Anda di halaman 1dari 7

TEKS CERITA SEJARAH

MENGENANG BENCANA MELETUSNYA GUNUNG KRAKATAU TAHUN 1883.

Disusun oleh:

Pratiwi Dwi Saputri 27/5042

KELAS XII MIPA 3

TAHUN PELJAARAN 2023/2024


SMA NEGERI 1 NGLUWAR

Salah satu cerita sejarah di Indonesia tentang letusan gunung berapi pada tahun 1883, yang
tercatat menjadi salah satu letusan terbesar dalam sejarah. Saking besarnya letusan ini juga
menyebabkan tsunami hingga mampu menghancurkan 165 daerah di area pesisir pantai. Bahkan
sampai satu tahun pasca letusan masih ditemukan jenazah mengapung sampai Afrika sama dengan
batu apung yang telah dimuntahkan oleh gunung tersebut. Ya, gunung tersebut adalah Gunung
Krakatau.

Latar Belakang Gunung Krakatau.

Seperti yang kita lihat bahwa Indonesia merupakan wilayah yang berpotensi mengalami kejadian
gunung meletus. Karena memang, wilayah Indonesia berada dalam ring of fire atau cincin api
pasifik. Menurut National Oceanic Atmospheric Administration (NOAS), Ring of Fire ini
merupakan serangkaian 800-1000 gunung berapi yang membentang 40.245 km di sekitar samudra
pasifik. Ring of Fire ini membentang dari ujung Amerika Selatan sampai sepanjang pantai barat
Amerika Utara. Melintasi selat berlin turun melalui Jepang dan masuk lah ke Indonesia. Hal itu
juga menyebabkan Indonesia akan sering mengalami gempa bumi.

Salah satu gunung yang pernah mengalami letusan dahsyat adalah Gunung Krakatau. Hingga
dampaknya terasa sampai ke luar negeri. Letusan itu pun dibarengi dengan bencana lain, yaitu
tsunami. Yang gelombangnya juga dirasakan hingga luar negeri.

Gunung Krakatau merupakan gunung yang berada di Selat Sunda, yakni berada antara Pulau Jawa
dan Pulau Sumatera. Namun, secara administratif, Gunung Krakatau berada di Lampung Selatan,
Provinsi Lampung.

Sebelum terbentuk Gunung Krakatau ini di selat sunda pada masa prasejarah, telah menjulang
tinggi gunung berapi dengan ketinggian 2.000 meter yang dikenal sebagai gunung krakatau purba.
Jadi Gunung krakatau dengan gunung krakatau purba ini berbeda.

Menurut catatan sejarah, Gunung Krakatau Purba pernah meletus hebat tahun 535 M selama 10
hari dengan letusan puncak selama 34jam yang menyebabkan terbentuknya Selat Sunda,
hilangnya peradaban Pasemah Lampung dan Salakanegara Banten selama sekitar 20-30 tahun.
Ledakan Gunung Krakatau menyebabkan tsunami, langit gelap, dan cuaca dingin.
Menurut sejarahwan dan arkeolog Michael McCormick dari Harvard, masa ini adalah "salah satu
periode terburuk, jika bukannya tahun terburuk", untuk menjadi mahluk hidup di sebagian
wilayah dunia. Kabut misterius menutupi Eropa, Timur Tengah dan sebagian Asia sehingga terjadi
kegelapan - sepanjang hari dan malam - selama 18 bulan, tulisnya lewat sebuah tulisan di jurnal
Science.

Suhu pada musim panas turun 1,5 Celcius menjadi 2,5 C, memulai dekade terdingin dalam 2.300
tahun terakhir. Salju turun pada musim panas di Cina; panen gagal, orang kelaparan.

Misteri Kitab Raja Purwa Ronggowarsito yang ‘Ramalkan’ Letusan Krakatau di Masa Depan

Raden Ngabehi Ronggowarsito merupakan seorang pujangga besar yang berasal dari Kesultanan
Surakarta. Ramalan mengenai meletusnya Gunung Kraktau ia tulis di dalam kitabnya yang
bertajuk Raja Purwa. Kita Raja Purwa diterbitkan pada 1869, 14 tahun sebelum Gunung Krakatau
meletus hebat. Dalam ramalannya, Ronggowarsito menggunakan istilah Gunung Kapi sebagai
objek yang ia gambarkan.

“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air
hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya,
suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping
dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi, Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di
timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa (Lampung) dibanjiri air laut, penduduk bagian
utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik
mereka.” tulisnya.

