Anda di halaman 1dari 12

A.

KERAJAAN KUTAI

MASA KEJAYAAN KERAJAAN KUTAI

Masa kejayaan Kerajaan Kutai disebutkan pada Prasasti Yupa yang ditemukan di
Muarakaman,tepi Sungai Mahakam.

Di masa pemerintahan Raja Mulawarman ini kerajaan mencapai masa kejayaan. Raja
Mulawarman adalah salah satu dari tiga anak Raja Aswawarman. Beliau menjadi penerus
pemegang tampuk pemerintahan kerajaan Kutai Martadipura. Hal ini karena beliau begitu
bijaksana dan royal bagi hal-hal yang religius. Para brahmana dihadiahi emas, tanah, dan
ternak yaitu 20.000 ekor sapi secara adil, pengadaan upacara sedekah di tempat yang
dianggap suci atau Waprakeswara. Selain itu Raja Mulawarman memberikan sedekah berupa
segunung minyak dan lampu serta malai bunga.

Upaya yang sudah dilakukan oleh Raja Mulawarman untuk rakyatnya Kerajaan
Kutai,mendukung usaha pertanian padi yang dilakukan rakyatnya.Rakyat pun menghormati
rajanya dengan menyelenggarakan kenduri demi keselamatan raja. Kebesaran raja
Mulawarman tertuang dalam tulisan-tulisan pada tugu prasasti. Prasasti Mulawarman terdiri
dari 7 yupa yang isinya berupa puisi anustub, tetapi hanya 4 yupa yang baru berhasil dibaca
dan dialih bahasakan.
B.KERAJAAN TARUMANEGARA

PENINGGALAN PRASASTI KERAJAAN TARUMANEGARA

1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat
muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh.
Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja
Purnawarman.
Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya
vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia
yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:

1) Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat
ditemukannya prasasti tersebut).
2) Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya
penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan
kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai
penguasa sekaligus pelindung rakya

2. Prasasti Kebon Kopi


Prasasti Kebonkopi atau Prasasti Tapak Gajah (karena terdapat pahatan tapak
kaki gajah) merupakan salah satu peninggalan kerajaan Tarumanagara.Prasasti ini
menampilkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan
raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawata, wahana Dewa Indra.
Prasasti dipahatkan di atas sebuah batu datar dari bahan andesit berwarna kecoklatan
berukuran tinggi 69 cm, lebar 104cm dan 164 cm.Prasasti ini ditulis dengan aksara
Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang
diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:
“jayavisalasya Tarumendrasya hastinah Airwavatabhasya vibhatidam padadvayam”
Terjemahan:
“Di sini tampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa
Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”
Prasasti Kebonkopi terletak di Kampung Muara, termasuk wilayah Desa Ciaruteun
Ilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti ini ditemukan pada abad ke-19, ketika dilakukan
penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Oleh karena itu prasasti ini disebut Prasasti
Kebonkopi.
3. Prasasti Jambu

Prasasti Jambu biasa dikenal sebagai Prasasti Pasir Kolengkak yang merupakan salah
satu situs bersejarah dari peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan masa tersebut sudah
diketahui sebagai era kejayaan Tarumanegara yang berada di Pulau Jawa sebelah barat.

Seperti diketahui bahwa prasasti jambu di wilayah Bogor sebelah barat dan berjarak
sekitar 30 kilometer dari kawasan tersebut. Area penemuannya berlokasi di sekitar
perkebunan jambu dan tidak heran bahwa nama prasasti ini berakhiran nama buah tersebut.
Prasasti Jambu berada di Desa Parakan Muncung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat dan tepatnya di Kampung Pasir Gintung. Ketika era penjajahan kolonial Belanda
rupanya tempar penemuannya lebih dikenal sebagai Perkebunan Karet Sadeng Djamboe.

Prasasti Jambu ditemukan pada tahun 1854 oleh seseorang bernama Jonathan Rigg
dan penemuannya dilaporkan kepada Dinas Purbakala sekitar tahun 1947, serta dilakukan
penelitian perdana pada tahun 1954.

Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa yang disusun dalam
bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Sragdhara. Pada batu prasasti ini juga
terdapat pahatan gambar sepasang telapak kaki yang digoreskan pada bagian atas tulisan
tetapi sebagian amvar telapak kaki kiri telah hilang karena batu bagian ini pecah.Prasasti ini
menyebutkan nama raja Purnnawarmman yang memerintah di negara Taruma. Prasasti ini
tanpa angka tahun dan berdasarkan bentuk aksara Pallawa yang dipahatkannya (analisis
Palaeographis) diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Teks:
“siman data krtajnyo narapatir asamo yah pura tarumayam, nama sri purnnavarmma
pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo tasyedam, pada vimbadvayam arinagarot
sadane nityadaksam, bhaktanam yandripanam, bhavati sukhakaram salyabhutam
ripunam.”
Terjemahan :
"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada
taranya yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan
yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang
tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran,
tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."
4. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu yang sekarang menjadi
wilayah kelurahan Tugu selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara

Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk
permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya,
Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan kepada
analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut
diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu
merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti
ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan
dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.

Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada
ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang
ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada
prasastinya.

Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya
candrabhagarnnavamyayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata
purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais
siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati
krtadaksina//

Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang
memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut,
setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22
dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun
menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati
namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah
kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai
pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya,
sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh
para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

5. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi atau disebut juga prasasti Cemperai adalah salah satu prasasti yang
ditemukan disekitar tahun 1864 oleh seseorang bernama N.W Hoepermans di selatan lereng
bukit Pasir Awi, Desa Suka Makmur, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Bogor – Jawa
Barat dengan ketinggian mencapai 559 meter di atas permukaan laut.

Prasasti Pasir Awi berbentuk seperti batu alam dan memiliki gambar seperti ranting
dan dahan, dedaunan maupun buah-buahan. Bahkan, didalamnya juga terdapat sebuah
gambar bak pahatan sepasang telapak kaki dan gambar tersebut mengarah ke arah timur serta
utara. Prasasti tersebut menghadap ke kawasan bukit serta lembah dari arah telapak kakinya.
Dari arah kaki tersebut, prasasti ini menghadap ke wilayah bukit dan lembah yang posisinya
sangat curam dan berbahaya.Sementara itu, untuk isi dari Prasasti Pasir Awi masih belum
bisa dibaca karena ditulis menggunakan huruf ikal.
6. Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianteun atau Prasasti Pasir Muara adalah prasasti peninggalan
Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 di
Pasir Muara di persawahan, tepi sungai Cisadane yang berdekatan dengan Muara Cianten
yang dahulu dikenal dengan sebutan prasasti Pasir Muara (Pasiran Muara) karena memang
masuk ke wilayah kampung Pasirmuara.Prasasti ini berisi pesan bahwa pada tahun 854 M,
pemerintahan negara Kerajaan Tarumanegara telah dikembalikan ke Kerajaan Sunda.

Teks:
“sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa
barpulihkan haji sunda’’

Terjemahan:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi
(4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda.

7. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Lebak adalah salah satu prasasti yang berasal dari
kerajaan Tarumanagara dan terletak di wilayah Pandeglang. Prasasti Cidanghiyang terletak di
tepi (sungai) Cidanghiyang di desa Lebak, kecamatan Munjul, kabupaten Pandeglang.Prasasti
Cidanghiyang dilaporkan pertama kali oleh Toebagus Roesjan kepada Dinas Purbakala tahun
1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertamakli tahun 1954.
Prasasti Cidanghiyang dipahatkan pada batu dengan bentuk alami (3 x 2 x 2 meter).
Prasasti Cidanghiyang ditulis dalam aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh (bentuk aksaranya mirip dengan yang digoreskan pada
Prasasti Tugu dari periode yang sama).
Teks:
“Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah
purnnawvarmanah.”
Terjemahan:
"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia,
yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja."
C.KERAJAAN MATARAM KUNO

MASA KEJAYAAN KERAJAAN MATARAM KUNO

1) Wangsa Sanjaya

Kejayaan Mataram Kuno sudah tampak sejak awal. Semua ini berkat jiwa
kepemimpinan Sanjaya yang memang layak menjadi raja. Sanjaya bukan sembarang raja
yang hanya menginginkan kekuasaan semata. Sanjaya adalah seorang raja yang juga
memahami isi dari kitab sucinya. Ia adalah seorang penganut Hindu Syiwa yang sangat taat.

