Kerajaan Singasari (Hanacaraka) atau sering pula ditulis Singhasari atau Singosari, adalah sebuah
kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222.Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan berada di daerah Singasari, Malang.
Berdirinya Kerajaan Singasari
Berdirinya kerajaan singasari yaitu pendiri kerajaan ini ialah oleh Ken Arok, namun, hal yang masih
mengganjal adalah tidak ada yang tahu Ken Arok itu asalnya dari mana, menurut kitab Pararaton,
Ken Arok ialahh anak seorang petani dari gunung Kawi katanya, tapi, ia dibesarkan oleh yang konon
seorang pencuri dan mendidiknya supaya menjadi orang jahat.
Kemudian Ken Arok ingin memiliki istri yang mana ia adalah Bupati Tumapel yang bernama Ken
Dedes, karena niatnya yang jahat, Ken Arok ingin membunuh suami Ken Dedes yang bernama
Tunggul Ametung, setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, dan ia pun
diangkat menjadi Bupati Tumapel.
Kala itu, Tumapel masih berada di bawah kekuasaan kerajaan kediri yang mana pada waktu itu di
pimpin oleh Raja Kertajaya, entah kenapa pemerintah kediri melepaskan Kabupaten Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kediri.
Seiring berjalan waktu pada tahun 1222 para pendeta dari Kerajaan Kediri meminta agar raja
Kertajaya itu tidak melakukan seenaknya saja terhadap Ken Arok, kemudian Ken Arok menyusun
siasat dengan melatih prajuritnya untuk menyerang kerajaan Kediri.
Setelah sudah di siasati oleh Ken Arok, kemudian semua prajurit termasuk Ken Arok bergerak
menyerang kerajaan kediri, dan Ken Arok menang berhasil mengusai kerajaan kediri, terus Ken Arok
diangkat menjadi raja dan menyatukan Tumapel dengan bekas Kerajaan Kediri yang kemudian diberi
nama menjadi Kerajaan Singasari.
Kejayaan Kerajaan Singasari
Kejayaan kerajaan singasari yaitu ketika masa pemerintahan, Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara,
dengan kemampuan yang ia miliki beliau melakukan konsolidasi dan bisa menempatkan para pejabat
dengan kemampuan nya masing-masing.
Raja kertanegara juga seorang yang sangat tegas, karena ia juga menggantikan pejabat yang tidak
bekerja dengan benar, dengan hal ini kerajaan tersebut menjadi sangat tangguh, karena sangat
seimbang dalam bidang ketahanan atau apapun.
Tidak hanya itu kecerdasan Raja Kertanegara juga bisa diunggulkan karena bisa kerja sama dengan
kerajaan Cempa, dengan kebijaknnya kerajaan ini pun salah satu kerajaan terkuat di Indonesia pada
masanya.
Tidak hanya dibidang militer, tapi, kerajaan ini pun begitu kuat dibidang perdagangnya, sehingga
ekonomi kerajaan ini stabil dan sangat berpengaruh terhadap kerajaan.
Runtuhnya Kerajaan Singasari
Runtuhnya kerajaan singasari yaitu memiliki dua sebab, yang pertama adalah tekanan dari luar dan
pemberontakan dalam negeri, tekanan yang pertama yaitu dengan serangan datang dari Dinasti Yuan
di Cina dan Khubilai Khan, Khubilai Khan mengehendaki Kerajaan Singasari berada di bawah
kekuasaan Cina.
Kertanagara menolak hal ini dengan menghina utusan Khubilai Khan yang bernama Meng Chi, sejak
itu, Kartanegara lebih fokus terhadap pertahanan laut, sehingga tidak terlalu memperhatikan
pertahanan di dalam kerajaan.
Kemudian pada tahun 1292, kerajaan kediri memanfaatkannya untuk memberontak, dan menyerang
Singasari dan berhasil membunuh Kertanegara, sajak saat itu pula, kerajaan Singasari runtuh.
