Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Mesir Kuno

29 bahasa

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Perkakas


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bagian dari seri mengenai

Sejarah Mesir

Mesir Prasejarah pra–3100 SM

Mesir Kuno

Periode Dinasti Awal 3100–2686 SM

Kerajaan Lama 2686–2181 SM

Periode Menengah ke-1 2181–2055 SM

Kerajaan Pertengahan 2055–1650 SM

Periode Menengah ke-2 1650–1550 SM


Kerajaan Baru 1550–1069 SM

Periode Menengah ke-3 1069–664 SM

Periode Akhir 664–332 SM

Mesir Akhemeniyah 525–332 SM

Zaman Klasik

Mesir Makedonia dan Ptolemaik 332–30 SM

Mesir Romawi dan Bizantium 30 SM–641 M

Mesir Sasaniyah 619–629

Timur Tengah

Mesir Arab 641–969

Mesir Fatimiyah 969–1171

Mesir Ayyubiyah 1171–1250

Mesir Mamluk 1250–1517

Modern awal

Mesir Utsmaniyah 1517–1867

Pendudukan Prancis 1798–1801

Mesir di bawah pemerintahan 1805–1882


Muhammad Ali

Khedivate Mesir 1867–1914

Mesir Modern

Pendudukan Inggris 1882–1922

Kesultanan Mesir 1914–1922

Kerajaan Mesir 1922–1953

Republik 1953–sekarang

Portal Mesir

 l
 b
 s

Sejarah Mesir Kuno meliputi kurun waktu yang bermula sejak permukiman-permukiman Zaman
Prawangsa didirikan di kawasan utara Lembah Sungai Nil dan berakhir dengan ditaklukkannya
Mesir oleh bangsa Romawi pada tahun 30 SM. Zaman pemerintahan para firaun diperkirakan
bermula sekitar tahun 3200 SM, dengan dipersatukannya Mesir Hulu dan Mesir Hilir, sampai tanah
Mesir ditaklukkan bangsa Makedonia pada tahun 332 SM

Kronologi[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Kronologi Mesir

Sejarah Mesir Kuno dibagi-bagi menjadi beberapa kurun waktu berdasarkan zaman wangsa-
wangsa firaun. Penetapan tarikh peristiwa-peristiwa penting masih terus diteliti. Penetapan tarikh

2/2
yang konservatif untuk kurun waktu tiga milenia tidak didukung satu pun tarikh mutlak yang andal.
Berikut ini adalah pembagian kurun waktu sejarah Mesir Kuno menurut kronologi konvensional.

 Zaman Prawangsa (sebelum tahun 3100 SM)


 Zaman Protowangsa (kira-kira tahun 3100 sampai tahun 3000 SM)
 Zaman Awal (zaman wangsa pertama sampai zaman wangsa ke–2)
 Zaman Kerajaan Lama (zaman wangsa ke-3 sampai zaman wangsa ke-6)
 Zaman Antara Pertama (zaman wangsa ke-7 sampai zaman wangsa ke-11)
 Zaman Kerajaan Pertengahan (zaman wangsa ke-12 sampai zaman wangsa ke-13)
 Zaman Antara Kedua (zaman wangsa ke-14 sampai zaman wangsa ke-17)
 Zaman Kerajaan Baru (zaman wangsa ke-18 sampai zaman wangsa ke-20)
 Zaman Antara Ketiga (zaman wangsa ke-21 sampai zaman wangsa ke-25, disebut pula Zaman
Libya)
 Zaman Akhir (zaman wangsa ke-26 sampai zaman wangsa ke–31)

Zaman Batu Muda di Mesir[sunting | sunting sumber]


