Anda di halaman 1dari 59

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti
tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan
penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir
yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada
musim kemarau.
Lokasi
Lokasi asal Prasasti Tugu ketika ditemukan adalah di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu,
tepatnya pada koordinat 6°07’45,40”LS dan 0°06’34,05” BT dari Jakarta (lk. 06°07′45.4″LS
106°55′04.6″BT di sekitar Simpang Lima Semper sekarang, tidak jauh dari tepian Kali
Cakung), yang sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta
Utara. Kini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Penemuan
Prasasti Tugu tercatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun
1879. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan
ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum
Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124.
Bahan
Prasasti Tugu dipahatkan pada batu berbentuk bulat telur berukuran ± 1m.
Isi
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkar mengikuti bentuk
permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya,
Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada analisis
gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa
prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti
Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha >
citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan
prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan
pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa
peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya
dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah
seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada
prasastinya.
Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam
yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata
purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais
siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang
memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut,
setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22
dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun
menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati
namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah
kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai
pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang
bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut
panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor
sapi yang dihadiahkan”

Prasasti Jambu

Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau Pasir Kolengkak adalah prasasti yang berasal dari
Kerajaan Tarumanagara yang ditemukan di daerah perkebunan jambu kira-kira 30 km sebelah
barat Bogor.
Lokasi
Prasasti Jambu terletak di Pasir Sikoleangkak (Gunung Batutulis ±367m dpl) di wilayah
kampung Pasir Gintung, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Koordinat 0°15’45,40” BB (dari Jakarta) dan 6°34’08,11”. Dahulu pada masa kolonial Belanda
lokasi ini termasuk Perkebunan Karet Sadeng-Djamboe tetapi sekarang disebut PT.Perkebunan
XI Cikasungka-Cigudeg- Bogor.
Penemuan
Prasasti Jambu ditemukan pertama kali tahun 1854 oleh Jonathan Rigg dilaporkan kepada
Dinas Purbakala tahun 1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertama kali pada tahun 1954
Jenis bahan
Prasasti Jambu dipahatkan pada batu dengan bentuk alami (sisi-sisinya berukuran kurang lebih
2-3meter).
Isi
Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Sragdhara. Pada batu prasasti ini juga terdapat pahatan gambar
sepasang telapak kaki yang digoreskan pada bagian atas tulisan tetapi sebagian amvar telapak
kaki kiri telah hilang karena batu bagian ini pecah.
Prasasti ini menyebutkan nama raja Purnnawarmman yang memerintah di negara Taruma.
Prasasti ini tanpa angka tahun dan berdasarkan bentuk aksara Pallawa yang dipahatkannya
(analisis Palaeographis) diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Teks:
siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma pracura
ri pusara bhedya bikhyatavarmmo/
tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam yandripanam=
bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam//
Bunyi terjemahan prasasti itu adalah:
"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada
taranya yang termasyhur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan
yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang
tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran,
tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."

Prasasti Yupa

Bagaimanakah Sejarah Prasasti Yupa ?


Prasasti Yupa merupakan salah satu sebuah peninggalan dalam sejarah tertua di wilayah
Kerajaan Kutai. Objek dalam sebuah sejarah ini adalah sebagai adanya suatu bukti terkuat
dari kerajaan Hindu yang berlabuh di negara Kalimantan.
Pengertian Yupa tersebut merupakan adanya sebuah monumen batu atau monumen yang dapat
berfungsi untuk adanya peringatan terhadap kejayaan hati Raja Mulawarman. Prasasti Yupa
menunjukkan bahwa dalam sebuah Kerajaan Kutai terletak di hilir Sungai Muara Kaman di
wilayah Kalimantan Timur.

Akan tetapi, Yupa tidak mengatakan dalam kapan kerajaan Kutai pertama kali akan didirikan.
Sejarawan telah memperkirakan bahwa sekitar tahun 400 M adalah sebuah hasil dari
kesimpulan peneliti sejarah yang konsisten dengan tulisan suci yang terkandung dalam Yupa.
Tujuh Yupa ditulis dalam aksara Pallawa Awal dalam bahasa Sansekerta. Prasasti itu mungkin
telah diciptakan oleh para Brahmana untuk mengenang kebaikan dan perbuatan mulia
Mulawarman, raja kerajaan Kutai. Ketujuh prasasti ini adalah catatan tertulis tertua dalam
sebuah sejarah terhadap budaya negara Indonesia.

7 Bukti Peninggalan Tertulis Tertua


Terdapat beberapa bukti dalam prasasti ini, diantaranya ialah sebagai berikut:
1. D.2a (Muarakaman I)
Yupa Muarucu I telah mengukir sekitar 12 baris di satu sisi tersebut. Isinya garis keturunan
Raja Mulawarman. Pada awal tulisan itu dapat dikatakan bahwa seorang yang bernama Sri
Maharaja Kundungga memiliki tiga anak dengan putra Aswawarman. Di antara dalam
ketiganya, Mulawarman memainkan sebuah peran penting, raja yang kuat, baik, dan kuat.
2. D.2b (Muarakaman II)
Prasasti Muarucu II terdiri atas sekitar 8 baris yakni terdapat sebuah tulisan yang diukir di
bagian depan. Keadaan prasasti saat ini terpelihara dengan baik dan masih dapat dibaca. Hanya
saja ada bintik-bintik putih di baris ke-6 sampai ke-7. Ada juga bintik-bintik putih di bagian
belakang prasasti tersebut.
3. D. 2c (Muarakaman III)
Prasasti Muarucu III terdiri atas 8 baris. Meskipun dalam sebuah prasasti tersebut dengan saat
ini dalam kondisi baik dan tulisannya telah terbaca, ada bintik-bintik putih di wilayah bawah
prasasti tersebut.
Isi dalam sebuah prasasti telah menyebutkan kebaikan dan ukuran Raja Mulawarman, raja yang
agung dan sangat mulia. Kebaikan ditunjukkan dengan memberi sedekah. Atas dasar ini, para
Brahmana mendirikan monumen (yupa) untuk tanda peringatan.
4. D. 2d (Muarakaman IV)
Prasasti tersebut yakni terdiri sekitar 11 baris di bagian depan. Surat-surat tidak lagi terbaca
karena sudah usang, tetapi kop surat masih terlihat. Ada banyak bintik-bintik putih di bagian
bawah prasasti, sementara beberapa bintik-bintik kekuningan dan putih dapat dilihat di bagian
belakang.
5. D.175 (Muarakaman V)
Prasasti tersebut terdiri atas 4 baris yang telah terukir di wilayah depan prasasti. Dalam aksara
tersebut yakni masih terbaca, tetapi ada titik putih di salah satu karakter. Ada banyak sebuah
bintik-bintik coklat gelap di bagian bawah prasasti.
6. D.176 (Muarakaman VI)
Prasasti diukir di bagian depan dan terdiri dari 8 baris teks. Sisi atas dan kiri prasasti rusak,
sehingga beberapa kata hilang di akhir baris tertentu. Keadaan prasasti telah terpelihara dengan
baik dan tulisan tersebut yakni dapat terbaca.
7. D.177 (Muarakaman VI)
Prasasti tersebut terdiri sekitar 8 baris di bagian depan. Kondisinya saat ini tidak baik dan
skripnya usang. Beberapa karakter di baris 4, 5 dan 7 tidak lagi dapat dibaca. Selain
mengenakan, ada bintik-bintik putih dan coklat gelap di bagian belakang prasasti. Inventarisasi
Prasasti Yupa Nomor D.177 saat ini terletak koridor dibagian barat laut taman, bangunan lama
dalam sebuah Museum Nasional.
Prasasti Batutulis

Salinan gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara
to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor
Prasasti Batutulis (Aksara Sunda Baku: ᮕᮕᮕᮕᮕᮕᮕ ᮕᮕᮕᮕᮕᮕᮕᮕᮕ) terletak di Jalan
Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti
Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu
kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa
lokasi situs ini. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat
dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda
Kuno. Prasasti ini berangka tahun 1455 Saka (1533 Masehi).
Isi Prasasti
 Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
 diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
 di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu
dewata
 pun ya nu nyusuk na pakwan
 diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-
niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
 ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang
talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.
 Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
 Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
 dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.
 Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
 Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
 Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan
untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam
(tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".

Prasasti Ciaruteun

Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara
to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh dari
sungai Ci Sadane, Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara.
Lokasi
Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor;
tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak sekitar 19
kilometer sebelah Barat Laut dari pusat kota Bogor.
Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga
sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan
sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa (= Ciampea, namun sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang). Tak jauh dari prasasti ini, masih dalam kawasan
Ciaruteun terdapat Prasasti Kebonkopi I.
Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan
bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan) yang dinamai "Pasir
Muhara".
Penemuan
Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan
ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir
itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai
Cisadane.[1]:15 Segera pada tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin
Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di
Batavia. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke
hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada
tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.
Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar
tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo,
untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil.
Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum
Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri Baduga di
Bandung.
Bahan
Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu kali atau batu alam. Batu ini berbobot delapan ton dan
berukuran 200 cm kali 150 cm.[1]:16
Isi
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan pada bagian atas tulisan
terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin) dan laba-laba.[2]
Teks:
vikkrantasyavanipat eh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam
Terjemahan:
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa
Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di
negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat
ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan
Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa
sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu
mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan
zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah.

Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Cemperai adalah salah satu prasasti peninggalan
kerajaan Tarumanagara
Lokasi
Prasasti Pasir Awi terletak di lereng selatan bukit Pasir Awi (± 559m dpl) di kawasan hutan
perbukitan Cipamingkis, desa Sukamakmur, kecamatan Sukamakmur (antara Kec. jonggol dan
Kec. Citeureup) kabupaten Bogor tepatnya pada koordinat 0°10’37,29” BB (dari Jakarta) dan
6°32’27,57”. Berada di puncak ketinggian perbukitan, dengan arah tapak kaki atau posisi
berdiri menghadap ke arah utara-timur. Posisi berdiri berada di sisi yang curam yang
memberikan pandangan luas ke wilayah bukit dan lembah di bawahnya. Secara spesifik, jika
kita berdiri persis di atas tapak kaki, kita merasakan posisi berdiri yang cukup santai dan tanpa
perasaan takut walaupun berada di sisi yang curam.
Bahan
Prasasti Pasir Awi telah diketahui sejak tahun 1867 dan dilaporkan sebagai prasasti Ciampea.
Peninggalan sejarah ini dipahat pada batu alam.
Isi
Gambar pahatan berupa telapak kaki yang terdapat pada batu tersebut menghadap ke arah utara
dan timur. Dari arah kaki tersebut, prasasti ini menghadap ke wilayah bukit dan lembah yang
posisinya sangat curam dan berbahaya.
Sementara itu, untuk isi dari Prasasti Pasir Awi masih belum bisa dibaca karena ditulis
menggunakan huruf ikal.
Penemuan
Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864.

Candi Tegowangi

Menurut Kitab Pararaton, candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun.
Sedangkan dalam kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal
tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M
dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal
dengan upacara srada.
Bentuk
Secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran
11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan
sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan
berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk
jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat
tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi di atas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias.
Pada bagian tubuh candi di tengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang
menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di
sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita Sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil di
sisi utara, 8 panil di sisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan
(pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik
yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa. Sedangkan pada bilik tubuh
candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga.
Dihalaman candi terdapat beberapa arca yaitu Parwati Ardhenari, Garuda berbadan manusia
dan sisa candi di sudut tenggara. Berdasarkan arca-arca yang ditemukan dan adanya Yoni
dibilik candi maka candi ini berlatar belakang agama Hindu.
Lokasi Wisata
Candi Tegowangi menepati sebuah areal yang cukup luas dan terbuka. Areal wisata arkeologi
ini juga terawat dengan baik, tidak terlihat sampah bertebaran kecuali daun-daun kering
pepohonan dalam jumlah yang juga tidak terlalu banyak. Didekat gerbang masuk anda akan
menjumpai sebuah peternakan lebah milik penduduk setempat yang bisa dijadikan nilai tambah
tersendiri saat berkunjung.

