Anda di halaman 1dari 8

Tarumanagara 

atau Kerajaan Taruma (Sunda: ᮒᮛᮥᮙᮔᮌᮛ) adalah kerajaan tertua kedua


di Nusantara setelah Kerajaan Kutai, yang meninggalkan bukti arkeologi. Kerajaan ini pernah
berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua
peninggalan arkeologi dari kerajaan ini adalah prasasti Ciaruteun, berupa batu peringatan dari
abad ke-5 Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki raja Purnawarman.[1]
Terdapat tujuh bukti prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanagara ditemukan di
daerah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Prasasti tersebut di antaranya adalah
prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi I, Jambu, Pasir Awi, dan Muara Cianten di dekat Bogor;
prasasti Tugu di Jakarta Utara; dan prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten. [2]

Kehidupan di Tarumanagara[sunting | sunting sumber]


Kehidupan politik pada masa Kerajaan Tarumanagara diketahui berdasarkan prasasti yang telah
ditemukan. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat
adalah Raja Purnawarman yang dibuktikan dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa
penggalian kali yang dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman.
Selanjutnya, kondisi sosial pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan
memperhatikan kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.
Agama yang dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa dengan kaum
Brahmana sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa
ini cukup tinggi dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang (animisme).
Prasasti tugu menuliskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan (sepanjang) 6122 tombak
yang dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah
sekitarnya (Kalimalang (?)). Hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi.
Selain itu, kehidupan budaya pada masa itu sudah berada di dalam taraf tinggi yang ditandai
dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang memperlihatkan perkembangan
budaya tulis menulis.

Penguasa Tarumanagara[sunting | sunting sumber]


Sejauh ini, sumber primer berupa prasasti hanya menyebutkan satu raja, yakni Purnawarman
sebagai raja Tarumanagara. Silsilah nenek moyang maupun keturunan Purnawarman sama sekali
tidak disebutkan dalam sumber primer berupa prasasti.

Sumber sejarah[sunting | sunting sumber]


Data arkeologi[sunting | sunting sumber]
Sejarah Kerajaan Tarumanegara bersumber dari sejumlah prasasti yang berasal dari abad ke-5
Masehi. Prasasti tersebut diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya, yaitu prasasti
Ciaruteun, prasasti Pasir Koleangkak, prasasti Kebonkopi, prasasti Tugu, prasasti Pasir
Awi, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Cidanghiang. Prasasti menyebutkan nama raja yang
berkuasa adalah Purnawarman.
Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Tapak Gajah)[sunting | sunting sumber]
Lokasi prasasti ini di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti
ini ditemukan pada awal abad XIX oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada bongkahan andesit rata
dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan prasasti Tapak Gajah karena diapit
oleh sepasang gambar kaki telapak gajah. Pahatan pada prasasti ini tidak terlalu dalam sehingga
seiring dengan bertambahnya waktu
tulisan pada prasasti sulit untuk terbaca.
Alih aksara:
"-- -- jayavisalasya tarume(ndra)sya ha(st)ina? -- -- (°aira) vatabhasya vibhatidam=padadvaya?
||" yang artinya “Di sini tampak sepasang tapak kaki ... yang seperti (tapak kaki) Airawata,
gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan”.
Prasasti Tugu[sunting | sunting sumber]
Lokasi saat ini Prasasti Tugu di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara.
Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Punawarman ditemukan pada abad ke-X Masehi
tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum anustubh.
Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti Tugu adalah
yang terlengkap walaupun tidak menuliskan angka tahun.
Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian
Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana
alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan
yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Cidanghiang (Prasasti Munjul) [sunting | sunting sumber]
Lokasi prasasti ini di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kapubaten Pandeglang. Lokasinya masih
insitu, ditemukan di tepi Ci Danghiang. Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa Sanskerta, dengan
aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan yang ditutupi lumut pada
permukaan prasasti ini namun tulisan masih dapat dibaca.[3] Isi dari prasasti ini merupakan pujian
dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini pertama kali ditemukan pada tahun
1947 oleh Toebagus Roesjan dan diteliti pada tahun 1947.
Alih aksara dari prasasti yaitu:
(1) "vikranto ‘yam vanipateh | prabhuh satyapara[k]ramah" yang berarti "Inilah (tanda)
keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia" (2)
"narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah" yang berarti "Yang Mulia
Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.
Prasasti Ciaruteun[sunting | sunting sumber]
Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Bogor ditemukan di aliran Ci Aruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini terbagi menjadi dua
bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa
terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh), dan Prasasti Ciaruteun B berisikan goresan
telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya, menurut juru kunci Prasasti
Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang
gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1,5 meter,
berbobot 8 ton.
Alih aksara dari prasasti ini yaitu:
Baris pertama: vikkrantasya vanipateh
Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah
Baris ketiga: tarumanagarendrasya
Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||[4]
Artinya:
“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki
Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di
dunia”.[4]
Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun kita mengetahui bahwa prasasti ini
dibuat pada abad ke-V dan menginformasikan bahwa pada masa lalu terdapat Kerajaan
Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarmanyang memuja Dewa Wisnu yang telah
dipengaruhi oleh kebudayaan India dan terbukti pada nama raja yang berakhiran -warman (alih
bahasa dari -varman) serta tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya.Pada tahun 1863,
prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian
pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981 barulah prasasti ini
dilindungi.
Prasasti Muara Cianten[sunting | sunting sumber]
Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan beberapa
tokoh lainnya, ukuran Prasasti Muara Cianten sekitar 2,7 x 1,4 x 1,4 meter dengan jenis batu
andesit, hingga saat ini isi prasasti ini belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha
atau ikal seperti huruf pada Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B.
Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak) [sunting | sunting sumber]
Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa
Kolonial Belanda, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg yang diperkirakan
dibuat pada abad ke-V. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga
berukuran sekitar 2–3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta
dan terdapat pahatan sepasang telapak kaki.
Alih aksara dari prasasti ini yaitu:
śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā
pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda
ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.
Arti dari aksara ini yaitu:
“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya –
Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan
yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak
kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran,
tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.[5]

