Anda di halaman 1dari 3

LETUSAN GUNUNG KRAKATAU

Sebelum letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah
gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. Pada 20 Mei 1883, pelepasan uap mulai terjadi
secara teratur di Perboewatan, pulau paling utara di Kepulauan Krakatau. Pelepasan abu vulkanik
mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta),
yang berjarak 160 km dari Krakatau. Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada
aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan.

Letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan letusan keras dan menutupi pulau dengan
awan hitam tebal selama lima hari. Pada 24 Juni, angin timur yang bertiup membersihkan awan
tersebut, dan dua gulungan kabut asap terlihat membubung dari Krakatau. Letusan ini diyakini telah
menyebabkan munculnya dua ventilasi baru yang terbentuk di antara Perboewatan dan Danan.
Aktivitas gunung juga menyebabkan air pasang di sekitarnya menjadi sangat tinggi, dan kapal-kapal
di pelabuhan harus ditambatkan dengan rantai agar tidak terseret laut. Guncangan gempa mulai
terasa di Anyer, Jawa Barat, dan kapal-kapal Belanda melaporkan mengenai adanya batu apung besar
yang mengambang di Samudra Hindia di sebelah barat.

Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau.
Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas
ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata. Saat mendarat, Ferzenaar
mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya
menyisakan tunggul-tunggul pohon. Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan
mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak "hanya beberapa meter di atas permukaan laut".
Aktivitas vulkanik Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.

Tanggal 25 Agustus, letusan semakin meningkat. Sekitar pukul 13.00 tanggal 26 Agustus, Krakatau
memasuki fase paroksimal. Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan
ketinggian 27 km (17 mi). Pada saat ini, letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap
sepuluh menit sekali. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km (12 mi) dari Krakatau telah
dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm (3,9 in)
mendarat di dek kapal. Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatra hampir 40 km (25
mi) jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00.

Pada 27 Agustus, empat letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat.
Pada pukul 5.30, letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju
Telukbetung. Pukul 06.44, Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan
barat. Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3.110 km (1.930 mi)
jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4.800 km (3.000 mi) jauhnya).
Penduduk di sana mengira bahwa letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal
terdekat. Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini
mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir
Sumatra turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi. Energi yang dilepaskan dari ledakan
diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT,[4] kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar
Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor
yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya letusan akhir.

Gelombang tekanan yang dihasilkan oleh letusan kolosal keempat dan terakhir terpancar keluar dari
Krakatau hingga ketinggian 1.086 km/h (675 mph). Letusan tersebut begitu kuat sehingga
memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda, dan menyebabkan
lonjakan tekanan lebih dari 2½ inci merkuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang terpasang
di Batavia. Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia, yang tetap
terjadi hingga 5 hari setelah letusan. Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari
letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak 7 kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan
mencapai 80 km (50 mi).

Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus, Krakatau terdiam. Letusan kecil,
sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober 1883.

Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang Desa
Banding, Rajabasa, Lampung Selatan). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini.Kombinasi
aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar
Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya
sekitar 13 km (8,1 mil) dari Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di
Ketimbang dan di pesisir Sumatra yang berjarak 40 km (25 mil) di sebelah utara Krakatau. Jumlah
korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417[8] (dengan rincian : 165
kampung hancur total, 132 kampung hancur sebagian), namun beberapa sumber menyatakan bahwa
jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan
mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh
lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatra hingga 40 km (25 mil) jauhnya
ke daratan. Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya
menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing
vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). Dari dua pulau di utara, hanya pulau
berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.

Pada tahun setelah letusan, rata-rata musim panas di belahan bumi utara suhu turun sebesar 04 °C
(7,2 °F). Rekor curah hujan yang melanda California Selatan selama tahun air dari Juli 1883 hingga
Juni 1884 – Los Angeles menerima 97.000 milimeter (3.818 in) dan San Diego 66.000 milimeter
(2.597 in)[12] – telah dikaitkan dengan letusan Krakatau. Tidak ada El Niño selama periode itu seperti
biasa ketika hujan lebat terjadi di California Selatan, tetapi banyak ilmuwan meragukan bahwa ada
hubungan sebab akibat.

Letusan itu menyuntikkan sejumlah besar gas sulfur dioksida (SO2) yang luar biasa besar ke dalam
stratosfer, yang kemudian diangkut oleh angin tingkat tinggi ke seluruh planet ini. Hal ini
menyebabkan peningkatan global dalam konsentrasi asam sulfat (H2SO4) di awan cirrus tingkat
tinggi. Peningkatan yang dihasilkan dalam cloud reflectivity (atau albedo) memantulkan lebih banyak
cahaya yang masuk dari matahari dari biasanya, dan mendinginkan seluruh planet sampai belerang
jatuh ke tanah bagian dari hujan asam.

Saking hebatnya, suara letusan ini sampai ke Kawasan Bandung. Dalam surat kepada keluarganya,
Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918) mengatakan bahwa suara Krakatau ini seperti ledakan
sebuah meriam yang berada di bawah jendela rumah mereka di Gambung, dekat Ciwidey.

Selain itu pula, letusan Krakatau pada tahun 1883 sebenarnya juga menjadi salah satu kejadian awal
sebelum dimulainya perlawanan rakyat di Cilegon 5 tahun sesudahnya.[1] Kejadian ini juga sempat
tercatat dalam Syair Lampung Karam oleh Muhammad Saleh, seorang yang kemungkinan asli
Lampung dan mengungsi ke Singapura. Kitab syair itu terbit pada 1888, dan menceritakan secara
dramatis soal kengerian dan keadaan kacau balau ketika Krakatau meletus. Bisa dikatakan, kitab ini
menceritakan letusan Krakatau satu-satunya dari perspektif pribumi sendiri.

Anda mungkin juga menyukai