Raja Kerajaan Singasari
ibnuasmara.com
Raja kerajaan singasari atau raja-raja Kerajaan Singasari| Kerajaan singasari dalam pemerintahannya
terdapat beberapa raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut, dalam kerajaan singasari terdapat
berbagai macam kisah tentang kerajaan tersebut dan berikut raja yang pernah memimpin kerajaan
singasari.
1. Ken Arok
Ken arok adalah seorang pendiri kerajaan singasari selkaligus raja pertama yang menduduki kursi
kerajaan Singasari, menurut kitab Pararaton, Ken Arok ialahh anak seorang petani dari gunung Kawi
katanya, tapi, ia dibesarkan oleh yang konon seorang pencuri dan mendidiknya supaya menjadi
orang jahat.
Kemudian Ken Arok ingin memiliki istri yang mana ia adalah Bupati Tumapel yang bernama Ken
Dedes, karena niatnya yang jahat, Ken Arok ingin membunuh suami Ken Dedes yang bernama
Tunggul Ametung, setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, dan ia pun
diangkat menjadi Bupati Tumapel.
Kala itu, Tumapel masih berada di bawah kekuasaan kerajaan kediri yang mana pada waktu itu di
pimpin oleh Raja Kertajaya, entah kenapa pemerintah kediri melepaskan Kabupaten Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kediri.
Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222-1227 M). Pada tahun 1227, M ia dibunuh oleh
seseorang atas perintah Anusapati, putra Ken Kedes dengan Tunggul Ametung Ken Arok
didharmakan di Kagenengan.
2. Anusapati
Setelah berhasil membunuh Ken Arok, Anusapati menjadi raja berikutnya dan ia memimpin
Kerajaan Singasari cukup lama, yaitu sekitar 1227 sampai 1248 Masehi, di bawah pemerintahannya
kerajaan Singasari yang konon katanya di nyatakan aman dan tentram. Seiring berjalannya waktu
kemudian Anupati dibunuh oleh Tohjaya, yang mana ia alasan itu ingin balas dendam kematian
ayahnya (Ken Arok), kemudian Jenazah Anusapati dimakamkan di Candi Kidal (sebelah tenggara
Malang), Tohjaya adalah anak Ken Arok dengan selirnya yang bernama Ken Umang.
3. Tohjaya
Setelah berhasil membunuh Anusapati pada tahun 1248 Masehi, Tohjaya dapat memimpin kerajaan
yang mana kerajaan tersebut di dirikan oleh ayahnya (Ken Arok), hal yang miris Tohjaya hanya
memimpin kerajaan tersebut cuma beberapa bulan saja pada tahun 1248 Masehi, akibat ada
pemberontakan yang dilakukan Ranggawuni (anak Anusapati) dengan Mahesa Cempaka (anak
Mahesa Wongateleng atau cucu Ken Arok dengan Ken Dedes).
Dalam pemberontakan itu, Tohjaya terluka parah dan kemudian melarikan diri ke Katangkubang,
karena luka yang dideritanya, Tohjaya kemudian meninggal dan dicandikan di Katangkubang.
4. Ranggawuni
Setelah mengalahkan Tohjaya, Ranggawuni memimpin Kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jaya
Wisnuwardhana, dan ia memimpin pada tahun 1248 sampai 1268 Masehi, dan didampingi oleh
Mahesa Cempaka, selama ia menjadi raja, Kerajaan Singasari aman dan tenteram .
Pada tahun 1254 Masehi, Wisnuwardhana menobatkan putranya yang bernama Kertanegara sebagai
raja muda di Daha yang memerintah seluruh daerah Kediri, dengan cara tersebut, Wisnuwardhana
dapat mendidik putranya agar memerintah dengan baik dan meyakinkan keluarga bahwa raja yang
telah ditetapkan.
Oleh karena itu, perebutan kekuasaan dapat dihindarkan jika ia meninggal, pada tahun 1268 M, Raja
Wisnuwardhana meninggal dan didarmakandi Waleri sebagai Syiwa dan Jayaghu (Candi Jago)
sebagai Buddha Amoghapasa.
Sementara itu, Mahesa Cempaka meninggal pada tan 1269 M dan dimakamkan di Candi Kumitir
sebagai Syiwa.
