Anda di halaman 1dari 5

Nama : Alhafiz Hairi

Kelas : X IPA 2

MAPEL : SEJARAH INDONESIA

GUNUNG KRAKATAU

Krakatau (atau dengan nama internasional Krakatoa ataupun Rakata) adalah kepulauan
vulkanik yang masih aktif dan berada di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan,
tepatnya di perairan Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatra.[2] Nama ini juga disematkan
pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau). Gunung Krakatau Purba
pernah meletus hebat tahun 535 M yang menyebabkan terbentuknya Selat Sunda, hilangnya
peradaban Pasemah Lampung dan Salakanegara Banten selama sekitar 20-30 tahun. Ledakan
Gunung Krakatau menyebabkan tsunami, langit gelap, dan cuaca dingin. [3] Pada tahun 1680,
pernah terjadi letusan juga.[3] Peristiwa itu pun masih berlanjut terulang kembali yang
menyebabkan Krakatau sirna karena letusan kataklismik pada tanggal 26-27 Agustus 1883.
Pada tahun 2019, kawasan yang sekarang merupakan cagar alam ini memiliki empat pulau
kecil: Pulau Rakata, Pulau Anak Krakatau, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang (Rakata Kecil).
Berdasarkan kajian geologi, semua pulau ini berasal dari sistem gunung berapi tunggal
Krakatau yang pernah ada di masa lalu.

Krakatau dikenal dunia karena letusan yang sangat dahsyat pada tahun 1883. Awan panas dan
tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26
Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudra Hindia. Suara
letusan itu terdengar sampai ke Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika,
4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang
diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Selat Sunda
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua
setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai
setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung
Samalas, Gunung Tambora, dan Gunung Toba di Indonesia, Gunung berapi Taupo di
Selandia Baru dan Gunung Katmai di Alaska. Namun, gunung-gunung tersebut meletus jauh
pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara itu, ketika Gunung
Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah
berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan
berkembang pesat.

Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah
penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut sayangnya belum diimbangi dengan
kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan
penjelasan mengenai letusan tersebut. Getaran akibat letusan Gunung Krakatau terasa sampai
ke Eropa.

Perkembangan Gunung Krakatau


Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada
masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat
yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang
merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari
bebatuan andesitik.

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian
alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks disebut Gunung
Batuwara.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga per empat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan
kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau
Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir
bertanggung jawab atas terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi
karena suhu bumi menurun. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di
muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba,
transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan,
punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang
penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan
perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah
membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10
derajat selama 10-30 Tahun. >>
Munculnya Gunung Krakatau

Perkembangan Gunung Krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian
tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai
Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua
gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan
yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan
ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.

Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu
pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus.
Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari
itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-
tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian
disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.

Erupsi 1883

Artikel utama: Letusan Krakatau 1883

Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi ledakan pada gunung tersebut.
Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga
penulis National Geographic, mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara
paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia
modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat
didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Sebelum erupsi, terjadi sejumlah gejala alam yang
tak biasa. Perilaku hewan berubah. Kuda-kuda mengamuk, ayam tidak bertelur, kera dan
burung tak nampak lagi di pepohonan.[4]

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan
Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah
modern. The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang
paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18
kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang
berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatra bahkan sampai ke Sri
Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.
Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung
Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam
250 meter. Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan
apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi
juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung
kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat
Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatra Bagian selatan).
Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai
beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat
matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii,
pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak Krakatau

Anak Krakatau, dua tahun sejak awal terbentuknya. Foto diambil 12 atau 13 Mei 1929,
koleksi Tropenmuseum.

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 44 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau,
muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut
yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar
0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki)
dan lebih lebar 12 meter (40 kaki). Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm
per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata
mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki) lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya.
Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru
itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut,
sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu
sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatra yang
aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali.
Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi
memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar
Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.
Anak Krakatau, Februari 2008

Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang,
Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-
saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang
dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal
tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau
sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari
letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini secara umum oleh masyarakat lebih dikenal
dengan sebutan "Gunung Krakatau" juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang
tumbuh pasca letusan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai