, matahari kembar, atau kombinasi matahari dan
bulan (surya-candra).
Di wilayah Bogor, ada satu prasasti lainnya, yaitu Prasasti Jambu (kadang
disebut Prasasti Kolengkak) yang berada di puncak Bukit Kolengkak, daerah Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Pada bagian bukitnya mengalir sebuah sungai yang diberi nama Sungai
Cikasungka. Prasasti ini juga memiliki lambang sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris, berbunyi:

4
Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya yang termasyhur serta setia
kepada tugasnya dialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma, dengan baju zirah (warman)-nya tak tertembus oleh panah
musuh-musuhnya.
Kepunyaannya lah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan
benteng-benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan bagi
mereka yang setia, tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

2. RAJA BALAPUTRA DEWA

Balaputradewa adalah salah satu tokoh dalam sejarah nusantara yang sangat
berpengaruh. Pengaruhnya tidak hanya di wilayah Asia bagian tenggara, melainkan
meluas hingga ke daratan India. Seorang Raja yang telah memberikan landasan bagi
politik dan diplomasi internasional. Sehingga mampu mengantarkan kerajaan yang
dipimpinnya menjadi lebih besar dan juga dikenal di beberapa peradaban di zamannya.
Nama Balaputradewa disebut-sebut dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan
oleh seorang raja bernama Dewapaladewa (atas nama Balaputradewa). Prasasti
tersebut ditemukan di Nalanda, India bagian timur (negara bagian Bihar). Isinya
tentang pendirian bangunan (atau tempat ibadah) di Nalanda oleh Raja
Balaputradewa. Prasasti ini diduga berasal dari abad ke-9 Masehi.
Prasasti Nalanda memberitakan kepada kita bahwa Maharaja Balaputradewa
adalah raja Suwarnadwipa. Prasasti itu tidak menyebutkan secara langsung bahwa
5
Balaputradewa merupakan raja dari kerajaan Sriwijaya. Munculnya anggapan bahwa
Balaputradewa adalah raja di Sriwijaya merupakan hasil analisis atau penyamarataan
Suwarnadwipa dengan Sriwijaya di satu pihak dan penyamarataan San-fo-tsi dengan
Shih-li-fo-shih di lain pihak. Maka tidak heran jika Balaputradewa sering
dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya.
Geneologi: adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan
serta sejarahnya. Prasasti Nalanda menyajikan geneologi Balaputradewa. Dalam
prasasti itu Balaputradewa mengaku sebagai cucu raja dari wangsa Sailendra yang
menyandang gelar Śailendrawamśatilaka Śrī Wīrawairimathana yang berarti
“Permata keluarga Sailendra, Pembunuh para Musuh yang gagah”.
Keberadaan Balaputradewa di Sumatera dalam pertengahan abad ke-9 Masehi
bertepatan dengan pengiriman utusan dari Jambi ke negeri Cina pada tahun 853 dan
timbulnya nama kerajaan San-fo-tsi dalam berita Cina. Dalam berita Cina dinyatakan,
bahwa utusan dari Jambi datang di negeri Cina pada tahun 853 dan 871 Masehi.
Utusan-utusan selanjutnya dikatakan berasal dari kerajaan San-fo-tsi.
Sejarah Dinasti Sung lebih lanjut memberitakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi
yang terletak di Laut Selatan antara Kamboja dan Jawa menguasai lima belas Negara
bawahan. Berita ini terdapat dalam Karya Chou Ku-Fei Ling-wai-tai-ta yang ditulis
pada tahun 1178 (dan dikutip Chau Ju-kua dalam Chu-fan-chi tahun 1226).
Pang-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-si-kia
(Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala Brang), Ji-lo-ting (Cerating),
Ch’ieng-mai (…?), Pa-t’a (Paka), Tan-ma-ling (Trambralingga), Kia-lo-hi (Grahi),
Pa-lin-fong (Palembang), Sun-to (Sunda), Kien-pi (Muara Kampe), Lan-wu-li
(Lamuri), Si-lan (Srilangka)
Balaputradewa diduga merupakan anak bungsu Samaragrawira (Rakai
Warak), sekaligus merupakan cucu dari Dhanarandra (Rakai Panunggalan) yang
bergelar Wirawairimathana (pembasmi para Musuh). Dan kemungkinan bahwa
Balaputradewa ini adalah adik Samaratungga (Rakai Warak).
Balaputra kabarnya “tidak mendapatkan hak” untuk menjadi penguasa di
Bumi Jawa dikarenakan putera yang tertua dari kerajaan tersebut adalah
Samaratungga bukan Balaputradewa. Sehingga Samaratungga-lah yang mempunyai
hak untuk memimpin kerajaan di Tanah Jawa. Samaratungga kemudian dikabarkan
mempunyai seorang putri yang bernama Pramodhawardhani. Ia nantinya akan
menikah dengan Jatiningrat.

