Anda di halaman 1dari 94

Tarumanagara

Tarumanagara
← 358–669 →

Wilayah Tarumanagara

Sundapura (dekat Tugu


Ibu kota
dan Bekasi)
Bahasa Sunda, Sanskerta
Hindu, Buddha, Sunda
Agama
Wiwitan
Pemerintahan Monarki
Sejarah
 - Didirikan 358
 - Serbuan Sriwijaya pada
669
tahun 650

Prasasti Tugu di Museum Nasional

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu
kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan
peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma
adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Etimologi dan Toponimi


Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara
sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa
Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian
Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan
Taruma. [1] [2]

Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan
yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja
yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada
tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang
6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan.
Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui
bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai
Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan

1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi
milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya
menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai
Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari
bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman,
dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang
yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi
pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga
batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih
dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan
sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan
Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan
kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya
ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan
perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja
dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai
taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-
16.

Prasasti Pasir Muara

Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak
Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti
itu dituliskan :

ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa
barpulihkan haji su-nda

Terjemahannya menurut Bosch:

Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5)
pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato
gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536
Masehi.

Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai
tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup.
Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah
puisi empat baris, yang berbunyi:

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva


padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia
yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda
kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti
Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara
bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala"
(raja daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah

Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi.
Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.

Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris
berbentuk puisi berbunyi:

jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

Terjemahannya:

Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan
penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah
perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan
diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas
kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang
telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai
"huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang
ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah,
matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari
Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada
mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui
kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Prasasti Jambu

Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan
Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan
Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang
telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri
purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam
arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram
shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh
panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu
berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-
musuhnya.

Sumber berita dari luar negeri

Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.

1. Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan
bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama
Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor"
(maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk
Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way
Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-
bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang
terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak
puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu
karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa
hien[rujukan?]
2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-
lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan
dari To-lo-mo.

Dari tiga berita di atas para ahli[siapa?] menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis
penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui
beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-


prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah
kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang
membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

Kepurbakalaan Masa Tarumanagara

Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya


No. Nama Situs Artefak Keterangan
1 Kampung Muara Menhir (3)
Batu dakon (2)
Arca batu tidak berkepala
Struktur Batu kali
Kuburan (tua)
2 Ciampea Arca gajah (batu) Rusak berat
3 Gunung Cibodas Arca Terbuat dari batu kapur
3 arca duduk
arca raksasa
arca (?) Fragmen
Arca dewa
Arca dwarapala
Arca brahma Duduk diatas angsa
(Wahana Hamsa)
dilengkapi padmasana
Arca (berdiri) Fragmen kaki dan lapik
(Kartikeya?)
Arca singa (perunggu) Mus.Nas.no.771
4 Tanjung Barat Arca siwa (duduk) perunggu Mus.Nas.no.514a
5 Tanjungpriok Arca Durga-Kali Batu granit Mus.Nas. no.296a
6 Tidak diketahui Arca Rajaresi Mus.Nas.no.6363
7 Cilincing sejumlah besar pecahan settlement pattern
8 Buni perhiasan emas dalam periuk settlement pattern
Tempayan
Beliung
Logam perunggu
Logam besi
Gelang kaca
Manik-manik batu dan kaca
Tulang belulang manusia
Sejumlah besar gerabah bentuk wadah
9 Batujaya (Karawang) Unur (hunyur) sruktur bata Percandian
Segaran I
Segaran II
Segaran III
Segaran IV
Segaran V
Segaran VI
Talagajaya I
Talagajaya II
Talagajaya III
Talagajaya IV
Talagajaya V
Talagajaya VI
Talagajaya VII
10 Cibuaya Arca Wisnu I
Arca Wisnu II
Arca Wisnu III
Lmah Duwur Wadon Candi I
Lmah Duwur Lanang Candi II
Pipisan batu

Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini
mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa
dijadikan rujukan sejarah.

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman
(382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali
Candrabaga.

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun
ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu
Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara
adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I,
sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima
kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap
Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai
lanjutan politik ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang
pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu
merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan
Kerajaan Sunda?

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa


Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang
menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka
Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di
daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah.
Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa
Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun
536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain.
Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang
disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat
pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah
status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja
Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan
lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya,
menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan
Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota
Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan
daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh
dalam tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669,
Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman
sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari
Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri
Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya
dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena


Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang
sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini,
hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi
wilayah Tarumanagara.

Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta

Raja-raja Tarumanegara
No Raja Masa pemerintahan
1 Jayasingawarman 358-382
2 Dharmayawarman 382-395
3 Purnawarman 395-434
4 Wisnuwarman 434-455
5 Indrawarman 455-515
6 Candrawarman 515-535
7 Suryawarman 535-561
8 Kertawarman 561-628
9 Sudhawarman 628-639
10 Hariwangsawarman 639-640
11 Nagajayawarman 640-666
12 Linggawarman 666-669

Kerajaan Salakanagara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Sumber referensi dari artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak
benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang benar pada
bagian yang diperlukan.

Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara


(yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan
kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.

Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah
yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary,
Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam
tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic,
Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu
Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan
terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Daftar isi
 1 Keturunan India
 2 Urutan Raja Salakanagara
 3 Referensi
 4 Lihat juga
o 4.1 Garis waktu kerajaan-kerajaan di Jawa Barat/Banten

Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari
Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu
setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari
wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai
didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan
lain.

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre
oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki
Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman
ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh
Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan
wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia
kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di
Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa
Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain
Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan
Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232
tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri
hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II
dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja
Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu
Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang
didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama
Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya
sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia


sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena
daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan


beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan
Daerah.

Urutan Raja Salakanagara


Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:[1]

Tahun
Nama raja Julukan Keterangan
berkuasa
Prabu Darmalokapala Aji
130-168 M Dewawarman I Pedagang asal Bharata (India)
Raksa Gapura Sagara
Prabu Digwijayakasa
168-195 M Dewawarman II Putera tertua Dewawarman I
Dewawarmanputra
Prabu Singasagara
195-238 M Dewawarman III Putera Dewawarman II
Bimayasawirya
Menantu Dewawarman II, Raja Ujung
238-252 M Dewawarman IV
Kulon
252-276 M Dewawarman V Menantu Dewawarman IV
Puteri tertua Dewawarman IV & isteri
Mahisa
Dewawarman V, karena
276-289 M Suramardini
Dewawarman V gugur melawan bajak
Warmandewi
laut
289-308 M Dewawarman VI Sang Mokteng Samudera Putera tertua Dewawarman V
Prabu Bima Digwijaya
308-340 M Dewawarman VII Putera tertua Dewawarman VI
Satyaganapati
Sphatikarnawa
340-348 M Puteri sulung Dewawarman VII
Warmandewi
Cucu Dewawarman VI yang menikahi
Prabu Darmawirya
348-362 M Dewawarman VIII Sphatikarnawa, raja terakhir
Dewawarman
Salakanagara
Mulai 362 Salakanagara telah menjadi kerajaan
Dewawarman IX
M bawahan Tarumanagara
Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia [tutup]

Kerajaan Sunda Galuh


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh)
Langsung ke: navigasi, cari

Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di
Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan
tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang
menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten
Ciamis.
Nama kerajaan
Banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama
Kerajaan Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi
pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut: [1] [2]:

Sa Ketika
da ku
ta mencap
ng ai
ka perbata
tu san
ng Sunda
tu Aku
ng menye
Su berangi
nd Cipama
a li (yang
M sekaran
eu g
nt dinama
asi i kali
ng Brebes)
di dan
Ci masukl
pa ah aku
ma ke
li hutan
Da Jawa
ta
ng
ka
al
as
Ja
wa

Menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia
menuliskan bahwa:

The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more
authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and
an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God
divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which
has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each
country with the branches on the ground.

Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini hanya disebut dengan nama Kerajaan Sunda.

Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah
lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan
Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan
Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.

Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh


Pembagian Tarumanagara

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan
kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman
zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M,
ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk
memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada


Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera
mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari
Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima
tuntutan Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Lihat pula: Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga.

Lokasi ibu kota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman
dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya
disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda
dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan
Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan
bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh
bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya
dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak
menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota
(bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini adalah
cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa
menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya
adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah
cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena
pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya
adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura,
pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan
Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus
Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan
Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh.

Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu
Shima mangkat).

Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut
Bumi Mataram (Mataram Kuno) pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya
kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia
adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja
Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Prasasti Jayabupati
Isi prasasti

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti
yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan
empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran
Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar
Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah
disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum
Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra.
wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati
jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda.
mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang
tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti
pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang,
Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini.
Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah
pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti
(maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98).
Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut
melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan
penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya,
menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup
dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang
semuanya).

Tanggal prasasti

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka
Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030
-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf,
bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton
Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu
Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara.
Peristiwa itu terjapada tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang
menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjapada tahun
669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan
Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh
ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari
Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi
menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora
dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara
Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh
memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-
usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh
dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon
sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke
Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.

Sanjaya dan Balangantrang

Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan
setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut
Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan
pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan
mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu
Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap
sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua
bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun
karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten
dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja
di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan
oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh
lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia
melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan
Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau
agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja
menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya
untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya.
Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari
bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus
berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana
Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah.
Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya
mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.

Premana, Pangrenyep dan Tamperan

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu,
isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan
Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah
(lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau
Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki
Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang
menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya
menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu
Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun"
Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani
menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan
yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan
Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong
angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang
berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti
itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah
timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan
diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga"
Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia
terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias
Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun
dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan
sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-
sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang
disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus
diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini
rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya,
Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera
bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari


tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan
rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan
dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang
memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil
menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga
dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam
harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada
Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan
Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya
di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa
Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah
telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa
pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di
daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi
Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh
dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah
lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada
dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga
menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri
merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana
Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya


Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-
14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya
sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun
sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari
kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).

Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana,
dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia
melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa
sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam
hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja.
Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga.
Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru,
yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah
Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan
Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852).
Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon
(819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun
852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat
perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).

Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya


Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia
putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat
dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja
Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang
dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera
Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan
permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada
puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena
harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas
dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi
ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam
Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi pada tahun 1019 M.

Hubungan dengan berdirinya Majapahit


Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma,
dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga
3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh
dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong
Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.

Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih
dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden
Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam
usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan
ibunya kembali ke Jawa Timur.

Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai
keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan
kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi
raja pertama Majapahit.

Daftar raja-raja Sunda Galuh


Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :

Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati


No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik-ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042

Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di
kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13
orang :

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon


No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12

Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda
dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu
Gajah Kulon (no. 13).

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14
orang :

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati


No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482

Penyatuan kembali Sunda-Galuh


Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-
anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa
di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu
Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut
sebagai Kerajaan Pajajaran.

Kerajaan Kalingga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Peta yang menggambarkan letak pusat kerajaan Kalingga.

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu
yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas,
kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara
sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari
sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun
berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan
kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh
Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong
tangannya.

Daftar isi
 1 Catatan dari sumber lokal
o 1.1 Kisah lokal
o 1.2 Carita Parahyangan
 2 Berita Cina
o 2.1 Catatan dari zaman Dinasti Tang
o 2.2 Catatan I-Tsing
 3 Prasasti
 4 Referensi

Catatan dari sumber lokal


Kisah lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris
yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah
legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur
dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan
tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan
mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum.
Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak
ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan
miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya.
Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan
menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah
yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong
kakinya.[1]

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima,
Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang
kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang
bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa.
Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian
mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri
Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai
Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara
Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri
Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan
kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara
yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat
jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.[2]

Berita Cina
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang
dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling
sebagai berikut.

 Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen
La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat
terletak Pulau Sumatera.
 Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
 Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya
terbuat dari gading.
 Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
 Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.

Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah
oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah
menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina
bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Cina.
Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain
memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama
Buddha Hinayana.

Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di
ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan
Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta.
Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber
air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar
seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang
keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.[3]

Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan
Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari
sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga
dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama
Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh
yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang
berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu
berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan
adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian
di Jawa Tengah Selatan.

Kerajaan Kanjuruhan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Letak pusat kerajaan Kanjuruhan

Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di
dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih
sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis
mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana.
Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

Latar belakang
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah. Raja
Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan
Kalingga (atau "Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno. Di Jawa
Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah
Malang sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama
Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru . Kerajaan itu
bernama Kanjuruhan.

Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan
Kali Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau
laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di
daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang
berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu
dan Budha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar
abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang.
Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan
kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.

Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun
masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja
yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api
Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah
menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana,
Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni
budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana
membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja
juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai
pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.

Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan
meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa.
Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan,
karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat
hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.

Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang oleh ayahnya diberi nama Uttejana.
Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan
seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya
bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana
mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat
Kanjuruhan semakin mencintai rajanya Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan
diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan
kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri
Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah
pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat besar. Ia
disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan
Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan
Mataram Kuna terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas,
kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.

Perluasan Kerajaan Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti
atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna dengan
Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri Maharaja Rakai
Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi
perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai
Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan
pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu
merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar
hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.

Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun
demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus
melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuna zaman
Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan,
artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari
Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika
menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu.
Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur
Gunung Kawi.

Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan


Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang
luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat
ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi
wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai
lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.

Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut
sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :

1. daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),


2. daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3. daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4. daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5. daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6. daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan
Kanuruhan),
7. dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh
Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di
dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan
(bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.

Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat


dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen
(selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya
sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak
zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan.
Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan
Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan
pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan
Mataram Kuno di masa lampau.

Kerajaan Medang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat (catatan
kaki). Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih
mendetil bila perlu.
Artikel ini membahas tentang kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu. Untuk kerajaan
Islam, lihat Kesultanan Mataram.
Mdaη

  752–1045 →

Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur

Ibu kota Jawa Tengah: Mdaη i


Bumi Mataram (lokasi
tepat tidak diketahui,
diperkirakan di sekitar
Yogyakarta dan
Prambanan), kemudian
pindah ke Poh Pitu dan
Mamrati

Jawa Timur: Mdaη i


Tamwlang dan Mdaη i
Watugaluh (dekat
Jombang), kemudian
pindah ke Mdaη i
Wwatan (dekat Madiun)
Bahasa Jawa Kuna, Sanskerta
Kejawen, Hindu, Buddha,
Agama
Animisme
Pemerintahan Monarki
Raja
 - 732—760 Sri Sanjaya
 - 985—1006 Dharmawangsa Teguh
Sejarah
 - Sri Sanjaya mendirikan
Wangsa Sanjaya (Prasasti 752
Canggal)
 - Kekalahan
Dharmawangsa dari 1045
Wurawari dan Sriwijaya
Masa dan Tahil (koin
Mata uang
emas dan perak lokal)
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

l • b • s

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan
Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8,
kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan
Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.

