Selat Sunda
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah
hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun
berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung
Samalas, Gunung Tambora, dan Gunung Toba di Indonesia, Gunung berapi Taupo di Selandia
Baru dan Gunung Katmai di Alaska. Namun, gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa
ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara itu, ketika Gunung Krakatau meletus,
populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah
ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa saat
itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah
penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di
bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai
letusan tersebut. Getaran akibat letusan Gunung Krakatau terasa sampai ke Eropa.
“
... ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula
goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian
datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan
seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke
timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah
menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra ”
Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam
yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks disebut Gunung Batuwara.
Menurut Pustaka Raja Purwa, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan
laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga per empat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera
(kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau
Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas
terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi karena suhu bumi menurun.
Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba,
transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan,
punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh
teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan
kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk
perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-30
Tahun. >>
Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh
sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau
(atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari
tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan
Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut
Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada
tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa
itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun
tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya
letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil
yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.
Anak Krakatau, dua tahun sejak awal terbentuknya. Foto diambil 12 atau 13 Mei 1929, koleksi Tropenmuseum.
Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 44 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul
gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih
aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci)
per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40
kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka
dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500
kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh
material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar
230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813
meter dari permukaan laut.
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat
menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatra yang aneh akan
memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu
pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan
terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26
Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.
Anak Krakatau, Februari 2008