Anda di halaman 1dari 13

8 Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Lengkap Isi, Tahun Penemuan dan Penjelasannya

Thursday, November 15, 2018 Hindu kingdom

HINDUALUKTA -- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Prasasti adalah piagam yang tertulis pada
batu, tembaga dan sabagainya. Biasanya prasasti ditulis pada bahan-bahan yang keras dan tahan lama.
Menurut sejarahnya, adanya penemuan prasasti menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan
dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah
yaitu masyarakatnya sudah mengenal Tulisan.

Jika melihat kerajaan Tarumanegara (Tarumanagara), maka terdapat beberapa peninggalan berupa
prasasti yang berisi tentang sejarah dan perkembangan pada masa kejaannya tahun 400 sampai 600
masehi.

Berikut 8 (delapan) prasasti peninggalan sejarah kerajaan Tarumanegara:

8 Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Lengkap Isi, Tahun Penemuan dan Penjelasannya

Prasasti Ciaruteun (image tbachtiargeo)

1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane, Kabupaten
Bogor, tepatnya berada di desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dengan titik
koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Desa ini berada sekitar 19 kilometer dari kota Bogor.
Prasasti Ciaruteun, ditemukan pada Tahun 1863, dan saat ini sudah dilindungi Direktorat Perlindungan
dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setelah
sempat terseret banjir pada tahun 1893.

Jika melihat fisik Prasasti, maka dapat dipastikan bahwa Prasasti Ciaruteun dibuat dari Batu Alam (Batu
Kali) dengan berat mencapai 8 (delapan) Ton dengan diameter 200 Cm x 150 Cm. Ada pun isi dari
Prasasti Ciaruteun adalah sebagai berikut:

“vikkrantasyavanipat eh

srimatah purnnavarmmanah

tarumanagarendrasya

visnoriva padadvayam”

Artinya:

“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang
mulia sang Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”, dikutip dari
Wikipedia, kamis 15 November 2018.
Prasasti ciaruteun (kerajaan Tarumanegara) (image: devitaamhrni)

Tulisan dalam Prasasti Ciaruteun menggunakan bahasa aksara Pallawa dan disusun empat baris seperti
sloka dalam bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh (irama). Selain tulisan terdapat juga pahatan
sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin) dan laba-laba. Cap telapak kaki dalam
Prasasti Ciaruteun melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut.
Hal ini juga menegaskan kedudukan Raja Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap
sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Dewa Wisnu dalam Agama Hindu adalah bagian dari Tri
Murti yakni sebagai Dewa Pemelihara.

2. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu ditemukan pada Tahun 1879 di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu sekarang sudah menjadi
elurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara. Tepatnya berada pada titik koordinat
6°07’45,40”LS dan 0°06’34,05” BT dari Jakarta. Penemuan ini, diketahui atas laporan Notulen
Bataviaasch Genootschap. Tahun 1911, P.de Roo de la Faille memindahkan Prasasti tugu ke Museum
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) dengan nomor
D.124.
Prasasti Tugu dipahatkan pada batu berbentuk bulat telur berukuran diameter ± 1m. (image; ale.woh)

Jika melihat fisik Prasasti, maka dapat dipastikan bahwa Prasasti Tugu dibuat dari Batu yang berbentuk
telur dengan ukuran kurang lebih 1 (satu) meter. Ada pun isi dari Prasasti Tugu adalah sebagai berikut:

“pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//

pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//

prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih

ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//

pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//”.

Artinya:

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki
lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran
sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja
Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-
panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang
permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di
tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini
dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang
bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya
6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang
dihadiahkan,” seperti dikutip dari Wikipedia, Kamis 15 Nopember 2018.

Tulisan dalam Prasasti Tugu menggunakan bahasa aksara Pallawa dan disusun lima baris melingkari batu
seperti sloka dalam bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh (irama). Selain Tulisan, terdapat juga
pahatan hiasan tongkat tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara
awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasasti yang pada ujungnya dilengkapi semacam trisula.
Berdasarkan analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis), maka dipastikan prasasti tugu
berasal daari peterngahan abad ke lima (5) Masehi.

Catatan:

Berdasarkan Tulisan dalam Prasasti Tugu seperti yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Prasasti Tugu menjelaskan penggalian Sungai Candrabaga pada tahun ke-22 masa pemerintahan
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman. Penggalian kedua sungai tersebut
dilakukan untuk menghindari bencana alam berupa banjir dan kekeringan pada musim kemarau.

3. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans di tepi sungai Cisadane
(dekat Muara Cianten). Prasasti ini sempat diberi nama prasasti Pasir Muara (Pasiran Muara) sebab pada
penemuanya di dapat di wilayah Kampung Pasirmuara. Prasasti ini terbuat dari Batu Besar yang masih
alami berbentuk lonjong atau oval dan memiliki ukuran 2,7 x 1,4 x 1,4 meter. Dalam artikel sumber
dikatakan bahwa Prasasti Muara Cianten terbuat dari Batu Andesit yaitu batuan beku yang terbuat dari
Fine Grained (mineral halus). Batu ini biasanya terbuat dari letusan gunung berapi.
Prasasti Muara Cianten (Image wikipedia)

Adapun tulisan pada prasasti Muara Cianten hingga kini belum bisa diperjemahkan sebab bahasanya
menggunakan bahasa ikal atau huruf sangkha, selain itu juga terdapat pahatan gambar sulur-suluran
(pilin) atau ikal yang keluar dari umbi. Jika sobat ingin mengetahui lebih dalam mengenai Prasasti Muara
Cianten, bisa datang langsung ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Jawa Barat.

4. Prasasti Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang ditemukan pada tahun 1947 oleh Toebagus Roesjan di tepi (sungai) Cidanghiyang
di desa Lebak, kecamatan Munjul, kabupaten Pandeglang. Tepatnya berada di titik koordinat
0°55’40,54” BB (dari Jakarta) dan 6°38,27’57”. Walaupun sudah diketahui oleh Dinas Purbakala tahun
1947 namun baru mulai diteliti pada tahun tahun 1954.
Ahli bedah pun kaget! Ibu 54 tahun terlihat lebih Perut yang besar pun mengecil hanya dalam
muda dari pacar seminggu setelah teratur mengkonsumsi....

Prasasti Cidanghiyang (Image Kabar Banten)

Prasasti ini, berisi puisi yang ditulis dengan huruf Pallawa yang tersusun dalam bentuk sloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh. Adapun, tulisanya adalah sebai berikut:

“Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah


purnnawvarmanah".

Artinya:

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia
Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja”.
Sloka di atas jika diamati secara saksama maka mengandung pujian terhadap Raja Purnawarman yang
memiliki kperwiraan, keagungan dan keberanian. Bila kita melihat bentuk fisik, maka Prasasti
Cidanghiyang dipahatkan pada batu dengan bentuk alami ukuran 3 x 2 x 2 meter.

5. Prasasti Jambu

Prasasti Jambu atau dikenal juga dengan nama Prasasti Pasir Kolengkak ditemukan pada tahun 1854
oleh Yoolion Herdika Sava dan Tryan Martin, di perkebunan jambu di Pasir Sikolengkak tepatnya di
wilayah Kampung Pasir Gintung, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung. Kabupaten Bogor.
Prasasti Jambu berada pada titik koordinat 0°15’45,40” BB dari Jakarta dan 6°34’08,11”.

Prasasti Jambu (Image kemdikbud)

Pada tahun 1947, Prasasti Jambu dilaporkan ke Dinas Purbakala dan mulai diteliti pada tahun 1954.
Secara fisik, Prasasti Jambu terbuat dari Batu yang dipahat dengan ukuran kurang lebih 2 (dua) sampai 3
(tiga) meter. Ada pun isi dari Prasasti Jambu adalah sebagai berikut:

“siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma pracura ri
pusara bhedya bikhyatavarmmo/

tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam yandripanam= bhavati


sukhakaram salyabhutam ripunam//".
Artinya:

"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya
yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan yang baju zirahnya
yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa
menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging
bagi musuh-musuhnya".

Teks di atas ditulis dalam bentuk aksara Pallawa dan disusun sebanyak dua baris seperti sloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Sraghara. Selain tulisan di atas ada juga gambar sepasang telapak kaki yang
dipahat tepatnya di atas tulisan. Namun sayangnya pada bagian telapak kaki kiri sudah hilang akibat
pecah. Saat ini pRasasti Jambu masuk dalam pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang.

6. Prasasti Kebon Kopi I

Prasasti Kebon Kopi I ditemukan pada abad ke-19 di Kampung Muara, termasuk wilayah Desa Ciaruteun
Ilir, Cibungbulang, Bogor tepatnya di perkebunan kopi sehingga diberi nama Prasasti Kebon Kopi.
Ditempat yang sama terdapat 2 (dua) prasasti yang ditemukan, makanya ada Prasasti Kebon Kopi I dan
II. Hingga saat ini prasasti Kebon Kopi I masih ada pada tempatnya, alias belum dipindahkan, tepat
berada di titik koordinat 106°41'25,2" Bujur Timur dan 06°31'39,9" Lintang Selatan dengan ketinggian
320 m di atas permukaan laut.
Prasasti Kebon Kopi I (Image kemdikbud)

Dari kota Bogor, berjarak sekitar 19 kilometer. Prasasti ini jika dilihat dari bahannya, terbuat dari batu
datar dari bahan andesit berwarna kecoklatan dengan ukuran tinggi 69 cm, lebar 104 cm dan panjang
164 cm. Menurut sejarah, Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh Jonathan Rig seorang pemilik kebun
kopi pada tahun 1863 di dekat Buitenzorg (kini Bogor). Beliau kemudian memberitahukan kepada
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional Indonesia) di Batavia
(kini Jakarta).