Berita asing[sunting | sunting sumber]


Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita
Cina, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Cina) dalam bentuk buku dengan judul
"Fa-Kuo-Chi" menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M, di Ye-Po-Ti banyak orang
Brahmana dan animisme.[6]
Pada tahun 414 M Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah kerajaan To-lo-
mo (Kerajaan Tarumanagara), dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan.[7] Selain itu, berita
Dinasti Sui menuliskan bahwa pada tahun 528 dan 535, utusan To-lo-mo telah datang dari
sebelah selatan. Berita Dinasti Tang menuliskan bahwa pada tahun 666 dan 669 utusan To-lo-mo
telah datang. Dari berita tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang
antara tahun 400–600 M, yang pada saat itu masa kepemimpinan Raja Purnawarman dengan
wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.[7]
Naskah Wangsakerta[sunting | sunting sumber]
Naskah Wangsakerta menjadi polemik di kalangan sejarawan, sebab naskah-naskah ini
diragukan keasliannya sehingga sulit untuk dijadikan patokan sejarah. Sebelumnya, pada tahun
1980-an polemik di majalah, surat kabar, kalangan arkeolog terjadi bahkan sampai diangkat ke
percaturan nasional. Penulisan Naskah Wangsakerta diklaim berlangsung selama 21 tahun
dibawah pimpinan Pangeran Wangsakerta menggunakan kertas daluang dan tinta hitam dan
bertahan selama 100 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa naskah yang ada di Museum Sri
Baduga merupakan naskah salinan.
Isi dari naskah ini mendeskripsikan mengenai sejarah pulau-pulau di Nusantara. Bahkan uraian
sejarah tertulis lengkap dan terperinci mulai dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara hingga
daftar raja-raja yang memerintah lengkap beserta angka tahun pemerintahannya tertulis secara
rinci. Naskah Wangsakerta terdiri atas 5 karangan dengan judul Carita Parahyangan,
Nagarakrebhumi, Pustaka Dwipantaraparwa, Pustaka Pararatwan, Pustaka i Bhumi Jawadwipa
dan Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara. Polemik muncul sebab naskah-naskah ini mirip
tulisan buku sejarah modern dan begitu lengkap.[8]

Peninggalan[sunting | sunting sumber]
Penginggalan-peninggalan yang berasal dari era Kerajaan Tarumanagara berupa tujuh prasasti
dan artefak lainnya, sebagai berikut:

Nama situs Artefak Keterangan

Kampung Muara[9] Menhir (3)

Batu dakon (2)


Arca batu tidak berkepala

Struktur Batu kali

Kuburan (tua)

Ciampea[10] Arca gajah (batu) Rusak berat

Gunung Cibodas[11] Arca Terbuat dari batu kapur

3 arca berdiri

arca raksasa

arca (?) Fragmen

Arca dewa

Arca dwarapala

Duduk diatas angsa


Arca Brahma (Wahana Hamsa)
dilengkapi padmasana

Arca (berdiri) Fragmen kaki dan lapik

(Kartikeya?)

Arca singa (perunggu) Mus.Nas.no.771


Tanjung Barat[11] Arca Siwa (duduk) perunggu Mus.Nas.no.514a

Tanjungpriok[11] Arca Durga-Kali Batu granit Mus.Nas. no.296a

Tidak diketahui Arca Rajaresi[12] Mus.Nas.no.6363

Cilincing sejumlah besar pecahan settlement pattern

perhiasan emas dalam periuk settlement pattern

Tempayan

Beliung

Logam perunggu

Buni Logam besi

Gelang kaca

Manik-manik batu dan kaca

Tulang belulang manusia

Sejumlah besar gerabah bentuk wadah

Batujaya (Karawang Unur (hunyur) sruktur bata Percandian


Segaran I

Segaran II

Segaran III

Segaran IV

Segaran V

Segaran VI

) Talagajaya I

Talagajaya II

Talagajaya III

Talagajaya IV

Talagajaya V

Talagajaya VI

Talagajaya VII

Cibuaya[13] Arca Wisnu I

Arca Wisnu II
Arca Wisnu III

Lemah Duwur Wadon Candi I

Lemah Duwur Lanang Candi II

Pipisan batu

Anda mungkin juga menyukai