Anda di halaman 1dari 51

KERAJAAN TARUMANEGARA ATAU TO-LO-MO

Latar Belakang Kerajaan Tarumanegara


Sejarah Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu dari kerajaan tertua di Indonesia atau
kedua tertua setelah Kerajaan Kutai. Kerajaan ini berdiri dari abad ke-4 sampai abad ke-7. Menurut
catatan sejarah Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan beraliran agama Hindu.Pada abad ke 4
sampai dengan abad ke 7 masehi, kerajaan ini menguasai wilayah bagian barat pulau Jawa, nama
Tarumanagara diambil dari dua kata yaitu Tarum dan Nagara, bagi Anda yang belum tahu, Tarum
ialah nama sungai yang sekarang ini dikenal dengan nama sungai Citarum, sementara Nagara artinya
adalah kerajaan atau negara.Kerajaan Tarumanagara mencatat bahwa kerajaan Tarumanagara adalah
kerajaan Hindu paling tua ke dua di Indonesia,posisi pertama kerajaan hindu tertua di indonesia di
tempati oleh Kerajaan Kutai dan kerajaan Tarumanagara dikenal juga dengan sebutan Kerajaan
Tarum. Kerajaan Tarumanegara memulai kegiatan perekonomian dari peternakan dan pertanian,
kegiatan ekonomi ini diketahui dari adanya Prasasti Tugu yang di dalamnya berisi tentang
pembangunan saluran Gomati dengan panjang 12 km atau 6112 tombak, pembangunan ini dikerjakan
selama 21 hari, Selain dari hal itu, banyak dari masyarakat Kerajaan Tarumanagara yang bekerja
sebagai pedagang, hal ini dilihat dari lokasinya yang dekat dengan selat Sunda.
Sejarah Lengkap Kerajaan Tarumanagara mencatat bahwa puncak masa kejayaan Kerajaan
Tarumanagara adalah saat dipimpin oleh Raja Purnawarman, pasalnya pada masa tersebut, Kerajaan
Tarumanagara bersiasat untuk memperluas daerah kekuasaannya, dari catatan sejarah, diketahui
bahwa luas Kerajaan Tarumanagara hampir seluas daerah Jawa Barat saat ini, tak hanya itu, Raja
Purnawarman diketahui juga menyusun pustaka seperti peraturan angkatan perang, undang-undang
kerjaan, silsilah dinasti Warman dan siasat perang.
Silsilah Kerajaan Tarumanegara
berikut adalah silsilah dan yang pernah memerintah kerajaan tarumanegara:
1. Jayasingawarman (358 – 382)
2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434-455)
5. Indrawarman (455-515)
6. Candrawarman (515-535)
7. Suryawarman (535 – 561)
8. Sudhawarman (628-639)
9. Hariwangsawarman (639-640)
10. Nagajayawarman (640-666)
11. Linggawarman (666-669)
12. Kertawaman (561 – 628)
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Peninggalan kerajaan tarumanegara- sejarah mencatak bahwa peninggalan kerajaan tarumanegara
memiliki beberapa benda yaitu di antara lain nya:
1. Prasasti Ciaruteun
Prasati Ciaruteun- Benda ini ditemukan di tepi Sungai Ciarunteun, yaitu didekat Sungai Cisadane
Bogor, yang disebut dengan nama Tarumanegara, Raja Purnawarman, menemukan sepasang
lukisan dengan gambar telapak kaki dengan di klaim sebagai telapak kai Dewa Wisnu, akan halnya
gamabar sepasang telapak kaki yang berada di prasasti tersebut melambangkan kekuasaan raja atas
daerah tersebut dan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu yang dianggap sebagai
penguasa sekaligus pelindung rakyat, prasasti yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta 4 baris tersebut juga dikenal dengan Prasasti Ciampea.
2. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti kebon kopi yang berbentuk batu yang bergambar bekas dua tapak kaki gajah yang di
identikkan dengan gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan Dewa Wisnu, prasasti yang ditemukan di
Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang juga ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta.
3. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu terdiri dari 5 baris yang ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang
ditemukan di Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti Tugu berisi tentang Raja
Purnawarman yang memerintah untuk menggali saluran air Gomati dan Chandrabaga sepanjang
6.112 tombak yang selesai dalam 21 hari.
4. Prasasti Jambu
Prasasti jambu yang ditemukan di bukit Koleangkak Bogor yang berisi tentang sanjungan kebesaran,
kegagahan, dan keberanian Raja Purnawarman, Prasasti Jambu terukir sepasang telapak kaki dan
terdapat keterangan puisi dua baris dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta
5. Prasasti Muara Cianten
Prasasti ini ditemukan di Bogor dengan aksara ikal, akan tetapi prasasti Muara Cianten tersebut
belum dapat dibaca.
6. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai Cidanghiang, Pandeglang-
Banten, prasasti yang baru ditemukan pada tahun 1947 berisi “Inilah tanda keperwiraan, keagungan
dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang
menjadi panji sekalian raja”, Prasasti Cidanghiang juga disebut Prasasti lebak ditulis dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta.
7. Prasasti Pasir Awi
Ditemukan di Leuwiliang dengan aksara Ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini terdapat
pahatan gambar dahan dengan ranting, dedaunan serta buah-buahan, dan gambar sepasang telapak
kaki.
Letak Kerajaan Tarumanegara
Letak kerajaan Tarumanegara adalah bagian di sekitar Jawa Barat, Wilayah tersebut meluas seiring
perkembangan kerajaan ini setelah dipimpin oleh Raja Purnawarman, Raja Purnawarman, seperti
yang dijelaskan dalam Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, dan beberapa prasasti lainnya ialah
sosok raja yang sangat pandai berperang.Kini berhasil melakukan ekspansi atau perluasan kawasan
lalu berperang dan penaklukan terhadap Kerajaan Salakanagara yang sebelumnya juga ikut berkuasa
di tanah Sunda, melalui ekspansi itu, wilayah dan letak Kerajaan Tarumanegara semakin meluas
bahkan hingga daerah Jakarta (Tanjung Priok) dan Banten, kawasan dan letak kerajaan
Tarumanegara tersebut seperti dijelaskan pada gambar peta di atas ini.
Agama Kerajaan Tarumanegara
Agama kerajaan tarumanegara adalah Hindu yang berkembang di wilayah Kerajaan Tarumanegara
adalah Hindu Waesnawa atau Hindu Wisnu, bukti ini terdapat dalam prasasti Ciaruteun yang dibuat
dengan meninggalkan jejak kaki Purnawarman dengan adanya lambang penjelmaan Dewa Wisnu,
dalam agama ini Dewa Wisnu dianggap sebagai Dewa tertinggi, agama ini hanya berkembang di
wilayah istana atau keluraga kerabat besar kerajaan, sementara itu masyarakat Tarumanegara
sebagian besar menganut kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme.
Kehidupan Politik Kerajaan Tarumanegara
Berdasarkan tulisan-tulisan yang berada pada prasasti diketahui bahwa raja yang pernah memerintah
di tarumanegara hanyalah raja purnawarman, Raja purnawarman adalah raja besar yang telah
berhasil memberikan kemakmuran kehidupan rakyatnya, hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang
menyatakan raja purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah kali, penggalian sebuah kali
ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk
memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial kerajaan tarumanegara sudah tertata dengah rapih, hal ini terlihat dari upaya raja
purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya, Raja
purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan
kepada para dewa.
Kehidupan Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwavraja purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat
sebuah terusan sepanjang 6122 tombak, pembangunan terusan ini memiliki arti ekonomis yang besar
bagi masyarakat sekitar wilayah tersebut, karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah
banjir dan sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antar daerah di kerajaan tarumanegara dengan
dunia luar, Juga perdagangan dengan daera-daerah di sekitarnya, imbasnya kehidupan perekonomian
masyarakat kerajaan tarumanegara sudah banyak kemajuan
Kehidupan Budaya
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai
bukti kebesaran kerjaan tarumanegara, telah diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada
saat itu sudah besar, selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut
menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan tarumanegara.
Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
Masa keruntuhan kerajaan Tarumanegara dialami setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke
13, yang bernama Raja Tarusbawa, keruntuhan kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa ini karena
tidak ada kepemimpinan lantaran Raja Tarusbawa lebih menginginkan memimpin kerajaan kecilnya
di hilir sungai Gomati, selain itu, gempuran beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu, lebih-
lebih kerajaan Majapahit pula memegang andil penting dalamkeruntuhan Kerajaan Tarumanegara
itu.Pada ke pemimpinan Sudawarman, tarumanegara sudah mulai nampak mengalami kemunduran
terdapat dari beberapa faktor penyebab kemunduran atau keruntuhan kerajaan tarumanegara, contoh
pertama adalah memberikan ekonomi pada raja-raja di bawah kerajaan tarumanegara yang di berikan
kepada raja sebelum nya, sudawarwan secara emosional juga tidak menguasai persoalan di
tarumanegara, beliau dari kecil tinggal di kanci, wilayah palawa, hal tersebut sehingga tidak peduli
masalah yang menimpa di kerajaan tersebut.
KERAJAAN KALINGGA

SEJARAH KERAJAAN KALINGGA


Sejarah kerajaan Kalingga dimulai terhadap abad ke-6 serta merupakan sesuatu kerajaan
dengan gaya India yang berada di pesisir utara Jawa Tengah. Belum dikenal secara pasti dimana
pusat kerajaan ini berada, tetapi sebagian ahli memprediksikan jikalau tempatnya adanya di antara
tempat yang kini menjadi Pekalongan serta Jepara. tak banyak yang bisa dikenal dari kerajaan ini
pasal asal pati sejarah yang adanya juga hampir nihil serta mayoritas catatan mengenai sejarah
kerajaan Kalingga didapat dari kisah-kisah Tiongkok, kisah turun-temurun rakyat sekitar, serta Carita
Parahyangan yang menceritakan mengenai Ratu Shima dan hubungan ratu tersebut dengan kerajaan
Galuh. Ratu Shima juga diketahui pasal peraturannya yang sadis dimana siapapun yang tertangkap
basah merampok akan dipotong tangannya.