6
De Casparis, mengungkapkan sebuah terori bahwa Samaragrawira sama atau
identik dengan nama Samaratungga yang menjadi raja Jawa. Kejadian selanjutnya
adalah bahwa Sepeninggal Raja Samaratungga terjadi peristiwa perebutan takhta
kerajaan oleh kedua anaknya; Balaputradewa dengan Pramodawardhani. Tahun 856
Masehi, Balaputradewa akhirnya dikalahkan oleh Pramodawardhani yang dibantu
suaminya yang bernama Rakai Pikatan. Balaputradewa kemudian mengungkisakn diri
ke pulau Sumatera.
Pendapat De Casparis tersebut kemudian dibantah oleh Slamet Muljana.
Menurut Slamet Muljana berdasarkan sebuah prasasti di Malang, Raja Samaratungga
menurutnya hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama Pramodawardhani.
Balaputradewa menurut Slamet Muljana justrul lebih tepatnya merupakan adik dari
Samaratungga atau putra bungsu dari Samaragrawira.
Pengungsian Balaputradewa ke Sumatera pada umumnya didasarkan pada
berita prasasti Wantil yang memnyebutkan telah terjadi perang antara Rakai Pikatan
(Rakai Mamrati Sang Jatiningrat) dengan seorang musuh yang telah membangun
sebuah benteng pertahanan yang berupa timbunan batu. Di dalam prasasti tersebut
didapati istilah “Walaputra” yang diidentikan dengan Balaputradewa.
Pusponegoro dan Notosutanto dalam buku sejarah nasional indonesia II
menyatakan bahwa istilah Walaputra tersebut bukan lah Balaputradewa. Istilah
Walaputra justru seharusnya dimaknai sebagai “putra bungsu” yaitu Rakai
Kayuwangi yang merupakan putra bungsu dari Rakai Pikatan yang telah berhasil
mengalahkan musuh dari ayahnya.
Benteng dari timbunan batu yang dihubungkan dengan tempat Balaputradewa
konon identik dengan bukit Ratu Baka yang memang memperlihatkan banyaknya
tinggalan arkeologis berupa bangunan dari batu dan diduga pernah dijadikan sebagai
tempat untuk bermukim. Akan tetapi dari prasasti-prasasti yang diketemukan di
wilayah tersebut ternyata tidak ada yang menyinggung nama Balaputradewa, justru
menyebutkan nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.
Kiranya pendapat yang menyatakan bahwa Balaputradewa mengungsi ke
pulau Sumatra akibat kekalahan perang yang dideritanya dari Rakai Pikatan adalah
keliru. Bagaimana mungkin seorang yang kalah perang atau “pengungsi” kemudian
bisa membangun (dan atau menjadi raja) kerajaan baru dengan sangat mudah.
Bahkan, diberitakan dengan waktu yang relatif singkat kerajaan itu bisa sebanding
dari kerajaan sebelumnya; Mataram Kuna.