Dari meletusnya Gunung Krakatau Purba ini, menyisakan 3 pulau yaitu Pulau Rakata, Pulau
Sertung, dan Pulau Panjang.

Nah, dari 3 pulau tersebut hanya ada 1 pulau yang memiliki aktivitas vulkanik yaitu Pulau Rakata.
Di pulau ini terdapat 3 buah gunung namun hanya memiliki 1 dapur magma yg sama, jadi 3
gunung tersebut aslinya hanya 1 gunung karena memiliki 1 dapur magma yg sama , gunung itu
yang biasa kita sebut yaitu Gunung Krakatau.

Kronologi Letusan Gunung Krakatau pada Tahun 1883.

Sebelum gunung meletus pastinya ditandai oleh sinyal sinyal yang menandakan bahwa gunung
tersebut akan meletus. Nah, pada zaman itu pastinya banyak sekali korban korban menjelang
letusan gunung krakatau tersebut, namun diantara mereka yang tewas ada juga yang selamat dan
menghasilkan catatan catatan harian, saksi mata, wawancara dll mengenai pasca letusan gunung
krakatau tersebut yang akhirnya dikumpulkan menjadi satu oleh ahli geologi dari Belanda yang
bernama Rogier Verbeek. Nah, beliau ini adalah salah satu ilmuan yang merupakan korban
selamat dari peristiwa itu. Kejadian pertama yang mengiringi letusan krakatau ini sebelumnya
pada bulan Mei Tahun 1883, terjadi gampa bumi disertai banyak binatang peliharaan seperti kuda-
kuda yang mengamuk. Gempa bumi menandakan aktivitas magma yang ada di perut bumi di
bawah gunung Berapi. Katamba salah satu daerah yang berjarak 25 mil dari lokasi Gunung
Krakatau merasakan getaran-getaran yang semakin kencang. Dicatat oleh Joanna, Istri Willem
Beijerik seorang Controleur pegawai Belanda, ia khawatir dengan gempa yang semakin keras.
Kuda-kuda mengamuk tidak karuan, Joana meminta Willem untuk pergi dari Katamba ke daerah
lain.

Namun, Willem terlalu sibuk dengan urusan bisnis Kerajaan Belanda di Bank Kapas. Tokaya, juru
tulis yang membantu Willem tampak khawatir dengan gempa, namun tidak dikatakannya.

Kejadian selanjutnya yaitu pada 20 Mei - Juni 1883, Muncul batu apung di tepi pantai dan
Krakatau mengeluarkan asap yang menimbulkan warna biru dan hijau ketika terkena matahari.
Dimana batu apung ini merupakan bebatuan vulkanik yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanik dari
dalam bumi. Peneliti dan ahli geologi Rogier Verbeek menemui rekannya yang bekerja di
Mercusuar pantai, sekitar 30 mil (48 km) dari Krakatau, setelah dikabarkan perihal aktivitas
gunung tersebut. Mereka tidak khawatir jika Krakatau meletus, karena jaraknya yang jauh dengan
mereka.

Anak lelaki rekan Verbeek memberikan batu apung kepada Verbeek sebagai hadiah setelah
menceritakan proses gunung merapi yang meletus. Verbeek menerimanya dan bertanya di mana ia
menemukan batu apung tersebut.

Anak lelaki itu menjawab bahwa ia menemukannya di tepi pantai. Verbeek tidak terlalu
menyadari bahwa batu apung yang ditemukan di tepi pantai tersebut sesungguhnya telah
menunjukkan apa yang sedang terjadi di bawah laut gunung Krakatau.

Asap berwarna biru dan hijau terus-menerus keluar dari Krakatau sejak Mei hingga Juni 1883.
Kemudian terjadi letusan pada 20 Mei 1883. Setelah letusan tersebut, asap yang keluar amat
tinggi hingga mencapai lebih dari 5 mil.

Lalu, pada tanggal 27 Mei 1883, Krakatau meletus dan mengeluarkan asap hampir setinggi 5 mil
(sekitar 8 km). Letusan ini pertanda aktivitas dapur magma. Lahar di bawah gunung berapi
Krakatau mencari jalan untuk keluar. Melalui tinggi asap abu vulkanik yang dikeluarkan, dapat
diperkirakan besarnya letusan susulan kemudian. Verbeek yang sedang dalam perjalanan menuju
Buitenzorg (sekarang Bogor) mempercepat perjalanannya untuk memberitahu rekannya di sana.

Sesampainya di Buitenzorg, Verbeek mendiskusikan aktivitas Krakatau dan mengambil batu


apung sampel dari letusan Tambora. Rekannya keheranan dan bertanya apakah Verbeek
menyangka letusan Krakatau akan sehebat Tambora. Wanita pribumi yang menjadi gundik rekan
Verbeek kemudian menceritakan kisah-kisah mitos perihal Krakatau.