Awal Mula Kerajaan Kalingga
Awal Berdirinya Kerajaan Kalingga diramalkan dimulai terhadap abad ke-6 hingga abad ke-
7. Nama Kalingga sendiri berasal dari kerajaan India langka yang bernama Kaling, mengidekan
jikalau adanya tautan antara India serta Indonesia. Bukan cuma lokasi pasti ibu kota dari area ini saja
yang tak diketahui, tetapi juga catatan sejarah dari periode ini amatlah kuno. Salah satu tempat yang
dicurigai menjadi lokasi ibu kota dari kerajaan ini adalah Pekalongan serta Jepara. Jepara dicurigai
pasal ada kabupaten Keling di pantai utara Jepara, sedangkan Pekalongan dicurigai pasal waktu
lalunya terhadap saat awal dibangunnya kerajaan ini adalah sesuatu pelabuhan kuno. sebagian orang
juga memiliki ide jikalau Pekalongan merupakan nama yang sudah berubah dari Pe-Kaling-an.
Pada tahun 674, kerajaan Kalingga dipimpin oleh Ratu Shima yang populer akan peraturan
kejamnya pada pencurian, dimana Perihal tersebut mendorong orang-orang Kalingga menjadi jujur
serta senantiasa memihak terhadap kebenaran. rujukan oleh cerita-cerita yang berkembang di
masyarakat, terhadap suatu hari seorang raja dari negara yang asing datang serta meletakkan sesuatu
kantung yang terisi dengan emas terhadap persimpangan jalan di Kalingga buat menguji kejujuran
serta kebenaran dari orang-orang Kalingga yang terkenal. Dalam sejarahnya terhitung jikalau tak
adanya yang berani menyentuh kantung emas yang bukan milik mereka, paling tak sepanjang tiga
tahun hingga akhirnya anak dari Shima, sang putra mahkota secara tak sengaja menyentuh kantung
tersebut dengan kakinya. Mendengar Perihal tersebut, Shima dengan cepat menjatuhkan hukuman
meninggal kepada anaknya sendiri. Mendengar hukuman yang dijatuhkan oleh Shima, sebagian
orang memohon supaya Shima cuma memotong kakinya pasal kakinya lah yang bersalah. Dalam
sebagian cerita, orang-orang tadi bahkan meminta Shima cuma memotong jari dari anaknya.
Dalam salah satu kejadian terhadap sejarah kerajaan Kalingga, terkandung sesuatu titik balik
dimana kerajaan ini terislamkan. terhadap tahun 651, Ustman bin Affan mengirimkan sebagian
utusan menuju Tiongkok bersetara dengan mengemban misi buat memperkenalkan Islam kepada
area yang asing tersebut. disamping ke Tiongkok, Ustman juga mentransfer sebagian orang
utusannya menuju Jepara yang dulu bernama Kalingga. kehadiran utusan yang berlangsung terhadap
waktu sehabis Ratu Shima turun serta digantikan oleh Jay Shima ini mengakibatkan sang raja
memeluk agama Islam serta juga diikuti jejaknya oleh sebagian bangsawan Jawa yang mulai tidak
membawa agama asli mereka serta menganut Islam.
Seperti keseringan kerajaan lainnya di Indonesia, kerajaan Kalingga juga merasakan
ketertinggalan saat kerajaan tersebut runtuh. Dari semua peninggalan yang berhasil diciptakan ialah
2 candi bernama candi Angin serta candi Bubrah. Candi Angin serta Candi Bubrah merupakan dua
candi yang diciptakan di Keling, tepatnya di desa Tempur. Candi Angin menemukan namanya pasal
mempunyai letak yang tinggi serta berusia lebih tua dari Candi Borobudur. Candi Bubrah, di lain sisi,
merupakan sesuatu candi yang baru setengah jadi, tetapi umurnya setara dengan candi Angin.
Berita Tionghoa Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga diketahui juga dengan nama kerajaan Ho-ling oleh orang-orang Tionghoa.
rujukan oleh catatan bangsa Tionghoa, Ho-ling diyakini timbul ketika berlangsung ekspansi besar
oleh dinasti Syailendra. cerita mengenai kerajaan Ho-ling mulai ditulis dalam kronik dinasti Tang
yang adanya terhadap tahun 618 hingga 906. rujukan oleh kronik tadi, orang-orang Ho-ling diyakini
gemar makan cuma memakaikan tangan serta dengan tidak sendok ataupun sumpit. Tertulis juga di
kroik tadi jikalau para masyarakat Ho-ling suka mengonsumsi tuwak, sesuatu sari buah yang
difermentasikan. Ibu kota dari Ho-ling dikelilingi oleh pagar kayu, serta sang raja tinggal di sesuatu
istana berlantai 2 serta daun palma sebagai atapnya. Sang raja duduk terhadap sesuatu kursi yang
terbuat dari gading serta memakaikan keset yang terbuat dari bambu. Ho-ling juga diceratakan
mempunyai sesuatu bukit yang ia namakan Lang-pi-ya. sebagian asal pati lain dari catatan Tionghoa
mencatat sesuatu analisis mengenai lokasi dari kerajaan Ho-ling ini. Ia mencatat jikalau Ho-ling
berlokasi di Jawa Tengah serta jikalau La-pi-ya menghadap ke arah samudra bikin lokasi Ho-ling
jadi agak lebih gampang diketahui.
Raja atau ratu yang saat itu memegang kepala pemerintahan Ho-ling tinggal di kota bernama
She-p’o, tetapi Ki-yen setelah itu memindahkan lokasi pemerintahan menuju P’o-lu-Chia-ssu.
rujukan oleh catatan, diramalkan jikalau adanya kebingungan yang meliputi masa-masa terakhir
kerajaan Ho-ling atau Kalingga ini. adanya dua teori besar mengenai Perihal ini, dimana teori yang
pertama ialah ketika Sanjaya yang masih merupakan cucu dari Shima mengambil alih pemerintahan.
Ia mengganti kerajaan Kalingga yang bercorak Buddha menjadi kerajaan Mataram yang mempunyai
corak hindu. kisah lain mengenai sejarah kerajaan Kalingga adalah mengenai bagimana Patapan
yang merupakan salah satu pangeran dari dinasti Sanjaya merebut kursi penguasa serta menjadi raja
terhadap tahun 832, dimana Mataram terus menjadi pengemulasi aturan-aturan Sailendra.
Raja-raja yang Memerintah Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga diperintah oleh Ratu Shima pada tahun 647 M, Ratu Sima dikenal sebagai
ratu yang bertindak adil dan bijaksana. Ratu Shima merupakan ratu yang sangat tegas, sebagai bukti
ketegasan Ratu Shima menghukum putranya sendiri yang melanggar aturan.Ratu Shima beragama
Hindu aliran Syiwa dan pada masa pemerintahaannya Kerajaan Kalingga mengalamai masa
keemasan.Dalam naskah Carita Parahyangan, Ratu Shima menikah dengan Mandiminyak (putra
mahkota Kerajaan Galuh). Kemudian Mandiminyak menjadi raja Kedua dari Kerajaan Galuh. Ratu
Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha.Kemudian Sanaha menikah dengan raja ketiga Kerajaan
Galuh yang bernama Bratasenawa, dari pernikahan itu dikaruniai seorang anak bernama Sanjaya.
Setelah Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya akhirnya menjadi Raja Kerajaan
Kalingga bagian utara, yang selanjutnya nama Kerajaan Kalingga utara tersebut disebut dengan
Bumi Mataram.Setelah itu Raja Sanjaya mendirikan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Dinasti Kerajaan adalah sistem kerajaan dimana pemimpin kerajaan dan penerusnya berasal dari
anak cucunya.Ratu Sima ialah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang
pemimpin perempuan yang tegas serta taat pada peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Ratu
sima memerintah sekitar tahun 674-732 m
Kehidupan ekonomi kerajaan Kalingga :
Perekonomian kerajaan kalingga bertumpu terhadap sector perdagangan serta pertanian.
lokasinya yang dekat dengan pesisir pantai utara jawa tengah mengakibatkan kalingga gampang di
akses oleh pedagang luar negerikalingga. merupakan area penghasil kulit penyu, emas, perak,
culabadak,dan gading gajah buat dijual. warga kalingga diketahui pandai bikin minuman yang
berasal dari bunga kelapa serta bunga aren.
Kehidupan sosial kerajaan kalingga :
Kerajaan kalingga hidup dengan teratur,berkat kepemimpinan ratu sima ketentraman serta
ketertiban di kerajaan kalingga terjadi dengan baik. Dalam menegakkan hukum, ratu sima tak
membeda-bedakan antara rakyat dengan kerabatnya sendiri.
Berita mengenai ketegasan hukum ratu sima, raja yang bernama T-shih ia ialah kaum muslim arad
serta persia, ia menguji kebenaran berita yang ia dengarbeliau. memerintahkan anak buahnya buat
meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah kerajaan kalingga. sepanjang tiga tahun kantong
tersebut tak adanya yang menyentuh, bila adanya yang menatap kantong itu ia berupaya menyingkir.
Tetapi terhadap suatu hari, putra mahkota tak sengaja menginjak kantong tersebut hingga
isinya berceceran. Mendengar kejadian tersebut ratu sima marah, serta memerintahkan supaya putra
mahkota dihukum mati. tapi pasal para menteri memohon supaya putra mahkota memperoleh
pengampunan. Akhirnya ratu sima cuma memerintahkan supaya jari putra mahkota yang menyentuh
kantong emas tersebut di potong,hal ini menjadi evidensi ketegasan ratu sima.
Kehidupan politik kerajaan kalingga :
Pada abad ketujuh masehi kerajaan kalingga dipimpin oleh ratu sima, hukum di kalingga
ditegakkan dengan baik sehingga ketertiban serta ketentraman di kalingga berjalan dengan baik.
Menurut naskah parahhayang, Ratu sima mempunyai cucu bernama sanaha yang menikah dengan
Raja Brantasenawa dari kerajaan galuh. Sanaha mempunyai anak bernama sanjaya yang kelas akan
menjadi raja mataram kuno. Sepeninggalan Ratu sima, kerajaan Kalingga ditaklukan oleh kerajaan
Sriwijaya.
Masa Kejayaan Kerajaan Kalingga
Sewaktu kepemimpinan Ratu sima menjadi waktu keemasan bagi kerajaan kalingga sehingga
bikin
raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum, dan merupakan juga penasaran. waktu waktu itu
ialah waktu keemasan bagi pernyebaran kebudayaan apapun. Agama buddha juga berkembang secara
harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Sima juga kerap dikatakan Di Hyang(tempat
bersatunya dua kepercayaan hindu serta buddha).
Dalam bercocok tanam Ratu Sima mengadopsi proses pertanian dari kerajaan kakak
mertuanya. Ia merancang proses pengairan yang dikasi nama subak. Kebudayaan baru ini yang
setelah itu melahikan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan
metode bertani atau bercocok tanam.
