Anda di halaman 1dari 17

A.

Kerajaan Kutai
Kerajaan tertua di wilayah Nusantara
adalah Kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak di
wilayah Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di
sebuah kota kecamatan yang bernama
Muarakaman. Daerah ini yang merupakan daerah
percabangan antara sungai Mahakam dengan
sungai Kedang Rantau. Kerajaan berdiri pada
tahun 400 masehi. Peninggalan sejarah yang
membuktikan kerajaan Kutai sebagai kerajaan
hindu pertama adalah ditemukannya
prasasti berbentuk Yupa menggunakan
bahasa sanskerta dan huruf pallawa.
Yupa adalah tiang batu pengikat hewan
korban untuk dipersembahkan kepada dewa.

Beberapa peninggalan kerajaan kutai:


1. Tujuh buah Yupa yang ditemukan di
daerah sekitar Muarakaman
Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca
dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan
huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa
Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan
jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi.
Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi
anustub.
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa /
prasasti dalam upacara pengorbanan yang
berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa
yang menjadi sumber utama bagi para ahli
dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan
Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi
sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para
brahman atas kedermawanan raja
Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak
disembelih seperti kurban yang dilakukan umat
islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui
bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat
dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum
brahmana.

Batu Prasasti Yupa

Beberapa jenis bebatuan yang ditemukan disekitar situs

2. Lesong batu

Lesong Batu merupakan


peninggalan sejarah yang masih
tersimpan secara utuh di Muara
Kaman. dari berberapa kalangan
masyarakat mengatakan bahwa
Lesong Batu merupakan benda
keramat peninggalan Kerajaan
Kutai Hindu. Hal ini diperkuat oleh
pendapat peneliti dari Lembaga
Penelitian dan Pengembangan
Daerah (Balitbangda) Kutai
Kartanegara yang bekerja sama
dengan salah satu pakar arkeologi dari Malang, mereka mengatakan bahwa dari hasil
penelitian yang mereka lakukan bisa ditarik Lesong Batu merupakan salah satu prasasti
peninggalan Kerajaan Hindu Kutai dibawah kepemimpinan Raja Mulawarman Nala Dewa.

3. Kalung Cina yang di terbuat dari emas.

4. Satu arca Bulus.


5. Dua belas arca batu.

B.Kerajaan Tarumanegara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah
sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4
hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah
satu kerajaan tertua di Nusantara yang
meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar
lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran
Wisnu.

Beberapa peninggalan kerajaan Tarumanegara :


1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau prasasti
Ciampea ditemukan ditepi sungai
Ciarunteun, dekat muara sungai
Cisadane Bogor prasasti tersebut
menggunakan huruf Pallawa dan
bahasa Sanskerta yang terdiri dari 4
baris disusun ke dalam bentuk Sloka
dengan metrum Anustubh. Di samping
itu terdapat lukisan semacam laba-laba
serta sepasang telapak kaki Raja
Purnawarman.

Gambar telapak kaki pada prasasti


Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
- Cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
- Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa)
sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman
yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

2. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung Muara


Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari
prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang
disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah
tunggangan dewa Wisnu.

3. Prasasti Jambu

Prasasti Jambu atau prasasti Pasir


Koleangkak, ditemukan di bukit
Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga
menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang
isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.

4. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah


Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum
dapat dibaca.

5. Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam


aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat
lukisan telapak kaki.

6. Prasasti Cindanghiang atau Prasasti Lebak

Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai
Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan
tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.

7. Prasasti Tugu

Merupakan prasasti yang terpanjang yang ditemukan dari


semua peninggalan-peninggalan Purnawarman. Sama
dengan prasasti yang lain, prasasti Tugu ini berbentuk
puisi anustubh yang tulisannya dipahatkan pada sebuah
batu bulat panjang secara melingkar. Beberapa hal yang
menarik dari prasasti ini adalah pertama, disebutkan
dalam prasasti itu ada dua sungai yang terkenal juga di
Panjab yaitu Chandrabhaga dan Gomati, yang tentu saja
menimbulkan berbagai penafsiran para sejarawan. Kedua,
prasasti ini merupakan satu-satunya prasasti Purnawarman
yang menyebutkan peninggalan, meskipun tidak lengkap.
Ketiga, dalam prasasti ini disebutkan adanya upacara
selamatan yang disertai dengan seribu ekor sapi yang
dihadiahkan. Keempat, selain Purnawarman ada dua nama
yang disebutkan dalam prasasti ini, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui siapa
sebenarnya Purnawarman itu.