5. Kertanegara
Kertanegara merupakan Raja Singasari terbesar, Raja Kertanegara dikenal sebagai seorang penganut
agama Syiwa dan Buddha (Buddha Tantrayana), Raja Kertanegara bergelar Sri
Maharajadhiraja Sri Kertanegara dan ia memimpin pada tahun 1268 sampai 1292 Masehi,
Raja Kertanegara terkenal dengan gagasannya untuk memperluas daerah kekuasaan Singasari
hingga meliputi seluruh pulau di wilayah Indo Kehidupan Ekonomi Kerajaan Singasari
Selanjutnya terdapat kehidupan ekonomi dalam sejarah kerajaan Singasari. Kehidupan ekonomi
kerajaan Singasari berasal dari berita negeri asing, sumber prasasti dan analisis para ilmuan.
Menurutnya kerajaan Singasari berpusat di sekitar Lembah Sungai Brantas dan rakyatnya banyak
mengantungkan hidupnya sebagai seorang petani. Perekonomian tersebut didukung oleh
melimpahnya hasil bumi. Dengan begitu Kertanegara banyak memperluas kekuasaannya untuk lintas
perdagangan. Bahkan Sungai Brantas digunakan untuk sarana jalur perdagangan dari wilayah
wilayah luar. Perkembangan perekonomian dalam kerajaan Singasari juga didukung oleh jalur
perdagangan.
1.Kehidupan Politik
Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan
pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat penasihat yang terdiri atas
rakryan i hino, rakryan i sirikan, dan rakryan i halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan
pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri dari Rakryan Mapatih, Rakryan
Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.
Untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan
para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara diganti. Sebagai contoh,
Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura,
menjadi bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.
Kartanegara berusaha memperluas kerajaan Singasari dengan gagasan Cakrawala Mandala. Pada
tahun 1275, Kertanegara mengirim pasukan ke Sumatra dengan Ekspedisi Pamalau. Ia ingin
menghadang pasukan Mongol yang berencana menggelar ekspansi. Selain itu Singasari juga
menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura dan Gurun. Kartanegara juga menjalin persahabatan
dengan Raja Campa untuk menghalau pasukan Mongol ke Jawa. Akan tetapi sebelum sampai ke
Jawa, pasukan Mongol sudah dihadang oleh Jayakatwang dari kerajaan Kediri. Dalam serangan ini
pula Kertanegara tewas besrta petinggi petinggi istana lainnya.
2.Kehidupan Ekonomi
Mengenai kehidupan perekonomian Singosari tidak begitu jelas diketahui. Akan tetapi mengingat
kerajaan tersebut terletak di tepi sungai Brantas (Jawa Timur), kemungkinan masalah ekonomi tidak
jauh berbeda dari kerajaan – kerajaan terdahulunya, yaitu secara langsung maupun secara tidak
langsung rakyat ikut ambil bagian dalam dunia pelayaran.
3.Kehidupan Sosial
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya.
Banyak daerah – daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada masa pemerintahan
Anusapati, kehidupan kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian, karena ia larut dalam
kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai
diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya.
4. Kehidupan Budaya
Kehidupan kebudayaan masyarakat Singasari dapat diketahui dari peninggalan candi-candi dan
patung-patung yang berhasil dibangunnya. Candi hasil peninggalan Singasari, di antaranya adalah
Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari. Adapun arca atau patung hasil peninggalan Kerajaan
Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai perwujudan dari Prajnyaparamita lambang
kesempurnaan ilmu dan Patung Kertanegara dalam wujud Patung Joko Dolog di temuakan di dekat
Surabaya, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Raja Kertanegara yang dikirim ke
Dharmacraya ibukota kerajaan melayu.
Kudua perwujudan patung Raja Kertanegara baik patung Joko Dolog maupun patung Amoghapasa
menyatakan bahwa Raja Kertanegara menganut agama Budha beraliran Tantrayana ( Tantriisme ).