Candi Sawentar

Candi Sawentar terletak di Desa Sawentar. Desa ini secara administratif masuk wilayah
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Sejalan dengan adanya sistem pemerintahan otonomi
daerah, segala pengelolaan dan tanggung jawab kelestarian Candi Sawentar dan lingkungannya
berada pada pemerintah Kabupaten Blitar. Sedangkan secara teknis arkeologis Candi Sawentar
menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan.
Berkenaan dengan lokasi dan lingkungannya, sangat disayangkan bahwa akses jalan menuju
Candi Sawentar lumayan sulit dilewati, karena jalan menuju candi ini berlubang-lubang. Candi
Sawentar terletak kira-kira delapan kilometer dari jalan Raya Garum jurusan Malang-Blitar.
Secara geografis Candi Sawentar berada di sebelah timur lereng Gunung Kelud. Juga ditinjau
dari topografi lingkungannya, kawasan Sawentar dikelilingi oleh sungai. Sungai yang paling
dekat dengan situs Sawentar adalah Ngasinan yang saat ini sudah tidak berfungsi lagi. Sungai
ini sekaligus menjadi pemisah antara Candi Sawentar I dan II. Data topografi tersebut
menjadikan iklim sekitarnya termasuk dalam kategori tropis, dengan curah hujan 173
mm/tahun dan jumlah hujan rata-rata 124 hari/tahun[1]. Iklim serta pantauan topografi inilah
yang memberikan informasi bahwasanya wilayah situs Sawentar dan sekitarnya merupakan
tanah yang subur.
Candi Sawentar tidak memiliki sistem zonasi. Untuk sementara ini zonasi yang terdapat dalam
Situs Sawentar 1 sudah cukup baik, namun pada Situs Sawentar 2 masih butuh pemugaran dan
penjagaan yang lebih tertata. Belum tertatanya Sawentar 2 karena masih dalam proses
penelitian dan pengungkapan lagi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
Candi ini terbuat dari batu andesit berukuran panjang 9,53 m, lebar 6,86 m dan tingginya 10,65
m. Pintu masuk menuju bilik berada di sebelah barat, dengan ornamen makara pada pipi
tangga, sedangkan relung-relungnya terdapat pada setiap dinding luar tubuh candi. Di dalam
ruangan bilik ditemukan reruntuhan arca dengan pahatan burung garuda, yang dikenal sebagai
kendaraan Dewa Wisnu. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Candi Sawentar
merupakan bangunan suci yang berlatar belakang agama Hindu.
Nama Sawentar
Setiap bangunan keagamaan purbakala di Indonesia dinamakan candi. Nama candi Sawentar
disebut-sebut di dalam Kitab Negarakertagama, Candi Sawentar disebut juga Lwa
Wentar sebagai salah satu tempat yang dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk, seperti yang
diungkapkan dalam kitab itu menyebutkan daerah bernama “Lwa Wentar”. Dalam Pupuhnya
disebutkan,
“Ndan ring śaka tri tanu rawi ring wēsākā, śri nāthā mūja mara ri palah sābŗtya, jambat sing
rāmya pinaraniran lānglitya, ro lwang wentar manguri balitar mwang jimbē”
Artinya:
Lalu pada tahun saka Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) Bulan Wesaka (April-Mei), Baginda
raja memuja (nyekar) Ke Palah dengan pengiringnya, berlarut-larut setiap yang indah
dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan Jimbe[2]
.
Dari ulasan Kitab Negarakretagama di atas diketahui nama Lwa Wentar yang berada di dekat
Jimbe dan Blitar. Pada saat ini hanya dijumpai satu wilayah yang memiliki toponimi sama
dengan Lwa Wentar, yakni Sawentar, yang juga terdapat situs di wilayah tersebut. Bangunan
candi ini dahulunya merupakan sebuah kompleks percandian, karena disekitarnya masih
ditemukan sejumlah fondasi yang terbuat dari bata, dan candi ini diduga didirikan pada awal
berdirinya Kerajaan Majapahit.
Riwayat penemuan dan perawatan
Candi Sawentar 1
Awalnya candi ini tertimbun tanah dari bagian tengah hingga bawahnya. Pada tahun 1915 dan
tahun 1920 – 1921 Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) Hindia Belanda melakukan
penggalian pada bagian bawah candi yang tertimbun lahar Gunung Kelud. Diketahui Gunung
Kelud yang dituliskan dalam prasasti Palah, merupakan tempat dari Sang Hyang
Acalapati atau dewa gunung yang pada masa Kertajaya diagungkan agar tidak murka. Hal ini
juga diketahui dari bukti dan catatan geografis yang mengatakan bahwa Gunung Kelud sering
meletus. Dari sini dapat dipastikan bahwa situs-situs sekitar Gunung Kelud termasuk Sawentar
tertimbun abu vulkanik. Pada saat ini jika kita amati Candi Sawentar berada di bawah
permukaan tanah permukiman penduduk sekitarnya. Adapaun lapisan tanah yang bisa kita
jumpai hasil bentukan dari vulkanik Gunung Kelud jika kita berada di tanah bagian selasar
batur candi. Tanah asli pada saat candi ini dibangun adalah tanah yang berada di bawah selasar
batur/kaki candi, bukan tanah yang menjadi pijakan rumah penduduk sekitar. Pada tahun 1992
- 1993 Candi Sawentar dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (nama yang dipakai sejak
2011) Trowulan, Jawa Timur[3]. Setelah dipugar, candi ini dijaga oleh juru pelihara (jupel)
Bapak Sugeng Ahmadi (2000 hingga sekarang). Beliau ditemani oleh Mbak Punawati yang
menjadi jupel 2. Perawatan dan pemeliharaan sebuah situs diserahkan pada dua instansi negara.
Di Candi Sawentar untuk pengolahan wisata dan pengembangan situs diserahkan pada
Dinas Kebudayaan wilayah Sawentar. Perawatan dan pemeliharaan situs ditangani oleh
BPCB Trowulan. Bentuk perawatan yang dilakukan oleh BPCB Trowulan antara lain
mengenai perawatan lingkungan dan penjagaan yang diembankan pada juru pelihara. Juga
pendataan kemiringan dan kestabilan bangunan oleh arkeolog dan pegawai pusat. Untuk
pengontrolan kemiringan dan kestabilan bangunan dilakukan ± dua tahun sekali.
Candi Sawentar 2
Bermula dari Bapak Sugeng Ahmadi yang sedang menggali sumur di sekitar Pasar Sawentar,
saat menggali tanah yang akan dibuat sumur, beliau menemukan bongkahan atau pecahan batu
andesit yang berbentuk rapi. Setelah penggalian diteruskan, ditemukanlah sebuah benda seperti
candi kecil. Bapak Sunarno yang pada saat itu menjadi juru pelihara di Candi Sawentar I
mencoba melihat temuan yang menjadi geger penduduk setempat. Beberapa batu memang
sempat dipindahkan oleh Bapak Sugeng Ahmadi, lantaran ia belum mengetahui tentang adanya
Undang-Undang Benda Cagar Budaya (UU BCB). Namun Bapak Sunarno yang kesehariannya
bekerja sebagai juru pelihara Candi Sawentar I, menghentikan sementara penggalian tersebut
dan melaporkan temuan itu pada BPCB Trowulan. Pada Agustus 1999,
BPCB Trowulan dibantu Balai Arkeologi Yogyakarta melihat dan mencoba menampakkan
kembali situs tersebut, yang akhirnya diberi nama Candi Sawentar II. Candi ini juga merupakan
salah satu kompleks percandian yang terdapat di wilayah Sawentar dan tertimbun oleh endapan
lahar Gunung Kelud.
Sejarah
Candi Sawentar 1
Sejarah Candi Sawentar 1 masih belum jelas benar. Namun ada yang mengatakan bahwa Candi
Sawentar adalah pendharmaan dari Hayam Wuruk. Hal ini didapati dari bukti motif sayap
ayam yang terdapat pada pipi tangga kiri dan kanan pintu masuk. Motif sayap ayam tersebut
dikorelasikan dengan nama Hayam, sehingga didapati pemikiran bahwa candi tersebut
pendarmaan dari raja Hayam Wuruk. Jika dicermati lebih jauh, ternyata motif sayap yang
terdapat pada pipi tangga masuk Candi Sawentar 1 adalah sayap dari naga yang kepalanya
menjorok dan menjadi ujung dari tangga tersebut. Hal ini dapat dikorelasikan dengan
bangunan-bangunan Hindu pada saat ini. Motif naga bersayap pada tangga masuk juga didapati
pada beberapa pure di Bali dan Lombok pada saat ini. Motif naga yang kerap disinkronkan
dengan alam bawah memang acapkali berada pada bagian kaki candi (bhurloka). Jadi dapat
disimpulkan bahwasannya pendapat yang menguraikan tentang motif sayap ayam yang
dikorelasikan dengan Hayam Wuruk kurang tepat, karena sayap tersebut bukan sayap ayam,
melainkan sayap naga.
Dalam Kitab Negarakertagama terdapat keterangan yang berbunyi:
“...jambat sing rāmya pinaraniran lānglitya, ro lwang wentar manguri balitar mwang jimbē..”
Artinya:
...berlarut-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar
Manguri Balitar dan Jimbe...
Dari ulasan dalam kitab tersebut mengatakan Raja Hayam Wuruk selain berziarah juga
menghibur hati di Sawentar dan sekitarnya. Kata-kata ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut
dapat dikatakan sebuah tempat peristirahatan. Tentunya sebuah tempat peristirahatan memiliki
sebuah tanah yang subur, sejuk, dan memiliki banyak bangunan. Hal inilah yang membuktikan
pula bahwasanya Sawentar adalah salah satu komplek percandian yang luas. Dengan bukti
adanya temuan baru pula yakni situs Sawentar 2 memperkuat tentang bukti kompleks
percandian pada situs tersebut. Jadi belum diketahui secara pasti bangunan yang manakah yang
dikunjungi oleh Hayam Wuruk di Sawentar pada tahun 1283 saka (1361 masehi). Bisa jadi
pula ketika Hayam Wuruk berkunjung ke wilayah Sawentar saat itu, yang kita sebut dengan
Candi Sawentar 1 belum dibangun.
Untuk fungsi Candi Sawentar 1 ditinjau dari sebuah kalimat yang terdapat pada
Kitab Pararaton yang selesai ditulis pada tahun 1535 śaka (1613 masehi) di Icasada di Desa
Sela-pênêk. Pada bait-bait akhir Kitab Pararaton menyebutkan:
“...Bhre Paguhan sira sang mokta ring Canggu dhinarmeng Sabyantara. Bhra Hyang mokta
dhinarme Puri. Bhre Jagaraga mokta. Bhre Kabalan mokta dhinarmeng Sumêngka tunggal
dhinarma. Bhre Pajang mokta tunggal dhinarmeng Sabyantara..”
Artinya:
...Baginda di paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat
dicandikan di Puri, Baginda di Jagaraga wafat, Seri ratu di Kabalan wafat, dijadikan menjadi
satu di Sumêngka. Seri ratu di Padjang wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara...
Dari kalimat diatas didapati kata Sabyantara. Hal inilah yang menjadi bukti kuat mengenai
fungsi dari Candi Sawentar satu. Karena kata Sabyantara syarat dengan Sawentar. Mengapa
demikian, harus ditinjau dari rumpun bahasa bahwasaanya aksen B dan W ini selalu
bersinggungan. Dapat dijumpai pada perkembangan bahasa saat ini antara Jawa yang
menyerap dari aksen Sanskerta dan Bahasa Indonesia yang banyak menyerap dari
aksen Melayu[6]. Huruf W pada Aksen Bahasa Sanskerta yang diserap oleh Jawa, sering
bersinggungan dengan huruf B pada bahasa Melayu yang diserap oleh Bahasa Indonesia.
Menurut sumber tertulisnya, yakni Kitab Pararaton, Sabyantara merupakan sebuah
pendharmaan dari Bhre Paguhan. Maka pada ulasan kali ini dengan dibuktikan pada berita
tertulis, menguatkan Candi Sawentar 1 merupakan pendharmaan dari Bhre Paguhan.
Candi Sawentar 2
Candi Sawentar 2 merupakan bangunan baru yang ditemukan pada tahun 1999 oleh bapak
Sugeng Ahmadi ketika menggali sumur dan diekskavasi oleh BPCB Trowulan dibantu
oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Mengenai latar belakang sejarah bangunan ini,
menurut Baskoro Daru Tjahjono, adalah sebagai bangunan pengenang/monumen perang
paregreg yang didirikan oleh Suhita atas meninggalnya ayah Suhita. Hal ini diketahui karena
adanya relief yang berhubungan dengan sebuah angka tahun candrasengkala memet. Candra
sengkala kira-kira ada di Indonesia mulai tahun 700-1400 śaka, dan diduga berasal dari India.