C.Kerajaan Holing(kaling)/Kalingga
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan
bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan
ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan
Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur,
kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita
Parahyangan yang disusun
berabad-abad kemudian pada
abad ke-16 menyinggung secara
singkat mengenai Ratu Shima
dan kaitannya dengan Kerajaan
Galuh. Kalingga telah ada pada
abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari
sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah
diperintah oleh Ratu Shima,
yang dikenal memiliki peraturan
barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Beberapa Peninggalan Kerajaan Ho-ling :


1. Prasasti Tukmas
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di
Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti
bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air
yang bersih dan jernih.
Sungai yang mengalir
dari sumber air
tersebut disamakan
dengan Sungai Gangga
di India. Pada prasasti
itu ada gambar-
gambar seperti trisula,
kendi, kapak,
kelasangka, cakra dan
bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa
Hindu

2. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa
Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa
Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa
Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7
masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi
prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya,
Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu,
ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya
bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat
bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah
cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang
berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

3. Candi Angin

Candi Angin ditemukan di Desa


Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah.

4. Candi Bubrah, Jepara

Candi Bubrah ditemukan di Desa


Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah.
Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah
dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan
kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang
berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan

D.Kerajaan Kanjuruhan
Kanjuruhan adalah sebuah
kerajaan bercorak Hindu di Jawa
Timur, yang pusatnya berada di
dekat Kota Malang sekarang.
Kanjuruhan diduga telah berdiri
pada abad ke-6 Masehi (masih
sezaman dengan Kerajaan Taruma
di sekitar Bekasi dan Bogor
sekarang). Bukti tertulis mengenai
kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo.
Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi
Wurung.

1. CANDI BHA-DYUT (Candi Badut)

Candi Badut terletak di kawasan Tidar. Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400
tahun dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa Kerajaan Kanjuruhan
sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang
Canopus atau Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah
pasangan arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian
dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakal dan Nadiswara.
Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung timur terdapat
arca Ganesha. Dan disebelah Selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru.
Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921
dimana bentuknya pada saat itu hanya
berupa gundukan bukit batu, reruntuhan
dan tanah. Orang pertama yang
memberitakan keberadaan Candi Badut
adalah Maureen Brecher, seorang
kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di
Malang. Candi Badut dibangun kembali
pada tahun 1925-1927 di bawah
pengawasan B. De Haan dari Jawatan
Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil
penggalian yang dilakukan pada saat itu
diketahui bahwa bangunan candi telah
runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki
yang masih dapat dilihat susunannya.

E.Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah salah
satu kemaharajaan bahari yang
pernah berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh
di Nusantara dengan daerah
kekuasaan membentang dari
Kamboja, Thailand Selatan,
Semenanjung Malaya, Sumatera,
Jawa, dan pesisir Kalimantan.
Dalam bahasa Sanskerta, sri
berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan",
maka nama Sriwijaya bermakna
"kemenangan yang gilang-
gemilang". Bukti awal mengenai
keberadaan kerajaan ini berasal
dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa
ia mengunjungi Sriwijaya tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga
berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangandi antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali
lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française
d'Extrême-Orient.

Beberapa Peninggalan Kerajaan Sriwijaya :


1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg
pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit,
Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai
Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk
batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa,
menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang
disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

2. Prasasti Talang Tuo


Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant
Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada
tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan
dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang
ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka
tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam
aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari
14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan
mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel
dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di
Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145.

3. Prasasti Telaga Batu


Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar
kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel.
3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera
Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang
disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di
sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan
prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang
keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada
tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30
buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan
Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini
disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk
sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di
bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian bawah tengah
terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. Tulisan pada prasasti
berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno.

4. Prasasti Karang Brahi


Prasasti Karang Brahi adalah sebuah prasasti dari zaman kerajaan Sriwijaya yang
ditemukan pada tahun 1904 oleh Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti
ini terletak pada Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten
Merangin, Jambi.
Prasasti ini tidak berangka tahun, namun teridentifikasi menggunakan aksara Pallawa
dan bahasanya Melayu Kuna. Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia
kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan
yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

5. Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota Kapur adalah temuan arkeologi
prasasti Sriwijaya yang ditemukan di pesisir barat
Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat
penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama
"Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam
aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis
tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh
J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892.
Prasasti ini pertama kali dianalisis oleh H. Kern,
seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja
pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada
mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama
seorang raja. George Coedes lah yang kemudian
berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama
sebuah kerajaan besar di Sumatra pada abad ke-7
Masehi, yaitu kerajaan yang kuat dan pernah
menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung
Malaysia, dan Thailand bagian selatan.