5.Kehidupan Agama
Diangkat seorng Dharmadyaksa (kepala agama Buddha). Disamping itu ada pendeta Maha
Brahmana yang mendampingi Raja, dengan pangkat Sangkhadharma. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara didharmakan sebagai Syiwa Buddha di candi Jawi, di Sagala bersama – sama
dengan permaisurinya yang diwujudkan sebagai Wairocana Locana, dan sebagai Bairawa di candi
Singasari. Terdapat prasasti pada lapik (alas) arca Joko Dolog yang ada di taman Simpang di
Surabaya, yang menyebutkan bahwa Kertanegara dinobatkan sebagai Jina atau Dhyani Buddha yaitu
sebagai Aksobya. Sedangkan arca Joko Dolog itu sendiri merupakan arca perwujudannya. Sebagai
seorang Jina ia bergelar Jnanasiwabajra.
Peninggalan Kerajaan Singasari
Peninggalan kerajaan singasari- ada beberapa peninggalan kerajaan tersebut, ya, pasti di sebuah
kerajaan memiliki barang yang sangat berarti, yang mana barang tersebut nanti akan di jadikan
peninggalan atau sejarah, berikut peninggalan kerajaan Singasari itu.
1. Candi Singosari
Candi Singosari ini terletak di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dan terletak pada lembah di
antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna.
Candi singosari adalah tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Raja Kertanegara, yang
meninggal pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh
Jayakatwang, konon katanya candi ini tidak pernah selesai di bangun entah kenapa.
2. Candi Jago
Candi jago ini cukup unik, karena pada bagian atasnya itu hanya menyisakan sebagian saja dan
konon katanya yang setengah laginya kena petir.
3. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan adalah satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur, yang berjarak 6 km
dari Candi Singosari, Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang digunakan oleh
umat Buddha pada waktu itu.
4. Arca Dwarapala
Arca Dwarapala ini berbentuk Monster dan ukurannya juga besar, menurut penjaga situs sejarah ini,
Arca Dwarapala adalah pertanda masuk ke wilayah kotaraja, tapi, hingga saat ini tidak ditemukan
secara pasti.
5. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri adalah manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh
1343, pada mula nya ditempatkan di Candi Jago dan sekarang tersimpan di Museum Nasional
Jakarta.
6. Prasasti Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung merupakan piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa
Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja, Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang
diterbitkan Kertanagara yaitu pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari.
7. Prasastri Singosari
Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa
Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa.
8. Candi Jawi
Candi Jawi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan dan Kecamatan Prigen
dan Pringebukan, Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan
Buddha,
Tapi yang benar adalah tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara, Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada
hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.
9. Prasasti Wurare
Prasasti Wurare merupakansebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya
di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare), Prasasti ditulis
dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289.
10. Candi Kidal
Candi Kidal merupakan salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari, Candi kidal ini dibangun
sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 sampai 1248), kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya
sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu
Gandring.
KERAJAAN MATARAM KUNO
,
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Sejarah kerajaan mataram kuno- Kerajaan Mataram Kuno atau nama lainnya adalah Kerajaan
Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris, dan dulu ada 3 dinasti yang pernah menguasai
Kerjaan ini yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana.
Wangsa Sanjaya adalah pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra
adalah pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri adalah Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu
Sindok.Raja pertama Kerajaan ini ialah Sanjaya sekaligus pendiri Wangsa Sanjya yang menganut
agama Hindu, setelah Raja Sanjaya tewas kemudian ia digantikan sama Rakai Panangkaran diamana
ia berpindah agama menjadi Budha beraliran Mahayana.
Pada saat Wangsa Sayilendra berkuasa, kemudian disinilah agama Hindu dan Buddha berkembang di
Kerajaan ini, dan dibagi menjadi 2, yang pertama agama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara
sedangkan yang beragama Buddha berada di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Kemudian pada saat Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja
Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu,
pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa
Sanjaya.
Menurut catatan pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan di lokasi daerah
Mataram dekat dengan Yogyakarta sekarang, lalu dipindahkan oleh pemerintahan Rakai Pikatandi
daerah kudu.