Ada pun isi dari Prasasti Kebun Kopi I adalah sebagai berikut:

“---jayavisalasya Tarumendrasya hastinah---

Airwavatabhasya vibhatidam-padadvayam”

Artinya:

“Di sini tampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang
agung dalam….dan (?) kejayaan”.

Isi Prasasti Kebun Kopi I ditulis dalam bentuk aksara Pallawa dan disusun sebanyak dua baris seperti
sloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki
gajah. Prasasti yang dikenal juga dengan nama Prasasti Tapak Gajah (karena terdapat pahatan tapak kaki
gajah) ini, dimungkinkan menggambarkan kendaraan Raja Purnawarman yang mengendarai Gajah
layaknya seperti Dewa Indra yang mengendarai gajah Airawata. Dewa indra dalam agama Hindu adalah
Dewa Perang atau dewa petir. Ada kemungkinan Gambaran kaki gajah pada prasasti menggambarkan
sosok Purnawarman yang pemberani, dan pelindung rakyanganya seperti dewa Indra.

7. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebon Kopi II ditemukan sekitar 1 (satu) kilometer dari Prasasti Kebun Kopi I. Tepatnya di
Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prasasti
ini ditemukan pada abad ke-19. Menurut sejarah, Prasasti yang dikenal juga dengan nama “Prasasti
Pasir Muara atau Prasasti Rakryan Juru Pangambat” ini sempat diteliti oleh F.D.K. Bosch yaitu seorang
ilmuan dan professor ahli Indologi dan Indonesia mengatakan, Prasasti Kebonkopi II ditulis dalam Bahasa
Melayu Kuno dan isinya menyatakan bahwa Raja Sunda menduduki kembali tahtanya.

Prasasti Kebon Kopi II (Image disparbud.jabarprov.go.id)

Ada pun isi Prasasti Kebun Kopi II adalah sebagai berikut:

"Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan
hajiri Sunda"

Artinya:

"Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka (932 Masehi),
bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda".

Kendati demikian, tahun 1940-an, tidak diketahui keberadaannya. Dipastikan bahwa Prasasti Kebon Kopi
II sudah dicuri orang yang tidak bertanggung jawab. Beberapa tafsiran mengatakan bahwa Prasasti
Kebon Kopi II, menyebutkan chandrasengkala 458 Saka, namun hal tersebut sangga oleh para
sejarahwan. Menurutnya chandrasengkala tersebut dituliskan terbalik, yakni seharusnya bermakna 854
Saka (932 M) atas dasar pemikiran bahwa Kerajaan Sunda belum ada pada tahun 458 Saka (536 M),
karena ini termasuk periode Kerajaan Tarumanagara (358-669 M).
Prasasti Kebon Kopi II ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu
Kuno. Bosch melihat penggunaan bahasa Melayu sebagai tanda pengaruh Sriwijaya di kawasan Jawa
Barat. Dia juga membandingkan tahun 932 Masehi dalam prasasti ini dengan tahun 929 saat kekuasaan
pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Claude Guillot, sejarahwan dari Prancis memperkirakan prasasti
Kebon Kopi II ini mengacu ke pendirian kerajaan Sunda.

Sejarahwan Australia M. C. Ricklefs mengikuti perkiraan ini dalam bukunya A History of Modern
Indonesia since c. 1200. Nama Sunda pertama kali disebut dalam sebuah prasasti ini. Namun, isi prasasti
di antaranya berbunyi “berpulihkan hajiri Sunda”, dapat ditafsirkan bahwa sebelumnya telah ada raja
Sunda hingga akhirnya dipulihkan kekuasaanya. Sedangkan nama "Pangambat" berarti "pemburu",
dapat ditafsirkan bahwa Sang Raja adalah seorang pemburu yang ulung. Prasasti lain yang menyebutkan
toponimi Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak I dan II (952 Saka atau 1030 M), dan Prasasti Horren
(Kediri Selatan) yang berasal dari zaman Airlangga di Jawa Timur.

8. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans di lereng Selatan bukit pasir Awi
tepatnya di kawasan hutan perbukitan Cipamingkis sekitar kurang lebih 559 meter diatas permukaan air
laut. Prasasti pasir Awi ini berada pada titik koordinat °10’37,29” BB dari Jakarta serta 6°32’27,57”.
Walaupun ditemukan pada tahun 1864, namun ada juga yang mengatakan bahwa prasasti ini ditemukan
pada tahun 1867, kemudian dilaporkan sebagai prasasti Ciampea.
Prasasti Pasir Awi (Image: kebudayaan. kemdikbud. go. id)

Jika melihat bentuk fisik, prasasti Pasir Awi terbuat dari batu alam. Ada pun isinya yakni gambar dahan
dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan juga berpahatkan gambar sepasang telapak kaki. Tidak
seperti dengan ke tujuh (7) prsasti sebelumnya yang berisi aksara. Demikianlah delapan prasasti
peninggalan kerajaan Tarumanegara semoga bermanfaat.

Catatan: Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia
sendiri seorang maharesi dari salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya
diserang dan ditaklukkan maharaja samudragupta dari kerajaan magada.

Anda mungkin juga menyukai