Anda di halaman 1dari 20

Mesir Kuno

Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan Sphinx Agung Giza (± 2500 SM atau lebih
tua).

Peta Mesir Kuno, menunjukkan kota dan situs utama pada periode dinasti (c. 3150 SM
hingga 30 SM)

Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat
di sepanjang hilir sungai Nil. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir
sekitar 3150 SM,[1] dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium.
Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai
oleh periode ketidakstabilan yang dikenal sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai
puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru. Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami
kemunduran. Mesir ditaklukan oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan
firaun secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi
menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemeus sebagai bagian dari provinsi
Romawi.[2] Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode
kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di
lembah sungai Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban
merdeka Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas pengendalian keseimbangan yang baik antara sumber
daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh:

 irigasi teratur terhadap Lembah Nil;


 pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
 perkembangan sistem tulisan dan sastra;
 organisasi proyek kolektif;
 perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta
 kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan negara/suku
bangsa tetangga pada beberapa periode berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh penguasa sosial, politik, dan ekonomi,
yang berada di bawah pengawasan sosok Firaun.[3][4]

Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen


seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem
irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui;[5] teknologi tembikar glasir
bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; sastra Mesir Kuno; dan traktat perdamaian
pertama yang pernah diketahui.[6] Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan
arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke
ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi inspirasi bagi pengelana dan
penulis selama berabad-abad.

Sejarah
Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya,
penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya,
semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir
Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan
Mesir.[7] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk
mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi
landasan bagi sejarah peradaban manusia.[8]

Periode Pradinasti

Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah
Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan
fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan
merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini,
banyak hewan yang didomestikasi.[9]

Guci pada periode pradinasti.

Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah
berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban
mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang
tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah
Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.
[10]

Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia,[11] yang menunjukkan
beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia
dengan Kanaan dan pantai Byblos.[12]

Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas
kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang
Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda
lain yang terbuat dari flake.[13] Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang
dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka
berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[14] Setelah mendirikan
pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III
memperluas kekuasaan mereka ke utara.[15]

Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukkan


peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat,
vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari
emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan
nama tembikar glasir bening.[16] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai
menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk
menulis bahasa Mesir kuno.[17]

Periode Dinasti Awal

Pelat Narmer menggambarkan penyatuan Mesir Hulu dan Hilir.[18]

Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho, mengelompokan garis keturunan firaun yang
panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari
ini.[19] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau
Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan
Hilir (sekitar 3200 SM).[20] Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih
bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada
catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes"
mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada
pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[21]

Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka
terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat
mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant yang penting dan
menguntungkan.. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal
dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat
di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[22]
Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara
atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir
kuno.[23]

Kerajaan Lama

Patung firaun Menkaura di Boston Museum of Fine Arts.

Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama.
Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang dimungkinkan
karena pemerintahan pusat dibina dengan baik.[24] Di bawah pengarahan wazir, pejabat-
pejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi untuk meningkatkan hasil
panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan
sistem keadilan untuk menjaga keamanan.[25] Dengan sumber daya surplus yang ada karena
ekonomi yang produktif dan stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek
kolosal dan menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun oleh
Djoser, Khufu, dan keturunan mereka, merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling
diingat.

Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis
(sesh[26]) dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai bayaran atas
jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada struktur-struktur kultus kamar mayat dan
kuil-kuil lokal untuk memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya
yang cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode Kerajaan Lama,
lima abad berlangsungnya praktik-praktik feudal pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi
firaun. Firaun tak lagi mampu membiayai pemerintahan terpusat yang besar.[27] Dengan
berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang
kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200
hingga 2150 SM,[28] sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan
selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.[29]

Periode Menengah Pertama Mesir

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Menengah Pertama Mesir

Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan Lama, pemerintah
tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi negara. Gubernur-gubernur
regional tidak dapat menggantungkan diri kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan
pangan dan sengketa politik meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil.
Meskipun berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak berhutang
upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk mengembangkan budaya di
provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi
lebih kaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik di
antara kelas-kelas sosial lainnya.[30] Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin
provinsial menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi oleh
Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan optimisme dan
keaslian periode.[31]

Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai berebut kekuasaan.
Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis menguasai Mesir Hilir, sementara
keluarga Intef di Thebes mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef,
serta perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua dinasti sudah tak
terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara Thebes di bawah pimpinan Nebhepetre
Mentuhotep II berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua
negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal sebagai Kerajaan
Pertengahan.[32]

Kerajaan Pertengahan

Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.

Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara,


sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.[33]
Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat
I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM),
memindahkan ibukota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[34] Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12
melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara
kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara
pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "tembok-
tembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[35]

Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan
pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami
peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh
dewa-dewa di akhirat.[36] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang
canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[31] sementara relief dan
pahatan potret pada periode ini menampilkan ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang
mencapai tingkat baru dalam kesempurnaan teknis.[37]

Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III, memperbolehkan pendatang dari


Asia tinggal di wilayah delta untuk memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk
penambangan dan pembangunan. Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah
dengan meluapnya sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran selama
masa dinasti ke-13 dan ke-14. Semasa kemunduran, pendatang dari Asia mulai menguasai
wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir sebagai Hyksos.[38]

Periode Menengah Kedua dan Hyksos


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Menengah Kedua Mesir

Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan,
imigran Asia yang tinggal di kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa
pemerintah pusat mundur ke Thebes. Di sanam firaun diperlakukan sebagai vasal dan diminta
untuk membayar upeti.[39] Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan
menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu dengan budaya
Zaman Perunggu Pertengahan mereka.[40]

Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan
sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush, di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa
stagnansi, pada tahun 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk
melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[39] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose
berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I, berhasil mengusir
Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan Baru, kekuatan militer menjadi
prioritas utama firaun agar dapat memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan
atas wilayah Timur Dekat.[41]

Wilayah terluas Mesir Kuno (abad ke-15 SM).

Kerajaan Baru

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Baru

Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak tertandingi


sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik dengan tetangga-tetangga
diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III
memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka
jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu.[42] Firaun-firaun Kerajaan
juga memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di
Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka
sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan
propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya.[43] Masa kekuasaannya yang
berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan,
pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.

Patung Ramses II di pintu masuk kuil Abu Simbel.

Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta
dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten.
Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan
dewa-dewa lain.[44] Akhenaten juga memindahkan ibukota ke kota baru yang bernama
Akhetaten (kini Amarna). Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik
dengan gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus Aten segera
ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb,
menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.[45]

Ramses II naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan
patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun
lain dalam sejarah.[46] Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin
tentaranya melawan bangsa Het dalam pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga
mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat
sekitar 1258 SM.[47]

Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Laut dan
Libya. Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan kehilangan
kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman luar diperburuk dengan masalah
internal seperti korupsi, penjarahan makam, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil
Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka
memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[48]

Pada tahun 730 SM, orang-orang Libya dari barat memecahkan kesatuan politik Mesir Kuno.

Periode Menengah Ketiga

Setelah kematian firaun Ramses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan
Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh
pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja.[49] Pada
masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan kepala-kepala suku penetap
tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka. Pangeran-pangeran Libya mengambil alih
delta di bawah pimpinan Shoshenq I pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti
Bubastite yang akan berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir
selatan dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting.
Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan
ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia
berhasil menguasai Thebes dan delta.[50]

Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh
kedalam pengaruh Asiria, dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak
terhindarkan lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang Mesir.
Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik
melawan Asiria.[51] Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke
Nubia. Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.[52]

Periode Akhir

Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan


Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun
653 SM, raja Sais Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran
Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh
Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di
delta.

Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya.
Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai
penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam
pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota
Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan
meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia
secara permanen.[53]

Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6
Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga
dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30
berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, kadang-
kadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM,
penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa
perlawanan.[54]

Dinasti Ptolemeus

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Ptolemeus

Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan
dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan
sistem Mesir, dengan ibukota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukkan kekuatan dan
martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di
Perpustakaan Iskandariyah.[55] Mercusuar Iskandariyah membantu navigasi kapal-kapal yang
berdagang di kota tersebut, terutama setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan
perdagangan dan usaha-usaha, seperti produksi papirus.[56]

Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus
mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru
dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai
firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan
sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga memengaruhi
motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga,
dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan
antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.[57]
Lebih lagi, bangsa Romawi memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi
politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta
musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi
mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.[58]

Dominasi Romawi

Potret-potret mumi Fayum melambangkan pertemuan budaya Mesir dengan Romawi.

Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada tahun 30 SM setelah Oktavianus berhasil
mengalahkan Mark Antony dan Ratu Cleopatra VII dalam Pertempuran Actium. Romawi
sangat memerlukan gandum dari Mesir, dan legiun Romawi, di bawah kekuasaan praefectus
yang ditunjuk oleh kaisar, memadamkan pemberontakan, memungut pajak yang besar, serta
mencegah serangan bandit.[59]
Meskipun Romawi berlaku lebih kasar daripada Yunani, beberapa tradisi, seperti mumifikasi
dan pemujaan dewa-dewa, tetap berlanjut.[60] Seni potret mumi berkembang, dan beberapa
kaisar Romawi menggambarkan diri mereka sebagai firaun (meskipun tidak sejauh penguasa-
penguasa dinasti Ptolemeus). Pemerintahan lokal diurus dengan gaya Romawi dan tertutup
dari gaya Mesir asli.[60]

Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan mulai mengakar di Iskandariyah. Agama


tersebut dipandang sebagai kultus lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada
akhirnya dianggap sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme dan mengancam
tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap orang-orang Kristen.
Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada masa pembersihan Diokletianus yang
dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang.[61] Pada tahun 391, kaisar Kristen
Theodosius memperkenalkan undang-undang yang melarang ritus-ritus pagan dan menutup
kuil-kuil.[62] Iskandariyah menjadi latar kerusuhan anti-pagan yang besar.[63] Akibatnya,
budaya pagan Mesir terus mengalami kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu
menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif terus berkurang karena
melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara itu, kuil-kuil dialihfungsikan menjadi
gereja, atau ditinggalkan begitu saja.[64]

Pemerintahan dan ekonomi


Administrasi dan perdagangan

Firaun biasanya digambarkan menggunakan simbol kebangsawanan dan kekuasaan.

Firaun adalah raja yang berkuasa penuh atas negara—setidaknya dalam teori—dan
memegang kendali atas semua tanah dan sumber dayanya. Firaun juga merupakan komandan
militer tertinggi dan kepala pemerintahan, yang bergantung pada birokrasi pejabat untuk
mengurusi masalah-masalahnya. Yang bertanggung jawab terhadap masalah administrasi
adalah orang kedua di kerjaan, sang wazir, yang juga berperan sebagai perwakilan raja yang
mengkordinir survey tanah, kas negara, proyek pembangunan, sistem hukum, dan arsip-arsip
kerajaan.[65] Di level regional, kerajaan dibagi menjadi 42 wilayah administratif yang disebut
nome, yang masing-masing dipimpin oleh seorang nomark, yang bertanggung jawab kepada
wazir. Kuil menjadi tulang punggung utama perekonomian yang berperan tidak hanya
sebagai pusat pemujaan, namun juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan
negara dalam sebuah sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi biji-bijian
dan barang-barang lainnya.[66]

Sebagian besar perekonomian diatur secara ketat dari pusat. Bangsa Mesir Kuno belum
mengenal uang koin hingga Periode Akhir sehingga mereka menggunakan sejenis uang
barter[67] berupa karung beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram)
tembaga atau perak sebagai denominatornya.[68] Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian;
pekerja kasar biasanya hanya mendapat 5 karung (200kg) biji-bijian per bulan sementara
mandor bisa mencapai 7 karung (250kg) per bulan. Harga tidak berubah di seluruh wilayah
negara dan biasanya dicatat utuk membantu perdagangan; misalnya kaus dihargai 5 deben
tembaga sementara sapi bernilai 140 deben.[68] Pada abad ke 5 sebelum masehi, uang koin
mulai dikenal di Mesir. Awalnya koin digunakan sebagai nilai standar dari logam mulia
dibanding sebagai uang yang sebenarnya; baru beberapa abad kemudian uang koin mulai
digunakan sebagai standar perdagangan.[69]
Status sosial