Daftar isi
 1 Nama
 2 Pusat Kerajaan Medang
 3 Awal berdirinya kerajaan
 4 Dinasti yang berkuasa
 5 Daftar raja-raja Medang
 6 Struktur pemerintahan
 7 Keadaan penduduk
 8 Konflik takhta periode Jawa Tengah
 9 Teori van Bammelen
 10 Permusuhan dengan Sriwijaya
 11 Peristiwa Mahapralaya
 12 Peninggalan sejarah
 13 Kepustakaan
 14 Lihat pula
Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa
Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah
dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16,
Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram
Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk
pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram).
Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk
ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara
keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan
sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana
Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,

 Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)


 Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
 Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
 Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
 Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
 Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
 Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu
diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama
Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah
Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di
daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan


Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja
pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram
Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas
apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa
sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian
tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh
yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan,
meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan
Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah
sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya
menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas
terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg
merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang
memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan
Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa
Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru
Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan
dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis
ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.

Dinasti yang berkuasa


Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan
Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa
Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini
menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh
Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai
Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan
Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa
Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke
Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai
anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa
daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah
keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra
Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai
“permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak
teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan
kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai
Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna
“penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”.
Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan
nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun
Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi
Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul
pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana
baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan
tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi
Mataram.

Daftar raja-raja Medang


Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di
Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:

Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa
pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.

1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang


2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja
sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai
gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara
dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti
dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-
rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah
menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan
meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi
Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan
Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk
naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa
pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman
Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik
takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan
Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan
jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah
raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan
Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang
masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Keadaan penduduk
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya
kerajaan Medang.

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya
bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan
saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran
Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan
Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah


Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an),
ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan
Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai
Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti
Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan
kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia
dapat mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang
mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya,
bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan
damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat
sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen


Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur
disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi
hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara
lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut
disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui
dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal
sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama
Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah
Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode
Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa,
yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya


Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau
Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama
Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa
Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an,
Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama
Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap
Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-
temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk
menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana
berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang
menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur)
yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita
dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas
sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh
pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti
Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu
kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin
memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan
sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran
itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan
yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah

(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm.
(Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10,
perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan,
abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu
maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di
Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan
Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah
Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan
UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Kerajaan Kahuripan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini mengenai Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Untuk artikel kerajaan dengan
nama sama di Kalimantan, lihat Kerajaan Kuripan.

Kahuripan adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur yang
didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009. Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan
Medang yang runtuh tahun 1006.

Daftar isi
 1 Runtuhnya Kerajaan Medang
 2 Airlangga Mendirikan Kerajaan
 3 Kahuripan sebagai ibu kota Janggala
 4 Kahuripan dalam sejarah Majapahit
 5 Kepustakaan

Runtuhnya Kerajaan Medang


Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan,
ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh
tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu.

Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana
raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga
menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri).

Airlangga Mendirikan Kerajaan


Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali
Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota
baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.

Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung
Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang
membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja
Colamandala dari India tahun 1023. Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan
Wangsa Isyana.

Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa
Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas
karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Airlangga kemudian membangun ibu
kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita dapat dikalahkan,
bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan
mencakup hampir seluruh Jawa Timur.

Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin
Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai
sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara.

Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042
dan Serat Calon Arang.

Kahuripan sebagai ibu kota Janggala


Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta
antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi,
memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian
barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian
timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan.

Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun
1049.

Kahuripan dalam sejarah Majapahit


Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun
1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang
dahulu diciptakan oleh Airlangga.

Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana.
Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di
barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat.

Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan, atau
disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya.
Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih
Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Hayam Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja Kahuripan bergelar
Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat
ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.

Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang
bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja.
Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita)
yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi raja Majapahit, gelar Bhre
Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.

Kerajaan Janggala
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Janggala adalah salah satu dari dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari
Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an. Lokasi
pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Daftar isi
 1 Etimologi
 2 Pembagian Kerajaan oleh Airlangga
 3 Raja-Raja Janggala
 4 Akhir Kerajaan Janggala
 5 Janggala sebagai Bawahan Majapahit
o 5.1 Bhre Kahuripan
 6 Janggala dalam Karya Sastra
 7 Kepustakaan

Etimologi
Nama Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan
catatan China. Hujung Galuh terletak di daerah muara sungai Brantas yang diperkirakan kini
menjadi bagian kota Surabaya. Kota ini merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan
Kahuripan, Janggala, Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Pada masa kerajaan Singhasari dan
Majapahit pelabuhan ini kembali disebut sebagai Hujung Galuh.

Pembagian Kerajaan oleh Airlangga


Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan
didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut
seorang musuh wanita.

Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan
Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga
meninggalkan Kahuripan.
Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama
Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul
perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan
Mapanji Garasakan.

Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya
mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha.
Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat
di kota lama, yaitu Kahuripan.

Raja-Raja Janggala
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap
saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai.

Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah dari pada
Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:

1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang


Putih, dan prasasti Malenga (1052).
2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).

Akhir Kerajaan Janggala


Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini
mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti
Ngantang (1035), Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri,
dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang.

Sejak saat itu Janggala menjadi bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri
yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri
seorang putri Janggala bernama Kirana.

Janggala sebagai Bawahan Majapahit


Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya oleh Majapahit tahun 1293,
secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai.

Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer dari pada Janggala, sebagaimana nama
Daha lebih populer dari pada Kadiri. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486),
Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-
Janggala-Kadiri.

Bhre Kahuripan
1. Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 Nagarakretagama.2:2
2. Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
3. Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
4. Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
5. Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
6. Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu
7. Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23

Janggala dalam Karya Sastra


Panjalu, Kediri
Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365.
Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-
kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya.

Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi
Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya
yang bernama
Kerajaan Panji Asmarabangun,
Janggala dan Panjalu yang bergelar Prabu Suryawisesa.
(Kediri), kemudian bersatu menjadi
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama
Kerajaan Kediri
Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja
Berdiri
Janggala juga 1042-1222
sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam
Smaradahana Kahuripan
Didahului yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri
Janggala.
oleh
Digantikan Singasari
Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar
oleh
Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana
banjir.
Ibu kotaSurya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.
Daha, Dahanapura
Bahasa Jawa Kuna
Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi
dongeng. Itulah
Agama sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang
Hindu
kebenarannya Buddha
sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.
Pemerintaha Monarki
nSelamat datang SridiSamarawijaya
Wikipedia bahasa Indonesia [tutup]
-Raja (1042-?)
Kerajaan Kadiri
pertama Kertajaya (1194-1222)
-Raja terakhir Jayakatwang (1292-
1293)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah
Langsung ke: navigasi, cari
-Dibagi dari 1042
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan
Kahuripan
terkait atau pranala luar, tapi sumbernya masih
-Bergabung antara 1116-1135
belum jelas karena tak memiliki kutipan pada
kembali
kalimat (catatan kaki). Mohon tingkatkan
dengan
kualitas artikel
Janggala 1157 ini dengan memasukkan rujukan
yang lebih mendetil bila perlu.
-Kakawin
Bhāratayudd
ha selesai 1222
ditulis
-Runtuh oleh
pemberontak
an Ken Arok
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)


Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

l • b • s

Artikel ini membahas tentang Kerajaan Kediri (Sejarah Nusantara). Lihat pula Kota
Kediri dan Kabupaten Kediri. Untuk kegunaan lain, lihat Kediri (disambiguasi).

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur
antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri
sekarang.
Daftar isi
 1 Latar Belakang Kerajaan Kediri
 2 Perkembangan Kediri
 3 Karya Sastra Zaman Kadiri
 4 Runtuhnya Kadiri
 5 Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri
o 5.1 1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
o 5.2 2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
o 5.3 3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
o 5.4 4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
o 5.5 5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
o 5.6 6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
 6 Kepustakaan

Latar Belakang Kerajaan Kediri

Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13.

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan
dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang
dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa,
saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua
putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan
kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang
bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di
kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin
Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai
pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan
Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri.
Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan,
nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta
(1178).

Perkembangan Kediri
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II
(1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara
kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.

Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas
nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah
diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas
berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.

Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala
dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau
Panjalu Menang.

Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya.
Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa
pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan
Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang
kerajaan tersebut.

Karya Sastra Zaman Kadiri


Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157
Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini
bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan
kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat
pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis
Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga
bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis
Kresnayana.

Runtuhnya Kadiri

Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam
Pararaton dan Nagarakretagama.

Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta
perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan
Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil
menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang
sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun
1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya
digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang
dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan
oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali
Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang
dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.

Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri


Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:

1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh

Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun
takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota
kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.

Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah
bernama Panjalu.

2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu

 Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti
Pamwatan (1042).
 Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti
apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
 Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120),
dan prasasti Tangkilan (1130).
 Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
 Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
 Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
 Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
 Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
 Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194),
prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.

3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari

Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti
Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:

 Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok


 Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
 Tohjaya kakak Guningbhaya
 Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja
Singhasari

4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri

Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia
memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian
membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri
Majapahit.

5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit

Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang
memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian
dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:

1. Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih


Lembu Sora.
2. Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam,
kemudian Gajah Mada.
3. Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
4. Suhita 1415-1429 ?
5. Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
6. Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit

Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang
dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.

Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.

Kerajaan Singhasari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya.
Untuk kegunaan lain dari Singosari, lihat Singosari (disambiguasi).
Singhasari
← 1222–1292 →

Perkembangan Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan


Kertanegara

Kutaraja Singhasari,
Ibu kota sebelumnya disebut
Tumapel
Bahasa Jawa Kuno, Sanskerta
Siwa-Buddha (Hindu dan
Agama Buddha), Kejawen,
Animisme
Pemerintahan Monarki
Raja
 - 1222-1227 Ken Arok
 - 1268-1292 Kertanegara
Sejarah
 - Perang Ganter 1222
 - Serangan Jayakatwang
1292
dari Gelang-gelang
Mata uang Koin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa


Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

l • b • s

Arca Prajnaparamita ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken
Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia). Keindahan arca ini mencerminkan kehalusan seni
budaya Singhasari.

Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan
di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Daftar isi
 1 Nama ibu kota
 2 Awal berdiri
 3 Silsilah Wangsa Rajasa
 4 Prasasti Mula Malurung
 5 Pemerintahan bersama
 6 Kejayaan
 7 Keruntuhan
 8 Hubungan dengan Majapahit
 9 Kepustakaan
 10 Referensi
 11 Pranala luar
 12 Lihat pula

Nama ibu kota


Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah
Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu
kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.

Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai
yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan
nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel
pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.

Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

Awal berdiri
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang
menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati
dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang
kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang
bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.

Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para
brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja
pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di
desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun
tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel
bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja
Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan
Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa,
karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken
Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Silsilah Wangsa Rajasa

Silsilah Wangsa Rajasa dari sumber prasasti dan naskah kepujanggaan

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dengan
blok warna dalam gambar ini.[1]
Wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok. Keluarga kerajaan ini menjadi penguasa
Singhasari, dan berlanjut pada kerajaan Majapahit. Terdapat perbedaan antara Pararaton dan
Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.

Versi Pararaton adalah: Versi Nagarakretagama adalah:

1. Ken Arok alias Rajasa Sang 1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra


Amurwabhumi (1222 - 1247) (1222 - 1227)
2. Anusapati (1247 - 1249) 2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Tohjaya (1249 - 1250) 3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 4. Kertanagara (1254 - 1292)
- 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)

Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas
dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya
(anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati).
Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai. Sementara itu versi
Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja
sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Nagarakretagama adalah kitab pujian untuk
Hayam Wuruk raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut
dianggap sebagai aib.

Di antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati
menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang
dikeluarkan Kertanagara atas perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja
Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama.
Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di Kadiri.
Dengan demikian, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 dapat diperdebatkan.
Kemungkinannya adalah bahwa Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu, baru pada
tahun 1268 ia bertakhta di Singhasari. Diagram silsilah di samping ini adalah urutan penguasa
dari Wangsa Rajasa, yang bersumber dari Pararaton.

Prasasti Mula Malurung


Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi
Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain yang berbeda dengan versi
Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel.

Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara Siwa", setelah
menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin
Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng).
Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati
digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti Mula Malurung juga
menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali
oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya,
yaitu Kertanagara.

Pemerintahan bersama
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti
adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami
maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok
yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti
adalah cucu Ken Arok.

Kejayaan
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia
adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim
pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam
menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya
(kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan
dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua
negara.

Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289
Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan
Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan
daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu,
Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.

Keruntuhan

Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya
mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang
bupati Gelanggelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara
sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.

Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di
Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.

Hubungan dengan Majapahit


Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu
Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria
Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi
hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa.
Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri
runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah
Jawa.

Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan
menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Majapahit
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Majapahit)
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Majapahit, lihat Majapahit (disambiguasi).
Majapahit
← 1293–1527 →
Surya Majapahit*

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan


Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit
menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]

Majapahit, Wilwatikta
Ibu kota
(Trowulan)
Bahasa Jawa Kuno, Sanskerta
Siwa-Buddha (Hindu dan
Agama Buddha), Kejawen,
Animisme
Pemerintahan Monarki
Raja
 - 1295-1309 Kertarajasa Jayawardhana
 - 1478-1498 Girindrawardhana
Sejarah
 - Penobatan Raden
10 November 1293
Wijaya
 - Invasi Demak 1527
Koin emas dan perak,
kepeng (koin perunggu
Mata uang
yang diimpor dari
Tiongkok)
*Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat
ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit
mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)


Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

l • b • s

Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri
dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan
Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Kekuasaannya
terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur,
meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]
Daftar isi
 1 Historiografi
 2 Sejarah
o 2.1 Berdirinya Majapahit
o 2.2 Kejayaan Majapahit
o 2.3 Jatuhnya Majapahit
 3 Kebudayaan
 4 Ekonomi
 5 Struktur pemerintahan
o 5.1 Aparat birokrasi
o 5.2 Pembagian wilayah
 6 Raja-raja Majapahit
 7 Warisan sejarah
o 7.1 Legitimasi politik
o 7.2 Arsitektur
o 7.3 Persenjataan
 8 Kesenian modern
o 8.1 Puisi lama
o 8.2 Komik dan strip komik
o 8.3 Roman/novel sejarah
o 8.4 Film/Sinetron
 9 Referensi
o 9.1 Bibliografi
 10 Lihat pula
 11 Pranala luar

Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.
[5]
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam
bahasa Kawi dan Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian
pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi
Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam
bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8]

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal
bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C.
Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti
supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun demikian, banyak pula sarjana
yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan
dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang
tampak cukup pasti.[5]

Sejarah
Berdirinya Majapahit

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi
semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang
bernama Meng Chi[10] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[10][11] Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu
Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha,
yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada
Jayakatwang. [12] Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati.[12] Raden Wijaya
kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[13][14] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus
menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya
Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[15] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[14] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang
pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi
bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang
menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah
kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih
besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian
ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi) gaya khas
Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman
keemasan" nusantara.