7
Mungkin Balaputradewa memang telah meninggalkan pulau Jawa. Akan tetapi
bukan diakibatkan oleh kalah perang, melainkan karena dari awal ia tidak mempunyai
hak atas takhta di Jawa, karena Balaputradewa merupakan adik Samaratungga, bukan
putranya.
Adapun yang menjadi penyebab Balaputradewa berada di Swarnadwipa masih
harus dikaji lebih jauh lagi. Lepasnya Kamboja dari kekuasaan Samaragrawira konon
mengaibatkan sang raja membuat sebua keputusan untuk membagi dua kekuasaannya:
Samaratungga yang berkuasa di Tanah Jawa dan Balaputradewa berkuasa di
Swarnabhumi.
N.J.Krom menafsirkan bahwa Dharmasetu dari Somawangsa (?) itu raja
Sriwijaya. Demikianlah Balaputradewa itu cucu raja Sriwijaya yang mempunyai hak
menjadi raja Sriwijaya. Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan di Swarnabhumi
dari keluarga kakeknya (pihak dari ibu), yaitu Sri Dharmasetu.
Nama Sri Dharmasetu didapati dalam prasasti Kelurak yang disebutkan
sebagai bawahan dari Dharanindra yang telah ditugaskan untuk menjaga bangunan
Candi Kelurak. Kemungkinan Dharanindra telah berbesan dengan Sri Dharmasetu
akibat perkawinan Samaragrawira dengan Dewi Tara. Akan tetapi Dharmasetu
menurut prasasti Kelurak berasal dari bumi Jawa. Jadi, pendapat tentang hubungan
tokoh ini dengan kerajaan Sriwijaya kiranya harus dipertimbangkan lagi.
“Arca Maitreya dari Komering, Sriwijaya, sekitar abad
ke-9 M”. Foto oleh Gunawan Kartapranata
Penyebutan geneologi Balaputra pada prasasti Nalanda
mungkin perlu dihubungkan dengan prasasti Ligor B
yang menyebut Sri Maharaja Wisnu dari wangsa
Sailendra juga mempunyai gelar “pembunuh musuh”.
Berdasarkan persamaan gelar “pembunuh musuh” Sri
Maharaja Sanggrama Dhananjaya dari wangsa
Sailendra di Mataram; juga cucu Sri Maharaja Wisnu
yang disebut pada prasasti Ligor.
Adanya prasasti Ligor B di pantai timur Semenanjung
Malayu, seperti telah disinggung di muka, menunjuk-
kan, bahwa daerah Ligor khususnya dan Kerajaan
Sriwijaya umumnya di sekitar pertengahan abad

8
kedelapan dikuasai oleh Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra.
Demikianlah Balaputradewa sebagai cucu Sri Maharaja Wisnu juga
mempunyai hak waris atas Sriwijaya, yang telah menjadi Negara bawahan Mataram
sekembalinya Sri Maharaja Wisnu dari Sriwijaya ke Mataram sebelum tahun 782
untuk menjadi raja di Mataram.
Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa
Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra,
Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu
Samaratungga menjadi raja di Jawa. jadi dengan kata lain Balaputradewa berhasil
menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi
karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa
Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.
Swarnadwipa di bawah kekuasaan Sri Maharaja Balaputradewa mengalami
kemajuan pesat. Wilayah pelayaran Sriwijaya makin luas. Luas wilayah pelayaran
dimasa pemerintahan Balaputradewa mencapai wilayah India bahkan mampu
menguasai pelayaran di kawasan Semenanjung Malaya dan Selat Malaka.
Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara dengan
didukung armada lautnya. Kekuatan ekonomi Sriwijaya kemudian dikembangkan
oleh Balaputradewa setelah menguasai wilayah kekuasaannya yang kemudian
dijadikan pusat perdagangan. Swarnadwipa pun bergabung dalam jaringan
perdagangan internasional dengan pelayaran dan hubungan diplomasinya yang
bahkan dihormati oleh India dan Cina.

9
3. HAYAM WURUK

Menjadi pemimpin di usia 16 tahun dan mampu mengantar sebuah kerajaan


mencapai puncak kegemilangannya, namanya terlantun sedemikian mempesona
dalam Nagarakrtagama yang seakan ‘tidak ada satupun’ mampu mengganggu
kedamaian pemerintahannya. Hayam Wuruk, Raja Keempat Kerajaan Majapahit, ia
mempunyai pengaruh yang besar di hampir seluruh wilayah Asia, khususnya di
bagian Tenggara.
Hayam Wuruk dilahirkan pada tahun 1334. Ia adalah putra sulung pasangan
Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana (Cakradhara). Ibunya adalah putri
Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah Bhre Tumapel penguasa
di Singhasari. Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja, dan
adik angkat bernama Indudewi, putri Rajadewi, adik ibunya.
Hayam Wuruk memerintah tahun 1350-1389. Bergelar penobatan Paduka Sri
Tiktawilwanagareswara Sri Rajasanagaragharbott-pasutinama Dyah Sri Hayam
Wuruk atau Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk. Di bawah
pemerintahannya, dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit
melanjutkan perluasan politik yang telah dirintis ibunya, Tribhuwanatunggadewi
(Penguasa Ketiga Majapahit) yang telah merantas jalan bagi kemajuan Kerajaan
Majapahit. Kemudian Hayam Wuruk kian menjadikan Majapahit besar dan kuat,
hingga disegani kawan maupun lawan.