Masyarakat Mesir Kuno ketika itu sangat terstratifikasi dan status sosial yang dimiliki
seseorang ditampilkan secara terang-terangan. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai
petani, namun demikian hasil pertanian dimiliki dan dikelolah oleh negara, kuil, atau
keluarga ningrat yang memiliki tanah.[70] Petani juga dikenai pajak tenaga kerja dan dipaksa
bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée.[71] Seniman dan
pengrajin memunyai status yang lebih tinggi dari petani, namun mereka juga berada di bawah
kendali negara, bekerja di toko-toko yang terletak di kuil dan dibayar langsung dari kas
negara. Juru tulis dan pejabat menempati strata tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut
"kelas kilt putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai status mereka.[72]
Perbudakan telah dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui.[73]

Mesir Kuno memandang pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di
mata hukum.[74] Baik pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual properti,
membuat kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri mereka dari perceraian dengan
menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat menjatuhkan denda pada pasangannya bila terjadi
perceraian. Dibandingkan bangsa lainnya di Yunani, Roma, dan bahkan tempat-tempat
lainnya di dunia, wanita di Mesir Kuno memiliki kesempatan memilih dan meraih sukses
yang lebih luas. Wanita seperti Hatshepsut dan Celopatra bahkan bisa menjadi firaun. Namun
demikian, wanita di Mesir Kuno tidak dapat mengambil alih urusan administrasi dan jarang
yang memiliki pendidikan dari rata-rata pria ketika itu.[74]

Juru tulis adalah golongan elit dan terdidik. Mereka menghitung pajak, mencatat, dan
bertanggung jawab untuk urusan administrasi.

Sistem hukum

Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung jawab
membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan ketentraman, sebuah
konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai Ma'at.[65] Meskipun belum ada undang-
undang hukum yang ditemukan, dokumen pengadilan menunjukkan bahwa hukum di Mesir
Kuno dibuat berdasarkan pandangan umum tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta
menekankan cara untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan konflik.[74]

Dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru, bertanggung
jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan
kecil.[65] Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya pembunuhan, transaksi tanah dalam
jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan kepada Kenbet Besar yang dipimpin oleh
wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat diharapkan mewakili diri mereka sendiri dan
diminta untuk bersumpah bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya.

Dalam beberapa kasus, negara berperan baik sebagai jaksa dan hakim, serta berhak menyiksa
terdakwa dengan pemukulan untuk mendapatkan pengakuan dan nama-nama lain yang
bersalah. Tidak peduli apakah tuduhan itu sepele atau serius, juru tulis pengadilan
mendokumentasikan keluhan, kesaksian, dan putusan kasus untuk referensi pada masa
mendatang.[75]

Hukuman untuk kejahatan ringan di antaranya pengenaan denda, pemukulan, mutilasi di


bagian wajah, atau pengasingan, tergantung kepada beratnya pelanggaran. Kejahatan serius
seperti pembunuhan dan perampokan makam dikenakan hukuman mati seperti pemenggalan
leher, penenggelaman, atau penusukan. Hukuman juga bisa dikenakan kepada keluarga
penjahat.[65] Sejak pemerintahan Kerajaan Baru, oracle memiliki peran penting dalam sistem
hukum, baik pidana maupun perdata. Prosedurnya adalah dengan memberikan pertanyaan
"ya" atau "tidak" kepada dewa terkait sebuah isu. Sang dewa, diwakili oleh sejumlah imam,
memberi keputusan dengan memilih salah satu jawaban, melakukan gerakan maju atau
mundur, atau menunjuk pada selembar papirus atau ostracon.[76]

Pertanian

Relief yang menggambarkan pertanian di Mesir.

Kondisi geografi yang mendukung dan tanah di tepi sungai Nil yang subur membuat bangsa
Mesir mampu memproduksi banyak makanan, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan
sumber daya dalam pencapaian budaya, teknologi, dan artistik. Pengaturan tanah sangat
penting di Mesir Kuno karena pajak dinilai berdasarkan jumlah tanah yang dimiliki
seseorang.[77]

Pertanian di Mesir sangat bergantung kepada siklus sungai Nil. Bangsa Mesir mengenal tiga
musim: Akhet (banjir), Peret (tanam), dan Shemu (panen). Musim banjir berlangsung dari
Juni hingga September, menumpuk lanau kaya mineral yang ideal untuk pertanian di tepi
sungai. Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober hingga Februari. Petani
membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Mesir hanya
mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam
pengairan tanaman.[78] Dari Maret hingga Mei, petani menggunakan sabit untuk memanen.
Selanjutnya, hasil panen dirontokan untuk memisahkan jerami dari gandum. Proses
penampian menghilangkan sekam dari gandum, lalu gandum ditumbuk menjadi tepung,
diseduh untuk membuat bir, atau disimpian untuk kegunaan lain.[79]

Bangsa Mesir menanam gandum emmer dan jelai, serta beberama gandum sereal lain,
sebagai bahan roti dan bir.[80] Tanaman-tanaman Flax ditanam dan diambil batangnya sebagai
serat. Serat-serat tersebut dipisahkan dan dipintal menjadi benang, yang selanjutnya
digunakan untuk menenun linen dan membuat pakaian. Papirus ditanam untuk pembuatan
kertas. Sayur-sayuran dan buah-buahan dikembangkan di petak-petak perkebunan, dekat
dengan permukiman, dan berada di permukaan tinggi. Tanaman sayur dan buah tersebut
harus diairi dengan tangan. Sayur-sayuran meliputi bawang perai, bawang putih, melon,
squash, kacang, selada, dan tanaman-tanaman lain. Anggur juga ditanam untuk diolah
menjadi wine.[81]

Sennedjem membajak ladangnya dengan sepasang lembu, yang dimanfaatkan sebagai hewan
pekerja dan sumber makanan.