Selama pemerintahan Sanjaya, penduduk Mataram Kuno menghasilkan komoditi


pertanian berupa olahan padi yang digunakan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat di
dalam maupun luar kerajaan. Sanjaya sendiri tidak pernah menunggu disuruh para Brahmana
untuk membangun pura-pura sebagai tempat suci peribadahan orang Hindu.

Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit
kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna, yaitu :

1) Tresna (Cinta Kasih),


2) Gumbira (Bahagia)
3) Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
4) Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman)

Meskipun sangat mendukung perkembangan agama Hindu, namun Sanjaya


merupakan raja yang bijak. Beliau ini bercermin pada sejarah kerajaan Majapahit yang sukses
menerapkan sejarah bhinneka tunggal ika sesuai yang tercantum di kitab Negarakertagama.
Sanjaya menjembatani penduduk di Mataram Kuno yang ingin memeluk agama lain. Waktu
itu, hanya ada 2 agama besar yang memiliki banyak pengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Hanya ada Hindu dan Buddha.

2) Rakai Panangkaran

Sifat Rakai Panangkaran yang paling menonjol adalah pemberani. Ia telah melakukan
banyak penaklukan terhadap raja-raja kecil di sekitar wilayah Mataram Kuno. Rakai
Panangkaran menggantikan Ratu Sanjaya sebagai penguasa kerajaan Mataram Kuno. Di
masa pemerintahannya, kaum Hindu bertempat tinggal di Mataram Kuno bagian utara.
Sementara para pemeluk Buddha lebih nyaman menempati wilayah Jawa Tengah sebelah
selatan.

Perbedaan tempat ini sengaja dilakukan agar kedua agama dapat hidup berdampingan,
menjalankan ibadahnya masing-masing, dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama.
Keimanan akan semakin kuat karena seringnya bergaul dengan orang seagama. Namun di
luar urusan agama, setiap penduduk Mataram Kuno tetap menjalin hubungan dagang dan
pekerjaan lain seperti biasanya.
Rakai Panangkaran merubah agamanya sendiri menjadi Buddha Mahayana. Sejak
Rakai –sebutan Raja- Panangkaran beralih agama, ia mendirikan wangsa baru yang dinamai
Syailendra. Dengan itu berarti ada wangsa kedua yang menguasai kerajaan Mataram Kuno.

Uniknya, para penganut Hindu dan Buddha di Mataram Kuno selalu hidup aman dan
nyaman. Para penganut Hindu mendirikan candi peninggalan agama hindu seperti candi
Dieng dan Gedong Songo. Di belahan Mataram Kuno bagian selatan juga membangun candi
peninggalan buddha semacam Mendut, Prambanan dan Borobudur yang pernah masuk ke
dalam 7 keajaiban dunia.

Memang pada perkembangannya, kedua wangsa dan agama yang berbeda tersebut
sempat berkelahi. Permasalahannya ada pada hak meneruskan kekuasaan raja. Namun konflik
klasik ini dapat diatasi dengan keberanian Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang memeluk
Hindu menikahi Pramodhawardhani, putri Samarattungga yang memulai pembangunan
Borobudur dari Dinasti Syailendra. Akhirnya otomatis pula kedua wangsa ini sama-sama
kembali duduk di istana kerajaan. Kedua agama yang sempat tak akur akhirnya kembali
berbaikan.

Mataram Kuno terus berkembang maju hingga kekuasaannya jatuh ke tangan Dyah
Balitung. Dyah Balitung bahkan mampu membalikkan keadaan yang semula tidak stabil
menjadi lebih baik. Ialah raja Mataram Kuno yang kembali mempersatukan Jawa di bawah
tundukan satu kerajaan. Kekuasaannya pun menyentuh hingga pulau Bali.
D.KERAJAAN SRIWIJAYA

MASA KEMUNDURAN KERAJAAN SIWIJAYA

Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan
menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan
penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya.
Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan
hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk
kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan
duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari
dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap
dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah
menggantikannya sebagai pusat kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha.
Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin
melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di
semenanjung Malaysia.

Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong


(Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing
(Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi,
bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li
(Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).

Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang
dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang


juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah
di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat


tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan
kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang
disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di
bagian utara Sumatra berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan
wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah
akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.Pada tahun 1402,
Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung
Malaysia.

Faktor runtuhnya Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut.

 Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar
Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
 Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis
lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional.
Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep
dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis
daripada Palembang.
 Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya
terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian
timur dan Sriwijaya di bagian barat.
 Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh
Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan
yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh
Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat
Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030.Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan
dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha
penyerangan terhadap Sriwijaya,namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya
dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah
pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
E.KERAJAAN MATARAM JAWA TIMUR

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH KERAJAAN MATARAM JAWA TIMUR

1. Empu Sindok (929–947)


Setelah naik takhta pada tahun 929, Empu Sindok bergelar Sri Maharaja Rakai Hino
Sri Isana Wikramadharmattunggadewa. Dia naik takhta karena menikahi putri Wawa.
Namun, Empu Sindok menganggap dirinya sebagai pembentuk dinasti baru, yaitu Dinasti
Isana. Empu Sindok merupakan peletak batu pertama berdirinya kerajaan besar di Jawa
Timur. Pusat pemerintahannya ada di watugaluh.

Mengenai jalannya pemerintahan mpu sendok tidak diketahui secara pasti. Namun
diperkirakan berjalan tertib dan aman. Hal ini dapat diketahui dari usaha-usaha yang dia
lakukan seperti pembangunan irigasi, menghimpun kitab agama Budha Tantrayana “sang
hyang kamahayanikan” yang tertulis oleh sambara surya warana. Dari keterangan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi beragama waktu itu cukup baik, sebab mpu sendok
yang hindu ternyata mengijinkan ditulisnya kitab agama budha san hyang kamahayanikan.

Empu Sindok banyak meninggalkan prasasti. Bahkan, ia pun merestui usaha


menghimpun kitab suci agama Buddha Tantrayana. Ini membuktikan betapa besar
toleransinya terhadap agama lain dan perhatiannya terhadap bidang sastra. Kitab tersebut
berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang berisi ajaran dan tata cara beribadah agama
Buddha.

Untuk mengetahui silsilah dan keturunan mpu sendok dapat dilihat dalam prasasti
airlangga yang disebut prasasti Calcutta tahun 1042. Silsilahnya adalah sebagai berikut :
Raja sesudah mpu sendok adalah Sri Ishanatunggawijaya yang kawin dengan Lokpala
mempunyai anak bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana punya anak
Mahendradata yang kawin dengan udayana dari Bali. Dari perkawinan tersebut lahirlah
airlangga.Airlangga punya anak bernama Samarawijaya dan Panji Garakasan yang nantinya
menjadi penumbuh berdirinya kerajaan Kediri.

Usaha-usaha Empu Sindok dalam memajukan kerajaannya, antara lain sebagai berikut:
1) Memajukan pertanian dan perdagangan, yaitu dengan mengeringkan daerah rawa-
rawa untuk lahan pertanian.
2) Memajukan kehidupan beragama, misalnya pembangunan beberapa candi, seperti
Candi Sanggariti dan Candi Gunung Gangsir.
3) Mengembangkan seni sastra. Pada masa pemerintahan Empu Sindok ditulis buku suci
agama Buddha, Sang Hyang Kamahayanikan.
4) Menjunjung martabat kaum wanita. Hal itu dibuktikan dengan ikut sertanya
permaisuri dalam pemerintahan. Setelah wafat Empu Sindok digantikan putrinya Sri
Isyanatunggawijaya. Selanjutnya, Sri Isyanatunggawijaya digantikan oleh putranya
Makutawangsa Wardana.
2. Sri Isanatunggawijaya (947 – 991)

Setelah Empu Sindok wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh putrinya, Sri
Isanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala. Perkawinan tersebut melahirkan
Makutawangsawardhana yang nantinya menggantikan ibunya memerintah di Watugaluh atau
di Tomwlang.

Masa pemerintahan dan apa yang diperbuat oleh kedua raja tersebut tidak banyak
yang diketahui. Makutawangsawardhana mempunyai putri cantik, yaitu Mahendradatta
(Gunapriyadharmapatni). Putri itu kemudian menikah dengan Raja Udayana dari keluarga
Warmadewa yang memerintah di Bali.

3. Dharmawangsa (991–1016)

Pengganti Raja Makutawangsawardhana ialah Sri Dharmawangsa Teguh


Anantawikramatunggadewa. Siapa sebenarnya Dharmawangsa itu sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti. Ada yang menduga bahwa Dharmawangsa adalah kakak
Mahendradatta putra Makutawangsawardhana.