Candra sengkala memiliki arti filosofis tersendiri sehingga menghasilkan nilai atau angka yang
sesuai dengan jumlah tafsir lambangnya. Uraian tersebut dapat dijelaskan pada ulasan di bawah
ini.
Dalam buku candra sengkala yang ditulis oleh R.M. Sajid, Naga berarti ular besar, memiliki
nilai 8 karena naga memiliki 8 sifat, yaitu:
1. Naga darbe kumara, yaiku mustika, minangka dadi pramanane, yen bengi bisa kanggo
madhangi, mripate katon mancorong.
2. Naga, darbe kasantosan linuwih, betah pati raga.
3. Naga Andarbeni karoan.
4. Naga andarbeni wisa mandi, Manawa manembur agawe sangsara.
5. Naga andarbeni pang emekan bisa mulet sarta anggubet.
6. Naga darba panguwasa panglulusan angulu, sarta bisa angling sungi.
7. Naga andarbeni pangraketan, yaiku plengketan bisa cepet ngambah ing witwitan.
8. Naga andarbeni aji nirmala, yaiku lenga sangkalputung aneng pethite, bisa nuntumake
balung sungsum muwah kulit lan getah.
Raja memiliki nilai 1, karena dalam sebuah kerajaan tidak mungkin dipimpin oleh dua atau
lebih raja. Dapat dianalogikan dengan saat ini bahwa setiap negara pasti punya 1 pemimpin.
Begitu pula Indonesia yang memiliki 1 presiden. Anahut memiliki nilai 3, hal ini karena
diidentikkan dengan sifat api yang selalu menyahut/menyambar-nyambar. Selain itu makna
filosofis dari api memiliki 3 sifat yang identik dengan timbulnya/munculnya api:
1. Soko pangreko (korek, batu titikan)
2. Soko sarono (arang, batu bara)
3. Soko glap (petir)
Surya memiliki nilai 1 karena surya berarti matahari. Dalam alam semesta ini matahari
tentunya hanya ada 1. Ulasan candra sengkala di atas yang akhirnya didapati angka tahun 1318
śaka (1396 Masehi). Hal inilah seperti yang dikatakan Baskoro Daru Tjahjono merupakan
sebuah monumen peringatan. Memang sekilas bentuk Sawentar 2 bagian selatan hampir sama
dengan candi Kama yang terdapat di Trawas Mojokerto. Sekilas dilihat memang ada
keserupaan bentuk walau ukurannya tidak sama. Hanya pada candi Sawentar lebih kompleks
temuannya sehingga diketahui dengan jelas fungsi dan sejarahnya.
Pendirian sebuah candi biasanya bertalian erat dengan peristiwa meninggalnya seorang raja.
Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan yang termuat dalam kitab Nagarakrtagama
dan kitab Pararaton. Candi didirikan untuk mengabadikan “dharma”nya dan memuliakan
rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Misalnya: Candi Jago merupakan tempat
pendarmaan Raja Wisnuwardhana, Candi Singasari dan Candi Jawi untuk memuliakan
Raja Kertanegara, dan Candi Simping untuk memuliakan Raja Kertarajasa. Namun selain
sebagai tempat pendarmaan raja yang telah meninggal apakah tidak ada tujuan lain dalam
pendirian suatu bangunan suci. Apakah tidak mungkin pula suatu bangunan suci didirikan
untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi dalam suatu kerajaan atau
latar belakang naik tahtanya seorang raja tampaknya juga mengilhami pendirian suatu
bangunan suci. Pemahatan relief “nagaraja anahut surya” di candi Sawentar II kemungkinan
merupakan penggambaran adanya peristiwa atau upaya perebutan tahta kerajaan di kerajaan
Majapahit. Pada masa pemerintahan Wikramadharma telah terjadi pertentangan keluarga,
antara Wikramadharma yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan Bhre
Wirabhumi yang memerintah wilayah bagian timur (daerah Balambangan). Di dalam
serat Pararaton peristiwa itu disebut paregreg, yang mulai terjadi tahun 1323 saka. Tahun 1318
saka yang tersirat dalam sengkalan “nagaraja anahut surya” sangat dekat dengan mulai
terjadinya peristiwa paregreg. Jadi kemungkinannya sebelum terjadi peristiwa paregreg telah
didahului dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upaya perebutan tahta tersebut.
Atau kemungkina angka tahun itu menunjuk tahun mulainya peristiwa paregreg. Kemungkinan
tahun yang disebut oleh penulis Pararaton kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh
setelah peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII Masehi), sedangkan Candi Sawentar II
yang memuat sangkalan “nagara anahut surya” berasal dari tahun 1357 atau 1358 saka
(1435/1436 Masehi). Jadi candi Sawentar II didirikan oleh Suhita untuk memperingati
peristiwa upaya perebutan tahta (paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya.
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang mengenakan mahkota, sangat mungkin
hal itu merupakan simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan sedang berusaha
menelan matahari. Sedangkan matahari yang dicaplok naga raja tersebut merupakan
simbolisasi dari kekuasaaan Majapahit yang sedang dicabik-cabik untuk diruntuhkan. Sebab
matahari yang digambarkan pada panil itu adalah “Surya Majapahit” yang merupakan lambang
kebesaran Kerajaan Majapahit. Dengan demikian penggambaran “nagaraj anahut
surya” adalah untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk meruntuhkan
kekuasaaan Majapahit melalui perebutan tahta oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan
Wikramawardhana yang oleh Pararaton disebut “paregreg”. Jadi maksud pendirian bangunan
suci Sawentar II adalah untuk memperingati peristiwa Paregreg yang telah terjadi 40 tahun lalu
sebelum bangunan itu didirikan
Struktur candi
Candi Sawentar 1[
Struktur Candi Sawentar merupakan bentuk dari bangunan masa Jawa Timur yang
berkembang pada abad XII – XIII M., Karena bangunan yang berkembang pada abad VIII – X
M didominasi oleh bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, bentuknya tidak seperti itu.
Bangunan candi masa Jawa Tengah cenderung gemuk dan buntak (tambun), sedangkan
bangunan candi masa Jawa Timur berbentuk ramping dan tinggi. Candi sawentar juga
memiliki kesamaan bentuk dengan candi Kidal dan candi bangkal, yang sama-sama berada
di Jawa Timur. Hanya untuk Candi Bangkal memang sebagian besar terbuat dari batu bata dan
bukan andesit layaknya Candi Kidal dan Sawentar 1.
Denah alas atau batur candi Sawentar 1 hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang
9,53 m, lebar 6,86 m. Tinggi bangunannya 10,65 meter. Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang
terdapat di sekitar halaman, Candi Sawentar memiliki pagar keliling dari batu dengan denah
halaman hampir bujur sangkar. Halaman ini merupakan halaman pusat, karena pada umumnya
bangunan candi memiliki 3 tingkatan bangunan. Bangunan candinya terbuat dari batu andesit
dengan pola pasang tidak beraturan/acak.
Dahulu di depan candi terdapat sebuah bangunan tembok tepat di depan tangga pintu masuk
ke ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian fondasi dari
tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-
aling’ dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah
sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negatif/jahat. Dengan
demikian tembok kelir atau aling-aling tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis
perlindungan (protektif). Sisa fondasi pagar seperti pada gambar dibawah ini (membujur, utara-
selatan). Candi Sawentar sesuai dengan strukturnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian
kaki, badan, dan puncak.
 Bagian kaki (Upapitha) disebut BHURLOKA, gambaran dari alam manusia atau dunia
manusia
 Bagian badan (Vimana) disebut BWAHLOKA, gambaran alam atau langit
 Bagian puncak (Cikhara) disebut SWAHLOKA, gambaran alam sorgawi atau kahyangan
para dewa
Struktur bangunan candi, baik candi Hindu maupun candi Budha mengacu kepada gambaran
gunung suci, yaitu Meru. Menurut mitologi Hindu dan Budha bahwa alam semesta atau jagat
raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karena
itu candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan gunung Meru tiruan. Dengan
demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan struktur Meru, yaitu ada kaki,
lereng/badan, dan puncak. Karena sebuah gunung mengandung unsur flora atau fauna, maka
hiasan-hiasan pada dinding candi juga mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu dihias
dengan makhluk-makhluk ajaib penghuni sorga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi
merupakan gambaran dari Meru tempat tinggal para dewa
Diskripsi masing-masing bagian Candi Sawentar adalah sebagai berikut:
Bagian Kaki
Kaki candi dibuat tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk yang memiliki tangga.
Bagian kaki ditopang oleh adanya alas yang berbentuk persegi panjang (mendekati bujur
sangkar). Di bagian kaki candi di sisi utara, timur dan selatan, terdapat relief yang bermotif
palang. Pada sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk. Pipi tangga berbentuk lengkungan
dengan berujung kepala naga atau ular bermahkota, sekaligus sayap naga yang menutup pipi
kanan kiri tangga masuk. ‘Kepala naga’ atau ‘ular bermahkota’,
dalam mitologi Hindu dihubungkan dengan alam bawah, yaitu tanah air atau wanita. Di dalam
mitos kesuburan, ular dianggap sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama dari segala
kekayaan yang terkandung di dalam tanah maupun air. Oleh karena itu wajarlah bahwa di
Candi Sawentar, ia ditempatkan pada bagian bawah sebagai ‘lambang alam bawah’ dan berada
di depan pintu masuk sebagai ‘kekuatan yang melindungi segala kekayaan/daya gaib yang
terkandung di dalam tanahnya
Bagian Badan
Pada bagian badan candi, terdapat relief kepala kala. Ini berfungsi magis, yaitu berfungsi
menakuti kekuatan jahat yang berada disekeliling candi (banaspati). Kepala kala yang terdapat
pada candi sawentar umumnya merupakan gambaran kelapal kala yang terdapat pada candi-
candi hindu Jawa Timur, dan sangat berbeda bentuk dengan kepala kala yang terdapat pada
percandian Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Tapi sangat
disayangkan, karena kepala kala yang terdapat di atas pintu candi telah rusak. Dan seperti pada
candi-candi Hindu lainnya, terdapat ruang induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding
badan candi dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah, dan pelipit atas, yang dihias pula
dengan hiasan lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Pada
sisi barat terdapat pintu dengan penampil. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung kecil.
Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulunya berisi arca Mahakala, sedangkan relung sebelah
kanan pintu (selatan) dahulunya berisi arca Nandiswara. Mahakala adalah salah satu aspek
Dewa Siwa sebagai ‘perusak’. Oleh karena itu bentuk Mahakala berwajah raksasa (demonis).
Senjata yang dibawa adalah gada atau pedang. Atribut lainnya adalah ular, berambut gimbal.
Sedangkan Nandiswara merupakan bentuk antropomorpic dari
lembu ‘Nandi’ kendaraan Siwa. Oleh karena itu Nandiswara merupakan aspek Siwa juga.
Bentuknya seperti manusia biasa, senjata yang dibawanya adalah trisula (senjata Siwa) yang
menandakan bahwa dia masih dekat hubungannya dengan Siwa.
Dinding sisi utara terdapat sebuah relung yang dahulunya berisi arca
‘Durgamahisasuramardini’, yaitu Dewi Parwati sebagai Durga sedang membinasakan
seorang raksasa yang menjelma sebagai kerbau. Arcanya berbentuk figur seorang dewi yang