Hewan

Bangsa Mesir percaya bahwa hubungan yang seimbang antara manusia dengan hewan
merupakan elemen yang penting dalam susunan kosmos; maka manusia, hewan, dan
tumbuhan diyakini sebagai bagian dari suatu keseluruhan.[82] Hewan, baik yang didomestikasi
maupun liar, merupakan sumber spiritualitas, persahabatan, dan rezeki bagi bangsa Mesir
Kuno. Sapi adalah hewan ternak yang paling penting; pemerintah mengumpulkan pajak
terhadap hewan ternak dalam sensus-sensus reguler, dan ukuran ternak melambangkan
martabat dan kepentingan pemiliknya. Selain sapi, bangsa Mesir Kuno menyimpan domba,
kambing, dan babi. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring dan
dibesarkan di peternakan. Di peternakan, unggas-unggas tersebut dipaksa makan adonan agar
semakin gemuk.[83] Sementara itu, di sungai Nil terdapat sumber daya ikan. Lebah-lebah juga
didomestikasi dari masa Kerajaan Lama, dan hewan tersebut menghasilkan madu dan lilin.[84]

Keledai dan lembu digunakan sebagai hewan pekerja. Hewan-hewan tersebut bertugas
membajak ladang dan menginjak-injak bibit ke dalam tanah. Lembu-lembu yang gemuk
dikorbankan dalam ritual persembahan.[83] Kuda-kuda dibawa oleh Hyksos pada Periode
Menengah Kedua, sementara unta, meskipun sudah ada sejak periode Kerajaan Baru, tidak
digunakan sebagai hewan pekerja hingga Periode Akhir. Selain itu, terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa gajah sempat dimanfaatkan pada Periode Akhir, tetapi akhirnya dibuang
karena kurangnya tanah untuk merumput.[83] Anjing, kucing, dan monyet menjadi hewan
peliharaan, sementara hewan-hewan seperti singa yang diimpor dari jantung Afrika
merupakan milik kerajaan. Herodotus mengamati bahwa bangsa Mesir adalah satu-satunya
bangsa yang menyimpan hewan di rumah mereka.[82] Selama periode pradinasti dan akhir,
pemujaan dewa dalam bentuk hewan menjadi sangat populer, seperti dewi kucing Bastet dan
dewa ibis Thoth, sehingga hewan-hewan tersebut dibesarkan dalam jumlah besar untuk
dikorbankan dalam ritual.[85]

Sumber daya alam

Mesir kaya akan batu bangunan dan dekoratif, bijih tembaga dan timah, emas, dan batu-batu
semimulia. Kekayaan itu memungkinkan orang Mesir Kuno untuk membangun monumen,
memahat patung, membuat alat-alat, dan perhiasan.[86] Pembalsem menggunakan garam dari
Wadi Natrun untuk mumifikasi, yang juga menjadi sumber gypsum yang diperlukan untuk
membuat plester.[87] Batuan yang mengandung bijih besi dapat ditemukan di wadi-wadi gurun
timur dan Sinai yang kondisi alam yang tidak ramah. Membutuhkan ekspedisi besar
(biasanya dikontrol negara) untuk mendapatkan sumber daya alam di sana. Terdapat sebuah
tambang emas luas di Nubia, dan salah satu peta pertama yang ditemukan adalah peta sebuah
tambang emas di wilayah ini. Wadi Hammamat adalah sumber penting granit, greywacke,
dan emas. Rijang adalah mineral yang pertama kali dikumpulkan dan digunakan untuk
membuat alat-alat, dan kapak Rijang adalah potongan awal yang membuktikan adanya
habitat manusia di lembah Sungai Nil. Nodul-nodul mineral secara hati-hati dipipihkan untuk
membuat bilah dan kepala panah dengan tingkat kekerasan dan daya tahan yang sedang, dan
ini tetap bertahan bahkan setelah tembaga digunakan untuk tujuan tersebut.[88]

Perdagangan

Orang Mesir kuno berdagang dengan negeri-negeri tetangga untuk memperoleh barang yang
tidak ada di Mesir. Pada masa pra dinasti, mereka berdagang dengan Nubia untuk
memperoleh emas dan dupa. Orang Mesir kuno juga berdagang dengan Palestina, dengan
bukti adanya kendi minyak bergaya Palestina di pemakaman firaun Dinasti Pertama.[89]
Koloni Mesir di Kanaan selatan juga berusia sedikit lebih tua dari dinasti pertama.[90] Firaun
Narmer memproduksi tembikar Mesir di Kanaan, dan mengekspornya kembali ke Mesir.[91]

Paling lambat dari masa Dinasti Kedua, Mesir kuno mendapatkan kayu berkualitas tinggi
(yang tak dapat ditemui di Mesir) dari Byblos. Pada masa Dinasti Kelima, Mesir kuno dan
Punt memperdagangkan emas, damar, eboni, gading, dan binatang liar seperti monyet.[92]
Mesir bergantung pada Anatolia untuk memasok persediaan timah dan tembaga (keduanya
merupakan bahan baku untuk membuat perunggu). Orang Mesir kuno juga menghargai batu
biru lapis lazuli, yang harus diimpor dari Afganistan. Partner dagang Mesir di Laut Tengah
meliputi Yunani dan Kreta, yang menyediakan minyak zaitun (selain barang-barang lainnya).
[93]
Sebagai ganti impor bahan baku dan barang mewah, Mesir mengekspor gandum, emas,
linen, papirus, dan barang-barang jadi seperti kaca dan benda-benda batu.[94]

Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Mesir

Perkembangan historis

Bahasa Mesir adalah bahasa Afro-Asiatik yang berhubungan dekat dengan bahasa Berber dan
Semit.[95] Bahasa ini memiliki sejarah bahasa terpanjang kedua (setelah Sumeria). Bahasa
Mesir telah ditulis sejak 3200 SM dan sudah dituturkan sejak waktu yang lebih lama. Fase-
fase pada bahasa Mesir Kuno adalah bahasa Mesir Lama, Pertengahan, Akhir, Demotik, dan
Koptik.[96] Tulisan Mesir tidak menunjukkan perbedaan dialek sebelum Koptik, tetapi
mungkin dituturkan dalam dilek-dialek regional di sekitar Memphis dan nantinya Thebes.[97]

Kesusasteraan

Papirus Edwin Smith (sekitar abad ke-16 SM) yang menggambarkan anatomi dan perawatan
medis.