Letak Kerajaan Mataram Kuno
Letak kerajaan mataram kuno yaitu di Jawa Tengah atau biasa disebut Bumi Mataram, dimana
daerah ini dikelilingi berbagai macam Gunung dari mulai Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung
Sumbing, Gunung Merapi dan lain-lain, di wilayah ini juga sangat subur dengan banyaknya sungai
nama sungai itu adalah, Sungai Progo Sungai Elo, Sungai Pengawan Solo dan masih banyak lagi.
Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Berdirinya kerajaan mataram kuno masih belum diketahui kapan berdirinya kerajaan tersebut, jika
dilihat dari prasati mantyasih yaitu pada tahun 907 Masehi, kemudian Raja Sanjaya mengeluarkan
Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi, dan tidak mejelaskan nama kerajaannya, namun, dalam
prasasti itu menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya.
Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena adalah raja dari Kerajaan Galuh
yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara), kekuasaan Sanna
disingkiran dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan lalu ia melarikan diri ke Kerjaan Sunda
untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda.
Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya, keponakan dari Sanna sebagai menantunya, setelah naik
tahta, Sanjaya memiliki siasat untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali, sesudah berhasil
menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan
baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan Kerajaan
Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan rajanya yang pertama ialah
Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan mataram kuno penybebabnya adalah permusuhan antara Sumatra dan Jawa,
pada saat permusuhan dimulai dari pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan, Balaputradewa
dan ia terus menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan.
Perselisihan kedua raja tersebut kian memanas dan menjadi musuh bebuyutan sampai turun-temurun
pada generasi selanjutnya, selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu
lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana
berkuasa, sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang
menyerangnya, pertempuran terjadi di daerah Anjukladang yang sekarang adalah (Nganjuk) dan
pertempuran itu dimengkan oleh Mpu Sinduk.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika masa pemerintahan cicit Mpu, ketika itu juga masih dalam
keadaan memanas, tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran
tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa.
Dharmawangsa juga pernah menyerang kerajaan Sriwijaya yaitu pada tahun 1016 Masehi,
Dharmawangsa lengah, ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan
serang oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya,
kemudian Dharmawangsa pun meninggal.
Raja Raja Kerajaan Mataram Kuno
Raja-raja kerajaan mataram kuno yang pernah memimpin sebagai berikut.:
1. Sanjaya
2. Rakai Panangkaran
3. Rakai Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok
14. Sri Lokapala
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh
A. Aspek Kehidupan Politik
Samapai pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada dalam pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Kendali
atas Jawa Tengah berada di tangan keluarga Melayu penganut Buddha yang berasal dari keluarga
Syailendra. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Kalasan yang dipahat pada tahun 778 M. Prasasti
Kalasan memberitahukan bahwa penguasa lokal yang telah membangun Candi Tara adalah Sang
Ratu I Hulu. Menurut generasi Dinasti Sanjaya yang terdapat dalam prasati Balitung, dia dinamakan
Panangkaran yang merupakan seroang anak lelaki Sanjaya. Kendali Sriwijaya atas Jawa Tengah ini
pada tahap selanjutnya memucnulkan dua dinasti atau wangsa, yaitu Dinasti Syailendra yang
menganut agama Buddha dan Dinasti Sanjaya yang menganut agama Hindu Syiwa.Berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Dinasti Sanjaya berada di Jawa
Tengah bagian utara dan kekuasaan Dinasti Syailendra berada di Jawa Tengah Selatan.
1. Dinasti Sanjaya
Dalam Prasasti Mantyasih yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Balitung, dapat diketahui raja-
raja keturunan Sanjaya yang memeirntah di Jawa Tengah bagian utara. Raja-raja itu adalah sebagai
berikut.
- Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Pangkaran
- Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayu Wangi
- Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
2. Dinasti Syailendra
Para raja keturunan Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain Raja
Bhanu, Raja Wisnu (Sri Dharmatungga), Raja Indra (Sri Sanggramandananjaya), Raja Samarungga,
Raja Balaputradewa, dan Ratu Pramodhawardani. Raja-raja itu berkuasa selama satu abad (750-850
M). Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya), Mataram Kuno disatukan kembali
saat Rakai Pikatan memperisitri Pramodhawardhani, Putri Samaratungga.