Masa Keruntuhan Kerajaan Kalingga
Kerajaan kalingga merasakan kemunduran posibilitas dampak serangan sriwijaya yang
menguasai perdagangan, serangan tersebut menyebabkan pemerintahan kijen menyingkir ke jawa
area timur atau mundur ke pedalaman jawa area tengah antara tahun 742-755 M. Bersama melayu
serta tarumanegara yang lebih awal sudah ditaklukan kerajaan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut
menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Peninggalan Kerajaan Kalingga
Prasasti Tukmas
Ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak,
Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah Bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta
Isi prasasti menceritakan mengenai mata air yang bersih serta jernih. Sungai yang mengalir dari asal
pati air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. terhadap prasasti itu adanya gambar-
gambar layaknya trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra serta bunga teratai yang merupakan
lambang keeratan kaitan manusia dengan dewa-dewa Hindu
Candi Bubrah, Jepara
Candi Bubrah diciptakan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah Candi Bubrah ialah salah satu candi Buddha yang Berposisi di dalam kompleks Taman
Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara Jonggrang serta Candi Sewu. Secara
administratif, candi ini berada di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan,
KabupatenKlaten, Provinsi Jawa Tengah. Dinamakan ‘Bubrah’ pasal kondisi candi ini rusak (bubrah
dalam bahasa Jawa) dari ketika ditemukan. rujukan oleh perkiraan, candi ini dibangun terhadap abad
ke-9 terhadap zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu. Candi ini memiliki
ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat
diciptakan masih terkandung sebagian arca Buddha, meskipun tak utuh lagi
Candi Angin
Candi Angin terkandung di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. pasal
lokasinya yang tinggi tetapi tak roboh terserang angin, tersebutkan dinamakan “Candi Angin”.
rujukan oleh para studi Candi Angin lebih tua dari terhadap Candi Borobudur. Bahkan adanya yang
beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tak terkandung ornamen-ornamen
Hindu-Budha
Prasasti Sojomerto
Ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah Prasasti
ini beraksara Kawi serta berbahasa Melayu Kuno. Berasal dari sekitar abad ke-7 masehi Bersifat
keagamaan Siwais Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu
ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sementara istrinya bernama Sampula. Prof.
Drs. Boechari berpendapat jikalau tokoh yang bernama Dapunta Selendra ialah cikal-bakal raja-raja
keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu Bahan prasasti ini ialah batu
andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, serta tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang
beberapa barisnya rusak terkikis umur.
Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari (Hanacaraka) atau sering pula ditulis Singhasari atau Singosari, adalah sebuah
kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222.Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan berada di daerah Singasari, Malang.
Berdirinya Kerajaan Singasari
Berdirinya kerajaan singasari yaitu pendiri kerajaan ini ialah oleh Ken Arok, namun, hal yang masih
mengganjal adalah tidak ada yang tahu Ken Arok itu asalnya dari mana, menurut kitab Pararaton,
Ken Arok ialahh anak seorang petani dari gunung Kawi katanya, tapi, ia dibesarkan oleh yang konon
seorang pencuri dan mendidiknya supaya menjadi orang jahat.
Kemudian Ken Arok ingin memiliki istri yang mana ia adalah Bupati Tumapel yang bernama Ken
Dedes, karena niatnya yang jahat, Ken Arok ingin membunuh suami Ken Dedes yang bernama
Tunggul Ametung, setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, dan ia pun
diangkat menjadi Bupati Tumapel.
Kala itu, Tumapel masih berada di bawah kekuasaan kerajaan kediri yang mana pada waktu itu di
pimpin oleh Raja Kertajaya, entah kenapa pemerintah kediri melepaskan Kabupaten Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kediri.
Seiring berjalan waktu pada tahun 1222 para pendeta dari Kerajaan Kediri meminta agar raja
Kertajaya itu tidak melakukan seenaknya saja terhadap Ken Arok, kemudian Ken Arok menyusun
siasat dengan melatih prajuritnya untuk menyerang kerajaan Kediri.
Setelah sudah di siasati oleh Ken Arok, kemudian semua prajurit termasuk Ken Arok bergerak
menyerang kerajaan kediri, dan Ken Arok menang berhasil mengusai kerajaan kediri, terus Ken Arok
diangkat menjadi raja dan menyatukan Tumapel dengan bekas Kerajaan Kediri yang kemudian diberi
nama menjadi Kerajaan Singasari.
Kejayaan Kerajaan Singasari
Kejayaan kerajaan singasari yaitu ketika masa pemerintahan, Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara,
dengan kemampuan yang ia miliki beliau melakukan konsolidasi dan bisa menempatkan para pejabat
dengan kemampuan nya masing-masing.
Raja kertanegara juga seorang yang sangat tegas, karena ia juga menggantikan pejabat yang tidak
bekerja dengan benar, dengan hal ini kerajaan tersebut menjadi sangat tangguh, karena sangat
seimbang dalam bidang ketahanan atau apapun.
Tidak hanya itu kecerdasan Raja Kertanegara juga bisa diunggulkan karena bisa kerja sama dengan
kerajaan Cempa, dengan kebijaknnya kerajaan ini pun salah satu kerajaan terkuat di Indonesia pada
masanya.
Tidak hanya dibidang militer, tapi, kerajaan ini pun begitu kuat dibidang perdagangnya, sehingga
ekonomi kerajaan ini stabil dan sangat berpengaruh terhadap kerajaan.
Runtuhnya Kerajaan Singasari
Runtuhnya kerajaan singasari yaitu memiliki dua sebab, yang pertama adalah tekanan dari luar dan
pemberontakan dalam negeri, tekanan yang pertama yaitu dengan serangan datang dari Dinasti Yuan
di Cina dan Khubilai Khan, Khubilai Khan mengehendaki Kerajaan Singasari berada di bawah
kekuasaan Cina.
Kertanagara menolak hal ini dengan menghina utusan Khubilai Khan yang bernama Meng Chi, sejak
itu, Kartanegara lebih fokus terhadap pertahanan laut, sehingga tidak terlalu memperhatikan
pertahanan di dalam kerajaan.
Kemudian pada tahun 1292, kerajaan kediri memanfaatkannya untuk memberontak, dan menyerang
Singasari dan berhasil membunuh Kertanegara, sajak saat itu pula, kerajaan Singasari runtuh.
Raja Kerajaan Singasari

ibnuasmara.com
Raja kerajaan singasari atau raja-raja Kerajaan Singasari| Kerajaan singasari dalam pemerintahannya
terdapat beberapa raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut, dalam kerajaan singasari terdapat
berbagai macam kisah tentang kerajaan tersebut dan berikut raja yang pernah memimpin kerajaan
singasari.
1. Ken Arok
Ken arok adalah seorang pendiri kerajaan singasari selkaligus raja pertama yang menduduki kursi
kerajaan Singasari, menurut kitab Pararaton, Ken Arok ialahh anak seorang petani dari gunung Kawi
katanya, tapi, ia dibesarkan oleh yang konon seorang pencuri dan mendidiknya supaya menjadi
orang jahat.
Kemudian Ken Arok ingin memiliki istri yang mana ia adalah Bupati Tumapel yang bernama Ken
Dedes, karena niatnya yang jahat, Ken Arok ingin membunuh suami Ken Dedes yang bernama
Tunggul Ametung, setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok pun menikahi Ken Dedes, dan ia pun
diangkat menjadi Bupati Tumapel.
Kala itu, Tumapel masih berada di bawah kekuasaan kerajaan kediri yang mana pada waktu itu di
pimpin oleh Raja Kertajaya, entah kenapa pemerintah kediri melepaskan Kabupaten Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kediri.
Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222-1227 M). Pada tahun 1227, M ia dibunuh oleh
seseorang atas perintah Anusapati, putra Ken Kedes dengan Tunggul Ametung Ken Arok
didharmakan di Kagenengan.
2. Anusapati
Setelah berhasil membunuh Ken Arok, Anusapati menjadi raja berikutnya dan ia memimpin
Kerajaan Singasari cukup lama, yaitu sekitar 1227 sampai 1248 Masehi, di bawah pemerintahannya
kerajaan Singasari yang konon katanya di nyatakan aman dan tentram. Seiring berjalannya waktu
kemudian Anupati dibunuh oleh Tohjaya, yang mana ia alasan itu ingin balas dendam kematian
ayahnya (Ken Arok), kemudian Jenazah Anusapati dimakamkan di Candi Kidal (sebelah tenggara
Malang), Tohjaya adalah anak Ken Arok dengan selirnya yang bernama Ken Umang.
3. Tohjaya
Setelah berhasil membunuh Anusapati pada tahun 1248 Masehi, Tohjaya dapat memimpin kerajaan
yang mana kerajaan tersebut di dirikan oleh ayahnya (Ken Arok), hal yang miris Tohjaya hanya
memimpin kerajaan tersebut cuma beberapa bulan saja pada tahun 1248 Masehi, akibat ada
pemberontakan yang dilakukan Ranggawuni (anak Anusapati) dengan Mahesa Cempaka (anak
Mahesa Wongateleng atau cucu Ken Arok dengan Ken Dedes).
Dalam pemberontakan itu, Tohjaya terluka parah dan kemudian melarikan diri ke Katangkubang,
karena luka yang dideritanya, Tohjaya kemudian meninggal dan dicandikan di Katangkubang.
4. Ranggawuni
Setelah mengalahkan Tohjaya, Ranggawuni memimpin Kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jaya
Wisnuwardhana, dan ia memimpin pada tahun 1248 sampai 1268 Masehi, dan didampingi oleh
Mahesa Cempaka, selama ia menjadi raja, Kerajaan Singasari aman dan tenteram .
Pada tahun 1254 Masehi, Wisnuwardhana menobatkan putranya yang bernama Kertanegara sebagai
raja muda di Daha yang memerintah seluruh daerah Kediri, dengan cara tersebut, Wisnuwardhana
dapat mendidik putranya agar memerintah dengan baik dan meyakinkan keluarga bahwa raja yang
telah ditetapkan.
Oleh karena itu, perebutan kekuasaan dapat dihindarkan jika ia meninggal, pada tahun 1268 M, Raja
Wisnuwardhana meninggal dan didarmakandi Waleri sebagai Syiwa dan Jayaghu (Candi Jago)
sebagai Buddha Amoghapasa.
Sementara itu, Mahesa Cempaka meninggal pada tan 1269 M dan dimakamkan di Candi Kumitir
sebagai Syiwa.