Tulisan pertama kali ditemukan di lingkungan kerajaan, terutama pada barang-barang di


makam keluarga kerajaan. Pekerjaan menulis biasanya hanya diberikan kepada orang-orang
tertentu yang juga menjalankan institusi Per Ankh atau Rumah Kehidupan, serta perpustakaan
(disebut Rumah Buku), laboratorium, dan observatorium.[98] Karya-karya literatur yang
terkenal sebagian ditulis dalam bahasa Mesir Klasik, yang terus digunakan secara bahasa
tertulis hingga sekitar tahun 1300 SM. Bahasa Mesir Akhir mulai digunakan mulai masa
Kerajaan Baru sebagai mana direpresentasikan dalam dokumen administratif Ramses, puisi
dan kisah cinta, serta teks-teks Demotik dan Koptik. Selama periode ini, berkembang tradisi
menulis autografi di makam. Genre ini dikenal sebagai Sebayt (instruksi) dan dikembangkan
sebagai usaha untuk menurunkan ajaran dan tuntunan bangsawan terkenal.

Kisah Sinuhe yang ditulis dalam bahasa Mesir Pertengahan juga dapat dikategorikan sebagai
literatur Mesir klasik.[99] Contoh lainnya adalah Instruksi Amenemope yang dianggap sebagai
mahakarya dalam dunia literatur timur tengah.[100] Di masa akhir Kerajaan Baru, Bahasa
Mesir Akhir lebih banyak digunakan untuk menulis seperti yang terlihat pada Cerita
Wenamun dan Instruksi Any. Cerita Wenamun menceritakan kisah tentang bangsawan yang
dirampok dalam perjalanannya untuk membeli cedar dari Lebanon dan perjuangannya
kembali ke Mesir. Sejak 700 SM, cerita naratif dan instruksi, seperti misalnya Instruksi
Onchshesonqy, dan dokumen-dokumen bisnis ditulis dalam bahasa Demotik). Banyak cerita
pada masa Yunani-Romawi juga dalam bahasa Demotik, dan biasanya memiliki setting pada
masa-masa ketika Mesir merdeka di bawah kekuasaan Firaun agung seperti Ramses II.[101]

Tulisan

Tulisan hieroglif terdiri dari sekitar 500 simbol. Sebuah hieroglif dapat mewakili kata atau
suara. Simbol yang sama dapat menyajikan tujuan yang berbeda dalam konteks yang berbeda
pula. Hieroglif adalah aksara resmi, digunakan pada monumen batu dan kuburan. Pada
penulisan sehari hari, juru tulis membuat tulisan kursif, yang disebut keramat. Tulisan kursif
ini lebih cepat dan mudah. Sementara hieroglif formal dapat dibaca dalam baris atau kolom di
kedua arah (walaupun biasanya ditulis dari kanan ke kiri), aksara keramat selalu ditulis dari
kanan ke kiri, biasanya pada baris horisontal. Sebuah bentuk baru penulisan, demotik,
menjadi gaya penulisan umum, dan inilah bentuk tulisan -bersama dengan hieroglif formal -
yang menyertai teks Yunani di Batu Rosetta.

Sekitar abad ke-1 Masehi, aksara Koptik mulai digunakan bersama aksara demotik. Koptik
adalah modifikasi abjad Yunani dengan penambahan beberapa tanda-tanda demotik.[102]
Meskipun hieroglif formal digunakan dalam acara seremonial hingga abad ke-4, menjelang
akhir abad hanya segelintir kecil imam yang masih bisa membacanya. Akibat institusi
keagamaan tradisional dibubarkan, pengetahuan tulisan hieroglif semakin menghilang. Usaha
untuk mengartikannya muncul pada masa Bizantium[103] dan Islam di Mesir,[104] tetapi baru
pada tahun 1822, setelah penemuan batu Rosetta dan penelitian oleh Thomas Young dan
Jean-François Champollion, hieroglif baru dapat diartikan.[105]

Budaya
Kehidupan sehari-hari

Patung yang menggambarkan kegiatan masyarakat kecil Mesir Kuno.

Sebagian besar masyarakat Mesir Kuno bekerja sebagai petani. Kediaman mereka terbuat
dari tanah liat yang didesain untuk menjaga udara tetap dingin di siang hari. Setiap rumah
memiliki dapur dengan atap terbuka. Di dapur itu biasanya terdapat batu giling untuk
menggiling tepung dan oven kecil untuk membuat roti.[106] Tembok dicat warna putih dan
beberapa juga ditutupi dengan hiasan berupa linen yang diberi warna. Lantai ditutupi dengan
tikar buluh dilengkapi dengan furnitur sederhana untuk duduk dan tidur.[107]

Bangsa Mesir Kuno sangat menghargai penampilan dan kebersihan tubuh. Sebagian besar
mandi di Sungai Nil dan menggunakan sabun yang terbuat dari lemak binatang dan kapur.
Laki-laki bercukur untuk menjaga kebersihan, menggunakan minyak wangi dan salep untuk
mengharumkan dan menyegarkan kulit.[108] Pakaian dibuat dengan linen sederhana yang
diberi warna putih, baik wanita maupun pria di kelas yang lebih elit menggunakan wig,
perhiasan, dan kosmetik. Anak-anak tidak mengenakan pakaian hingga mereka dianggap
dewasa, pada usia sekitar 12 tahun, dan pada usia ini laki-laki disunat dan dicukur. Ibu
bertanggung jawab menjaga anaknya, sementara sang ayah bertugas mencari nafkah.[109]

Musik dan tarian menjadi hiburan yang paling populer bagi mereka yang mampu membayar
untuk melihatnya. Instrumen yang digunakan antara lain seruling dan harpa, juga instrumen
yang mirip terompet juga digunakan. Pada masa Kerajaan Baru, bangsa Mesir memainkan
bel, simbal, tamborine, dan drum serta mengimpor kecapi dan lira dari Asia.[110] Mereka juga
menggunakan sistrum, instrumen musik yang biasa digunakan dalam upacara keagamaan.

Bangsa Mesir Kuno mengenal berbagai macam hiburan, permainan dan musik, salah satunya
adalah Senet, permainan papan yang bidaknya digerakkan dalam urutan acak. Selain itu
mereka juga mengenal mehen. Juggling dan permainan menggunakan bola juga sering
dimainkan anak-anak, juga permainan gulat sebagaimana digambarkan dalam makam Beni
Hasan.[111] Orang-orang kaya di Mesir Kuno juga gemar berburu dan berlayar untuk hiburan.
Masakan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masakan Mesir Kuno

Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern
memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya
mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang
putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan
pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya.
Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.[112]

Arsitektur

Kuil Edfu adalah salah satu hasil karya arsitektur bangsa Mesir Kuno.