berdiri di atas punggung kerbau. Menurut cerita Hindu, seorang raksasa, yaitu Mahesasura
merusak kahyangan para dewa. Para dewa terutama Brahma, Wisnu, dan Siwa marah melihat
keadaan tersebut. Dari kemarahan mereka itulah muncul kekuatan baru yang terjelmakan
dalam figur seorang dewi yang sangat cantik, yaitu Durga.
Berikutnya kita berjalan menuju sisi Timur (bagian belakang candi). Di sini kita mendapatkan
relung yang kosong. Dahulu di relung ini berisi arca Ganesa. Tanda-tanda dari Ganesa, di
dalam mandala percandian ia selalu digambarkan duduk. Sikap kakinya seperti duduknya anak
balita. Bertangan dua, delapan, sepuluh, duabelas, atau enam belas. Berperut buncit sebagai
tanda bahwa ia kaya akan ilmu pengetahuan. Bermata tiga (trinetra seperti ayahnya).
Berselempang ular. Senjata yang dibawanya secara standart adalah kapak (parasu), tasbih
(aksamala), gading (danta) nya yang patah, serta mangkuk berisi madu
(modaka). Dewa Ganesa dipuji sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa pembawa
keberuntungan, serta dewa ‘penghancur segala rintangan/gangguan jahat’ (Vignavignecvara).
Berikutnya adalah relung sisi selatan. Relung ini telah kosong tanpa arca. Dahulu di sini
bersemayam arca Siwa Guru atau Siwa Mahaguru (Dewa Siwa sebagai seorang pertapa/yogi).
Dalam anggapan lain ada yang menyebutnya arca Resi Agastya. Tanda-tanda dari arca ini
digambarkan berwujud seorang pertapa tua dengan rambutnya yang disanggul. Kumis dan
jenggot panjang meruncing, serta berperut gendut. Bertangan dua yang masing-masing
membawa tasbih (aksamala) dan kendi amerta (kamandalu). Pada sandaran sisi kanan terdapat
senjata ‘Trisula’. Senjata tersebut terkadang ditempatkan di sisi lengan kanannya, kadang pula
tangan kanannya memegang tangkai trisula. Selain itu, didapati reluang ruang utama Candi
yang berisikan Yoni dan Lingga. Namun saat ini, jika kita melihat dilokasi tidak akan
menjumpai lingga yang biasanya tertancap pada yoni. Diduga hal tersebut dikarenakan hilang
dicuri atau sengaja dileburkan oleh orang. Dalam percandian memang diketahui daya magis
inti candi terletak pada lingga dan yoni yang merupakan symbol veminim dan maskulin dari
Siva dan Parvati. Penyatuan symbol tersebut dilambangkangkan kesucian yang menghasilkan
air amrta. Pada upacara agama Hindhu yang dilakukan dipercandian selalu mengguyurkan air
biasa pada lingga dan yoni untuk menghasilkan sebuah air yang dianggap sebagai air amerta/
air suci sebagai berkah umat. Hal ini hingga saat ini masih dijumpai pada kebudayaan
masyarakat Hindu di India, yakni negara asal ajaran Hindu. Upacara penyiraman air pada
lingga yoni yang menghasilkan amerta tidak hanya pada lingga yoni yang terdapat dalam
percandian, namun pada lingga yoni yang juga berada di luar percandian sebagai lingga yoni
semu dari lingga yoni inti yang berada di percandian.
Pada Yoni Candi Sawentar memiliki keunikan karena terdapat motif garudea. Garudea
memang syarat dengan ceritera amerta maupun samodramantana. Keunikan lainnya pada
relung tengah yakni sebuah motif dewa surya yang terdapat pada bagian atap sentrum. Motif
Dewa Surya ini sama halnya dengan motif yang terdapat pada ruang tengah Candi Jawi. Perlu
diketahui pula bahwa motif Dewa Surya (Matahari) yang mengendarai kuda bertelinga seperti
kelinci bukanlah ciri khas dari Majapahit. Ciri khas dari Kerajaan Majapahit hanyalah Surya
Majapahit tanpa ada Dewa surya pengendara kuda. Motif Dewa surya ini diduga sebagai
penerang karena letaknya tepat di centrum atas ruang tengah candi.
Bagian atap candi
Bagian atap candi sebagian runtuh terutama pada puncaknya. Bentuk asli puncaknya berbentuk
kubus, hal ini dapat diketahui karena bentuk asli puncak telah dikumpulkan bersama dengan
puing-puing candi yang lain di dekat Candi Sawentar ini. Bagian atap candi terdapat relief
bermotif meander, naturalis (tumbuh-tumbuhan), dan motif tumpal (lancip). Fragmen puncak
diduga mirip dengan puncak dari Candi Kidal di Kabupaten Malang dan Candi Bangkal di
Kabupaten Mojokerto. Yang memang struktur dari kaki hingga tubuh banyak memiliki
kesamaan antara ketiga candi ini, jadi didugapula adanya kesamaan puncak, walaupun puncak
dari ketiga candi tersebut sudah tidak utuh lagi.
Bagian puncak dari candi ini sebagaimana yang telah diulas dihiasi oleh motif suluran. Motif
suluran ini bermakna tumbuh-tumbuhan yang melambangkan puncak dari gunung yang syarat
dengan hutan dan tetumbuhan[12]. Selain itu didapati pula motif Meander yang pada umumnya
merupakan hiasan pinggir yang bentuk dasarnya berupa garis berluki atau berkelok-kelok. Kata
meander berarti kelokan sungai, hiasan meander berasal dari Yunani dan perkembangannya di
Cina hingga diserap di Nusantara[13]. Dan yang terakhir pada kemuncak Candi Sawentar
didapati motif tumpal, yang memiliki dasar bentuk bidang segitiga. Bentuk segitiga ini
biasanya membentuk deratan dengan bagian lancip di atas atau kebawah. Motif tumpal
terpengaruh oleh Cina dan berasal dari wilayah pesisir[14]. Tidak seperti halnya puncak candi
gaya masa Jawa Tengah, yang puncaknya merupakan pengulangan struktur di bawahnya.
Puncak candi gaya masa Jawa Timur tidak berbentuk pengulangan struktur di bawahnya, tetapi
terdiri dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang makin ke atas juga semakin kecil[15].
Candi Sawentar 2
Candi Sawentar II adalah situs bangunan candi pada masa Hindu-Buddha yang ditemukan
didukuh Centong, desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa
Timur. Situs ini berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi candi Sawentar I, tepatnya sebelah
selatan candi sawentar I. Lokasi situs candi Sawentar II berada di sekitar pasar Desa Sawentar.
Penemuan yang didapat dari situ candi sawentar dua yang pertama yaitu sebuah batu candi
yang terbuat dari batu andesit berwarna agak keputihan. Batu ambang candi berukuran panjang
73 cm, lebar 36 cm, dan tebal 20 cm. Batu ini memiliki angka tahun dan hiasan
kepala kala pada kedua sudutnya. Batu candi berukuran panjang 24 cm, lebar 23 cm dan tebal
17 cm.
Penemuan yang kedua yaitu sebuah komponen candi dan dua buah kepala kala, dua buah batu
sudut berhias antefix, dua buah batu yang tidak berhias antefix mungkin sudah runtuh, dan
semuanya terbuat dari batu andesit yang berwarna keputihan. Dan selanjutnya ditemukan 3
buah batu persegi berelief binatang dan 2 buah fragmen batu kemuncak. Ketiga batu berelief
hewan tersebut berukuran sama, masing-masing mempunyai panjang 61 cm, lebar 32 cm, dan
tebal 29 cm. batu relief 1 menggambarkan adegan Ghanesa yang sedang menggigit matahari
diapit dua ekor harimau. Batu relief 2 yang menggambarkan adegan dua ekor kuda sedang
berkejaran, kuda di depan menoleh ke belakang. Batu relief 3 menggambarkan adegan dua ekor
kuda saling berhadapan memperebutkan sebuah bola. Dan ketiga panil berelief binatang
tersebut terbuat dari batu andesit yang berwarna agak keputihan. Penemuan selanjutnya yaitu
sebuah fragmen miniatur candi bagian tubuh, sebuah ambang atap dengan hiasan kepala kala,
14 buah batu persegi bertakik, dua buah batu sudut kemuncak berpelipit, dan sebuah bata.
Fragmen batu kemuncak berukuran panjang 85 cm dan tinggi 27 cm. Fragmen miniatur candi
bagian tubuh mempunyai relung pintu dan berukuran panjang 74 cm, tingi 56 cm. Ambang
atap berhias kepala kala berukuran panjang 65 cm, tebal 30 cm, dan tinggi 29 cm. Sedangkan
batu-batu persegi mempunyai ukuran bervariasi, panjang antara 51 sampai 62 cm, lebar antara
24 sampai 26, dan tebal antara 13 samp[ai 15 cm. bata berukuran panjang 31 cm, lebar 18 cm,
dan tebal 6 cm.
Berikutnya yang ditemukan adalah sebuah kompleks candi, kompleks itu berbentuk struktur
bangunan dari batu andesit yang berupa dua batur empat persegi pajang berjajar membujur
utara-selatan. Di tengah-tengah batur itu terdapat sebuah lantai yang terbuat dari bata. Di
sebelah barat batur terdapat dua buah struktur bangunan bata yang kemungkinan berdenah
bujur sangkar. Dan di sebelah timur terdapat dinding yang tertimbun tanah membujur dari utara
ke selatan, dan mungkin itu adalah sebuah pagar. Selanjutnya bulan Oktober 2000 berhasil
diketahui pula bahwa halaman candi ini dibagi menjadi dua halaman. Denah pagar berbentuk
empat persegi panjang melintang utara-selatan dengan ukuran 38,80 × 29,70 m2. Halaman
bagian utara terdapat gugusan bangunan berupa batur-batur dan fondasi miniatur candi,
halaman ini berukuran 29,70 × 21,30 m2. Sedangkan halaman selatan belum ditemukan
gugusan bangunan, halaman ini berukuran 29,70 × 17,50 m2.
Penelitian tahap IV yang dilakukan pada bulan Septermber 2004 berhasil membuka 9 buah
parit gali (P.30 – P.38). Penelitian yang difokuskan untuk mencari gugusan bangunan lain dan
pintu masuk ke halaman candi hanya berhasil menemukan gugusan candi lain. Gugusan
bangunan candi lain itu ditemukan di halaman selatan pada kuadrant timur laut juga. Di
halaman selatan ini ditemukan dua buah bangunan berbentuk kubus berjajar utara selatan
dengan hiasan relief binatang kuda di masing-masing dindingnya. Bangunan di selatan masih
agak utuh, sedangkan yang di utaranya tinggal separuh. Pintu masuk ke halaman candi belum
berhasil ditemukan. Penelitian berlanjut hingga tahap V dan VI masing-masing pada
tahun 2005 dan 2006.
Temuan lain di wilayah Sawentar
Angka tahun]
Angka tahun tersebut ditemukan di kompleks makam Kanigoro, ± 2Km dari Sawentar. Dari
temuan tersebut jelas ini adalah sebagian dari banguan percandian. Oleh sebab itulah wilayah
Sawentar diduga kuat merupakan kompleks percandian yang luas dan besar. Angka tahun
tersebut terbilang 1274 Śaka (1352 M). Pada tahun itu pemerintahan
kerajaan Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Kemungkinan candi ini adalah hadil
pemugaran dari Hayam Wuruk yang diberitakan pada Negarakertagama.
Huruf berkalimat
Batu yang bertiluskan huruf jawa kuno tersebut juga ditemukan di makam Kanigoro. Batu ini
diduga ditempatkan pada ambang pintu bangunan. Huruf yang terdapat pada batu tersebut
terbalik tata polanya karena batunya memang terbalik saat meletakkan. Jika ingin membacanya
kita harus memutar 180º. Huruf tersebut berbunyi “ita cangkaha ya hala” yang berarti sombong
itu ya jelek/buruk. Kata-kata tersebut merupakan sebuah pesan moral yang bisa jadi
berhubungan dengan sejarah candi tersebut. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mengungkap hal ini, berkaitan dengan raja siapa atau pendharmaan dari siapakah dan apa
fungsinya bangunan pada kompleks makam Kanigoro tersebut.
Struktur batu andesit
Struktur batu tersebut selain dari runtuhan puncak Candi Sawentar 1 juga merupakan temuan
yang terdapat di makam Kanigoro. Terdapat juga dua buah fragmen nisan kuno yang terbuat
dari batu andesit (masih perlu dibuktikan keasliannya). Puing-puing atap bangunan yang
bercampur dengan beberapa bagian badan tersebut memberikan informasi sekali lagi pada kita
bahwasaanya di kompleks makam Kanigoro dahulunya didapati bangunan percandian.