5. Kertanegara
Kertanegara merupakan Raja Singasari terbesar, Raja Kertanegara dikenal sebagai seorang penganut
agama Syiwa dan Buddha (Buddha Tantrayana), Raja Kertanegara bergelar Sri
Maharajadhiraja Sri Kertanegara dan ia memimpin pada tahun 1268 sampai 1292 Masehi,
Raja Kertanegara terkenal dengan gagasannya untuk memperluas daerah kekuasaan Singasari
hingga meliputi seluruh pulau di wilayah Indo Kehidupan Ekonomi Kerajaan Singasari
Selanjutnya terdapat kehidupan ekonomi dalam sejarah kerajaan Singasari. Kehidupan ekonomi
kerajaan Singasari berasal dari berita negeri asing, sumber prasasti dan analisis para ilmuan.
Menurutnya kerajaan Singasari berpusat di sekitar Lembah Sungai Brantas dan rakyatnya banyak
mengantungkan hidupnya sebagai seorang petani. Perekonomian tersebut didukung oleh
melimpahnya hasil bumi. Dengan begitu Kertanegara banyak memperluas kekuasaannya untuk lintas
perdagangan. Bahkan Sungai Brantas digunakan untuk sarana jalur perdagangan dari wilayah
wilayah luar. Perkembangan perekonomian dalam kerajaan Singasari juga didukung oleh jalur
perdagangan.
1.Kehidupan Politik
Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan
pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat penasihat yang terdiri atas
rakryan i hino, rakryan i sirikan, dan rakryan i halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan
pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri dari Rakryan Mapatih, Rakryan
Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.
Untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan
para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara diganti. Sebagai contoh,
Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura,
menjadi bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.
Kartanegara berusaha memperluas kerajaan Singasari dengan gagasan Cakrawala Mandala. Pada
tahun 1275, Kertanegara mengirim pasukan ke Sumatra dengan Ekspedisi Pamalau. Ia ingin
menghadang pasukan Mongol yang berencana menggelar ekspansi. Selain itu Singasari juga
menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura dan Gurun. Kartanegara juga menjalin persahabatan
dengan Raja Campa untuk menghalau pasukan Mongol ke Jawa. Akan tetapi sebelum sampai ke
Jawa, pasukan Mongol sudah dihadang oleh Jayakatwang dari kerajaan Kediri. Dalam serangan ini
pula Kertanegara tewas besrta petinggi petinggi istana lainnya.
2.Kehidupan Ekonomi
Mengenai kehidupan perekonomian Singosari tidak begitu jelas diketahui. Akan tetapi mengingat
kerajaan tersebut terletak di tepi sungai Brantas (Jawa Timur), kemungkinan masalah ekonomi tidak
jauh berbeda dari kerajaan – kerajaan terdahulunya, yaitu secara langsung maupun secara tidak
langsung rakyat ikut ambil bagian dalam dunia pelayaran.
3.Kehidupan Sosial
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya.
Banyak daerah – daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada masa pemerintahan
Anusapati, kehidupan kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian, karena ia larut dalam
kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai
diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya.
4. Kehidupan Budaya
Kehidupan kebudayaan masyarakat Singasari dapat diketahui dari peninggalan candi-candi dan
patung-patung yang berhasil dibangunnya. Candi hasil peninggalan Singasari, di antaranya adalah
Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari. Adapun arca atau patung hasil peninggalan Kerajaan
Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai perwujudan dari Prajnyaparamita lambang
kesempurnaan ilmu dan Patung Kertanegara dalam wujud Patung Joko Dolog di temuakan di dekat
Surabaya, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Raja Kertanegara yang dikirim ke
Dharmacraya ibukota kerajaan melayu.
Kudua perwujudan patung Raja Kertanegara baik patung Joko Dolog maupun patung Amoghapasa
menyatakan bahwa Raja Kertanegara menganut agama Budha beraliran Tantrayana ( Tantriisme ).
5.Kehidupan Agama
Diangkat seorng Dharmadyaksa (kepala agama Buddha). Disamping itu ada pendeta Maha
Brahmana yang mendampingi Raja, dengan pangkat Sangkhadharma. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara didharmakan sebagai Syiwa Buddha di candi Jawi, di Sagala bersama – sama
dengan permaisurinya yang diwujudkan sebagai Wairocana Locana, dan sebagai Bairawa di candi
Singasari. Terdapat prasasti pada lapik (alas) arca Joko Dolog yang ada di taman Simpang di
Surabaya, yang menyebutkan bahwa Kertanegara dinobatkan sebagai Jina atau Dhyani Buddha yaitu
sebagai Aksobya. Sedangkan arca Joko Dolog itu sendiri merupakan arca perwujudannya. Sebagai
seorang Jina ia bergelar Jnanasiwabajra.
Peninggalan Kerajaan Singasari
Peninggalan kerajaan singasari- ada beberapa peninggalan kerajaan tersebut, ya, pasti di sebuah
kerajaan memiliki barang yang sangat berarti, yang mana barang tersebut nanti akan di jadikan
peninggalan atau sejarah, berikut peninggalan kerajaan Singasari itu.
1. Candi Singosari
Candi Singosari ini terletak di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dan terletak pada lembah di
antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna.
Candi singosari adalah tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Raja Kertanegara, yang
meninggal pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh
Jayakatwang, konon katanya candi ini tidak pernah selesai di bangun entah kenapa.
2. Candi Jago
Candi jago ini cukup unik, karena pada bagian atasnya itu hanya menyisakan sebagian saja dan
konon katanya yang setengah laginya kena petir.
3. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan adalah satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur, yang berjarak 6 km
dari Candi Singosari, Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang digunakan oleh
umat Buddha pada waktu itu.
4. Arca Dwarapala
Arca Dwarapala ini berbentuk Monster dan ukurannya juga besar, menurut penjaga situs sejarah ini,
Arca Dwarapala adalah pertanda masuk ke wilayah kotaraja, tapi, hingga saat ini tidak ditemukan
secara pasti.
5. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri adalah manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh
1343, pada mula nya ditempatkan di Candi Jago dan sekarang tersimpan di Museum Nasional
Jakarta.
6. Prasasti Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung merupakan piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa
Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja, Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang
diterbitkan Kertanagara yaitu pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari.
7. Prasastri Singosari
Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa
Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa.
8. Candi Jawi
Candi Jawi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan dan Kecamatan Prigen
dan Pringebukan, Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan
Buddha,
Tapi yang benar adalah tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara, Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada
hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.
9. Prasasti Wurare
Prasasti Wurare merupakansebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya
di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare), Prasasti ditulis
dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289.
10. Candi Kidal
Candi Kidal merupakan salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari, Candi kidal ini dibangun
sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 sampai 1248), kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya
sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu
Gandring.
KERAJAAN MATARAM KUNO

,
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Sejarah kerajaan mataram kuno- Kerajaan Mataram Kuno atau nama lainnya adalah Kerajaan
Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris, dan dulu ada 3 dinasti yang pernah menguasai
Kerjaan ini yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana.
Wangsa Sanjaya adalah pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra
adalah pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri adalah Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu
Sindok.Raja pertama Kerajaan ini ialah Sanjaya sekaligus pendiri Wangsa Sanjya yang menganut
agama Hindu, setelah Raja Sanjaya tewas kemudian ia digantikan sama Rakai Panangkaran diamana
ia berpindah agama menjadi Budha beraliran Mahayana.
Pada saat Wangsa Sayilendra berkuasa, kemudian disinilah agama Hindu dan Buddha berkembang di
Kerajaan ini, dan dibagi menjadi 2, yang pertama agama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara
sedangkan yang beragama Buddha berada di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Kemudian pada saat Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja
Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu,
pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa
Sanjaya.
Menurut catatan pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan di lokasi daerah
Mataram dekat dengan Yogyakarta sekarang, lalu dipindahkan oleh pemerintahan Rakai Pikatandi
daerah kudu.
Letak Kerajaan Mataram Kuno
Letak kerajaan mataram kuno yaitu di Jawa Tengah atau biasa disebut Bumi Mataram, dimana
daerah ini dikelilingi berbagai macam Gunung dari mulai Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung
Sumbing, Gunung Merapi dan lain-lain, di wilayah ini juga sangat subur dengan banyaknya sungai
nama sungai itu adalah, Sungai Progo Sungai Elo, Sungai Pengawan Solo dan masih banyak lagi.
Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Berdirinya kerajaan mataram kuno masih belum diketahui kapan berdirinya kerajaan tersebut, jika
dilihat dari prasati mantyasih yaitu pada tahun 907 Masehi, kemudian Raja Sanjaya mengeluarkan
Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi, dan tidak mejelaskan nama kerajaannya, namun, dalam
prasasti itu menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya.
Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena adalah raja dari Kerajaan Galuh
yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara), kekuasaan Sanna
disingkiran dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan lalu ia melarikan diri ke Kerjaan Sunda
untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda.
Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya, keponakan dari Sanna sebagai menantunya, setelah naik
tahta, Sanjaya memiliki siasat untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali, sesudah berhasil
menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan
baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan Kerajaan
Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan rajanya yang pertama ialah
Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan mataram kuno penybebabnya adalah permusuhan antara Sumatra dan Jawa,
pada saat permusuhan dimulai dari pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan, Balaputradewa
dan ia terus menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan.
Perselisihan kedua raja tersebut kian memanas dan menjadi musuh bebuyutan sampai turun-temurun
pada generasi selanjutnya, selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu
lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana
berkuasa, sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang
menyerangnya, pertempuran terjadi di daerah Anjukladang yang sekarang adalah (Nganjuk) dan
pertempuran itu dimengkan oleh Mpu Sinduk.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika masa pemerintahan cicit Mpu, ketika itu juga masih dalam
keadaan memanas, tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran
tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa.
Dharmawangsa juga pernah menyerang kerajaan Sriwijaya yaitu pada tahun 1016 Masehi,
Dharmawangsa lengah, ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan
serang oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya,
kemudian Dharmawangsa pun meninggal.