Karya arsitektur bangsa Mesir Kuno yang paling terkenal antara lain: Piramida Giza dan kuil
di Thebes. Proyek pembangunan dikelola dan didanai oleh pemerintah untuk tujuan religius,
sebagai bentuk peringatan, maupun untuk menunjukkan kekuasaan firaun. Bangsa Mesir
Kuno mampu membangun struktur batu dengan peralatan sederhana namun efektif, dengan
tingkat akurasi dan presisi yang tinggi.[113]

Kediaman baik untuk kalangan elit maupun masyarakat biasa dibuat dari bahan yang mudah
hancur seperti batu bata dan kayu, karenanya tidak ada satu pun yang terisa saat ini. Kaum
tani tinggal di rumah sederhana, di sisi lain, rumah kaum elit memiliki struktur yang rumit.
Beberapa istana Kerajaan Baru yang tersisa, seperti yang terletak di Malkata dan Amarna,
menunjukkan tembok dan lantai yang dipenuhi hiasan dengan gambar pemandangan yang
indah.[114] Struktur penting seperti kuil atau makam dibuat dengan batu agar dapat bertahan
lama.

Kuil-kuil tertua yang tersisa, seperti yang terletak di Giza, terdiri dari ruang tunggal tertutup
dengan lembaran atap yang didukung oleh pilar. Pada Kerajaan Baru, arsitek menambahkan
pilon, halaman terbuka, dan ruangan hypostyle; gaya ini bertahan hingga periode Yunani-
Romawi.[115] Arsitektur makam tertua yang berhasil ditemukan adalah mastaba, struktur
persegi panjang dengan atap datar yang terbuat dari batu dan bata. Struktur ini biasanya
dibangun untuk menutupi ruang bawah tanah untuk menyimpan mayat.[116]

Seni

Patung dada Nefertiti, karya Thutmose, adalah salah satu mahakarya terkenal bangsa Mesir
Kuno.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Seni Mesir Kuno

Bangsa Mesir Kuno memproduksi seni untuk berbagai tujuan. Selama 3500 tahun, seniman
mengikuti bentuk artistik dan ikonografi yang dikembangkan pada masa Kerajaan Lama.
Aliran ini memiliki prinsip-prinsip ketat yang harus diikuti, mengakibatkan bentuk aliran ini
tidak mudah berubah dan terpengaruh aliran lain.[117] Standar artistik—garis-garis sederhana,
bentuk, dan area warna yang datar dikombinasikan dengan karakteristik figure yang tidak
memiliki kedalaman spasial—menciptakan rasa keteraturan dan keseimbangan dalam
komposisinya. Perpaduan antara teks dan gambar terjalin dengan indah baik di tembok
makam dan kuil, peti mati, maupun patung.[118]

Seniman Mesir Kuno dapat menggunakan batu dan kayu sebagai bahan dasar untuk
memahat. Cat didapatkan dari mineral seperti bijih besi (merah dan kuning), bijih perunggu
(biru dan hijau), jelaga atau arang (hitam), dan batu kapur (putih). Cat dapat dicampur dengan
gum arab sebagai pengikat dan ditekan (press), disimpan untuk kemudian diberi air ketika
hendak digunakan.[119] Firaun menggunakan relief untuk mencatat kemenangan di
pertempuran, dekrit kerajaan, atau peristiwa religius. Di masa Kerajaan Pertengahan, model
kayu atau tanah liat yang menggambarkan kehidupan sehari-hari menjadi populer untuk
ditambahkan di makam. Sebagai usaha menduplikasi aktivitas hidup di kehidupan setelah
kematian, model ini diberi bentuk buruh, rumah, perahu, bahkan formasi militer.[120]

Meskipun bentuknya hampir homogen, pada waktu tertentu gaya karya seni Mesir Kuno
terkadang mengikuti perubahan kultural atau perilaku politik. Setelah invasi Hykos di Periode
Pertengahan Kedua, seni dengan gaya Minoa ditemukan di Avaris.[121] Salah satu contoh
perubahan gaya akibat adanya perubahan politik yang menonjol adalah bentuk artistik yang
dibuat pada masa Amarna: patung-patung disesuaikan dengan gaya pemikiran religius
Akhenaten. Gaya ini, yang dikenal sebagai seni Amarna, langsung diganti dan dibuah ke
bentuk tradisional setelah kematian Akhenaten.[122]

Agama dan kepercayaan

Buku Kematian adalah panduan perjalanan untuk kehidupan setelah kematian.

Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara
turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan supernatural dan
menjadi tempat untuk meminta perlindungan, namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai
sosok yang baik; orang mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak
mengeluarkan amarah. Struktur ini dapat berubah, tergantung siapa yang berkuasa ketika itu.

Patung Ka dipercaya dapat menjadi tempat bersemayam bagi mereka yang telah meninggal.

Dewa-dewa disembah dalam sebuah kuil yang dikelola oleh seorang imam. Di bagian tengah
kuil biasanya terdapat patung dewa. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan
hanya pada hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh
masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah masing-masing,
dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari marabahaya.[123] Setelah Kerajaan
Baru, peran firaun sebagai perantara spiritual mulai berkurang seiring dengan munculnya
kebiasaan untuk memuja langsung tuhan, tanpa perantara. Di sisi lain, para imam
mengembangkan sistem ramalan (oracle) untuk mengkomunikasikan langsung keinginan
dewa kepada masyarakat.[124]

Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain
badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan
nama.[125] Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek
spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka membutuhkan
tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang.
Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi
"arwah yang diberkahi." Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, jantung
akan ditimbang dengan "bulu kejujuran." Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan
tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.[126]

Makam firaun dipenuhi oleh harta karun dalam jumlah yang sangat besar, salah satunya
adalah topeng emas dari mumi Tutankhamun.

Adat pemakaman

Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang diyakini sebagai
kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Berbagai kegiatan dalam adat ini
adalah : proses mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, upacara pemakaman, dan
penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan oleh almarhum di akhirat.
Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini
secara alami akan mengawetkan tubuh mayat melalui proses pengeringan. Kegersangan dan
kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin
yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya
mulai menguburkan orang mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan
mumifikasi buatan, yaitu dengan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan
kain, dan meletakkan mayat ke dalam sarkofagus berupa batu empat persegi panjang atau peti
kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa bagian tubuh mulai diawetkan secara
terpisah dalam toples kanopik.[127]

Anubis adalah dewa pada zaman mesir kuno yang dikaitkan dengan mumifikasi dan ritual
pemakaman. Pada gambar ini ia sedang mendatangi seorang mumi.

Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi.
Teknik terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang lebih 70 hari lamanya, selama
waktu tersebut secara bertahap dilakukan proses pengeluaran organ internal, pengeluaran
otak melalui hidung, dan pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut
natron. Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada setiap lapisan kain tersebut
disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian diletakkan pada peti mati yang disebut
antropoid. Mumi periode akhir diletakkan pada laci besar cartonnage yang telah dicat. Praktik
pengawetan mayat asli mulai menurun sejak zaman Ptolemeus dan Romawi, pada zaman ini
masyarakat mesir kuno lebih menitikberatkan pada tampilan luar mumi.[128]

Orang kaya Mesir dikuburkan dengan jumlah barang mewah yang lebih banyak. Tradisi
penguburan barang mewah dan barang-barang sebagai bekal almarhum juga berlaku pada
semua masyarakat tanpa memandang status sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku
kematian ikut disertakan di kuburan, bersamaan dengan patung shabti yang dipercaya akan
membantu pekerjaan mereka di akhirat.[129] Setelah pemakaman, kerabat yang masih hidup
diharapkan untuk sesekali membawa makanan ke makam dan mengucapkan doa atas nama
almarhum.[130]

Militer

Kereta perang Mesir.

Angkatan perang Mesir kuno bertanggung jawab untuk melindungi Mesir dari serangan
asing, dan menjaga kekuasaan Mesir di Timur Dekat Kuno. Tentara Mesir kuno melindungi
ekspedisi penambangan ke Sinai pada masa Kerajaan Lama, dan terlibat dalam perang
saudara selama Periode Menengah Pertama dan Kedua. Angkatan perang Mesir juga
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap jalur perdagangan penting,
seperti kota Buhen pada jalan menuju Nubia. Benteng-benteng juga didirikan, seperti benteng
di Sile, yang merupakan basis operasi penting untuk melancarkan ekspedisi ke Levant. Pada
masa Kerajaan Baru, firaun menggunakan angkatan perang Mesir untuk menyerang dan
menaklukan Kerajaan Kush dan sebagian Levant.[131]

Peralatan militer yang digunakan pada masa itu adalah panah, tombak, dan perisai berbahan
dasar kerangka kayu dan kulit binatang. Pada masa Kerajaan Baru, angkatan perang mulai
menggunakan kereta perang yang awalnya diperkenalkan oleh penyerang dari Hyksos.
Senjata dan baju zirah terus berkembang setelah penggunaan perunggu: perisai dibuat dari
kayu padat dengan gesper perunggu, ujung tombak dibuat dari perunggu, dan Khopesh
(berasal dari tentara Asiatik) mulai digunakan.[132] Tentara direkrut dari penduduk biasa;
namun, selama dan terutama sesudah masa Kerajaan Baru, tentara bayaran dari Nubia, Kush,
dan Libya dibayar untuk membantu Mesir.[133]

Teknologi, pengobatan, dan matematika


Teknologi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teknologi Mesir Kuno

Dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno telah mencapai standar
yang relatif tinggi dan canggih pada masanya. Empirisme tradisional, sebagaimana
dibuktikan oleh Papirus Edwin Smith dan Ebers (c. 1600 SM), ditemukan oleh bangsa Mesir.
Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.

Salah satu peninggalan Mesir kuno yang bernilai seni tinggi.

Tembikar glasir bening dan kaca

Bahkan sebelum masa keemasan di bawah kekuasaan Kerajaan Lama, bangsa Mesir kuno
telah mampu mengembangkan sebuah material kilap yang dikenal sebagai tembikar glasir
bening, yang dianggap sebagai bahan artifisial yang cukup berharga. Tembikar glasir bening
adalah keramik yang terbuat dari silika, sedikit kapur dan soda, serta bahan pewarna,
biasanya tembaga.[134] Tembikar glasir bening digunakan untuk membuat manik-manik, ubin,
arca, dan lainnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menciptakan tembikar
glasir bening, namun yang sering digunakan adalah menaruh bahan baku yang telah diolah
menjadi pasta di atas tanah liat, kemudian membakarnya. Dengan teknik yang sama, bangsa
Mesir kuno juga dapat memproduksi sebuah pigmen yang dikenal sebagai Egyptian Blue,
yang diproduksi dengan menggabungkan silika, tembaga, kapur dan sebuah alkali seperti
natron.[135]

Bangsa mesir kuno juga mampu membuat berbagai macam objek dari kaca, namun tidak jelas
apakah mereka mengembangkan teknik itu sendiri atau bukan.[136] Tidak diketahui pula
apakah mereka membuat bahan dasar kaca sendiri atau mengimpornya, untuk kemudian
dilelehkan dan dibentuk, namun mereka dipastikan memiliki kemampuan teknis untuk
membuat objek dan menambahkan elemen mikro untuk mengontrol warna dari kaca tersebut.
Banyak warna yang dapat mereka ciptakan, termasuk di antaranya kuning, merah, hijau, biru,
ungu, putih, dan transparan.[137]

Pengobatan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pengobatan Mesir kuno

Prasasti yang menggambarkan alat-alat pengobatan Mesir kuno.