Candi Tikus

Candi Tikus adalah sebuah peninggalan dari kerajaan yang bercorak hindu yang terletak di
Kompleks Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat Candi tersebut berada merupakan
sarang tikus.
Lokasi Candi
Mengunjungi Candi Tikus ini, jauhnya sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto.
Patokannya dari jalan raya Mojokerto-Jombang, tepat di perempatan Trowulan, membelok ke
timur, melewati Kolam Segaran dan sekitar 600 m dari Candi Bajangratu di sebelah kiri jalan.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914.
Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo
Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran
secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985.[1]
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan,
untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara
diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M, karena miniatur menara
merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
Fungsi Candi
Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar
sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini
merupakan petirtaan (tempat pemandian keluarga raja), tetapi sebagian pakar yang lain
berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air
untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan
dugaan bahwa bangunan Candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan berupa sebuah kolam dengan beberapa
bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5
m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah
sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar
selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat
selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke Candi terdapat di sisi utara,
berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m
x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar, masing-masing kolam berjajar tiga buah
pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan
persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah ‘menara’
setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak
di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di
sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran (jaladwara) berbentuk bunga teratai
dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang
digunakan dalam pembangunan Candi ini. Kaki Candi terdiri atas susunan bata merah
berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain
kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di Candi ini pun ada dua jenis, yang terbuat dari
bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus
dibangun melalui beberapa tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan
batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah
berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih
tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Adapun Pancuran air dari bata merah
diperkirakan dibuat pada tahap pertama pembangunan karena bentuknya yang masih kaku,
sedangkan Pancuran air dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat pada
tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan
tersebut dilaksanakan.

Gapura Wringin Lawang

Gapura Wringin Lawang adalah sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit abad ke-
14 yang berada di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur, Indonesia. Bangunan ini terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'.
Struktur dan fungsi bangunan
Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi
15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi
bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit
dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa
gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit.
Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang
paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah
Mada.
Gapura Bajang Ratu

Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah
sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada
zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan
Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci
untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut
"kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya
sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan
ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan
dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang
meninggal diharuskan lewat pintu belakang
Penamaan
"Bajang Ratu" dalam bahasa Jawa berarti "raja / bangsawan yang kecil / kerdil / cacat". Dari
arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja
kedua Majapahit) dan tulisan dalam Serat Pararaton, ditambah legenda masyarakat.
Disebutkan bahwa ketika dinobatkan menjadi raja, usia Jayanegara masih sangat muda
("bujang" / "bajang") sehingga diduga gapura ini kemudian diberi sebutan "Ratu Bajang /
Bajang Ratu" (berarti "Raja Cilik"). Jika berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa
ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya,
sehingga diberi nama "Bajang Ratu" ("Raja Cacat").
Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura)
atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan
dalam Kakawin Negarakretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring
crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan (tempat suci). Di situ disebutkan
bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka (sekitar 1328 M), tempat tersebut
dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan
serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi tempat Jayanegara
didharmakan tidak ditemukan, yang tersisa tinggal gapura paduraksa ini dan fondasi bekas
pagar. Penyebutan "Bajang Ratu" muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV)
tahun 1915.
Struktur bangunan
Menurut buku Drs I.G. Bagus L Arnawa, dilihat dari bentuknya gapura atau candi ini
merupakan bangunan pintu gerbang tipe "paduraksa" (gapura beratap). Secara fisik
keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu
bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengan
orientasi mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segiempat, berukuran ± 11,5
(panjang) x 10,5 meter (lebar), tinggi 16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4 meter.
Secara vertikal bangunan ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai
semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur
kaki tersebut terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya
terdiri dari susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada sudut-sudut kaki
terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan dihias relief menggambarkan cerita
"Sri Tanjung". Di bagian tubuh di atas ambang pintu ada relief hiasan "kala" dengan relief
hiasan sulur suluran, dan bagian atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala "kala"
diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu atau monocle
cyclops. Fungsi relief tersebut dalam kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung
dan penolak mara bahaya. Pada sayap kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang
bertelinga panjang.
Lokasi
Lokasi Candi Bajang Ratu berletak relatif jauh (2 km) dari dari pusat kanal perairan
Majapahit di sebelah timur, saat ini berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak cukup
dekat (0,7 km) dengan Candi Tikus. Alasan pemilihan lokasi ini oleh arsitek kerajaan
Majapahit, mungkin untuk memperoleh ketenangan dan kedekatan dengan alam namun masih
terkontrol, yakni dengan bukti adanya kanal melintang di sebelah depan candi berjarak kurang
lebih 200 meter yang langsung menuju bagian tengah sistem kanal Majapahit, menunjukkan
hubungan erat dengan daerah pusat kota Majapahit.
Untuk mencapai lokasi Gapura Bajang Ratu, pengunjung harus mengendara sejauh 200 meter
dari jalan raya Mojokerto - Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk,
berbelok ke arak timur sejauh 3 km, di Dukuh Kraton, Desa
Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sekitar lokasi Gapura Bajang Ratu di
Trowulan (bekas ibu kota kerajaan Majapahit) tersimpan banyak peninggalan bersejarah
lainnya dari zaman keeemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang
disegani di muka bumi.

Candi Kidal

Candi Kidal di Tumpang, Malang, Jawa Timur


Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun
sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji
Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari
kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami
pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu,
yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga
dan terawat.
Sejarah
Selain berasal dari nama desa, juga dikarenakan Candi Kidal berada di tengah halaman candi.
Candi Kidal bersifat agama Hindu, dahulunya di ruangan candi (garbhagrha) merupakan
tempat arca Siwa Mahadewa yang saat ini telah disimpan di Royal Tropical Institute di
Amsterdam. Terdiri dari, arca perwujudan Raja kedua Kerajaan Singhasari dan raja Anuspati.
Anusapati - Sang Garuda Yang Berbakti
Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang
kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-
2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
Bathara Anusapati menjadi raja
Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) dia berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya dia diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
(Nagarakretagama: pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)
Lokasi
Terletak di lembah Gunung Bromo dengan ketinggian 52 Meter di atas permukaan laut.
Desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur,
candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara
pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah
meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri
dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal
sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon
besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa
pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Dari daftar buku pengunjung yang ada tampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-
nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan,
tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi Kidal
Namun candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan
candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan
berdimensi geometris vertikal. Candi Kidal memiliki 3 bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Kaki
candi tampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga
masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga
memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh can di terdapat hiasan medallion serta sabuk
melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas
semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap
seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat
disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu
disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik
candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan
suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal tampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya
terbuka dan tampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya
taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya
terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai
penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran
Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa fondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali
kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks
candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang
demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi,
tampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang
ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam
seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi
periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu
Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak
meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang
sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang
lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-
dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang
belum pernah ditemukan.
Relief Garuda
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita
legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu
sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk
kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari
perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G.
Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu
aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-
sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada
candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih
tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak
pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara
prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi
sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor
ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda
menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling
indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai
anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa
bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang
di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada
Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati
rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya,
akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani
segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya
meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus
menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan
kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut
bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular
"bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan
berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat
ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah
perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan
ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar
cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda
meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau
menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi
tunggangan Bathara Wisnu seperti tampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk
di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari
perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah
perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Ruwatan
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-
dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan
agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab
Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi
Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah
meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat
dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan
prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki
candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan
prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan
tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang
indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari
candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya
dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak
candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan
demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, tetapi selalu
menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari
pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes
begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk
dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung,
ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati
karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel
melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh
pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah
wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai
dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin
dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga
mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya
daripada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati
bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya.
Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali
sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.