Zaman Batu Muda[sunting | sunting sumber]
Sungai Nil telah menjadi urat nadi peradaban Mesir semenjak masyarakat pemburu-peramu yang
hidup berpindah-pindah mulai menempati tepiannya pada zaman Pleistosen. Peradaban bangsa
Mesir perdana ini meninggalkan jejak-jejak berupa artefak-artefak dan ukiran-ukiran pada batu
yang ditemukan di sepanjang teras Sungai Nil dan di wahah-wahah Mesir. Bagi bangsa Mesir,
Sungai Nil berarti kehidupan dan gurun berarti kematian, kendati justru gurunlah yang
membentengi mereka dari invasi.
Di sepanjang tepian Sungai Nil pada milenium ke-12 SM, muncul suatu kebudayaan masyarakat
yang hidup dari mengirik biji-bijian dan telah memanfaatkan peralatan berupa bilah arit jenis
terawal. Kebudayaan ini menggantikan kebudayaan masyarakat pengguna peralatan batu, yang
mencari nafkah dengan berburu, menangkap ikan, dan meramu. Ada pula bukti-bukti keberadaan
permukiman manusia serta kegiatan penggembalaan ternak sebelum tahun 8000 SM di penjuru
barat daya Mesir, dekat dari tapal batas Sudan. Meskipun demikian, menurut Barbara Barich, teori
yang menyatakan bahwa penjinakan satwa jenis bovinae berlangsung di Afrika sudah harus
ditinggalkan karena bukti-bukti lebih lanjut untuk kurun waktu sepanjang tiga puluh tahun yang
terkumpul telah gagal mendukung teori itu.[1] Sehubungan dengan pendapat Barbara Barich ini,
bekas-bekas penjinakan bovinae tertua di Afrika yang telah diketahui adalah bukti-bukti yang
ditemukan di Al Fayyum dan diperkirakan berasal dari sekitar tahun 4400 SM.[2] Bukti-bukti geologi
dan studi percontohan iklim berbasis komputer menunjukkan bahwa perubahan iklim sekitar 8000
SM mengakibatkan kekeringan mulai melanda lahan penggembalaan ternak yang terbentang luas
di kawasan utara Afrika dan pada akhirnya menciptakan Gurun Sahara (sekitar 2500 SM).
Kemarau panjang memaksa leluhur-leluhur bangsa Mesir perdana untuk berpindah dan tinggal
lebih lama di sekitar Sungai Nil. Kemarau panjang juga memaksa mereka untuk mengadopsi gaya
hidup yang lebih menetap.
Zaman Prawangsa[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Prasejarah Mesir
Informasi lebih lanjut: Naqada
Sebuah jambangan Naqada II dihiasi lukisan kawanan kijang,
dipamerkan di Louvre.