Raja Raja Kerajaan Mataram Kuno
Raja-raja kerajaan mataram kuno yang pernah memimpin sebagai berikut.:
1. Sanjaya
2. Rakai Panangkaran
3. Rakai Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok
14. Sri Lokapala
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh
A. Aspek Kehidupan Politik
Samapai pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada dalam pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Kendali
atas Jawa Tengah berada di tangan keluarga Melayu penganut Buddha yang berasal dari keluarga
Syailendra. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Kalasan yang dipahat pada tahun 778 M. Prasasti
Kalasan memberitahukan bahwa penguasa lokal yang telah membangun Candi Tara adalah Sang
Ratu I Hulu. Menurut generasi Dinasti Sanjaya yang terdapat dalam prasati Balitung, dia dinamakan
Panangkaran yang merupakan seroang anak lelaki Sanjaya. Kendali Sriwijaya atas Jawa Tengah ini
pada tahap selanjutnya memucnulkan dua dinasti atau wangsa, yaitu Dinasti Syailendra yang
menganut agama Buddha dan Dinasti Sanjaya yang menganut agama Hindu Syiwa.Berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Dinasti Sanjaya berada di Jawa
Tengah bagian utara dan kekuasaan Dinasti Syailendra berada di Jawa Tengah Selatan.
1. Dinasti Sanjaya
Dalam Prasasti Mantyasih yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Balitung, dapat diketahui raja-
raja keturunan Sanjaya yang memeirntah di Jawa Tengah bagian utara. Raja-raja itu adalah sebagai
berikut.
- Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Pangkaran
- Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayu Wangi
- Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
2. Dinasti Syailendra
Para raja keturunan Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain Raja
Bhanu, Raja Wisnu (Sri Dharmatungga), Raja Indra (Sri Sanggramandananjaya), Raja Samarungga,
Raja Balaputradewa, dan Ratu Pramodhawardani. Raja-raja itu berkuasa selama satu abad (750-850
M). Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya), Mataram Kuno disatukan kembali
saat Rakai Pikatan memperisitri Pramodhawardhani, Putri Samaratungga.
Sesungguhnya Raja Samaratungga mempunyai dua orang putra dari istri berlainan. Putra tertua
bernama Pramodhawardhani dinikahkan dengan Rakai Pikatan. Sedangkan putra keduanya adalah
Balaputradewa hasil pernikahan Raja Samaratungga dengan Putri Tara dari Sriwijaya.
Setelah Raja Samaratungga wafat, terjadilah perebutan kekuasaan antara Pramodhawardhani yang
dibantu Rakai Pikatan dan Balapautradewa. Pada tahun 856 M, Rakai Pikatan berhasil mengusir
Balaputradewa yang melarikan diri ke Sriwijaya. Kepergian Balaputradewa dan pasukannya
mengakhiri kekuasaan Sriwijaya atas Jawa Tengah. Setalah Balaputradewa pergi, Pramodhawardhani
berkuasa di Mataram Kuno (Buddha). Pramodhawardhani ketika naik takhta bergelar Sri Kahulunan.
Pada masa pemerintahannya, banyak bangunan bersifat Buddha yang didirikan, misalnya Candi
Plaosan.
B. Aspek Kehidupan Sosila dan Ekonomi
Pusat Kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah Sungai Progo, meliputi dataran Magelang,
Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan
kehidupannya pada hasil pertanian. Usaha untuk mengembangka dan meningkatkan hasil pertanian
telah dilakukan sejak masa pemerintahan Kayu Wangi. Usaha perdagangan juga mulai mendapat
perhatiak ketika Raja Balitung berkuasa. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Prasasti
Purworejo (900 M) dan dari Prasasti Wonogiri (903 M).
Bersumber dari Prasasti Canggal, Sanjaya menerapkan penarikan pajak dan pembagian kekayaan
sebagai dsar bagi sistem ekonomi politik dari pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Kuno. Prasasti
Canggal juga menyebutkan sifat agraris dari Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin Sanjaya, yang
dinamakan sebagai Rajya dan terdiri atas beberapa komunitas (desa) yang dihubungkan dengan
jalan-jalan kerajaan (Rajapathi).
Meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, rakyat
Kerajaan Mataram Kuno tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap tersebut dibuktikan ketika
mereka bergotong-royong dalam membangun Candi Borobudur.
C. Aspek Budaya
Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanajaya beragama Hindu
dengan pusat kekuasaanya di utara. Hasil budayannya berupa candi-candi, seperti Gedong Sanga,
dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Buddha dengan pusat
kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayannya, seperti Candi Borobudur, Menudt, dan Pawon.
Semula terjai perebutan kekuasaan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan
antara Pikatan (Sriwijaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama
Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini
menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah satu sifat
kepribadian bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan agar terciptanya kedamaian, ketentraman,
dan kesejahteraan.
Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti Canggal
Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) ialah prasasti berangka
pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi, prasasti ini ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di
desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, Prasasti ini dipandang sebagai
pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan
Mataram Kuno.
Prasasti Kelurak
Prasasti Kelurak berangka pada tahun 782 Masehi, prasasti ini dapat ditemukan di dekat Candi
Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah.
Prasasti Mantyasih
Prasasti Mantyasih ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat
daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung, Prasasti Mantyasih ini dibuat sebagai upaya
melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya
yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto adalah peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto,
Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Prasasti Sojomerto yang beraksara Kawi dan
bahasanya Melayu Kuna, Prasasti ini tidak menyebutkan tahun nya dengan pasti, menurut catatan
sekitar pada abab ke-7.
Prasasti Tri Tepusan
Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri Kahulunnan pada tahun 842 Masehi menganugerahkan
tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan pemeliharaan tempat suci Kamulan I
Bhumisambhara (kemungkinan besar nama dari candi Borobudur sekarang), Duplikat dari prasasti
ini tersimpan di dalam museum candi Borobudur.
Prasasti Wanua Tengah III
Prasasti ini ditemukan pada November 1983, Prasasti ini dapat ditemukan di sebuah ladang di Dukuh
Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung, di catatan
prasasti terdapat daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada masa sebelum
pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung.
Prasasti ini begitu penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga melengkapi
penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya
menyebut 9 nama raja saja.
Prasasti Rukam
Prasasti ini berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, ditemukan pada 1975 di desa Petarongan,
kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini terdiri atas dua lempeng tembaga yang
berbentuk persegi panjang, lempeng pertama berisi 28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris.
aksara dan bahasa yang digunakan ialah Jawa Kuno.
Isi prasasti ialah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa
tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api, lalu masyarakat desa Rukam diberi kewajiban
untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung.
Prasasti Plumpungan
Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan dan berangka pada tahun 750 Masehi, Prasast
plumpungani dapat dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga, menurut sejarahnya, di dalam Prasasti
Plumpungan berisi ketetapan hukum, yakni suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra, pada masanya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan
peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra.
Penetapan prasasti adalah titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan
atau swantantra, Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota
Salatiga, dengan seperti itu daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu ialah daerah Salatiga sekarang ini.
Prasasti Siwargrha
prasasti Siwargrha di dalamnya terdapat tulisan chandrasengkala ”Wwalung gunung sang wiku”
yang bermakna angka tahun 778 Saka (856 Masehi), Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala
(Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya pemerintahan Rakai Pikatan.
Prasasti Gondosuli
Prasasti Gondosuli dapat ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan
Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, yang mengeluarkan ialah anak raja (pangeran) bernama Rakai
Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Sankhara
Prasasti Raja Sankhara ialah prasasti yang berasal dari abad ke-8 Masehi dan ditemukan di Sragen,
Jawa Tengah, Prasasti Sankhara ini kini hilang, Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi,
Museum Adam Malik, tapi, diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau
2006.
Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama
Siwa yang dianut merupakan agama yang ditakuti banyak orang, Raja Sankhara pindah agama ke
Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih, sebelumnya disebutkan ayah Raja
Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari.
KERAJAAN SRIWIJAYA

Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap


Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap. Kerajaan Sriwijaya atau biasa disebut Srivijaya adalah salah
satu kerajaan maritim yang kuat di wilayah pulau Sumatera dan memberi pengaruh banyak di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Thailand, Kamboja, Semenanjung Malaya,
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Didalam bahasa Sansekerta, sri artinya “bercahaya” dan
wijaya artinya “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I Tsing, seorang
pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat mengunjungi Sriwijaya tahun
671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di
Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada tahun 682.
Dikarenakan terjadi beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh di
tahun 990 dari Jawa menjadikan pengaruh Kerajaan Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai
berkurang, dan serangan Rajendra Chola I dari Koromandel di tahun 1025, selanjutnya di tahun 1183
Sriwijaya dibawah kendali kekuasaan kerajaan Dharmasraya.Setelah Sriwijaya runtuh, kerajaan ini
terlupakan dan eksistensinya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan George Cœdès
dari Perancis.
Tidak ditemukan catatan lebih lanjut mengenai Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa
lalunya yang sudah terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia
terkini yang mendengar mengenai sejarah Kerajaan Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana
Perancis George Cœdès menyebarkan enemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok dalam “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”,
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno bersumber pada kekaisaran yang sama.
Kerajaan Sriwijaya menjadi icon kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara di Jawa
Timur selain Majapahit. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi rujukan oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
Tertulis berbagai macam nama Sriwijaya. Orang Tionghoa menyebutnya San-fo-ts’i Shih-li-fo-shih
atau atau San Fo Qi. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, kerajaan Sriwijaya disebut Javadeh dan
Yavadesh. Khmer menyebutnya Malayu dan bangsa Arab menyebutnya Zabaj.
Banyaknya nama menjadi alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta
Ptolemaeus ditemukan keterangan mengenai adanya 3 pulau Sabadeibei yang dimungkinkan
berkaitan dengan Sriwijaya. Pierre-Yves Manguin melakukan observasi Sekitar tahun 1993 dan
berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Sabokingking dan
Seguntang (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak pada wilayah
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),
dengan catatan Malayu tidak di wilayah tersebut.
Jika Malayu pada wilayah tersebut, ia cendrung pada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah
mengeluarkan pendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada wilayah Candi
Muara Takus provinsi Riau sekarang),
dengan perkiraan petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini juga dapat dikaitkan
denganadanya berita tentang pembangunan sebuah candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya
(Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina
yang diberi nama cheng tien wan shou (Candi Bungsu, sebagian dari candi yang terletak di Muara
Takus).
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore,
Sriwijaya telah beribukotakan di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya
Belum banyak bukti fisik mengenai Kerajaan Sriwijaya yang bisa ditemukan. Kerajaan ini
merupakan negara maritim dan menjadi pusat perdagangan, namun kerajaan ini tidak meluaskan
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
sebuah populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di wilayah barat.
Beberapa ahli masih berselisih kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu bisa
jadi kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota
masih tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya dipimpin
oleh datu setempat.
Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari
prasasti Kedukan Bukit di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad
ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi
bagian kekuasaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur pada tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, bagian selatan
Sumatera ini telah dikuasai kemaharajaan Sriwijaya, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan petualangan militer untuk
menghukum Bumi Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan
runtuhnya Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah dan Tarumanagara di Jawa Barat yang
kemungkinan besar akibat diserang Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Sunda, Selat
Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi kerajaan ini ke Semenanjung
Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand.
Pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke
kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di wilayah tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Kerajaan
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai pendiri imperium Khmer, raja
Khmer Jayawarman II, di abad yang sama memutuskan hubungan dengan Sriwijaya.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Holing dan Tarumanegara berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, wangsa Sailendra pada masa ini pula bermigrasi ke Jawa
Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, di semenanjung Melayu Langkasuka menjadi bagian
kerajaan. Di masa berikutnya, Trambralinga dan Pan Pan, yang terletak di sebelah utara Langkasuka,
juga berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, yang menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia berkuasa pada tahun
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih perkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, Samaratungga membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai
pembangunannya pada tahun 825.
Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Agama Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana
dari berbagai negara di Asia. Antara lain I Tsing seorang pendeta dari Tiongkok, yang melakukan
ekspansi ke Sumatera dalam perjalanan belajarnya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan
695, dan di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha dari Benggala yang berperan dalam
perkembangan Buddha Vajrayana di Tibet.
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya sebagai rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi sebuah
pusat pembelajaran agama Buddha. Pelancong yang datang ke pulau ini menyatakan bahwa koin
emas telah dipergunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha Mahayana dan Buddha
Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
budaya India banyak mempengaruhi Kerajaan Sriwijaya, diawali oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya berhasil menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung ikut serta
mengembangkan kebudayaan Melayu beserta bahasanya di Nusantara.
Sangat memungkinkan bahwa Sriwijaya yang terkenal sebagai pusat bandar perdagangan di Asia
Tenggara, tentunya menarik minat dari para pedagang dan ulama muslim dari wilayah Timur
Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian
tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya kekuasaan Sriwijaya.
Ada sumber yang menyatakan, karena adanya pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung
di Sriwijaya, maka pada tahun 718 Sri Indrawarman raja Sriwijaya memeluk Islam. Sehingga sangat
memungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya ialah masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat
Muslim dan Budha sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirimkan surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu
teks berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya, surat itu ditujukan
kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M).
Perdagangan
Di dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi penguasa dalam mengendalikan jalur perdagangan
antara Tiongkok dan India, yakni dengan penguasaan atas selat Sunda dan selat Malaka. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditi seperti kayu gaharu, kapur barus, kepulaga
cengkeh, pala,, gading, timah, dan emas, yang membuat raja Sriwijaya kaya seperti raja-raja di
India.
Kekayaan yang amat banyak ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-
vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara jatuhnya dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup heboh, terutama Fujian, negeri kaya Guangdong, kerajaan
Min, dan kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya merauk keuntungan dari perdagangan ini.
Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya
Untuk memperkuat posisi kekuasaannyanya atas penguasaan kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya
menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan sering mengantarkan utusan beserta
upeti.
Pada masa pertama kerajaan Khmer adalah daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengaku
bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan Khmer,
pengaruh Sriwijaya terlihat pada bangunan pagoda Borom That yang arsitektur Sriwijaya. Setelah
Sriwijaya jatuh, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yaitu (Mueang) Chaiya, Khirirat Nikhom, dan
Thatong (Kanchanadit).
Sriwijaya juga ada hubungan dekat dengan kerajaan Pala dari Benggala, pada prasasti Nalanda
mencatat bahwasanya raja Balaputradewa memberikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Hubungan dengan dinasti Chola di selat India juga cukup baik, dari prasasti Leiden mencatat bahwa
raja Sriwijaya telah membangun vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun
setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11 hubungan antara
Sriwijaya dan raja Balaputradewa menjadi buruk.
Kemudian pada masa Kulothunga Chola I hubungan ini kembali membaik, di mana raja Sriwijaya di
Kadaram mengirim utusan yang meminta diikrarkannya pengumuman pembebasan cukai di kawasan
sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun pada masa ini Sriwijaya dicap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok
disebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i pada tahun 1079 ikut
serta membantu perbaikan candi di dekat Kanton, pada masa dinasti Song candi ini dijuluki dengan
nama Tien Ching Kuan sedangkan pada masa dinasti Yuan dijuluki dengan nama Yuan Miau Kwan.
Struktur pemerintahan
Pembentukan negara satu kesatuan dalam ukuran struktur kekuasaan politik Sriwijaya, dapat dilcari
dari beberapa prasasti yang di dalamnya mengandung info penting tentang mandala, kadātuan,
samaryyāda, vanua, dan bhūmi.
Kadātuan dapat diartikan kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal, tempat mas disimpan dan
hasil cukai (drawy) sebagai wilayah yang harus dijaga. Kadātuan ini dikelilingi vanua, yang bisa
dianggap sebagai wilayah kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terkandung vihara untuk tempat
beribadah untuk masyarakatnya.
Vanua dan Kadātuan ini merupakan suatu wilayah inti bagi Kerajaan Sriwijaya. Menurut Casparis,
samaryyāda merupakan wilayah yang bersebrangan dengan vanua, yang terhubung ke jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat dimaksudkan kawasan pedalaman. Sedangkan mandala adalah suatu
kawasan yang berdiri sendiri dari bhūmi yang berada dalam kontrol kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Maharaja atau Dapunta Hyang, dan dalam silsilah raja terdapat
secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menuturkan berbagai jabatan dalam susunan
pemerintahan kerajaan di masa Sriwijaya.
Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan maritim menjadi ciri Kemaharajaan Sriwijaya, mengandalkan kekuasaannya pada kekuatan
armada lautnya dalam langkah menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, dan membangun
beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam melindungi kapal-kapal dagang,
mengawasi, mengambil cukai serta menjaga wilayah kekuasaan dan kedaulatannya.
Sejarah dan bukti arkeologi mencatat, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan rebut kekuasaan di
hampir seluruh kerajaan-kerajaan wilayah Asia Tenggara, antara lain: Jawa, Sumatera, Semenanjung
Malaya, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Sunda dan Selat Malaka, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali jalan
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mentarif biaya atas setiap kapal yang lewat.
Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya sebagai gudang perdagangan dan pelabuhan yang melayani
pasar India dan Tiongkok,.
Sriwijaya juga disebut ikut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di tanah Jawa, dalam
prasasti Pucangan dijelaskan sebuah peristiwa Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana
Medang di tanah Jawa Timur, di mana Haji Wurawari asal Lwaram yang dimungkinkan merupakan
raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang yang menyebabkan terbunuhnya
Dharmawangsa Teguh raja Medang terakhir.
Raja Terkenal Kerajaan Sriwijaya
Raja-raja yang diketahui pernah menjabat sebagai Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja Daputra Hyang: Cerita mengenai raja Daputra Hyang ditemukan melalui prasasti Kedukan
Bukit (683 M). Pada masa kekuasaannya, Raja Dapunta Hyang telah sukses memperluas daerah
kekuasaannya sampai ke tanah Jambi. Sedari awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang bercita-
cita supaya Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Raja Dharmasetu: Pada masa kekuasaan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke
wilayah Semenanjung Malaya. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya disana membangun sebuah pangkalan di
wilayah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga sanggup menjalin hubungan dengan Negri India
dan China. Setiap kapal yang melayar dari China dan India selalu mampir di Bandar-bandar
Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita mengenai raja Balaputradewa awal diketahui dari catatan Prasasi
Nalanda. Raja Balaputradewa menjabat sekitar abad ke-9, pada masa kekuasaannya, kerajaan
Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di
Asia Tenggara.
Ia menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Cola dan Nalanda.
Balaputradewa merupakan keturunan dari dinas Syailendra, yaitu putra dari Raja Samaratungga
dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya.
Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa kekuasaan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan
Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Tapi, serangan
tersebut berhasil digagalkan oleh para tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami
sebuah serangan dari Kerajaan Chola. Yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola
membuat serangan dan sukses merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman
akhirnya ditahan. Tapi pada masa kekuasaan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan.
 Dapunta Hyang Sri Jayanasa
 Sri Indravarman
 Rudra Vikraman
 Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
 Dharanindra Sanggramadhananjaya
 Samaratungga
 Samaragrawira
 Balaputradewa
 Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
 Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
 Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
 Hie-tche (Haji)
 Sumatrabhumi
 Sangramavijayottungga
 Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
 Rajendra II
 Rajendra III
 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
 Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Peninggalan Kerajaan Sriwijayai
Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di Palembang
dan sudah banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti pendeta Tiongkok I
Ching yang berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke universitas Nalanda. Ia menulis
jika Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut ini kami berikan ulasan mengenai
peninggalan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap, silahkan dilihat dibawah ini.
1. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau
Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa.
Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang
kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya.
Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang
bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan
nama dari seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari
Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di
bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan Museum
Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti
Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo.
Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung,
Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah
melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan
Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat
dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi karena
serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki
pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang
Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja
dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana
untuk Sri Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari
semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada Prasasti Ligor
B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan tentang nama
Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan mendapatk julukan
Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai tak tersisa.
3. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung
yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris tulisan.
Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan
kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-
7 Masehi.
4. Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah
desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara
Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak,
namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
5. Prasasti Telaga Batu
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu
ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun
1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini
disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga
ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada
tahun sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan
di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta
lebar 148 cm.
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat
pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf
Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang
kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah
dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa
melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri
(kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka),
bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh
(tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana),
tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka),
kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan
menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di
Palembang yang merupakan ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin
Sriwijaya berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada
kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang
diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
6. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29 November 1920 oleh M. Batenburg di Kampung
Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, lebih tepatnya di tepi Sungai
Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini memiliki ukuran 45 cm x 80 cm memakai bahasa
Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini menceritakan tentang seorang utusan Kerajaan
Sriwijaya yakni Dapunta Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai perahu.
Dalam perjalanan tersebut, ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan beberapa
daerah lainnya dan prasasti tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah hilang yang
seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan
pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M. Boechari diisi dengan nama bulan Asada sehingga
penangalan prasasti tersebut menjadi lengkap yakni hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan
dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. George Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti
ramuan bertuah namun juga bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno Zoetmulder tahun 1995
berarti sukses dalam perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti adalah Sri Baginda yang naik
sampan untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan perjalanan tersebut.
Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga
lalu menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan.
