Anda di halaman 1dari 9

“TUGAS KLIPING SEJARAH INDONESIA”

Nama: MUHAMMAD IQBAL SAFARAS


Kelas: X IPS 2
KERAJAAN TARUMANEGARA

 Tarumanagara atau Kerajaan Taruma (bahasa Sunda: ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪


ᮒᮛᮥᮙ, translit. Karajaan Taruma) adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M.[1] Tarumanegara
merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat
itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
[2] Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan
atau negara sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai
yang membelah Jawa Barat yaitu Ci Tarum. Pada muara Ci Tarum ditemukan
percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga
merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.

 Wilayah Tarumanagara  
Ibu kota Sundapura (dekat Tugu dan Bekasi)

Bahasa yang umum digunakan Sunda, Sanskerta

Agama Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan

Pemerintahan Monarki

Maharaja  

• 358 – 382 Jayasingawarman

• 666-669 Linggawarman

Sejarah  

• Didirikan 450

• Runtuh 700

Didahului oleh Digantikan oleh

Salakanagara Kerajaan Sunda


Kerajaan Galuh

Sekarang bagian dari  Indonesia


Sejarah Kerajaan Tarumanegara bersumber dari sejumlah prasasti yang berasal dari
abad ke-5 Masehi. Prasasti tersebut diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya,
yaitu prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Koleangkak, prasasti Kebonkopi, prasasti
Tugu, prasasti Pasir Awi, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Cidanghiang. Prasasti
menyebutkan nama raja yang berkuasa adalah Purnawarman.[5][6][7]
Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Tapak Gajah)Sunting

Lokasi prasasti ini di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Prasasti ini ditemukan pada awal abad XIX oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada
bongkahan andesit rata dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan
prasasti Tapak Gajah karena diapit oleh sepasang gambar kaki telapak gajah. Pahatan
pada prasasti ini tidak terlalu dalam sehingga seiring dengan bertambahnya waktu
tulisan pada prasasti sulit untuk terbaca.

Alih aksara:
“-- -- jayavisalasya tarume(ndra)sya ha(st)ina? -- -- (°aira) vatabhasya
vibhatidam=padadvaya? ||” yang artinya “Di sini tampak sepasang tapak kaki ... yang
seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam ... dan (?)
kejayaan”.

Prasasti Tugu Sunting

Lokasi saat ini Prasasti Tugu di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta
Utara. Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Punawarman ditemukan pada abad ke-X
Masehi tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum
anustubh. Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti
Tugu adalah yang terlengkap walaupun tidak menuliskan angka tahun.[10]

Prasasti Tugumenerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan


penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun
ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk
menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan
Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.Prasasti Cidanghiang
(Prasasti Munjul) Sunting

Lokasi prasasti ini di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kapubaten Pandeglang. Lokasinya
masih insitu, ditemukan di tepi sungai Cidanghiang. Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa
Sanskerta, dengan aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan
yang ditutupi lumut pada permukaan prasasti ini namun tulisan masih dapat dibaca.[12] Isi
dari prasasti ini merupakan pujian dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini
pertama kali ditemukan pada tahun 1947 oleh Toebagus Roesjan dan diteliti pada tahun 1947.
[13]

Alih aksara dari prasasti yaitu:

(1) “vikranto ‘yam vanipateh | prabhuh satyapara[k]ramah” yang berarti “Inilah (tanda)
keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia” (2)
“narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah” yang berarti “Yang Mulia
Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

Prasasti Ciaruteun Sunting


Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Bogor[14] ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan
aksara Pallawa terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh) , dan Prasasti Ciaruteun B
berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya, Menurut
juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja
Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa.[15][16] Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter
dengan tinggi 1.5 meter, berbobot 8 ton.[17]

Prasasti CiaruteunSunting

Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten


Bogor[14] ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini
terbagi menjadi dua bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa
Sanskerta dan aksara Pallawa terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh) , dan
Prasasti Ciaruteun B berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum
diketahui maknanya, Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat
pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan
berkuasa.[15][16] Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1.5 meter,
berbobot 8 ton.
Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam


•Artinya:

“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak
kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang
gagah berani di dunia”.

•Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun kita mengetahui bahwa
prasasti ini dibuat pada abad ke-V dan menginformasikan bahwa pada masa lalu
terdapat Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarmanyang
memuja Dewa Wisnu yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, terbukti pada
nama raja yang berakhiran -warman,[7] dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada
zamannya.[17][16] Pada tahun 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir
sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini
dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981 barulah prasasti ini dilindungi.
Prasasti Muara CiantenSunting

Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan


Cibungbulang, Kabupaten Bogor. [19] Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh
N.W. Hoepermans dan beberapa tokoh lainnya, ukuran Prasasti Muara Cianten
sekitar 2,7 x 1.4 x 1.4 meter dengan jenis batu andesit, hingga saat ini isi prasasti ini
belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha atau ikal seperti huruf pada
Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B.
Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak) Sunting

Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakanmuncung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,


tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa
Kolonial Belanda, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg, diduga dibuat
pada abad ke-V. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga berukuran
sekitar 2-3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta dan
terdapat pahatan sepasang telapak kaki.

Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

Śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā


pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda
ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.

Arti dari aksara ini yaitu:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya –
Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang
baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak
kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para
pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.

Naskah Wangsakerta Sunting

Naskah Wangsakerta menjadi polemik dikalang sejarahwan, sebab naskah-naskah ini


diragukan keasliannya sehingga sulit untuk dijadikan patokan sejarah. Sebelumnya, pada
tahun 1980-an polemik di majalah, surat kabar, kalangan arkeolog terjadi bahkan sampai
diangkat ke percaturan nasional. Penulisan Naskah Wangsakerta berlangsung selama 21
tahun dibawah pimpinan Pangeran Wangsakerta menggunakan kertas daluang dan tinta hitam
dan bertahan selama 100 tahun, dapat dikatakan bahwa naskah yang ada di Museum Sri
Baduga merupakan naskah salinan. Isi dari naskah ini mendeskripsikan mengenai sejarah
pulau-pulau di Nusantara, Pulau jawa dan Sunda. Bahkan uraian sejarah tertulis lengkap muai
dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara hingga daftar raja-raja yang memerintah dan
tahun pemerintahan tertulis secara rinci. Naskah Wangsakerta terdiri atas 5 karangan dengan
judul Carita Parahyangan, Nagarakrebhumi, Pustaka Dwipantaraparwa, Pustaka Pararatwan, I
Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara. Polemik muncul sebab
naskah-naskah ini tergolong modern dan begitu lengkap.

•Raja raja Tarumanagara

Kerajaan Tarumanagara dipimpin oleh 12 raja, raja terakhir yaitu Raja Linggawarman pada
tahun 669 M. Kerajaan Tarumanagara jatuh pada menantu dari putri sulungnya yaitu
Tarusbawa dari Sunda,Tarusbawa lebih menginginkan kerajaannya sediri yaitu Sunda.[31]
Namun, hingga hari in belum diketahui secara pasti kapan Kerajaan Tarumanagara berakhir.
[32] Sejarahnya, pada tahun 358 M Rajadirajaguru Jayasingawarman mendirikan
Tarumanagara, dan pada masa kejayaan Purnawarman sebagai raja ketiga memegang kendali
atas 48 kerajaan kecil, wilayah kekuasaannya dimulai dari Salakanagara atau Rajatapura
hingga ke Purwalingga.[33]

Hubungan diplomatik Kerajaan Tarumanagara dengan India dan Cina terbentang luas, Raja
Purnawarman sempat tinggal selama enam bulan di Yavadi (Jawa) dimana hukum Budha
tidak terlalu berkembang namun Brahmana (Hindu) cukup berkembang. Misi diplomatik
sampai ke Cina pada tahun 435 M, namun sekitar 650 Kerajaan Tarumanagara dikalahkan
oleh Kerajaan Sriwijaya (kerajaan yang didirikan di Sumatra) sehingga mempengaruhi
kekuasaannya pada kerajaan-kerajaan kecil yang pernah ditundukkan.[33] Tarumanegara
semakin menghilang saat Raja Terakhir Tarumanegara Linggawarman tak memiliki penerus
laki – laki.

Dia memiliki dua anak perempuan, yang sulung bernama Manasih dan menjadi istri
Tarusbawa. Yang kedua, Subakancana menjadi istri Depuntahyang Srijayanasa, pendiri
kerajaan Sriwijaya.

•Kehidupan masa kerajaan tarumanegara


Kehidupan politik di masa Kerajaan Tarumanagara diketahui berdasarkan prasasti yang telah
ditemukan, berdasarkan prasasti tersebut raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat
adalah Raja Purnawarman, dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa penggalian kali yang
dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman. Selanjutnya kondisi sosial
pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan memperhatikan
kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa, agama yang
dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa dengan kaum Brahmana
sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa ini
cukup tinggi dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang (animisme).
Prasasti tugu menuliskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan 6122 tombak yang
dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah sekitarnya,
hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi. Kehidupan budaya pada masa
itu sudah tinggi, ditandai dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang
memperlihatkan perkembangan budaya tulis menulis.

Anda mungkin juga menyukai