Daerah Lembah Sungai Nil di Mesir pada hakikatnya tidak dapat didiami sebelum dimulainya
kegiatan penerokaan dan pengairan lahan di sepanjang tepian sungai.[3] Namun tampaknya
sebagian besar dari kegiatan penerokaan dan pengairan lahan ini sudah rampung sekitar tahun
6000 SM. Kala itu, masyarakat Lembah Sungai Nil sudah terbiasa bercocok tanam secara teratur
dan mendirikan bangunan-bangunan besar di daerah Lembah Sungai Nil.[4] Pada masa yang
sama, bangsa Mesir di penjuru tenggara tanah Mesir mencari nafkah dengan menggembalakan
ternak, dan juga mendirikan bangunan-bangunan besar. Mortar dipergunakan sekitar tahun 4000
SM. Penduduk daerah lembah dan muara Sungai Nil adalah masyarakat swasembada. Mereka
telah membudidayakan jelai dan gandum emmer (sejenis gandum kuno) serta menyimpannya
dalam liang-liang beralas tikar gelagah.[5] Mereka membiakkan lembu, kambing, dan babi,
menenun kain linen, dan menganyam keranjang.[5] Zaman Prawangsa, yang oleh berbagai pihak
diyakini bermula dengan peradaban Naqada, berlangsung pada masa ini.
Antara 5500 sampai 3100 SM, pada Zaman Prawangsa Mesir, permukiman-permukiman kecil
tumbuh subur di sepanjang tepian Sungai Nil yang bermuara ke Laut Tengah. Sekitar 3300 SM,
menjelang berkuasanya Wangsa Mesir yang pertama, negeri Mesir terbagi atas dua kerajaan
yang dikenal sebagai Mesir Hulu atau Ta Syemau di selatan, dan Mesir Hilir atau Ta Mehu di
utara.[6] Garis perbatasan antara dua kerajaan ini terletak kira-kira di wilayah Kairo sekarang ini.
Peradaban Tasa adalah bentuk peradaban berikutnya yang muncul di Mesir Hulu. Peradaban ini
dinamakan menurut nama situs Deir Tasa, tempat ditemukannya sekumpulan makam kuno. Deir
Tasa terletak di tepi timur Sungai Nil, di antara Asyut dan Akhmim. Peradaban Tasa dikenal
dengan tembikar bermulut hitam terawal yang dihasilkannya, yakni jenis gerabah merah dan
cokelat yang bagian mulut dan dalam wadahnya diwarnai hitam[7]
Peradaban Badari yang dinamakan menurut nama situs Badari, tidak jauh dari Deir Tasa, muncul
setelah Peradaban Tasa. Kemiripan antara Peradaban Tasa dan Peradaban Badari membuat
banyak pihak enggan membeda-bedakan keduanya. Peradaban Badari meneruskan pembuatan
tembikar bermulut hitam (dengan mutu yang jauh lebih baik dibanding jenis sebelumnya), dan
diberi nomor penanggalan sekuensi antara 21 dan 29.[8] Meskipun demikian, ada perbedaan
penting antara Peradaban Tasa dan Peradaban Badari yang mencegah para cendekiawan untuk
menggabungkan saja keduanya, yaitu bahwasanya situs-situs Badari telah mempergunakan alat-
alat tembaga selain alat-alat batu, dan oleh karena itu merupakan pemukiman-pemukiman Zaman
Tembaga, sementara situs-situs Tasa masih bercorak neolitikum, dan secara teknis dianggap
masih tergolong Zaman Batu.[8]
Peradaban Amra dinamakan menurut nama situs el-Amra, sekitar 120 km di selatan Badari. El-
Amra adalah situs pertama tempat peradaban ini didapati tidak bercampur dengan Peradaban
Gerza yang muncul sesudahnya. Meskipun demikian, karena peradaban ini lebih banyak didukung
oleh temuan-temuan dari situs Naqada, maka disebut pula dengan nama Peradaban Naqada I.
[9]
Pembuatan tembikar bermulut hitam masih diteruskan, tetapi Peradaban ini mulai pula
menghasilkan tembikar garis silang, yakni sejenis gerabah yang dihiasi barisan garis-garis putih,
rapat dan paralel, yang kemudian disilangi barisan garis-garis putih, rapat dan paralel lainnya.

2/2
Kurun waktu Peradaban Amra ditempatkan antara 30 dan 39 dalam sistem penanggalan
sekuensi yang disusun Sir William Matthew Flinders Petrie.[10] Perniagaan antara Mesir Hulu dan
Mesir Hilir berlangsung pada kurun waktu peradaban ini, sebagaimana disiratkan oleh temuan-
temuan dari hasil penggalian. Sebuah jambangan batu dari daerah utara ditemukan di el-Amra,
dan tembaga, yang tidak terdapat di Mesir, tampaknya didatangkan dari Sinai atau mungkin pula
dari Nubia. Obsidian[11] dan emas dalam jumlah yang sangat sedikit[10] sudah pasti didatangkan dari
Nubia pada zaman ini. Perniagaan dengan wahah-wahah pun demikian.[11]
Peradaban Gerza yang dinamakan menurut nama situs Gerza adalah babak berikutnya dalam
perkembangan peradaban bangsa Mesir. Pada kurun waktu inilah terbentuk landasan bagi zaman
kekuasaan wangsa-wangsa Mesir. Peradaban Gerza, yang lebih merupakan perkembangan tak
terputus dari Peradaban Amra ini, bermula di daerah muara dan bergerak ke wilayah selatan
melewati Mesir Hulu; Meskipun demikian, kedatangan peradaban ini tidak berhasil menyingkirkan
Peradaban Amra di Nubia.[12] Zaman Peradaban Gerza bertepatan dengan zaman menurunnya
tingkat curah hujan secara drastis,[12] yang menyebabkan pertanian diandalkan sebagai sumber
utama bahan pangan.[12] Seiring meningkatnya ketersediaan pangan, masyarakat pun mengadopsi
gaya hidup yang lebih menetap, dan pemukiman-pemukiman besar bertumbuh menjadi kota-kota
yang berpenghuni sekitar 5.000 jiwa.[12] Pada kurun waktu inilah warga kota mulai mempergunakan
bata lumpur dalam pembangunan kota-kota mereka.[12] Tembaga semakin menggeser
pemanfaatan batu sebagai bahan baku pembuatan peralatan[12] dan persenjataan.[13] Perak,
emas, lapis lazuli, juga tembikar glasir bening digunakan sebagai hiasan,[14] dan penggilasan untuk
membuat celak mata mulai dihiasi ukiran-ukiran timbul sejak kurun waktu Peradaban Badari.[13]