Dengan kemiripan bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan
Minangkabau yaitu eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika
Minanga tidak sama seperti Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta
Hyang. Sedangkan Soekmono beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab
tawan memiliki arti temuan yaitu pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri
di Riau yang merupakan wilayah di sekitar Candi Muara Tikus.
Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan yang
ada di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan jika armada
yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya,
Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah
ini baru ada sesudah masa Sriwijaya dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud
merupakan pertemuan dari 2 sungai di Minanga yaitu Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan
Matayap memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap yakni
sebuah daerah di Sumatera Selatan.
7. Prasasti Talang Tuwo
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant Westenenk yang
merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17 November 1920.
Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran
Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan
dengan penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva
serta annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm
berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara
Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil
menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta
Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920.
Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa yang
dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat dengan
pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah
juga mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada
dalam prasasti.
Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di sini,
pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian
pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya
dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat
digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi
mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu
beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga
semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam
jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka tidak terkena
malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan
selama menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan
berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka
bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada
pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.

8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada
lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di
museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil
dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun
Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti
Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk
mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak
dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya
seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi berdekatan
dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari cerita di Dusun
Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727
yang dimana pada masa tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak
Temenggung Lakek yang bernama Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid
Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke
Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat ini digunakan sebagai Kantor
Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat Karang Berahi minta
agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang kemudian
dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di tepi Batang Merangin.
10. Candi Muara Takus
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus terletak
di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi
dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah
ada sejak jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan
tersebut. Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi
kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini
adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa
berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir
kuning dan di dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi
Bungsu, Candi Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.
Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah Indonesia
yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka
sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua
kompleks Candi Muara Takus.
11. Candi Muaro Jambi
Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara yakni seluas
3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan
Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi,
indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh
letnan inggris bernama S.C. Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan
militer. Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin
oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga
ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan
peninggalan dari abad ke-9 sampai 12 Masehi.
Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni
Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano, Kembang
Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan
beberapa buah candi saja, namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam
penampungan air dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno.
Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh penduduk
setempat.
12. Candi Bahal
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran
Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas,
Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan
berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut
memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran
singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena
keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.
13. Gapura Sriwijaya
Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera
Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat ini baru
ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan roboh karena
kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura
Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam
pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan
atau ditempel.

Kerajaan Majapahit
.

Berdirinya Kerajaan Majapahit


Berdirinya kerajaan majapahit yaitu pada penobatan Raden Wijaya, tanggal 15 bulan Kartika pada
tahun 1215 saka atau tanggal 10 November 1293, dan beliau resmi dengan sebutan Kertajasa
Jayawardhana.
Kemudian kerajaan majapahit menghadapi beberapa masalah seperti pemberontakan, namun, tidak
berhasil dan usaha Sora dan Nambi itu sia-sia, ketika itu pemberontakan di usung oleh Panji
Mahajaya, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Arya Sidi, Ra Tosan, Ra Tati dan Ra Gelatik.
Seperti itu kisah singkat mengenai berdirinya kerajaan majapahit tersebut dan masih banyak lagi
kisah-kisah tentang sejarah kerajaan ini.
Kerajaan Majapahit ialah kerajaan Agama hindu-budha dan salah satu kerjaan terbesar yang pernah
ada di Indonesia, kerajaan ini berdiri kurang lebih yaitu pada tahun 1293 sampai tahun 1500 Masehi
yang pasti kamu belum lahir hehehe, dimana pada waktu itu di masa kejayaannya dipimpin oleh raja
bernama Raden Wijaya.
Di awal-awal masa kejayaan yang dipimpin oleh Raden Wijaya yang dimana ia menduduki
singahsana kerajaan yaitu sekitar kurang lebih pada tahun 1293 sampai 1309 setelah itu diteruskan
oleh Jayanegara yang konon katanya raja tersebut amat jahat dan ia hanya menguasai kerajaan
majapahit pada tahun 1309 sampai tahun 1328 Masehi.
Setelah itu kemudian Jayanegara dibunuh, maka digantilah oleh Tribhuwana Tungga Dwi disinilah
kerajaan majapahit kembali berjaya ketika diganti oleh beliau dan ia hanya menguasai pada tahun
1328 sampai tahun 1305 Masehi, dan digantikan oleh raja-raja berikutnya.
Kejayaan Kerajaan Majapahit
Kejayaan kejayaan majapahit ketika itu dikuasai oleh Hayam Wuruk dan ia berkuasa di tahun 1350
sampai tahun 1389 Masehi, di sinilah puncak kerajaan majapahit berjaya dan berhasil menguasai
Borneo, Sumatra, Semenanjung Melayu bahkan sampai ke Negara tetangga.
Pada masa emas majapahit ketika itu terbilang menjadi kerajaan yang sangat besar dalam sejarah
Indonesia, kerajaan ini juga mempunyai misi yang begitu mulia yaitu agar bumi Nusantara ini
menjadi damai.
Begitu serius tentang misi nya itu untuk mempersatukan Nusantara, kemudian gajah mada
mengucapkan sumpah, yang mana sumpahnya itu diberi nama sumpah palapa ialah, “saya tidak akan
mundur dari jabatan sebelum mempersatukan bumi Nusantara ini ucap beliau”.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Setelah meninggalnya Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mulai meredup,
sebelum menjadi semakin lemah akibat menguatnya kekuatan Islam Demak, pertentangan di tengah
keluarga kerajaan telah lebih dulu membuat Majapahit goyah.
Osrifoel, yang akrab dipanggil Ipul, menjelaskan bahwa sumber tradisi menyebut Majapahit runtuh
pada tahun 1478 pada masa pemerintahan Girindrawarddhana akibat serangan kerajaan Islam
Demak, setelah kejadian itu kerajaan majapahit merupakan sebuah lambang kebesaran Indonesia
pada masanya.
Raja-Raja Kerajaan Majapahit
Dalam sebuah kerajaan pasti memiliki raja yang pernah memimpin yang mana bergantian pemimpin
dari zaman ke zaman sampai akhirnya kerajaan itu telah tiada dan hanya untuk dijadikan kenangan
dan cerita, berikut dibawah ini nama-nama raja yang pernah memimpin kerajaan majapahit tersebut.
 Raden Wijaya
 Jayanegara
 Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani
 Hayam Wuruk
 Ratu Kusumawardhani
Kehidupan Politik Kerajaan Majapahit
Kehidupan politik kerajaan majapahit banyak dilalui pemberontakan dari orang dalam kerajaan. Pada
saat pemerintahan Raden Eijaya, banyak terjadi pemberontakan seperti pemberontakan yang
dilakukan oleh Ranggalawe, Sora, Nambi dan pemberontakan lainnya dengan bertujuan untuk
menggulingkan Raden Wijaya dari tahtanya, namun dengan kecakapannya, pemberontakan tersebut
dapat dipadam. Akhirnya, pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal.
Setelah Raden Wijaya meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang berumur 15 tahun bernama
Jayanegara. Tidak seperti sang ayah, Jaya negara tidak ahli dalam memimpin kerajaan sehingga ia
mendapat julukan Kala Jemet yang artinya lemah dan jahat.
Pada saat Jayanegara memerintah kerajaan, terjadi pemberontakan dari orang kepercayaannya. Salah
satu pemberontakan tersebut dipimpin oleh Ra Kuti dan pemberontakan tersebut hampir saja
menggulingkan pemerintahannya, namun Gajah Mada nethasil menangani pemberontakan tersebut
dan menyelamatkan Jayanegara ke sebuah desa bernama Badander. Tapi sayangnya, Jayanegara
berhasil dibunuh oleh seorang tabib bernama Tancha yang mengobatinya karena tabib tersebut
dendam terhadap Jayanegara. Gajah Mada lalu menangkap dan membunuh Tancha.
Karena tidak memiliki keturunan, posisi Jayanegara digantikan oleh adiknya bernama Gayatri
dengan gelar Tribuana Tunggadewi (1328-1350). Pada masa pemerintahannya juga terjadi
pemberontakan. Pada tahun 1331 M, terjadsi pemberontakan di daerah Sedeng dan Keta di Jawa
Timur. Namun lagi, Gajah Mada dapat mengatasi hal tersebut. Atas jasanya, Gahjah Mada diangkat
menjadi Mahapatih Majapahit. Gajah Maja pernah bersumpah yang dikenal dengan Sumpah Palapa,
bunyi sumpah palapa yaitu “Gajah Mada pantang bersenang-senang sebelum menyatukan
nusantara”. Pada tahun 1950 M, Tribuana Tunggadewi meninggal.
Selanjutnya, pemerintahan dipegang oleh Hayam Wuruk (1350-1389 M). Pada pemerintahan Hayam
Wuruk, Majapahit mengalami masa keemasan atau masa kejayaan. Hal tersebut ditandai dengan luas
wilayah kekuasaannya yang setara dengan luas Indonesia saat ini, selain itu ditambah dengan
pengaruh majapahit di beberapa negara di Asia tenggara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
karya sastra juga berkembang pesat diantaranya kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca,
kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Pada tahun 1364, Hayam Wuruk meninggal dan jabatannya
dibiarkan kosong selama 3 tahun. Setelah iu, Mahapatih Majapahit digantikan oleh Gajah Enggon
pada tahun 1367 dan Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, Maja Pahit berangsur mengalami penurunan, ditambah lagi
kondisi politik yang tidak stabil. Pemerintahan dipegang oleh KusumaWardhani yang menikah
dengan Wikramawardhana yang merebut tahta dari saudara tirinya (anak laki-laki Hayam Wuruk dari
selir bernama Wirabhumi). Perang tersebut dikenal dengan nama Perang Paregreg. Peperangan
tersebut dimenangkan oleh Wikramawardhana lalu Wirabhumi ditangkap dan dibunuh. Akibat dari
perang tersebut, banyak daerah kekuasaan majapahit yang melepaskan diri.
Setelah Wikramawardhana, raja yang memerintah Majapahit yaitu:
Suhita dengan gelar Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)
Kertawijaya dengan gelar Brawijaya I(1447-1451)
Rajasawardhana dengan gelar Brawijaya II (1451-1453)
Purwawisesa atau Girishawardhana dengan gelar Brawijaya III (1456-1466)
Bhre Pandansalas atau Suraprabhawa dengan gelar Brawijaya IV (1466-1468)
Bhre Kertabumi dengan gelar Brawijaya V (1468-1478)
Girindrawardhana dengan gelar Brawijaya VI (1478-1498)
Patih Udara (1498-1518)
Kehidupan Sosial Ekonomi Kerajaan Majapahit
Lokasi yang strategis dan menjadi pusat perdagangan di Jawa, Majapahit menjadi kerajaan dengan
mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai pedagang. Selain itu ada pula penduduk bermata
pencaharian lain seperti pengrajin emas, pengrajin perak hingga tukang daging.