Permasalahan medis di Mesir kuno kebanyakan berasal dari kondisi lingkungan di sana.
Hidup dan bekerja di dekat sungai Nil mengakibatkan mereka terancam penyakit seperti
malaria dan parasit schistosomiasis, yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan dan
pencernaan. Binatang berbahaya seperti buaya dan kuda nil juga menjadi ancaman. Cidera
akibat pekerjaan yang sangat berat, terutama dalam bidang konstruksi dan militer, juga sering
terjadi. Kerikil dan pasir di tepung (muncul akibat proses pembuatan tepung yang belum
canggih) merusak gigi, sehingga menyebabkan mereka mudah terserang abses.[138]

Hidangan yang dimakan orang kaya di Mesir kuno biasanya mengandung banyak gula, yang
mengakibatkan banyaknya penyakit periodontitis.[139] Meskipun di dinding-dinding makam
kebanyakan orang kaya digambarkan memiliki tubuh yang kurus, berat badan mumi mereka
menunjukkan bahwa mereka hidup secara berlebihan. [140] Harapan hidup orang dewasa
berkisar antara 35 tahun untuk laki-laki dan 30 tahun untuk wanita.[141]

Tabib-tabib Mesir Kuno termasyhur dengan kemampuan pengobatan mereka dan beberapa,
seperti Imhotep, tetap dikenang meskipun telah lama meninggal. [142] Herodotus mengatakan
bahwa terdapat pembagian spesialisasi yang tinggi di antara tabib-tabib Mesir; misalnya
beberapa tabib hanya mengobati permasalahan pada kepala atau perut, sementara yang lain
hanya mengobati masalah mata atau gigi.[143] Pelatihan untuk tabib terletak di Per Ankh atau
institusi "Rumah Kehidupan," yang paling terkenal terletak di Per-Bastet semasa Kerajaan
Baru dan di Abydos serta Saïs di Periode Akhir. Sebuah papirus medis menunjukkan bahwa
bangsa Mesir memiliki pengetahuan empiris soal anatomi, luka, dan perawatannya.[144]

Luka-luka dirawat dengan cara membungkusnya dengan daging mentah, linen putih, jahitan,
jaring, blok, dan kain yang dilumuri madu untuk mencegah infeksi.[145] Mereka juga
menggunakan opium untuk mengurangi rasa sakit. Bawang putih maupun merah dikonsumsi
secara rutin untuk menjaga kesehatan dan dipercaya dapat mengurangi gejala asma. Ahli
bedah mesir mampu menjahit luka, memperbaiki tulang yang patah, dan melakukan
amputasi. Mereka juga mengetahui bahwa ada beberapa luka yang sangat serius sehingga
yang dapat mereka lakukan hanyalah mebuat pasien merasa nyaman menjelang ajalnya.[146]

Pembuatan kapal

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pembuatan kapal

Bangsa Mesir kuno telah tahu bagaimana merakit papan kayu menjadi lambung kapal sejak
tahun 3000 SM. Archaeological Institute of America melaporkan[5] bahwa beberapa kapal
tertua yang pernah ditemukan berjenis kapal Abydos. Kapal-kapal yang ditemukan di Abydos
ini dibuat dari papan kayu yang "dijahit" menggunakan tali pengikat.[147][5] Awalnya kapal-
kapal tersebut diperkirakan sebagai milik Firaun Khasekhemwy karena ditemukan dikubur
bersama dan berada di dekat kamar mayat Firaun Khasekhemwy[147], namun penelitian
menunjukkan bawa kapal-kapal itu lebih tua dari usia sang firaun, sehingga kini diperkirakan
sebagai kapal milik firaun yang lebih terdahulu. Menurut profesor David O'Connor dari New
York University, kapal-kapal itu kemungkinan merupakan kapal milik Firaun Aha.[147]

Namun meskipun bangsa Mesir Kuno memiliki kemampuan untuk membuat kapal yang
sangat besar dan mudah dikendalikan di atas sungai Nil, mereka tidak dikenal sebagai pelaut
yang handal.

Matematika

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Matematika Mesir

Perhitungan matematika tertua yang ditemukan berasal dari periode Naqada, yang juga
menunjukkan bahwa bangsa Mesir ketika itu telah mengembangkan sistem bilangan.[148] Nilai
penting matematika bagi seorang intelektual kala itu digambarkan dalam sebuah surat fiksi
dari zaman Kerajaan Baru. Pada surat itu, penulisnya mengusulkan untuk mengadakan
kompetisi antara dirinya dan ilmuwan lain berkenaan masalah penghitungan sehari-hari
seperti penghitungan tanah, tenaga kerja, dan padi.[149] Teks seperti Papirus Matematika
Rhind dan Papirus Matematika Moskwa menunjukkan bahwa bangsa Mesir Kuno dapat
menghitung empat operasi matematika dasar — penambahan, pengurangan, pengalian, dan
pembagian — menggunakan pecahan, menghitung volume kubus dan piramid, serta
menghitung luas kotak, segitiga, lingkaran, dan bola. Mereka memahami konsep dasar aljabar
dan geometri, serta mampu memecahkan persamaan simultan.[150]

Notasi matematika Mesir Kuno bersifat desimal (berbasis 10) dan didasarkan pada simbol-
simbol hieroglif untuk tiap nilai perpangkatan 10 (1, 10, 100, 1000, 10000, 100000, 1000000)
sampai dengan sejuta. Tiap-tiap simbol ini dapat ditulis sebanyak apapun sesuai dengan
bilangan yang diinginkan; sehingga untuk menuliskan bilangan delapan puluh atau delapan
ratus, simbol 10 atau 100 ditulis sebanyak delapan kali.[151] Karena metode perhitungan
mereka tidak dapat menghitung pecahan dengan pembilang lebih besar daripada satu,
pecahan Mesir Kuno ditulis sebagai jumlah dari beberapa pecahan. Sebagai contohnya,
pecahan dua per tiga (2/3) dibagi menjadi jumlah dari 1/3 + 1/15; proses ini dibantu oleh
tabel nilai [pecahan] standar.[152] Beberapa pecahan ditulis menggunakan glif khusus; nilai
yang setara dengan 2/3 ditunjukkan oleh gambar di samping.[153]

Matematikawan Mesir Kuno telah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari teorema


Pythagoras.[154] Mereka juga dapat memperkirakan luas lingkaran dengan mengurangi satu per
sembilan diameternya dan memangkatkan hasilnya:

yang hasilnya mendekati rumus πr 2.[154][155]

Peninggalan

Dr. Zahi Hawass, Sekretaris Jenderal Supreme Council of Antiquities.

Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan
terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer pada masa Kekaisaran Romawi.[156]
Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur
dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti Herodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari
dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh
misteri.[157] Di Abad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai
menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan
terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan,
misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.[158]

Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan
menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya
gelombang Egyptomania di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor
Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.[159] Meskipun
penjajahan kolonial Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah,
kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. Napoleon,
misalnya, melakukan pembelajaran pertama mengenai Egiptologi ketika ia membawa 150
ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang
kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte.[160] Pada abad ke-20, pemerintah Mesir
dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan penggalian di Mesir dengan
membentuk Supreme Council of Antiquities

Anda mungkin juga menyukai