Zaman Wangsa[sunting | sunting sumber]


Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti

Periode Proto-Dinasti

Periode Dinasti Awal

ke-1 ke-2

Kerajaan Lama

ke-3 ke-4 ke-5 ke-6

Periode Menengah Pertama

ke-7 ke-8 ke-9 ke-10

ke-11 (hanya Thebes)

Kerajaan Pertengahan

ke-11 (seluruh Mesir)

ke-12 ke-13 ke-14

Periode Menengah Kedua


ke-15 ke-16 ke-17

Kerajaan Baru

ke-18 ke-19 ke-20

Periode Menengah Ketiga

ke-21 ke-22 ke-23

ke-24 ke-25

Periode Akhir

ke-26

ke-27 (Periode Persia Pertama)

ke-28 ke-29 ke-30

ke-31 (Periode Persia Kedua)

Periode Yunani-Romawi

Alexander Agung

Dinasti Ptolemaik

Mesir Romawi

Serbuan Arab

Zaman Awal[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Periode Dinasti Awal Mesir

2/2
Tugu batu Firaun Raneb dari Wangsa Kedua, memuat hieroglif namanya dalam
sebuah serekh yang pada puncaknya bertengger Horus. Dipamerkan di Metropolitan Museum of Art.

Catatan-catatan sejarah Mesir Kuno diawali dengan menyebut Mesir sebagai suatu negara
kesatuan yang terwujud sekitar 3150 SM. Menurut tradisi Mesir, Menes, yang diyakini sebagai
tokoh pemersatu Mesir Hulu dan Mesir Hilir, adalah raja Mesir yang pertama. Budaya, adat-
istiadat, seni rupa, rancang bangun, dan susunan kemasyarakatan Mesir berkaitan erat dengan
agama, luar biasa stabilnya, dan sedikit demi sedikit mengalami perubahan dalam kurun waktu
hampir 3000 tahun.
Kronologi Mesir, yang memuat tahun-tahun pemerintahan raja-raja, berawal pada kurun waktu ini.
Kronologi Mesir konvensional adalah kronologi yang diterima pada abad ke-20, namun kronologi
ini tidak memuat satu pun usulan-usulan perbaikan penting yang juga telah diajukan dalam abad
itu. Dalam satu karya ilmiah saja, arkeolog kerap menetapkan lebih dari satu tanggal atau bahkan
mengajukan lebih dari satu kronologi utuh yang mungkin digunakan. Oleh karena itu, dapat saja
penetapan waktu yang digunakan dalam artikel ini berbeda dari penetapan waktu dalam artikel
lain yang bertopik terkait Mesir Kuno. Mungkin pula terdapat lebih dari satu cara eja nama-nama
tokoh sejarah. Lazimnya para egiptolog membagi kurun waktu pemerintahan para firaun mengikuti
urut-urutan yang disusun pertama kali oleh Manetho dalam Aegyptiaca (Sejarah Mesir) yang
ditulis semasa Wangsa Ptolemaios berkuasa pada abad ke-3 SM.
Sebelum penyatuan Mesir, wilayah negeri ini terbagi-bagi atas desa-desa mandiri. Sejak
kemunculan wangsa-wangsa perdana, dan untuk sebagian besar dari sejarah Mesir selanjutnya,
negeri ini dikenal sebagai Dua Negeri. Para pemimpin membentuk administrasi nasional dan
melantik gubernur-gubernur kerajaan.
Menurut Manetho, raja Mesir yang pertama adalah Menes, namun temuan-temuan arkeologi
mendukung pandangan bahwa firaun pertama yang menyatakan telah mempersatukan Dua
Negeri adalah Narmer, (raja terakhir dari Zaman Protowangsa). Namanya terutama dikenal karena
prasasti Lempengan Narmer yang termasyhur itu. Gambar-gambar yang ditatah pada Lempengan
Narmer ditafsirkan sebagai tindak penyatuan Mesir Hulu dan Mesir Hilir.
Tata-cara pemakaman golongan elit menghasilkan pembangunan makam-makam mastaba, yang
kelak menjadi contoh bagi karya-karya bangunan pada Zaman Kerajaan Lama, misalnya Piramida
Berundak.
Zaman Kerajaan Lama[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kerajaan Lama Mesir
Patung Batupasir Kelabu Firaun Menkaura beserta permaisurinya, Ratu
Khamerernebty II. Berasal dari kuilnya di Lembah Giza, kini dipamerkan di Museum of Fine Arts, Boston.