Sesungguhnya Raja Samaratungga mempunyai dua orang putra dari istri berlainan. Putra tertua
bernama Pramodhawardhani dinikahkan dengan Rakai Pikatan. Sedangkan putra keduanya adalah
Balaputradewa hasil pernikahan Raja Samaratungga dengan Putri Tara dari Sriwijaya.
Setelah Raja Samaratungga wafat, terjadilah perebutan kekuasaan antara Pramodhawardhani yang
dibantu Rakai Pikatan dan Balapautradewa. Pada tahun 856 M, Rakai Pikatan berhasil mengusir
Balaputradewa yang melarikan diri ke Sriwijaya. Kepergian Balaputradewa dan pasukannya
mengakhiri kekuasaan Sriwijaya atas Jawa Tengah. Setalah Balaputradewa pergi, Pramodhawardhani
berkuasa di Mataram Kuno (Buddha). Pramodhawardhani ketika naik takhta bergelar Sri Kahulunan.
Pada masa pemerintahannya, banyak bangunan bersifat Buddha yang didirikan, misalnya Candi
Plaosan.
B. Aspek Kehidupan Sosila dan Ekonomi
Pusat Kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah Sungai Progo, meliputi dataran Magelang,
Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan
kehidupannya pada hasil pertanian. Usaha untuk mengembangka dan meningkatkan hasil pertanian
telah dilakukan sejak masa pemerintahan Kayu Wangi. Usaha perdagangan juga mulai mendapat
perhatiak ketika Raja Balitung berkuasa. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Prasasti
Purworejo (900 M) dan dari Prasasti Wonogiri (903 M).
Bersumber dari Prasasti Canggal, Sanjaya menerapkan penarikan pajak dan pembagian kekayaan
sebagai dsar bagi sistem ekonomi politik dari pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Kuno. Prasasti
Canggal juga menyebutkan sifat agraris dari Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin Sanjaya, yang
dinamakan sebagai Rajya dan terdiri atas beberapa komunitas (desa) yang dihubungkan dengan
jalan-jalan kerajaan (Rajapathi).
Meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, rakyat
Kerajaan Mataram Kuno tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap tersebut dibuktikan ketika
mereka bergotong-royong dalam membangun Candi Borobudur.
C. Aspek Budaya
Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanajaya beragama Hindu
dengan pusat kekuasaanya di utara. Hasil budayannya berupa candi-candi, seperti Gedong Sanga,
dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Buddha dengan pusat
kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayannya, seperti Candi Borobudur, Menudt, dan Pawon.
Semula terjai perebutan kekuasaan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan
antara Pikatan (Sriwijaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama
Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini
menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah satu sifat
kepribadian bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan agar terciptanya kedamaian, ketentraman,
dan kesejahteraan.
Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti Canggal
Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) ialah prasasti berangka
pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi, prasasti ini ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di
desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, Prasasti ini dipandang sebagai
pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan
Mataram Kuno.
Prasasti Kelurak
Prasasti Kelurak berangka pada tahun 782 Masehi, prasasti ini dapat ditemukan di dekat Candi
Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah.
Prasasti Mantyasih
Prasasti Mantyasih ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat
daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung, Prasasti Mantyasih ini dibuat sebagai upaya
melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya
yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto adalah peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto,
Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Prasasti Sojomerto yang beraksara Kawi dan
bahasanya Melayu Kuna, Prasasti ini tidak menyebutkan tahun nya dengan pasti, menurut catatan
sekitar pada abab ke-7.
Prasasti Tri Tepusan
Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri Kahulunnan pada tahun 842 Masehi menganugerahkan
tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan pemeliharaan tempat suci Kamulan I
Bhumisambhara (kemungkinan besar nama dari candi Borobudur sekarang), Duplikat dari prasasti
ini tersimpan di dalam museum candi Borobudur.
Prasasti Wanua Tengah III
Prasasti ini ditemukan pada November 1983, Prasasti ini dapat ditemukan di sebuah ladang di Dukuh
Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung, di catatan
prasasti terdapat daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada masa sebelum
pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung.