6. Prasasti Palas Pasemah


Prasasti Palas Pasemah, prasasti pada batu, ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way
(Sungai) Pisang, Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuna sebanyak
13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk aksaranya diperkirakan prasasti
itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak
tunduk kepada Sriwijaya.
F. Kerajaan Mataram Kuno
Mataram Kuno atau Mataram
(Hindu) merupakan sebutan untuk
dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan
Dinasti Syailendra, yang berkuasa di
Jawa Tengah bagian selatan. Dinasti
Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan
oleh Sanjaya pada tahun 732.
Beberapa saat kemudian, Dinasti
Syailendra yang bercorak Buddha
Mahayana didirikan oleh Bhanu pada
tahun 752. Kedua dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri
pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
Beberapa Peninggalan Kerajaan Sriwijaya :
1. Candi Borobudur

Candi Borobudur, salah satu peninggalan Dinasti Syailendra.

2. Candi Prambanan
lokasi : Yogyakarta 
3. Candi Dieng
Lokasi : Wonosobo, Jawa Tengah

4. Candi Plaosan
Lokasi : Klaten, Jawa Tengah
5. Candi Gedong Songo
Lokasi : Ungaran, Jawa Tengah

6. Arca Raja Airlangga

7. Prasasti Canggal

Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung


Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam
bentuk candra sengkala berangka tahun654 Saka
atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam,
Magelang, Jawa Tengah. Prasasti yang ditulis pada
stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan
bahasa Sanskerta. Prasasti dipandang sebagai
pernyataan diri RajaSanjaya pada tahun 732 sebagai
seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini menceritakan tentang
pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa
yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha,
saudara perempuan Sanna.

8. Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan adalah prasasti
peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan
Mataram Kuno yang berangka tahun 700
Saka atau 778M. Prasasti yang ditemukan
di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta,
ini ditulis dalam huruf Pranagari (India
Utara) dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini
menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja
berhasil membujuk Maharaja Tejahpura
Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang
merupakan mustika keluarga Sailendra
(Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan
suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan
untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi
Kalasan. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.147 di Museum Nasional, Jakarta.

9. Prasasti Kedu (Mantyasih)

Prasasti Mantyasih, juga disebut


Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga
Kedu adalah prasasti berangka tahun 907
M yang berasal dari Wangsa Sanjaya,
kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
ditemukan di kampung Mateseh,
Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja
Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang
sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan
Mataram Kuno. Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan
Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih
terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau
desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir
Sumbing (sekarang Gunung Sindoro danSumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan
"beriman dalam cinta kasih"
10. Prasasti Kelurak

Prasasti Kelurak merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di
dekat Candi Lumbung Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa
Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang
diketahui. Secara garis besar, isinya adalah
tentang didirikannya sebuah bangunan
suci untuk arca Manjusri atas perintah
Raja Indra yang bergelar Sri
Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli,
yang dimaksud dengan bangunan tersebut
adalah Candi Sewu, yang terletak di
Kompleks Percandian Prambanan. Nama
raja Indra tersebut juga ditemukan pada
Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda
peninggalan kerajaan Sriwijaya. Prasasti
Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari,
dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta.

11. Prasasti Ratu Boko

Kompleks
situs Ratu Boko

Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa,
arti harafiah: "raja bangau") adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi
utama pada komplek Candi Prambanan. Ditemukan di wilayah Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas permukaan
laut. berisikan tentang kekalahan Balaputeradewa dalam perang saudara dengan kakaknya
(Pramodawardhani). Balaputradewa melarikan diri ke sriwijaya.

12. Prasasti Nalanda

Nalada Coperplate

Prasasti Nalanda merupakan sebuah prasasti yang terdapat di Nalanda, Bihar, India.
Prasasti ini berangka tahun 860, dari penafsiran manuskrip menyebutkan Sri Maharaja di
Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari Śailendravamsatilaka (mustika
keluarga Śailendra) dengan julukan Śrīviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja
Jawa (Mataram Kuno) yang kawin dengan Tārā, anak Dharmaset.

Anda mungkin juga menyukai