Zaman Kerajaan Lama lazimnya dianggap sebagai kurun waktu semenjak Mesir diperintah
oleh Wangsa Ketiga sampai Wangsa Keenam (2686–2181 SM). Ibu kota Kerajaan Mesir pada
Zaman Kerajaan Lama adalah Memphis, yang ditetapkan Djoser sebagai pusat pemerintahannya.
Akan tetapi Zaman Kerajaan Lama mungkin lebih dikenal karena banyaknya piramida yang
dibangun pada zaman ini sebagai makam firaun. Inilah sebabnya Zaman Kerajaan Lama kerap
dijuluki "Zaman Piramida." Firaun pertama yang menonjol pada kurun waktu ini
adalah Djoser (2630–2611 SM) dari Wangsa Ketiga, yang memerintahkan pembangunan
sebuah Piramida Berundak di Saqqara, nekropolis Kota Memphis.
Pada zaman inilah negara-negara kecil Mesir Kuno yang sebelumnya merdeka berubah menjadi
satuan-satuan administratif yang disebut Nome dan yang diperintah oleh firaun semata. Para
pemimpin sebelumnya dipaksa menduduki jabatan kepala daerah atau jabatan pemungut
cukai. Bangsa Mesir pada zaman ini menyembah firaun sebagai dewa yang mereka yakini
sebagai penjamin keberlangsungan banjir tahunan yang diperlukan tanaman-tanaman mereka.
Zaman Kerajaan Lama dan kekuasaan raja-rajanya berpuncak pada Wangsa Keempat. Sneferu,
pendiri Wangsa Keempat, diyakini telah memerintahkan pembangunan sekurang-kurangnya tiga
piramida; dan jika putera sekaligus penggantinya, Khufu, termasyhur sebagai pendiri Piramida
Agung Giza, maka Sneferu termasyhur sebagai firaun yang memerintahkan pengangkutan batu
dan bata terbanyak dibanding firaun-firaun lainnya. Baik Khufu (Bahasa Yunani Keops) maupun
puteranya Khafra (Bahasa Yunani Kefren), serta cucu lelakinya Menkaura (Bahasa
Yunani Mikerinus) menjadi masyhur berabad-abad lamanya karena pembangunan piramida-
piramida mereka. Untuk mengatur dan memberi makan tenaga kerja yang dipekerjakan dalam
pembangunan piramida-piramida ini, diperlukan suatu pemerintahan yang terpusat dengan
kekuasaan yang sangat luas, oleh karena itu para egiptolog yakin bahwa Kerajaan Lama pada
masa itu telah memperlihatkan taraf pencapaian tersebut. Penggalian-penggalian terkini di dekat
piramida-piramida yang dikepalai Mark Lehner telah menyingkap keberadaan sebuah kota besar
yang tampaknya pernah menampung dan menghidupi para pekerja piramida. Sekalipun pernah
dipercaya bahwa budak-budaklah yang membangun monumen-monumen itu, suatu teori yang
didasarkan pada riwayat eksodus Bangsa Israel dalam Alkitab, penelitian atas makam-makam
para tenaga kerja ahli yang mengawasi pembangunan piramida-piramida menunjukkan bahwa
monumen-monumen itu dihasilkan oleh kerja bakti rakyat jelata yang dihimpun dari segenap