Nama Dharmawangsa dikenal dari kitab Wirataparwa yang disadur ke dalam bahasa
Jawa Kuno atas perintah Dharmawangsa. Kitab Wirataparwa merupakan bagian dari kitab
Mahabharata yang terdiri atas 18 bagian. Isi pokok kitab itu adalah kisah perang besar
antarkeluarga Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa. Kitab Mahabharata digubah oleh Pendeta
Wyasa Kresna Dwipayana. Di samping itu, pada tahun 991 disusun kitab hukum Siwasasana.

Dharmawangsa adalah seorang raja yang cakap dan punya cita-cita besar. Ia ingin
menguasai seluruh Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Dharmawangsa juga ingin
mengembangkan perekonomiannya melalui perdagangan laut. Untuk mewujudkan cita-
citanya, Dharmawangsa segera membangun armada laut yang kuat. Pada masa itu pada saat
bersamaan di Sumatra telah berdiri Kerajaan Sriwijaya yang telah berkembang besar dan
menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Selat Sunda, dan pesisir
barat Sumatra. Hal itu dianggap sebagai saingan berat dan penghalang cita-cita
Dharmawangsa. Oleh karena itu, Sriwijaya harus dimusnahkan.

Pada tahun 990 Dharmawangsa mengirimkan pasukannya untuk menyerbu Sriwijaya


dan Semenanjung Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil menduduki beberapa daerah
pantai Sriwijaya dan memutuskan hubungan Sriwijaya dengan dunia luar. Kejadian itu
dibenarkan oleh sumber berita dari Cina (992) yang menyebutkan bahwa utusan Sriwijaya ke
Cina tidak dapat kembali (berhenti di Kanton) karena Sriwijaya diduduki musuh.

Sriwijaya menjadi lemah, tetapi secara diam-diam melakukan gerakan bawah tanah
(subversi) ke Jawa dan menghasut adipati (raja bawahan) yang kurang loyal terhadap
Dharmawangsa agar bersedia memberontak. Usaha itu rupanya termakan juga oleh seorang
adipati yang bernama Wurawari (dari daerah sekitar Banyumas sekarang).

Dalam peristiwa penyerbuan ke Kerajaan Dharmawangsa itu ternyata ada tokoh


penting yang berhasil lolos dari maut. Dia adalah Airlangga, putra Mahendradatta (dari Bali)
yang saat itu sedang dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Airlangga berhasil
menyelamatkan diri masuk hutan ditemani pengiringnya yang setia, Narottama.
Setelah keadaan kembali tenang, Airlangga didatangi oleh para pendeta dan
brahmana. Mereka meminta Airlangga agar bersedia dinobatkan menjadi raja. Permintaan itu
mula-mula ditolak dan baru pada tahun 1019 A

4. Airlangga (1019 – 1049)

Pada tahun 1019 airlangga naik tahta atas permintaan para brahmana dengan gelar Sri
Maharaja Rake Hulu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga.Airlangga setelah naik takhta
bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Awalnya, Airlangga hanya merupakan raja kecil dengan daerah
kekuasaan yang sangat terbatas. Raja-raja bawahan Dharmawangsa tidak mau mengakui
kekuasaan Airlangga.

Tugas Airlangga ialah menyatukan kembali daerah kekuasaan semasa Dharmawangsa


dan usaha ini dapat berhasil dengan baik. Ibukota kerajaan pada tahun 1031 di Wutan Mas,
kemudian dipindahkan ke Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya Airlangga melakukan
pembangunan di segala bidang demi kemakmuran rakyatnya.Setelah berjuang dan berperang
selama tujuh tahun, pada tahun 1035 Airlangga berhasil menyatukan kembali wilayah
kerajaannya dan pusat kerajaan dipindahkan ke Kahuripan (1037).

Airlangga adalah seorang raja yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan
negarannya dan kemakmuran rakyatnya. Hal ini Nampak dalam usahanya seperti berikut :
1) Memperbaiki pelabuhan hujung galuh yang terletak di sungai brantas.
2) Pelabuhan kambang putih di tuban dibebaskan pajak.
3) Membuat tanggul di waringin pitu agar sungai brantas airnya tidak muntah.

Anda mungkin juga menyukai