Candi Prambanan

Candi Prambanan merupakan candi tercantik di dunia, peninggalan Hindu terbesar di Indonesia
yang terletak di kawasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kurang lebih
berjarak 17-20 kilometer di sebelah timur Yogyakarta. Candi induk pada kompleks candi
Prambanan mengarah ke timur, dengan tinggi candi mencapai 47 meter. Candi Prambanan
sering juga disebut dengan nama candi Roro Jonggrang.
Berdasarkan Prasasti Siwagrha, sejarah candi Prambanan dibangun pada sekitar tahun 850
Masehi oleh raja-raja dari Dinasti Sanjaya tepatnya oleh Rakai Pikatan yang kemudian
diperluas oleh Balitung Maha Sambu pada masa kerajaan Medang Mataram. Pembangunannya
ditujukan untuk memberi pernghormatan pada Tri-Murti yakni tiga dewa utama dalam agama
Hindu. Agama Hindu mengenal Tri-Murti, yang terdiri dari Dewa Brahmana sebagai Dewa
Pencipta, Siwa sebagai Dewa Pemusnah dan Wishnu sebagai Dewa Pemelihara.
Dalam Prasasti Siwagrha terdapat uraian mengenai peristiwa sejarah peperangan antara
Balaputeradewa dari Dinasti Sailendra melawan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya.
Balaputeradewa yang kalah melarikan diri ke Sumatera. Konsolidasi Dinasti Sanjaya inilah
yang menjadi permulaan dari masa pemerintahan baru yang diresmikan dengan pembangunan
gugusan candi Prambanan.
Terjadinya beberapa kali bencana alam seperti gempa bumi dan meletusnya gunung Merapi
serta adanya perpindahan pusat pemerintahan Dinasti Sanjaya ke Jawa Timur telah
menghancurkan kompleks candi Prambanan. Candi Prambanan dikenal kembali saat seorang
Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi pulau Jawa pada tahun 1733 dan melaporkan tentang
adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak belukar.
Pemugaran Kompleks Candi Prambanan
Pada tahun 1885 dilakukan usaha pertama kali untuk menyelamatkan candi Prambanan oleh
Ijzerman dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan batu. Pada tahun 1902, Van
Erp memimpin pekerjaan pembinaan terhadap candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma.
Perhatian terhadap candi Prambanan terus berkembang. Pada tahun 1933 berhasil disusun
kembali candi Brahma dan Wisnu. Selanjutnya pemugaran diselesaikan oleh Pemerintah
Indonesia. Pada tanggal 23 Desember 1953 candi Siwa selesai dipugar dan secara resmi
dinyatakan selesai oleh Presiden Sukarno.
Pemerintah secara kontinyu melakukan pemugaran candi di wilayah Prambanan, diantaranya
yaitu pemugaran candi Brahma dan candi Wisnu. Pada tahun 1977 dimulai pemugaran candi
Brahma. Pada tanggal 23 Maret 1987 selesai dipugar dan diresmikan oleh Prof Dr. Haryati
Soebandio. Selanjutnya, Candi Wisnu mulai dipugar pada tahun 1982 dan selesai tanggal 27
April 1991 dengan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Kegiatan pemugaran berikutnya
dilakukan terhadap 3 buah candi yang berada di depan candi Siwa, Wisnu dan Brahma beserta
4 candi kelir dan 4 candi disudut.
Bentuk Kompleks Candi Prambanan
Bagian atau bilik utama dari kompleks Prambanan ditempati oleh Dewa Siwa sebagai Dewa
Utama atau Mahadewa. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Candi Prambanan merupakan Candi
untuk pemujaan Dewa Siwa. Candi Siwa ini juga sering disebut sebagai candi Roro Jonggrang.
Terdapat sebuah legenda di masyarakat yang bercerita tentang seorang putri yang jangkung
atau jonggrang. Roro Jonggrang merupakan putri dari Raja Boko, yang konon memerintah
kerajaan diatas bukit sebelah Selatan kompleks candi Prambanan. Sedangkan candi Brahma
dan candi Wishnu masing-masing memiliki 1 buah bilik yang ditempati oleh patung dewa-
dewa yang bersangkutan.
Bagian tepi candi dihiasi oleh pahatan relief cerita Ramayana yang dapat dinikmati jika kita
berjalan mengelilingi candi dengan pusat candi selalu di sebelah kanan kita, melalui lorong itu.
Cerita itu berlanjut pada candi Brahma yang terletak di sebelah selatan candi utama. Sedang
pada pagar candi Wishnu yang terletak di sebelah utara candi utama, terpahat relief cerita
Kresnadipayana yang menggambarkan kisah masa kecil Prabu Kresna sebagai penjelmaan
Dewa Wishnu dalam membasmi kejahatan di dunia.
Masyarakat umum, berdasar legenda, mengganggap bagian candi utama yang menghadap ke
utara berisi patung Roro Jonggrang. Walaupun sebenarnya itu adalah patung Dewi Durga,
permaisuri Dewa Shiwa. Legenda menceritakan bahwa patung Roro Jonggrang itu sebelumnya
adalah tubuh hidup dari putri Raja Boko, yang dikutuk oleh ksatria Bandung Bondowoso.
Terdapat enam buah candi, 2 kelompok candi saling berhadapan yang terletak pada sebuah
halaman berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 110 meter. Terdapat tiga buah candi yang
berisi kendaraan ketiga Dewa Tri-Murti dihadapan ketiga candi. Ketiganya telah dipugar dan
hanya candi yang didepan candi Siwa yang masih berisi patung kendaraan Dewa Siwa, seekor
lembu yang bernama Nandi. Patung angsa kendaraan Dewa Brahma serta patung garuda
kendaraan Dewa Wishnu yang menghuni kedua bilik lainnya, kini telah dipugar.
Didalam kompleks Prambanan masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi pengapit
dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah berdiri di sebelah utara dan
yang lain di sebelah selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sudut. Halaman dalam yang
dianggap masyarakat Hindu sebagai halaman paling sakral, terletak di halaman tengah yang
mempunyai sisi 222 meter, yang pada mulanya berisi candi-candi perwara sebanyak 224 buah
berderet-deret mengelilingi halaman dalam 3 baris. Diluar halaman tengah ini masih terdapat
halaman luar yang berbentuk segi empat dengan sisi sepanjang 390 meter.
Candi Singasari

Candi Singasari
Candi Singasari merupakan candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah dari Kerajaan
Singasari berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa
Timur, Indonesia, sekitar 10 km dari Kota Malang. Candi ini berada pada lembah di
antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna pada ketinggian 512m di atas permukaan
laut.
Cara pembuatan Candi Singasari ini menggunakan sistem menumpuk batu andesit hingga
ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah.
Ditemukan Pihak Asing
Candi Singasari ditemukan oleh Nicolaus Engelhard pada tahum 1803. Uniknya candi ini
sempat menarik perhatian Th. Stamford Raffles yang mengunjunginya pada tahun 1855. Saat
itu disebutkan bahwa candi tersebut berada di tengah hutan jati yang baru dibabat pada tahun
1820.[1]
Blom berpendapat bahwa Candi Singosari ini terletak pada sebuah kompleks yang luas dengan
delapan candi dan arca-arca tersebar.
Menurut Negarakertagama
Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti
Gajah Mada bertanggal 1351 M yang terletak di halaman kompleks candi, candi ini merupakan
tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Kertanegara, yang mangkat pada
tahun 1292 akibat istananya diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin Jayakatwang. Kuat
dugaan, Candi ini tidak pernah selesai dibangun.[2]
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, tetapi para ahli purbakala
memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk
menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang
dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari.
Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan Candi Siwa. Hal ini terlihat
dari adanya beberapa arca Siwa di halaman Candi.
Struktur dan kegunaan bangunan Candi
Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Candi
yang juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara ini, menunjukkan bahwa
Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan
candi lain di sekelilingnya. Namun saat ini di kawasan Singasari hanya Candi Singasari yang
masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak berbekas.
Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki
setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki
candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-
candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada
sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat
sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala
Kala yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat
sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya
terselesaikan.
Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang
relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi
lain tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan
di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama
terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan
apapun.
Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap
candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi.
Tampaknya relung-relung tersebut semula berisi arca, tetapi saat ini kempatnya dalam keadaan
kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang
lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh
candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian
puncak atap terlihat sudah runtuh.[3] Di bagian dalam Candi Singosari terdapat sebuah ruangan
yang digunakan untuk menempatkan sebuah arca Lingga dan Yoni. Sedangkan pada tiap
sisinya terdapat arca Ganesha di sebelah timur, arca Resi Agastya di sisi selatan, dan arca Durga
di sisi sebelah utara, sayang arca-arca yang ada hanya tinggal arca Agastya, sedangkan yang
lain sudah tidak ada.
Di dekat Candi Singasari ada lapangan yang dikenal sebagai "alun-alun" yang terdapat
sepasang penjaga pintu (Dwarapala) besar.
Arca-Arca Candi
Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4 m,
disebut Dwarapala) dan posisi gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun
penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan
ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singasari, tidak ada
di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal
ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi
Singasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan
ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam
wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai
penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi
Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau Gaurī). Karena letak candi Singasari
yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung
Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan
para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur
sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan
ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula
bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi
arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi
ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan
di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika
Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
Pemugaran dan usaha konservasi
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad
ke-20 . Restorasi dan pemugaran Candi Singasari dimulai tahun 1934 dan bentuk yang
sekarang dicapai dalam keadaan berantakan pada tahun 1936.
Candi Jago

Candi Jago
Menurut kitab Negarakertagama pupuh 41:4 dan Pararaton, nama Candi Jago sebenarnya
berasal dari kata "Jajaghu", yang didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13.
Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
tempat suci. Candi ini berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan
Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur atau sekitar 22 km dari Kota Malang, pada
koordinat 8°0′20.81″S 112°45′50.82″E.
Candi jago berlatar agama Buddha Tatrayana. Salah satu ciri dari agaama Buddha Tatrayana
adalah arcanya yang berbentuk amoghapasa, bentuk Tatris dari awaloketeswara disertai
pengiring-pengiring nya. Arca tersebut merupakan arca dari perwujudan dari raja keempat
singasari yang bernama Raja Wisnuwarddhana, yang meninggal tahun 1190 Saka (1280
Masehi)
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita
setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di
candi ini. Secara keseluruhan bangunan Candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut
pada Prasasti Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor
inventaris D. 214.
Struktur Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki
panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago tampak sudah tidak
utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan
candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi
terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti
bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai
Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Khresnayana, Parthayana,
Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan
cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam
(pradaksiana).
Pada sudut kiri (barat laut) Candi Jago terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri.
Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu
kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi
menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan
serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga
terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi
makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam
usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa
Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran
Buddha. Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini
bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa
Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan
maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa
terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan
Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa
Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah
relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini
berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian
atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Asal Usul
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago atas perintah
Raja Kertanagara ini berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai
penghormatan bagi ayahandanya Raja Singasari ke-4, Sri Jaya Wisnuwardhana, yang mangkat
pada tahun 1268. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebutkan
dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu
tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi
Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke
atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat
populer pada masa Kerajaan Singasari.
Candi jago pertama kali dipublikasikan oleh Stamford Raffles dalam sebuah buku yang
diterbitkan nya yang berjudul History of Java(1917), namun siapa yang menemukan nya
pertama kali masih belum diketahui.Sebelum-nya candi ini juga pernah diteliti oleh R.H.T
Friederich(1854), J.F.G Brumund(1855), Fergusson (1876), dan Veth(1878). J.L.A Brandes
kemudian melakukan penelitian dan menerbitkan buku yang berjudul Jago Monografi(1904)[1]
Yang perlu dicermati dalam sejarah Candi Jago adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman
dahulu untuk memugar(memperbaiki) candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya.
Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja
Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk
Adityawarman pun mendirikan candi tambahan dan menempatkan Arca Manjusri
Candi ini terletak dengan Desa Penataran di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa
Timur. Dalam Candi Penataran berada di lereng barat daya Gunung Kelud dalam ketinggian
450 meter.
Lokasi berada di bagian utara Kota Blitar. Candi Penataran terletak di lereng barat daya
Gunung Kelud di ketinggian 450 meter. Candi Penataran atau dapat disebut sebagai candi Palah
ialah salah satu candi besar yang berada di wilayah Jawa Timur.
Candi Penataran
Candi Penataran adalah kompleks candi di dataran tinggi terhadap Dieng yakni dengan
ketinggian 2000 meter di atas dari permukaan laut.