2/2
penjuru Mesir. Tampaknya mereka bekerja ketika luapan banjir tahunan Sungai Nil sedang
menutupi ladang-ladang mereka. Mereka juga tampaknya merupakan sekumpulan besar tukang
dan pandai yang meliputi juru ukir, juru gambar, matematikawan dan rohaniwan.
Wangsa Kelima bermula dengan pemerintahan Userkaf sekitar 2495 SM, dan ditandai dengan
makin berkembangnya pemujaan terhdap Dewa Matahari Ra. Dampaknya adalah berkurangnya
pengerahan daya upaya untuk membangun kompleks-kompleks piramida selama masa
pemerintahan wangsa ini dibandingkan dengan yang berlaku pada masa kekuasaan Wangsa
Keempat, dan lebih besar daya upaya yang dikerahkan untuk mendirikan kuil-kuil pemujaan
matahari di Abusir. Hiasan pada kompleks-kompleks piramida bertambah rumit pada masa
kekuasaan wangsa ini. Raja terakhir wangsa ini, Unas, adalah raja pertama yang memerintahkan
agar ayat-ayat piramida ditatahkan pada piramidanya. Makin besarnya minat bangsa Mesir akan
barang-barang dagangan semisal kayu hitam, wewangian seperti mur dan kemenyan, emas,
tembaga dan bermacam-macam logam berguna, telah mendorong orang-orang Mesir Kuno untuk
mengarungi laut lepas. Bukti dari Piramida Sahure, raja kedua dari Wangsa Kelima, menunjukkan
adanya perniagaan secara teratur dengan daerah pesisir Suriah untuk mendapatkan kayu Aras.
Para firaun juga melepas ekspedisi-ekspedisi ke Negeri Punt yang termasyhur itu, yang
kemungkinan besar terletak di Ethiopia dan Somalia sekarang ini, untuk mendapatkan kayu hitam,
gading, dan damar wangi.
Pada masa kekuasaan Wangsa Keenam (2345–2181 SM), kekuasaan para firaun sedikit demi
sedikit melemah seiring peningkatan kekuasaan para nomark (kepala-kepala daerah). Jabatan-
jabatan ini tidak lagi dipegang oleh keluarga kerajaan dan mulai diwariskan turun-temurun,
sehingga menciptakan wangsa-wangsa daerah yang agak merdeka dari kewenangan pusat yang
dipegang firaun. Kekacauan internal mulai timbul pada masa pemerintahan Pepi II (2278–2184
SM) yang memerintah cukup lama itu sampai pada akhir kekuasaan Wangsa Keenam. Pepi II
mangkat sesudah orang-orang yang dipersiapkan menjadi penggantinya meninggal dunia.
Keadaan ini agaknya memicu perselisihan seputar suksesi yang menjerumuskan Mesir ke dalam
kancah perang saudara hanya beberapa dasawarsa setelah berakhirnya pemerintahan Pepi II.
Pukulan terakhir tiba tatkala Mesir dilanda kemarau panjang pada abad ke-22 SM yang
menyebabkan tingkat ketinggian banjir Sungai Nil rendah secara konsisten.[15] Akibatnya adalah
keruntuhan Kerajaan Lama disusul bencana kelaparan dan pertikaian selama beberapa
dasawarsa.
Zaman Antara Pertama[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Periode Menengah Pertama Mesir

Sebuah model rumah dari tanah liat yang digunakan dalam pemakaman
dari Zaman Antara Pertama, dipamerkan di Royal Ontario Museum.