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah
Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina[16]. Sumber ini menunjukkan batas
terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan
tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan
satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[17]. Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[17][2]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi
dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk
berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[18]
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja
Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang
untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan
Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani
memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir
seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[19] Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati",
bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[20] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama
dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita
Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam
Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat
mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya
dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda
mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan
otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.
Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat
mengundang reaksi keras.[21]

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-
kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah
mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat
inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit

Pasukan Majapahit

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur


melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-
1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di
pantai utara Jawa.[22]

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[8].

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[23]. Di
bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah
taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.

Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha


(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun
waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan
Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-
kerajaan Islam di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400
saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[24]) hingga tahun 1527.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[25].

Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi
[25]
dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha
dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan
ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[26] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk
menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung
Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam
pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit[27]. Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan
Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia
adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[25].

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama
yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda
yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring
mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota
Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam
lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai
pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di
atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja
yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan
dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu
kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai
oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas.[28]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar
keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa,
maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi
sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah
yang paling ahli menggunakannya[29]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris
dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan
perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang
melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[30]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa,
dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia
Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia,
terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga
mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan
darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang
ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini
terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga
menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum
Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[17]. Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8
pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak.
Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter
penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang
tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat
sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal
dari era Majapahit.[31] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran
ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[28]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak
78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[28]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier,
mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun
proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin
meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas,
perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga[32]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [33]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah
Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan
sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[28]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak


pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan
pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa[34].

Struktur pemerintahan

Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit


ibunda Hayam Wuruk.

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak
berubah selama perkembangan sejarahnya [35]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para
putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan
kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja


 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang
bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat
pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[14], terdiri atas


beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh
uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah
gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas
mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke
pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang
dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit
dikenal sebagai berikut:

1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja


2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran
atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Hubungan
No Provinsi Gelar Penguasa
dengan Raja
Kahuripan (atau
Janggala, Bhre
1 Tribhuwanatunggadewi ibu suri
sekarang Kahuripan
Surabaya)
Daha (bekas
bibi sekaligus
2 ibukota dari Bhre Daha Rajadewi Maharajasa
ibu mertua
Kediri)
Tumapel (bekas
Bhre
3 ibukota dari Kertawardhana ayah
Tumapel
Singhasari)
Wengker paman
Bhre
4 (sekarang Wijayarajasa sekaligus ayah
Wengker
Ponorogo) mertua
Matahun suami dari
Bhre
5 (sekarang Rajasawardhana Putri Lasem,
Matahun
Bojonegoro) sepupu raja
Wirabhumi Bhre
6 Bhre Wirabhumi1 anak
(Blambangan) Wirabhumi
Bhre saudara laki-
7 Paguhan Singhawardhana
Paguhan laki ipar
Bhre anak
8 Kabalan Kusumawardhani2
Kabalan perempuan
Bhre keponakan
9 Pawanuan Surawardhani
Pawanuan perempuan
Lasem (kota
10 pesisir di Jawa Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
Tengah)
Pajang (sekarang saudara
11 Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari
Surakarta) perempuan
Mataram
Bhre keponakan
12 (sekarang Wikramawardhana2
Mataram laku-laki
Yogyakarta)
Catatan:
1
Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan),
nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari
Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2
Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan
laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit
dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[36]
Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

 Daha  Kahuripan  Kembang  Singhapura  Wengker


 Jagaraga  Keling Jenar  Tanjungpura  Wirabumi
 Kabalan  Kelinggapura  Matahun  Tumapel
 Pajang
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit,
sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

 Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit
Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang
termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara
efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa,
dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan
kerabat dekat raja.
 Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung
dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi,
area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan
membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan
Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur
kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka
menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk
didalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya,
Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
 Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke
dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi
yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk
menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun
yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras.
Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa
Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar
negeri:

 Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama".
Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit,
bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15,
bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari
(Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di
Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[37] Mitreka
Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri
seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah
melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh
sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau
inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan
tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[38] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam
lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki
pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap
menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat
di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan
sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang
sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam
gambar ini.[39]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri
Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa
Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].

Nama Raja Gelar Tahun


Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana 1389 - 1429
Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 - 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 - 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Patih Udara 1498 - 1518

Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada
abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi


atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton
Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana
sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung
oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit.
Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan
hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam
leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat
Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[29]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik
negara Republik Indonesia saat ini.[17] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai
Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan
kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[40]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk
kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[41] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia
modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit.
Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua
warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna
Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin
Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of
Asian Art, San Francisco)

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia.
Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab
Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa
serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.

Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan
keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan
pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak
masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah
keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa
ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.

Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia [tutup]

Pakuan Pajajaran
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Pajajaran)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Pajajaran, lihat Pajajaran (disambiguasi).
Untuk kegunaan lain dari Pakuan, lihat Pakuan (disambiguasi).

Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan
Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri
di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat
sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan
nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan. Lokasi
Pajajaran pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial
Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 yang dapat dilihat pada link
http://www.themapdatabase.com/category/location/asia/indonesia/.

Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran
dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik.
Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci
dalam naskah kuno tersebut. [1]

Daftar isi
 1 Kehancuran
 2 Toponimi Pakuan dan Pajajaran
 3 Penelitian Lokasi Bekas Pakuan Pajajaran
o 3.1 Naskah kuno
o 3.2 Berita-berita VOC
 3.2.1 Laporan Scipio
 3.2.2 Laporan Adolf Winkler (1690)
 3.2.3 Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
o 3.3 Hasil Penelitian
 4 Rujukan
 5 Catatan
 6 Lihat juga

Kehancuran
Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan
Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke
Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di
depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang,
berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap
di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang
mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Toponimi Pakuan dan Pajajaran


Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil
penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu[2]:

1. Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini
diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak
terdapat pohon Pakujajar.
2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di
Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama
Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon
paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan
pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe
bomen").
3. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun
1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono
dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran"
diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan
Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer
tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan
bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau
seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat
(1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis
dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa
kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti
Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan"
berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana
yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
5. H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan
sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah.
Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran),
pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang
di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam
Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang
dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".

Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti
ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan
keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia
melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai
Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik
kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci
Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di
Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".

Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis
(nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu
nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri
Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu
adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk
raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan
dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran
tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas
nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-
masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa
disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton
induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali,
Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran
atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya
menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik.
Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama
"Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa
di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa.
Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh",
sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.

Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga
Pajajaraan.

Penelitian Lokasi Bekas Pakuan Pajajaran


Naskah kuno

Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda
Zaman Pajajaran Jilid 2, 2005)

Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat
terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan
khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut
fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta,
Narayana Madura Suradipati:

“ ”
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima
Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja
Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu
Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun
Maharaja Tarusbawa.

Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri
Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu
diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci
Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah
dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci
Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang,
sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak
zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian
menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata
"kancil" memang berarti "peucang".

Berita-berita VOC

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi
pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur)
yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang
serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda
dan EIC disebut Kumpeni Inggris.

Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani


persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas
kedua belah pihak.

Laporan Scipio

Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:

 Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui
Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian
catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang
bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".

 Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan
dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari
anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari
Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan
wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya
di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa
menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den
getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang
ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh
sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi
yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos
adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

Laporan Adolf Winkler (1690)

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk
kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16
orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.

Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :

Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke
selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini
tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung
lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan
yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan
berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah
Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit
kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada).
Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit
perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana
dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat
disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan".
"Tajur" adalah kata Sunda Kuna yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama
artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi
tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami
pohon durian pada kedua sisinya.

 Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709)
dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi
dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung
pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap
Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di
Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.

 Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut
penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs
soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah
paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.

 Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara
indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari
batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu
harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan
batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil
ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk
bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat
di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan
Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan
(sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi
utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya
berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

 Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana
Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan
sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan
sepasang tanda penutup).

Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi
setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan
Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

 Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911
Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang
menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang
Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang
(1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862.
Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga
penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan"
Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon
campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya
di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua
kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan
tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.

Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok -
Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang -
Parungangsana (Tanah Baru).

Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng -


Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.

Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung -


Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.

Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia
dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak
oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck
adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:

 Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan
dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang
dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
 Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang
sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua
orang berjalan kaki.
 Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal
dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang
sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
 Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir
kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia
telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini
kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

Hasil Penelitian

Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan"
untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun
1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya
Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi
prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun
1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun
pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,

"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het
huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond,
aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung
Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang
timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi
keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan
Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri
Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi
Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih
menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada
pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas)
Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor
yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan
sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang
termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni
istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat
perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana".
Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu
berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk
pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai
yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada
bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang
diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke
Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan
untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi
Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-
pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng
yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee,
bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung
Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung
lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop
Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan
jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini
sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat
simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian
ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero
Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati
kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota,
membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu


puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari
sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci
Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan
memisahkan "ujung benteng" dengan Pajajaran

Berikut adalah raja-raja Pajajaran:

1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)


2. Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3. Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4. Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5. Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
6. Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
Pandeglang

Raja-Raja Pajajaran, seperti juga Raja-Raja Singasari, Majapahit, Dharmasraya, dan Pagaruyung
periode awal, beserta para pembesarnya adalah pengikut sekte keagamaan Tantra. Sekte Tantra
adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya
meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan.

Berakhirnya zaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA


SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong
ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru.

Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusufkorem 064 menjadikan Maulana yusuf
sebagai namanya, merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di
Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang
berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

"benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Anda mungkin juga menyukai