10
Tahun 1377, Majapahit melakuakan gerakan politiknya pada raja-raja di
wilayah Sumatra, di antaranya; Kerajaan Pasai dan Aru (Deli, dekat Medan sekarang).
Selanjutnya menyisir sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan
diplomasi dan menjalin persekutuan.
Kerajaan Majapahit kemudian menguasai wilayah-wilayah yang meliputi
Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara,
Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Batasan alam
dan ekonomi jelas menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah kekuasaan langsung dari Kerjaan Majapahit. Melainkan
mereka terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa
monopoli oleh raja, dan mungkin juga menjadi negara vasal d engan mengirim
upeti secara periodik. Majapahit juga diceritakan memiliki hubungan yang baik
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan
mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Perluasan dan pengaruh Kerajaan Majapahit tidak hanya di bidang politik luar
negri, tetapi diimbangi dengan kebijakan yang lebih mengutamakan ke dalam daerah
kekuasaan langsung Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk juga memerintahkan
pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air bagi kepentingan irigasi
dan untuk mengendalikan Banjir. Sejumlah pelabuhan sungai dibuat untuk
transportasi dan bongkar muat barang komoditi perdangan. Begitu pun bidang
karyasatra mengalami kemajuan pesat, dua karya sastra yang paling utama adalah
Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca, dan Sutasoma ditulis oleh Mpu
Tantular.
Naskah Pararaton, dan naskah Sundayana yang digubah setelah pemerintahan
Raja Hayam Wuruk menuturkan Peristiwa Bubat yang terselip di antara kegemilangan
dan kebesaran nama Majapahit. Dalam naskah-naskah tersebut terurai kisah Raja
Hayam Wuruk yang telah gagal menikahi puteri Penguasa kerajaan Sunda bernama
Diah Pitaloka Citraresmi karena ambisi dan politik yang diemban Mahapatih Gajah
Mada.
Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Sri Sudewi bergelar Padukasori
putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang
menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki

11
putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan
Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Pada Tahun 1389, setelah mengantarkan Majapahit ke percaturan sejarah
dunia, serta menjalankan roda pemerintahan Majapahit dengan gemilang, Hayam
Wuruk dikabarkan meninggal di usia 55 tahun. Tampuk kekuasaan Majapahit
kemudian diemban oleh Kusumawardhani. Akan tetapi, Wikramawardhana lah yang
tercatat menggantikan kursi pemerintahan Majapahit selanjutnya.

4. GAJAH MADA

Biografi Gajah Mada. Nama tokoh kerajaan majapahit ini sangat terkenal di
Indonesia dengan Sumpah Palapa nya. namanya juga di abadikan sebagai nama salah
satu universitas terbaik di Indonesia. Gajah Mada ialah salah satu Patih kemudian
menjadi Mahapatih Majapahit yang mengantarkan kerajaan Majapahit ke puncak
kejayaannya. Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah
Mada lahir. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel. Karena berhasil
menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra
Kuti yang paling berbahaya dalam sejarah kerajaan Majapahit, ia diangkat sebagai
Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin
mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri
sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin
membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang

12
saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun
akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu
Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).
Sumpah Palapa Yang Terkenal Pada waktu pengangkatannya ia
mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati palapa atau rempah-
rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan
Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut :
..Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada:
Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa.
Yang artinya (Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata
Gajah Mada “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati
palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau
Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan
mencicipi palapa.)
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan
sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara.
Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya),
Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah
ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan
sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga
(Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang,
Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.
Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang
menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan
penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi,
Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton,
Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan
(Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Perang Bubat Yang Terkenal Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa
Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah
Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima

13
pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit
untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda
takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan
kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah
pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di
Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka
bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran.
Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan
bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung
yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan
dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada
Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada
diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Akhir hidup Gadjah Mada Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa
sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai
bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia
pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi namun tidak diketahui secara pasti dimana
Gajah Mada dimakamkan. Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri
Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan
negara.

14

Anda mungkin juga menyukai