Kompleks candi ini, ialah salah satu candi tertua di wilayah Jawa, dibangun dengan sekitar
abad ke-7 hingga abad ke-9. Kompleks candi ini mempunyai suatu luas yang cukup besar,
panjang hampir 1900 meter dan lebar sehingga 800 meter.
Candi Dieng ialah salah satu peninggalan dari agama Hindu yang berdasarkan Syiwa dan
diyakini telah dibangun dengan masa pemerintahan Kerajaan Kalingga selama Dinasti Sanjaya.
Selain candi Dieng, terdapat beberapa candi Hindu di wilayah Indonesia, termasuk sejarah
Candi Penataran dan sejarah Candi Cetho.
Candi Dieng terdiri atas 8 candi kecil. Sampai saat ini, nama candi dan sejarah candi Dieng
masih menjadi sebuah misteri, karena kurangnya sumber daya dan penemuan prasasti yang
mengungkap kisah di balik pendirian candi. Namun, penduduk setempat memanggilnya tokoh
dalam pewayangan dapat terkenal seperti Gatutkaca, Arjuna, Dwarawati dan Bima.
Sejarah Candi Penataran
Candi Penataran dibangun pada 1194 M oleh Raja Kerajaan Kediri yang bernama Raja
Srengga. Raja Srengga diberi judul Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita
Çrengalancana Digwijayottungadewa.
Ia telah memerintah tahun 1190-1200 M di Kerajaan Kediri. Pada awal dalam suatu
pembangunannya, terdapat sejarah Candi Penataran berfungsi sebagai sarana untuk upacara
pemujaan Hindu. Dalam upacara ini, memiliki tujuan yakni sebagai menangkal bahaya dalam
Gunung Kelud, yang sering meletus pada waktu itu.
Tahun 1286 Kuil Naga dibangun yang berada dikompleks Candi Penataran. Di kuil Naga ini,
dapat melihat relief 9 orang yang mendukung atau menyangga dalam naga. Naga itu sendiri
adalah sebuah simbol dari Candrasengkala atau pada tahun 1208 Saka.
Selama pemerintahan Jayanegara, Candi Penataran mendapatkan suatu perhatian lagi. Para
pemimpin berikutnya, yaitu Hayam Wuruk dan Tribuanatunggadewi, juga memastikan bahwa
candi ini menjadi kuil resmi negara dengan status Dharma dimatikan.
Dalam kitap yang Negarakertagama Mpu Prapanca (1365), dinyatakan bahwa Raja Hayam
Wueuk, yang pada saat itu memerintah kerajaan Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389,
mengunjungi kuil Penataran selama kunjungannya ke Jawa Timur. Raja Hayam Wuruk
mengunjungi kuil ini dengan tujuan menyembah Hyang Acalapat, yang merupakan
perwujudan Dewa Siwa sebagai Raja Gunung atau Girindra.
Sumber lain, dalam sebuah kronik abad ke-15, telah menyebutkan bahwa Candi Penataran
adalah sebuah tempat yang digunakan untuk sarana dalam pembelajaran agama dan situs ziarah
yang ramai dikunjungi dengaan pengunjung. Kronik ini menceritakan perjalanan seorang
bangsawan kerajaan Sinan ke kuil Penataran, yang disebut dalam kronik sebagai Rabut Palah.
Letak Candi Penataran Blitar
Dalam adanya sebuah Candi Penataran Blitar, yang b erada di wilayah Jawa Timur Indonesia
memili letak di Desa Penataran, Kabupaten Blitar, Kecamatan Nglegok, Jawa Timur.
Candi terbesar yang berada di Provinsi Jawa Timur memiliki lokasi di bagian utara Blitar dalam
ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Candi Penataran terletak di dekat daerah
pemukiman di desa Penataran. Jadi penemuan candi ini merupakan berkah bagi orang yang
berjualan yang di sekitar candi.
Fungsi Candi Penataran
Pada awalnya dalam candi revaluasi dibangun sebagai bangunan suci untuk ibadah dalam
agama Hindu. Ini diperkuat dengan adanya sebuah patung Dwarapala besar di pintu masuk
kuil. Dua patung besar ini dilengkapi dengan maces. Setiap bangunan suci pada waktu itu selalu
dijaga dengan dwarapala.
Upacara dalam sebuah penyembahan sering diadakan di dalam candi tersebut. Ibadah ini
merupakan salah satu sebagai menangkal bahaya dalam Pegunungan Kelud, yang kerap
meletus kala itu.
Sementara itu, dalam catatan sejarah dengan adanya suatu kitab Negarakertagama Mpu
Prapanca telah menyatakan bahwa Raja Hayam Wuruk, yang memerintah pada kerajaan
Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389 M, dan mengunjungi Kuil Penataran selama
kunjungannya ke Tepi Timur.
Dalam candi ini, terletak dengan Desa Penataran di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur. Dibangun sebagai bangunan suci untuk ibadah dalam agama Hindu.

Candi Dieng

Candi Dieng.
Candi Dieng adalah kelompok kompleks candi Hindu abad ke-7 terletak di Dataran Tinggi
Dieng, dekat Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia.[1] Bangunan-bangunan ini berasal
dari Kerajaan Kalingga. Dataran tinggi ini adalah tempat berdirinya delapan candi Hindu kecil
yang merupakan salah satu bangunan keagamaan tertua yang masih bertahan yang pernah
dibangun di Jawa.
Nama sebenarnya dari candi tersebut, sejarah, dan raja yang bertanggung jawab atas
pembangunan candi-candi ini tidak diketahui. Hal ini karena kelangkaan data dan prasasti yang
terkait dengan pembangunan candi-candi ini. Penduduk Jawa lokal menamakan setiap candi
sesuai dengan tokoh wayang Jawa, kebanyakan diambil dari epos Mahabharata.
Sejarah
Tidak jelas kapan candi-candi tersebut dibangun, dan diperkirakan berkisar dari pertengahan
abad ke-7 sampai akhir abad ke-8 Masehi; mereka merupakan bangunan menhir tertua yang
diketahui di Jawa Tengah. Mereka semula diperkirakan berjumlah 400 namun hanya delapan
yang tersisa.
Setelah mempelajari gaya arsitektur candi Jawa, arkeolog mengelompokkan candi-candi Dieng
dalam gaya Jawa Tengah bagian Utara, bersama dengan candi-candi Gedong Songo, dan
sampai batas tertentu juga mencakup Candi Badut Jawa Timur, dan Candi Cangkuang dan
Bojongmenje Jawa Barat, dan mengemukakan bahwa semua candi ini dibangun dalam periode
yang sama, berkisar antara abad ke-7 sampai abad ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di
dekat Candi Arjuna di Dieng bertarikh sekitar tahun 808-809 M, yang merupakan contoh
aksara Jawa kuno tertua yang masih bertahan, yang mengungkapkan bahwa candi Dieng terus
dihuni dari pertengahan abad ke-7 sampai awal abad ke-9.
Candi-candi Dieng ditemukan kembali pada 1814 oleh seorang tentara Britania yang
berkunjung yang melihat reruntuhan candi berada di tengah danau. Saat itu dataran sekitar
kelompok Arjuna kebanjiran dan membentuk danau kecil. Pada 1856, Isidore van
Kinsbergen memimpin upaya mengeringkan danau untuk mengungkap candi-candi tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi pada 1864, dilanjutkan dengan
studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen. Candi-candi tersebut saat
ini diyakini telah dinamai sesuai dengan para pahlawan dari epos Hindu Mahabharata.
Arsitektur
Arsitektur candi Jawa Tengah bagian Utara terkenal karena ukurannya yang lebih kecil,
kesederhanaan, dan relatif kurangnya ornamen dibandingkan dengan candi-candi kaya
dekorasi dan besar di Jawa Tengah bagian Selatan, seperti Candi Kalasan, Sewu,
dan Prambanan. Candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara dikelompokkan dalam kelompok
yang tidak beraturan, dengan variasi gaya candi masing-masing. Hal ini berbeda dengan
rancangan mandala konsentris candi-candi Jawa Tengah bagian Selatan dengan desain perwara
(candi kecil pelengkap) yang seragam.
Penggunaan arsitektur topeng kala Jawa paling awal dan monster laut Makara ditampilkan di
sepanjang relung dan pintu keluar masuk dari bangunan-bangunan yang tersisa.
Bangunan-bangunan Dieng kecil dan relatif sederhana, namun arsitektur batu berkembang
secara substansial hanya dalam hitungan dekade menghasilkan mahakarya seperti
kompleks Candi Prambanan dan Candi Borobudur.

CANDI TROWULAN
Indonesia memang menyimpan banyak sekali peninggalan sejarah yang saat ini selalu menjadi
destinasi wisata. Salah satu peninggalan yang ada di tanah Jawa dan terkenal hingga se
Indonesia adalah Kejayaan Kerajaan Majapahit. Mahapahit sendiri merupakan cikal bakal
berdirinya NKRI. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang ada di Indonesia dan
pernah ada. Daerah Kekuasaannya meliputi Malaysia, Brunei, Filipina dan Kamboja. Jadi tidak
heran jika beberapa situs yang mirip di Indonesia di temukan di Negara-negara tersebut.
Tentang kerajaan majapahit, ternyata juga mempunyai ibu kota. Ibu Kota tersebut adalah
Trowulan. Trowulan sendiri merupakan sebuah kota modern di jamannya. Trowulan bisa di
katakana bekas pusat pemerintahan Majapahit.
Trowulan sendiri saat ini secara administrative terletak di Mojokerto Jawa Timur, tepatnya di
Dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar Kecamatan Trowulan. Banyak yang menyebutnya
candi peninggalan Majapahit tersebut di sebut dengan Candi Wringin atau Candi Trowulan
yang di ambil dari nama daerah tersebut.
Untuk menuju Cando Trowulan cukup mudah, traveller cukup melakukan perjalanan menuju
Mojokerto, disini banyak sekali petnunjuk untuk menuju lokasi tersebut. Terdapat tulisan
Petunjuk “Wringin Lawang” yang terletak di jalan raya Surabaya-Jombang. Candi ini letaknya
juga tepat di pinggir jalan, kurang lebih hanya masuk 200 meter dari jalan besar. Saat traveller
berada disini, traveller tentunya akan terkesima atas peninggalan Majapahit tersebut.
Saat memasuki Candi Trowulan atau Wringin Lawang ini, traveller akan melihat salah satu
peninggalan Majapahit dengan ketinggian candi sekitar 15 meter yang terlihat megah dan
kokoh. Bangunan tersebut berupa gapura yang merupakan pintu gerbang untuk memasuki
komplek candi dengan arsitektur seperti Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat
bersemayam para dewa. Sementara bagian tubuh candi terbuat dari batu bata merah. Polos
tanpa hiasan atau ukiran apapun.
Traveller juga bisa menikmati Candi Trowulan dengan mengelilingi area taman yang sangat
luas. Taman tersebut luasnya sekitar 1 hektar. Taman tersebut di penuhi tanaman-tanaman kecil
yang tertata rapi. Sementara di sebelah utara dan selatan candi, terdapat sisa struktur tembok
batu bata yang sudah tidak utuh lagi. Kemungkinan tembok itu merupakan bagian dari tembok
yang dulunya mengelilingi candi Trowulan tersebut.
Kitab Negarakertagama

Lokasi Ditemukan Kitab Negarakertagama


Kitab Nagarakertagama pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A.
Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok.
Sejarah Kitab Negarakertagama
Kitab Negarakertagama atau disebut juga dengan Kakawin Negarakertagama memiliki judul
asli Desawarnana, kitab ini ditulis oleh Mpu Prapanca ini merupakan sumber sejarah yang
begitu dipercaya. Kitab negarakertagama ini ditulis pada masa kerajaan Majapahit masih
berdiri di bawah pemerintahan Sri Rajasanagara atau dikenal juga dengan nama Hayam
Wuruk.
Kitab ini menceritakan banyak hal-hal yang penting yang diantaranya mengenai istilah raja-
raja Majapahit, keadaan kota Raja, Candi Makam Raja, upacara Sradha, wilayah Kerajaan
Majapahit, negara-ngara bawahan Majapathit dan hal-hal lainnya.
Dari uraian kitab Negarakertagama inilah kita bisa mengetahui asal-usul Kerajaan Majapahit
dari pandangan sosial ekonomi, sosial budaya, politik luar ngeri dan dari sisi lainnya secara
lebih mendalam. Penelitian mengenai keberadaan Majapahit ini bisa juga ditunjang pada
prasasti-prasasti pendukung diantaranya prasasti Bendasari, prasasti Kudadu, prasasti
Waringin Pitu, prasasti Trawulan dan prasasti-prasasti lainnya.
Judul kitab atau kakawin ini adalah,kata Negarakertagama memiliki arti “Negara dengan tradisi
(Agama) yang suci”. Nama Negarakertagama sendiri tidak ditemukan dalam kakawin
Nagarakertagama. Terdapat pada pupuh 94/2, Prapanca menyebutkan
ciptaannya Dewacawarnana atau uraian mengenai desa-desa. Akan tetapi, nama yang
diberikan oleh pengarangnya itu tersebut terbukti sudah dilupakan oleh banyak orang. Hingga
kini kakawin itu biasa disebut sebagai Negarakertagama. Nama Negarakertagama sendiri
terdapat pada kolofon yang diterbitkan Dr. J. L. A. Brandes : Negarakertagama
Samapta. Ternyata nama Nagakretagama merupakan tambahan penyalin Arthapamasah pada
bulan Kartika di tahun saka 1662 tepatnya 20 Oktober 1740 Masehi. Negarakertagama sendiri
disalin dengan huruf Bali di Kancana.
Isi Kitab Negarakertagama
Kitab ini menceritakan bagaimana keadaan di keraton Majapahit pada masa pemerintahan
Prabu Hayam Wuruk, seorang raja yang agung di tanah jawa dan juga di Nusantara. Ia mulai
bertahta dari tahun 1350 hingga 1389 Masehi, pada puncak kejayaan kerajaan Majapahit,
kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Bagian yang terpenting dalam isi teks kitab ini yaitu menguraikan daerah-daerah/wilayah
kerajaan Majapahit yang harus menyetujui upeti. Negarakertagama ditulis dalam bentuk
kakawin atau syair Jawa kuno. Setiap kakawin terdiri dari empat baris, disetiap barisnya terdiri
dari delapan sampai 24 suku kata yang disebut matra.
Naskah dari kitab ini terdiri dari 98 pupuh, dan dibagi menjadi 2 bagian yang masing-
masingnya terdiri dari dari 49 pupuh. Pada tiap pupuh terdiri dari 1 hingga 10. Dilihat dari segi
sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah disusun secara rapi.