Setelah keruntuhan Kerajaan Lama, tibalah kurun waktu sekitar 200 tahun yang dikenal sebagai
Zaman Antara Pertama, yang lazimnya diperkirakan meliputi tahun-tahun pemerintahan serentet
firaun tak dikenal semenjak akhir masa kekuasaan Wangsa Keenam sampai dengan Wangsa
Kesepuluh, serta sebagian besar masa kekuasaan Wangsa Kesebelas. Sebagian besar firaun-
firaun ini adalah raja-raja daerah yang berkuasa sebatas luas nome mereka. Ada beberapa
naskah fiksi, yang dikenal sebagai Ratapan, berasal dari permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan
yang memberi sedikit gambaran mengenai apa saja yang berlangsung pada Periode Menengah
Pertama. Beberapa naskah memuat renungan akan hancurnya tata pemerintahan, sementara
naskah-naskah lain menyiratkan invasi "para pemanah dari Asia". Pada umumnya isi naskah-
naskah tersebut menyoroti suatu masyarakat yang mengalami hilangnya tata-tertib
kemasyarakatan maupun keseimbangan alam.
Sangat mungkin pula pada zaman ini terjadi perampokan atas semua piramida dan gugus-gugus
makam. Naskah-naskah Ratapan selanjutnya menyiratkan kenyataan ini, dan menjelang
permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan mumi-mumi mulai dihias dengan mantra-mantra sihir
yang sebelumnya dikhususkan bagi piramida raja-raja Wangsa Keenam.
Menjelang 2160 SM sebuah rentetan baru para firaun dari (Wangsa Kesembilan dan Wangsa
Kesepuluh) mempersatukan dan memerintah atas Mesir Hilir dari ibu kota mereka di Herakleopolis
Agung. Sebuah wangsa tandingan (Wangsa Kesebelas) yang berpangkalan
di Thebes mempersatukan kembali Mesir Hulu, dan tanpa dapat dicegah lagi timbullah
pertentangan di antara dua wangsa yang saling bersaing itu. Sekitar 2055 SM bala tentara Thebes
mengalahkan para firaun Herakleopolis dan mempersatukan kembali Dua Negeri. Pemerintahan
firaun pertamanya, Mentuhotep II, menandai permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan.
Zaman Kerajaan Pertengahan[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kerajaan Pertengahan Mesir

Sebuah arca Mentuhotep II (pendiri Kerajaan Pertengahan)


sebagai Dewa Osiris.

Zaman Kerajaan Pertengahan adalah kurun waktu dalam sejarah Mesir Kuno yang merentang
sejak tahun ke-39 pemerintahan Mentuhotep II dari Wangsa Kesebelas sampai pada akhir masa
kekuasaan Wangsa Ketiga Belas, kira-kira antara 2030 SM dan 1650 SM.
Zaman ini terdiri atas dua tahap. Yang pertama adalah masa kekuasaan Wangsa Kesebelas yang
memerintah di Thebes dan yang kedua adalah masa kekuasaan Wangsa Kedua Belas yang
beribu kota di el-Lisht. Masa kekuasaan dua wangsa ini mula-mula dianggap sebagai keseluruhan
dari rentang waktu zaman kerajaan persatuan ini, namun beberapa sejarawan kini[16] beranggapan
bahwa paruh pertama dari Wangsa Ketiga Belas tergolong pula dalam Zaman Kerajaan
Pertengahan.
Firaun-firaun terawal dari Zaman Kerajaan Pertengahan menisbatkan asal-usulnya pada
dua nomark dari Thebes, yakni Intef Agung, putera Iku yang mengabdi pada seorang
firaun Herakleopolis dari Wangsa Kesepuluh, dan penggantinya Mentuhotep I. Firaun yang
menggantikan Mentuhotep I, Intef I adalah penguasa Thebes pertama yang menggelari dirinya
dengan Nama Horus, dan oleh karena itu menyatakan diri berhak atas tahta Mesir. Ia dianggap
sebagai firaun pertama dari Wangsa Kesebelas. Pernyataan diri itu mengakibatkan rakyat Thebes
bertikai dengan para penguasa dari Dinasti Kesepuluh. Intef I dan saudaranya, Intef II, beberapa
kali melancarkan peperangan ke wilayah utara dan pada akhirnya merebut nome penting, Abydos.
Peperangan berlanjut antara Wangsa Thebes dan Wangsa Herakleopolis sampai pada tahun ke-
39 pemerintahan Nebhetepra Mentuhotep II, pengganti kedua dari Intef II. Pada titik inilah kubu
Herakleopolis ditaklukkan dan Wangsa Thebes membentangkan jangkauan kekuasaannya ke
segenap penjuru Mesir. Mentuhotep II diketahui telah memerintahkan bala tentaranya
menyerbu Nubia di wilayah selatan yang telah memerdekakan diri pada Zaman Antara Pertama.