Kisah tersebut mengisahkan meletusnya Krakatau merupakan peristiwa yang berulang. Akan lahir
gunung berapi baru dari letusannya yang kemudian akan meletus kembali. Verbeek melihat peta
Krakatau dan segera pergi ke lokasi mercusuar, tempat rekannya berada.

Kemudian pada tanggal 24-25 Agustus 1883, hewan-hewan mulai bertingkah laku aneh. Ayam
tidak bertelur, burung dan kera tidak tinggal di pohon. Keanehanyang terjadi membuat Joanna
khawatir dan ingin segera pergi dari Katambang. Setelah menonton pertunjukan wayang malam
hari, Joanna mengatakan perihal keanehan yang terjadi kepada Verbeek. Namun Verbeek tidak
terlalu mengindahkannya.

Setelah itu, 26 Agustus 1883 Terjadi lah getaran bumi dan letusan Krakatau yang disusul tsunami.

Sekitar pukul 10 lebih, terasa getaran pada bumi dengan asap yang terus-menerus keluar dari
Krakatau. Pada pukul 13:00 terjadi letusan hebat yang suaranya memekakan telinga, bahkan di
mercusuar tepi pantai.

Krakatau benar-benar meletus. Pada setiap detiknya, sekitar satu juta kubik meter batu abu dan
batu apung keluar dari lubang dan menerpa setiap sisi gunung. Terjadi longsor besar yang
menimbulkan perubahan pasang surut amat cepat yang tak terduga. Letusan gunung tersebut
mulai menuntut korban pertamanya pada warga sekitar pulau.

Pada 14:30 air di sekitar pantai surut dengan cepat. Sayangnya, penduduk sekitar pesisir pantai
saat itu masih belum pergi mengungsi atau menyelamatkan diri. Mereka berfikir bahwa ini adalah
fenomena keajaiban dunia bagi mereka. Sebagian penduduk sudah pergi dengan berjalan kaki saat
itu, karena belum ada transportasi masa itu sehingga mereka hanya memiliki alat transportasi
kuda. Namun, sayangnya kuda-kuda pada saat itu sudah mengamuk sehingga tidak bisa dikontrol.

Gelombang tsunami menghantam pemukiman sekitar pantai. Setelah letusan yang pertama, lokasi
daerah menentukan siapa yang dapat hidup dan mati. Krakatau yang berada di tengah Selat Sunda
berjarak 30 mil dari daratan di semua arah.

Tsunami pertama yang ditimbulkan oleh gunung menuju utara telah menghancurkan Bank Kapas
dan tewasnya ribuan orang di Katimbang. Semua gunung api yang ada di pulau Gunung Krakatau
dibentuk oleh satu dapur magma.Kurang dari satu jam, gumpalan abu telah setinggi 30 mil
(sekitar 48 km), menyebar ke segala arah yang kemudian akan menelan daratan dan laut.

Warga yang berhasil selamat pergi menuju bukit di pantai utara menjauhi abu vulkanik. Sepanjang
malam Krakatau terus menerus meltus yang dentumannya terdengar hingga ratusan mil dan
mengeluarkan abu vulkanik yang amat pekat. Letusan Krakatau sedang memasuki fase baru.
Selanjutnya, pada 27 Agustus 1883: Pagi hari tak nampak matahari, Letusan yang memekakan
telinga dan gumpalan uap yang menghadang sepanjang laut pulau-pulau Sumatera Selatan.

Setelah selama 20 jam letusan terus menerus terjadi, dapur magma Krakatau kosong sehingga
menyebabkan gunung runtuh. Ledakan yang ditimbulkan amat besar hingga terdengar ke
Australia yang jauhnya 3 ribu mil (atau sekitar 4800 km). Jutaan ton abu dan batu apung
tertumpah ke laut.

Kemudian memicu tsunami lanjutan yang berdampak menghancurkan daripada tsunami


sebelumnya. Ombak setinggi 40 meter menghancurkan dan mengangkat keluar mercusuar dari
fondasinya. Ombak itu pun menghancurkan keseluruhan garis pantai, banyak kota dan desa serta
ribuan orang tewas.

Namun ternyata Krakatau masih akan mengeluarkan hal terakhir yang paling mengerikan.
Keruntuhan gunung melepaskan longsor abu dan batuan terakhir. Hal tersebut menjadikan gunung
menyentuh air yang nampak seperti berjalan bagai gumpalan uap lahar. Abu, gas dan batu
memanas hingga lebih dari 500°C.