Kakawin Sutasoma

Gambar sampul buku keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia provinsi
Bali. Sampul ini menunjukkan gambar pangeran Sutasoma yang diterkam harimau betina.
Penulis : Mpu Tantular
Judul : Sutasoma
Isi : Menceritakan Sutasoma merupakan penganut Mahayana yang saleh. Karena tak
ingin dipaksa kawin, ia kabur dari istana. Dalam pelariannya menuju Gunung
Himalaya, ia berhenti di sebuah candi di dalam hutan dan memutuskan untuk
bertapa. Para pendeta di sekitarnya kemudian mengadu kepada Sutasoma bahwa
ada raja raksasa bernama Purusada yang selalu mengganggu mereka. Namun
Sutasoma menolak untuk membunuh raksasa tersebut.
Selanjutnya Sutasoma melihat seekor harimau hendak memakan anaknya
sendiri. Ia lalu menawarkan diri untuk menggantikan anak harimau. Alhasil,
Sutasoma mati dimakan harimau, namun kemudian hidup kembali berkat
pertolongan Batara Indra. Lalu Sutasoma, menjelma menjadi Buddha Wairocana.
Ketika hendak pulang ke Hastina, ia melihat saudara sepupunya, Prabu Dasabahu
dikejar-kejar pasukan raksasa Purusada. Singkat cerita, Sutasoma menjadi raja di
Hastina.
Sementara itu, Purusada yang berjanji akan mengirimkan 100 orang raja kepada
Batara Kala untuk dimakan, telah berhasil menawan 99 orang raja. Batara Kala
telah berjanji bahwa bila keinginannya terkabulmaka luka di kaki Purusada
akan diobati olehya. Setelah tawanan berjumlah genap 100 orang, Batara Kala
menolaknya karena ia ingin memakan daging Sutasoma. Sutasoma kemudian
menyanggupi permintaan Kala dengan syarat agar ke-100 tawanan dibebaskan
semuanya. Pengorbanannya ini menimbulkan rasa haru dalam diri Batara Kala dan
Purusada. Sejak saat itu, Purusada bertobat dan berjanji tidak akan menangkap
manusia lagi.
Dalam kitab ini terdapat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma
wangrwa.”

Kitab Arjuna Wiwaha

Penulis : Mpu Kanwa (abad ke-10 M)


Judul : Arjuna Wiwaha
Isi : Kakimpoi ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru.
Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk
menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari
tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang
brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu
setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat
yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata
pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh
Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya
dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.

Kunjarakarna

Naskah nipah Kunjarakarna yang disimpan di Universitas Leiden sebagai naskah Orientalis 2266,
halaman 1 verso.
Kitab Kunjarakarna menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang
bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
Pada suatu hari Kunjarakarna bertapa di gunungMahameru supaya pada kelahiran berikutnya
ia dilahirkan semula sebagai manusia berparas baik. Kemudian Kunjarakarnapun pergi
menghadap Wairocana.
Maka Kunjarakarna dibenarkan menjenguk keneraka, tempat batara Yama. Di sana
Kunjarakarna diberitahu mendapat bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu
beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta supaya tidak dihukum. Akhirnya ia
diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka.
Lalu Purnawijaya kembali ke bumi dan berpamitan dengan isterinya.
Akhirnya Purnawijaya mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya seratus tahun.
Lalu Purnawijaya diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna
dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru.
Pengajaran cerita (menurut kepercayaan Buddha): barangsiapa mendengarkan dan tahu
akan hukum dharma, maka ia akan diselamatkan.
Contoh teks cerita

Jawa Kuna Terjemahan

tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka berada di jalan

dhateng ta ya ring bumipata<l>a, hana ta Dan sampailah di dunia bawah. Maka adalah
ya srijati dumilah sadakala lonya sebuah pohon jati yang senantiasa menyala. Tebal
sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih ing batangnya satu indera. Maksudnya hanya satu
mata tumingal, hana ta babahan pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna
kapanggiha denira sang Kuñjarakarna, melihat panelnya dari tembaga, lacinya dari perak,
inĕbnya tambaga, lereganya salaka, dan kuncinya dari emas.
tuwin ku<ñ>cinya mas,

ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan
sad<e>pa saroh lonya, satu roh

inurap rinata-rata ginomaya ring dibersihkan, diratakan dan dibersihkan dengan tinja
tahining le<m>bu kanya, sapi perawan betina

tinaneman ta ya handong bang, kayu diberi tanaman andong merah, puring dan pohon-
puring, kayu masedhang asinang, pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah
winoran asep dupa, mrabuk arum dengan asap dupa, harum semerbuk dan ditebar
ambunika sinawuran kembang ura, dengan bungan sebaran. Bunga-bunga yang sedang
pinujan kembang pupungon, berkembang diberikan sebagai kehormatan

ya ta matanyan maruhun-ruhunan ikang itulah sebab para orang berdosa berbondong-


watek papa kabèh winalingnya bondong semua. Salah pikiran mereka,

dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju ke sorga.

Kakawin Parthayajña

Kakawin Parthayajña adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini
menceritakan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, mirip seperti dalam Kakawin
Arjunawiwâha. Namun ceritanya dalam kakawin ini lebih bersifat falsafi dan sangat sulit
dipahami. Kakawin yang sulit ini belum diterbitkan. Kakawin ini sudah diterbitkan oleh Dinas
Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali pada tahun 1997

Kitab Pararaton

Pararaton (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja") adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa
Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32
halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-
raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka
Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang
menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan
Singhasari (1222–1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok
meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada
naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-
bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di
sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi
semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga
kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita,
melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat
Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken
Arok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah
1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah
dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun
pertama daripada tahun kedua.
Pendahuluan
Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok
mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja. Diceritakan bahwa
Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya)
bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian.
Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari,
dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang
wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru
saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong,
seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan
membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat
dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok
berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu
kejadian di Gunung Kryar Lejar, di mana para dewa turun berkumpul dan Batara
Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa
kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok
dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah
Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok
menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken
Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus
tahta atas kerajaan Singhasari.
Analisis naskah
Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada
bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar
misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan
ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk
menentukan kejadian-kejadian pada masa depan.[3] Meskipun demikian sebagian besar pakar
dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan
kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China,
serta menerima lingkup referensi naskah tersebut di mana suatu interpretasi yang valid dapat
ditemukan.
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini
dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang
tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa,
pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap
mikrokosmos dari keadaan makrokosmos.[1] Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap
memiliki derajat kedewaan, di mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti
Canggal (732), Prasasti Siwagrha (Śivagŗha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah
Jawi (1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam
karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-
teks historiografi Melayu.[4] Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari
seluruh wilayah Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu 'kronik pemerintahan'
atau 'kitab raja-raja', yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi kekuasaan
raja.

Kitab Sundayana

Berisi tentang perang Bubat (1357 M) antara Majapahit dan kerajaan Pajajaran di desa Bubad,
di sebelah utara kota Majapahit.Perang itu terjadi sewaktu Raja Pajajaran (Sri Baduga
Maharaja) bersama rombongandan 300 tentaranya datang ke Majapahit untuk mengantar
putrinya Dyah Pitaloka,yang akan dipersunting oleh Raja hayam Wuruk. Dalam peristiwa ini
semua rombongan termasuk raja, putri dan Patih Anepaken tewas kecuali mentri Pitar yang
berhasil meloloskan diri.
Kitab Sorandaka

Penulis : -
Judul : Sorandaka
Isi : Mengisahkan pemberontakan Sora terhadap Jayanegara. Ken Sora yang
merupakan abdi kesayangan Raden Wijaya difitnah oleh Mahapati yang licik
sehingga menyebabkan Sora dan kedua temannya Gajah Biru serta Demung tewas
(1300 M)

Kitab Rnggalawe

Penulis : -
Judul : Ranggalawe
Isi : Menceritakan tentang pemberontakan Ranggalawe (1259) dari Tuban terhadap
Jayanegara.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas
pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih
sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam
perjuangan daripada Nambi.
Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap
Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi
digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap
mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di
halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan
keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe
memilih pulang ke Tuban.
Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa
Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja,
Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo
Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya.
Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun
terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai.
Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe
secara kejam.

Kitab Usana Jawa

Sang prabu Wilatikta (Majapahit) istananya berada di Terik. Ada seorang adiknya bernama
Sirarya Damar, istananya di Tulembang.
Ada seorang Patih lagi yang kenamaan bernama Patih Mada sempat menggantikan Mapatih
yang bernama Tumenggung Suta.
Saudara-saudara Arya Damar: Sang Arya Buleteng, Sang Arya Waringin Sang Arya Belog,
Sang Arya Kapakisan, Sang Arya Binculuk, Sang Arya Sentong.
Semua Arya saudara-saudara Arya Damar ini kemudian memperkuat dan memperkukuh
Kerajaan Bali di bawah Majapahit.
Lama kelamaan kekuasaan Majapahit berkembang dan meluas ke barat dan ke timur sehingga
menjadi wilayah Nusantara.
Pada Babad ini ada lembaran khusus sewaktu penyerangan nya terhadap Bali di bawah Arya
Damar dan Gajah Mada. Bali atau Bangsul mempunyai Perdana Menteri tersohor bernama Ki
Pasunggrigis dan rajanya bernama Sri Tapolung.
Bali diserang dari berbagai jurusan sehingga Bali dapat dikalahkan.
Tersebutlah sekarang setelah Bali dapat ditaklukkan Para Arya saudara-saudara dari Arya
Damar masing -masing diberi wilayah rakyat dan kedudukan turun temurun. Ada utusan
Majapahit ke Bali bernama Kuda Pangasih putra seorang patih Was ingin mendapat penjelasan
tentang keadaan pertempuran di Bali.
Patih Gajah Mada disuruh pulang ke Majapahit.
Demikian pula Arya Damar dan Kuda Pangasih.
Terus menghadap Baginda Raja.
Tersebutlah sekarang Bali menjadi huru-hara karena ulah Sang Mayadanawa.
Sekali lagi pasukan Majapahit menyerang Sang Mayadanawa, dilaksanakan juga oleh Para
Arya.
Akhirnya raja Raksasa ini pun dapat juga dikalahkan.
Sekali lagi para Arya mendapat anugrah wilayah bersama rakyat dan memperoleh kedudukan
dalam istana.
Pada lembaran-lembaran berikutnya diberikan hak dan kewajiban terutama pada waktu upacara
kematian/ ngaben pada para Arya masing-masing tempat-tempat persembahyangan penting di
Bali di mama para Arya itu bisa melakukan persembahyangan.

Anda mungkin juga menyukai