2/2
Terdapat pula bukti-bukti pengerahan bala tentara untuk memerangi Palestina. Raja ini menata
kembali negeri Mesir dan melantik seorang wazir untuk mengepalai administrasi sipil negeri itu.
Mentuhotep II digantikan oleh puteranya, Mentuhotep III, yang mengatur sebuah ekspedisi ke
negeri Punt. Pada masa pemerintahannya dihasilkan beberapa karya ukir Mesir yang paling halus.
Mentuhotep III digantikan oleh Mentuhotep IV, firaun terakhir wangsa ini. Meskipun namanya tidak
tercantum dalam banyak daftar firaun, keberadaan masa pemerintahannya dapat dibuktikan
melalui sejumlah prasasti di Wadi Hammamat yang berisi riwayat ekspedisi ke pesisir Laut
Merah dan ekspedisi penambangan batu untuk pembuatan monumen-monumen kerajaan.
Pemimpin ekspedisi ini adalah wazirnya, Amenemhet, yang oleh banyak pihak diduga kelak
menjadi Firaun Amenemhet I, raja pertama Wangsa Kedua Belas. Oleh karena itu beberapa
egiptolog menduga Amenemhet merebut tahta ataupun mengambil alih kekuasaan setelah
Mentuhotep IV mangkat tanpa keturunan.
Amenemhet I mendirikan sebuah ibu kota baru bagi Mesir dengan nama Itjtawy yang diduga tak
jauh letaknya dari el-Lisht sekarang ini, walaupun Manetho mencatat bahwa Thebes tetap menjadi
ibu kota Mesir. Amenemhet meredakan kekacauan internal dengan ketegasan, membatasi hak-
hak para nomark, dan diketahui pernah melancarkan peperangan setidaknya satu kali ke Nubia.
Puteranya Senusret I melanjutkan kebijakan ayahnya untuk menguasai kembali Nubia serta
wilayah-wilayah yang memerdekakan diri dari Mesir pada Zaman Antara Pertama. Bangsa Libya
ditaklukan pada tahun ke-45 masa pemerintahannya, dan kemakmuran serta keamanan Mesir
kembali pulih seperti sediakala.
Senusret III (1878–1839 SM) adalah seorang raja yang gemar berperang. Ia memimpin bala
tentara Mesir menerobos ke pelosok Nubia, dan mendirikan benteng-benteng besar di seluruh
wilayah Mesir sebagai penanda garis-garis perbatasan resmi yang memisahkan wilayah Mesir dari
wilayah yang belum ditaklukkan. Amenemhat III (1860–1815 SM) dianggap sebagai firaun besar
terakhir dari Zaman Kerajaan Pertengahan.
Populasi Mesir mulai melebihi tingkat produksi pangan pada masa pemerintahan Amenemhat III,
yang oleh karena itu memerintahkan eksploitasi atas Fayyum dan peningkatan kegiatan
penambangan di gurun Sinai. Ia mengundang pula orang-orang Asia untuk bermukim di Mesir
agar dapat dipekerjakan pada pembangunan monumen-monumen. Menjelang akhir masa
pemerintahannya, banjir tahunan Sungai Nil mulai terhenti yang berdampak pada penyusutan
sumber daya yang dimiliki pemerintah. Pada masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa
Keempat Belas Mesir perlahan-lahan mengalami kemerosotan, sehingga pada Zaman Antara
Kedua beberapa pemukim Asia yang didatangkan Amenemhet III pun mampu menguasai Mesir
seperti bangsa Hyksos.

Anda mungkin juga menyukai