Gumpalan uap lahar tersebut merambah sepanjang laut menuju pulau-pulau di Sumatera Selatan.
Sebanyak 3 ribu penduduk yang telah berpindah ke daratan tinggi, lebih 1000 orang dari mereka
tewas. Sementara sisanya yang selamat mengalami luka bakar parah akibat abu dan batu.

Letusan Krakatau itu sendiri menghancurkan 165 desa di pantai dan menewaskan lebih dari 36
ribu orang. Terdapat laporan terdamparnya mayat dan batu apung setahun setelah bencana
tersebut di pantai Afrika. Penguasa Belanda memesan 250 ribu galon bensin untuk membakar
mayat-mayat.

Nah, jadi setelah ledakan tersebut, tadi yang awal mula di pulau rakata terdapat 3 puncak gunung
berapi, setelah ledakan hanya menyisakan kurang dari setengahnya gunung tersebut. Seiring
berjalannya waktu, aktivitas vulkanik dibawah gunung tersebut selalu aktif. Dari periode 1927 -
1929 muncullah sebuah dinding kawah ke permukaan laut, dan seiring berjalannya waktu tumbuh
lah pulau krakatau atau yang sekarang kita lihat gunung kratau.

Sebelumnya, pasca peristiwa tersebut terdapat sebuah kisah inspiratif oleh pelaut yang
mengemudikan kapal uap yaitu Kapten Lindemann. Di antara banyak kesaksian, kisah perjuangan
Kapten T. H. Lindemann bersama enam orang kru di kapal Belanda, Governeur Generaal Loudon
selamat dari ‘kiamat kecil’ dampak letusan dahsyat Gunung Krakatau jadi salah satu yang
menarik.

Sekitar jam 7 pagi, Kapten T. H. Lindemann yang tengah berjaga-jaga di pantai di sekitaran Telok
Betong (sekarang menjadi Telukbetung, Kota Bandar Lampung), dari kejauhan melihat seperti
ada ombak cukup tinggi, seperti gunung air. Ombak tersebut kemudian menghantam wilayah
pesisir dan diyakini mampu memusnahkan apapun yang ada. Sadar wilayahnya juga terancam, ia
bersama enam kru kapal pun berlayar menggunakan kapal Governeur Generaal Loudon menuju
Anjer (Anyer) di seberang pulau. Saat dalam perjalanan itulah, tiba-tiba gelombang tsunami
setinggi 30 meter akibat letusan reruntuhan Gunung Krakatau ke lautan mendekat dengan
kecepatan tinggi. Dalam keadaan terdesak namun masih cukup waktu untuk berpikir, Kapten T. H.
Lindemann memutuskan untuk melawan tsunami. Ia memerintahkan agar kapal berlayar
mendekat ke arah datangnya tsunami, bukan menjauh. Karena apabila menjauhi gelombang
tsunami malah kapal akan hancur berkeping keping, karena tsunami justru akan melaju ke arah
daratan dan melahap apa yang dilaluinya.

Walaupun sempat hampir terbalik dan membuat seluruh penumpang mabuk, kapal akhirnya
berhasil masuk ke dalam pusaran gelombang dan berlayar dengan kecepatan penuh di ujung
gelombang yang berada di ketinggian. Saat itu, kapal sebetulnya belum benar-benar bisa dibilang
selamat. Dari ketinggian sekitar 30 meter, kapal bisa saja terhempas ke perairan dengan keras dan
hancur berkeping.

Beruntung, kapal berhasil kembali perairan dengan agak mulus dan berlayar menuju Anyer. Saat
itu, kesaksian Kapten T. H. Lindemann bersama kru, tak ada lagi pemukiman yang mereka lihat
kecuali lautan lepas.

“Kapal melaju dengan sudut tinggi melewati puncak gelombang dan menuruni sisi lainnya.
Gelombang terus berlanjut menuju darat dan awak yang lumpuh menyaksikan laut dalam satu
gerakan menyapu kota. Di sana, di mana beberapa detik sebelumnya telah terbentang Kota Telok
Betong, tidak ada yang tersisa kecuali laut lepas,” bunyi kesaksian Kapten T. H. Lindemann.

Dampak dari erupsi terakhir gunung Krakatau harus menjadi pengingat bahwa kita perlu
melakukan studi tambahan, pendidikan, dan upaya kesiapsiagaan lebih untuk menyelamatkan
orang-orang terutama diri kita sendiri dan bangunan yang ada selama gunung api meletus dan
sesudahnya.

Anda mungkin juga menyukai