Prasasti ini begitu penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga melengkapi
penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya
menyebut 9 nama raja saja.
Prasasti Rukam
Prasasti ini berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, ditemukan pada 1975 di desa Petarongan,
kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini terdiri atas dua lempeng tembaga yang
berbentuk persegi panjang, lempeng pertama berisi 28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris.
aksara dan bahasa yang digunakan ialah Jawa Kuno.
Isi prasasti ialah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa
tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api, lalu masyarakat desa Rukam diberi kewajiban
untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung.
Prasasti Plumpungan
Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan dan berangka pada tahun 750 Masehi, Prasast
plumpungani dapat dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga, menurut sejarahnya, di dalam Prasasti
Plumpungan berisi ketetapan hukum, yakni suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra, pada masanya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan
peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra.
Penetapan prasasti adalah titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan
atau swantantra, Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota
Salatiga, dengan seperti itu daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu ialah daerah Salatiga sekarang ini.
Prasasti Siwargrha
prasasti Siwargrha di dalamnya terdapat tulisan chandrasengkala ”Wwalung gunung sang wiku”
yang bermakna angka tahun 778 Saka (856 Masehi), Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala
(Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya pemerintahan Rakai Pikatan.
Prasasti Gondosuli
Prasasti Gondosuli dapat ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan
Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, yang mengeluarkan ialah anak raja (pangeran) bernama Rakai
Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Sankhara
Prasasti Raja Sankhara ialah prasasti yang berasal dari abad ke-8 Masehi dan ditemukan di Sragen,
Jawa Tengah, Prasasti Sankhara ini kini hilang, Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi,
Museum Adam Malik, tapi, diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau
2006.
Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama
Siwa yang dianut merupakan agama yang ditakuti banyak orang, Raja Sankhara pindah agama ke
Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih, sebelumnya disebutkan ayah Raja
Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari.
KERAJAAN SRIWIJAYA
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada
lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di
museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil
dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun
Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti
Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk
mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak
dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya
seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi berdekatan
dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari cerita di Dusun
Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727
yang dimana pada masa tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak
Temenggung Lakek yang bernama Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid
Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke
Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat ini digunakan sebagai Kantor
Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat Karang Berahi minta
agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang kemudian
dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di tepi Batang Merangin.
10. Candi Muara Takus
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus terletak
di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi
dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah
ada sejak jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan
tersebut. Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi
kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini
adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa
berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir
kuning dan di dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi
Bungsu, Candi Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.
Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah Indonesia
yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka
sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua
kompleks Candi Muara Takus.
11. Candi Muaro Jambi
Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara yakni seluas
3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan
Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi,
indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh
letnan inggris bernama S.C. Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan
militer. Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin
oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga
ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan
peninggalan dari abad ke-9 sampai 12 Masehi.
Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni
Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano, Kembang
Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan
beberapa buah candi saja, namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam
penampungan air dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno.
Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh penduduk
setempat.
12. Candi Bahal
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran
Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas,
Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan
berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut
memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran
singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena
keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.
13. Gapura Sriwijaya
Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera
Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat ini baru
ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan roboh karena
kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura
Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam
pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan
atau ditempel.
Kerajaan Majapahit
.
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita
asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya,
yaitu Kesultanan Banten
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata
Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada
kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa
kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti
Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih,
Cibadak, Suka Bumi.
Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling
berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan
Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang
putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga
pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak
“Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan
dari Majapahit. Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut
besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja
itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang
ditunjuk. Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu
Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua
kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan
Pajajaran pada tahun 1482. Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama
kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni
tahun 1482.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing,
dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan
Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran,
terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita
Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di
dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh)
itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-
Pemerintahan)
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya,
Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga
atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran
masyarakat. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan. Sang Maharaja membuat
karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang
menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa
perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang
menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan
(asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan),
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak
kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga
telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya;
memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat
angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang
kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus
kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di
Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya
dengan kata Sriman.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan,
penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang
copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti,
dan jenis-jenis batik.
•
KERAJAAN BALI