Komoditas Ekspor kerajaan majapahit yaitu berupa hasil alam seperti lada, garam, kain, dan burung
kakak tua. Sengakan komoditas impornya yaitu seperti mutiara, emas, perak, keramik, dan barang-
barang dari besi.Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi kerajaan majapahit yaitu lembah
sungai Brantas dan bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur yang sangat cocok untuk dijasikan
sebagai lahan tanam padi dengan infrastruktur yang memudahkan seperti saluran irigasi.
Kemajuan ekonomi kerajaan majapahit pada waktu itu lembah sungai brantas dan bengawan solo
menjadi salah satu faktor nya, karena dengan begitu pertanian semakin maju dan sukses, selain itu
pemerintahan majapahit juga memiliki program membangun infrastruktur irigasi.
Tidak hanya itu kemajuam ekonomi kerajaan ini juga disebabkan karena pelabuhan-pelabuhan
kerajaan majapahit ini berperan penting sebagai pangkalan mendapatkan komoditas rempah-rempah
Maluku.
Karena pajak pada komuditas rempah-rempah yang melewati daerah ini juga sangat penting dan
besar untuk kerajaan ini, Nagarakretagama bilang bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah
menarik banyak pedagang asing, yaitu dari berbagai Negara seperti China, India, Siam dan Khmer.
Dengan masuknya pedagang asing tentu menjadi sangat penting terutama pada pajak yang khusus
dikenakan pada orang asing yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain
perdagangan internasional.
Majapahit mempunyai pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari berbagai Negara ituI yang
menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
Kehidupan Kebudayaan Kerajaan Majapahit
Pada saat itu, kebudayaan penduduk Majapahit sudah sangat maju. Hal tersebut ditandai dengan
perayaan keagamaan yang dirayakan setiap tahun. Sedangkan seni dan sastra yang sangat maju juga
berperan dalam kehidupan budaya masyarakat Majapahit. Dari semua bangunan, tidak ada tiang-
tiang yang luput dari ukiran halus dan warna yang indah.
Menurut seorang pendeta dari Italia yang bernama Mattiusi yang singgah ke Majapahit, ia melihat
Majapahit yang sangat luar biasa. Istana raja sangat besar serta tangga dan bagian dalam ruangannya
berlapis emas dan perak. Bahkan, menurutnya atapnya pun bersepuh emas.
Kehidupan Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Pada masa pemerintahan Hayam wuruk, sistem pemerintahan kerajaan majapahit dan birokrasi
berjalan teratur sesuai dengan pembagian yang telah dilakukan. Sistem Birokrasi kerajaan majapahit
saat itu yaitu:
 Raja dianggap sebagai jelmaan dewa dan berhal untuk memegang otoritas tertinggi dalam
kerajaan.
 Rakryan Mahamantri Kartini dijabat oleh putra raja.
 Rakryan Mantri ri Pakiran-kiran atau dewan menteri yang mengatur pemerintahan.
Didalamnya terdapat seorang pejabat yang setingkat dengan Perdana Menteri yang disebut
dengan Rakryan Mahapatih atau Patih Mangkhubumi. Adapula dewan pertimbangna dengan
anggota sanak saudara raja yang disebut dengan Bhattara Saptaprabu.
 Dharmadyaksa yaitu pejabat hukum pemerintahan
 Dharmaupattati yaitu pejabat keagamaan.
Pembagian wilayah Kerajaan Majapahit yang dilakukan oleh Hayam Wuruk yaitu:
 Bhumi yaitu kerajaan dengan dipimpin oleh raja
 Nagara, setingkat provinsi dan dipimpim oleh rajya, natha atau bhre.
 Watek, setingkat kabupaten dan dipimpin oleh Wiyasa
 Kuwu, setingkak kelurahan dan dipimpin oleh lurah
 Wanua, setingkat desa dan dipimpin oleh Thani
 Kabuyutan, setingkat dukun dan tempat sakral.
Peninggalan Kerajaan Majapahit
Peninggalan kerajaan majapahit- setelah runtuh dan tiada kerajaan tersebut pasti memiliki
peninggalan apapun itu yang jelas sangat berarti, berikut dibawah ini peninggalan apa saja yang telah
ditinggalalkan kerajaan tersebut ini.
Candi Cetho
Salah satu peninggalan kerajaan ini adalah Candi Cetho yang dimana lokasi itu terletak di Dusun
Ceto, Kecamatan Jenawi, Desa Gumeng, Kabupaten Karanganyar, dan berada di ketinggian 1400
MDPL
Candi Sukuh
Candi sukuh ialah komplek dari candi yang beragama Hindu yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah, Candi Sukuh ini sudah sejak lama untuk diusulkan ke UNESCO untuk
dijadikan salah satu situs warisan dunia dari tahun 1995 sampai sekarang
Candi Pari
Candi Pari merupakan salah satu sebuah monumen peninggalan kerajaan majapahit di Indonesia
yang diaman letak candi pari ini di Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Porong, Jawa Timur, Indonesia,
keberadaan candi ini kurang lebih sekitar 2 KM ke arah barat laut.Gapura
Waringin Lawang Majapahit
Waringin Lawang ini adalah bahasa Jawa dan kalau di artikan dalam bahasa Indonesia adalah ‘Pintu
Beringin’. Gapura besar ini dibuat dari bahan utama batu-bata merah dengan luas lahan 13 x 11
meter dan tinggi dari gapura tersebut sekitar 15,5 meter, dan gapura ini dibangun sekitar pada abab
ke-14
Candi Jabung
Lokasi candi hindu terletak di daerah Desa Jabung, Kabupaten Probolinggo, Kecamatan Paiton,
Provinsi Jawa Timur, konon katanya bahwa Hayam Wuruk mengunjungi candi jabung ini, ketika itu
Hayam Wuruk sedang blusukan di daerah Jawa Timur yaitu pada tahun 1359 Masehi
Candi Brahu
Letak Candi Brahu itu di daerah Dukuh Jambu Mente, Kecamatan Trowulan, Desa Bejijong,
Kabupaten Mojokerto. Letak lokasi Candi Brahu ini terletak di kantor suaka peninggalan purbakala
dan sejarah Jawa Timur.
Batu tulis ini dibuat yaitu kurang lebih pada tahun 939 Masehi, yang diutus dari sang raja Mpu
Sindok yang berasal dari Kerajaan Kahuripan, menurut cerita candi inilah dijadikan sebagai tempat
pembakaran raja-raja Brawijaya.
Pada zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat dibagi menjadi
zaman Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.
1) Sastra Zaman Majapahit Awal:
a) Kitab Negara Kertagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang keadaan kota Majapahit,
daerah-daerah jajahan dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah-daearah kekuasaannya.
Selain itu, juga disebutkan adanya upacara Sradda untuk Gayatri, mengenai pemerintahan dan
kehidupan keagamaan zaman Majapahait. Kitab ini sebenarnya lebih bernilai sebagai sumber sejarah
budaya daripada sumber sejarah politik. Sebab, mengenai raja-raja yang berkuasa hanya disebutkan
secara singkat, terutama raja-raja Singasari dan Majapahit lengkap dengan tahun.
b) Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Isinya tentang riwayat Sotasoma, seorang anak raja
yang menjadi pendeta Buddha. Ia bersedia mengorbankan dirinya untuk kepentingan semua makhluk
yang ada dalam kesulitan. Oleh karena itu, banyak orang yang tertolong olehnya. Di dalam Kitab ini
terdapat ungkapan yang berbunyi; "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrawa", yang
kemudian dipakai sebagai motto Negara kita.
c) Kitab Arjunawijaya, karangan Empu Tantular. Isinya tentang raksasa yang berhasil dikalahkan
oleh Arjuna Sasrabahu.
d) Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya. Isinya menceritakan tentang raksasa
Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan diizinkan melihat neraka.
Oleh karena taat kepada agama Buddha, akhirnya apa yang diinginkannya terkabul.
e) Kitab Parthayajna, juga tidak diketahui pengarangnya. Isinya tentang keadaan Pandawa setelah
kalah main dadu, yang akhirnya mereka mengembara di hutan.
2) Sastra Zaman Majapahit Akhir
Hasil karya sastra Majapahit Akhir, ditulis dengan bahasa Jawa Tengah. Di antaranya yang ditulis
dalam bentuk tembang (kidung), dan ada pula yang berbentuk gancaran (prosa).
a) Kitab Pararaton, isinya sebagian besar cerita mitos atau dongeng tentang raja-raja Singasari dan
Majapahit. Selain itu, juga diceritakan tentang Jayanegara, pemberontakan Ranggalawe dan Sora,
serta peristiwa Bubat.
b) Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat, yaitu rencana perkawinan yang kemudian
berubah menjadi pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada.
Dalam pertempuran itu raja Sunda (Sri Baduga Maharaja) dengan para pembesarnya terbunuh,
sedangkan Dyah Pitaloka sendiri kemudian bunuh diri. Kitab ini ditulis dalam bentuk kidung.
c) Kitab Sorandakan, ditulis dalam bentuk kidung, menceritakan tentang pemberontakan Sora
terhadap Raja Jayanegara di Lumajang.
d) Kitab Ranggalawe, ditulis dalam bentuk kidung dan menceritakan tentang pemberontakan
Ranggalawe dari Tuban terhadap Jayanegara.
e) Kitab Panjiwijayakrama, ditulis dalam bentuk kidung dan isinya riwayat Raden Wijaya sampai
menjadi raja Majapahit.
f) Kitab Usana Jawa, tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.
g) Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma,
Wisnu, dan Siwa. Runtuhan gunung Mahameru sepanjang pulau Jawa menjadi gunung-gunung di
Jawa.
h) Kitab Calon Arang, isinya tentang seorang tukang tenung yang bernama Calon Arang yang hidup
pada masa pemerintahan Airlangga. Ia mempunyai anak yang sangat cantik, tetapi tidak ada yang
berani meminangnya. Calon Arang dengan sendirinya merasa terhina dan menyebarkan penyakit di
seluruh negeri. Atas perintah Airlangga ia dapat dibunuh oleh Empu Bharada
KERAJAAN KEDIRI

A.Sejarah Berdirinya Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan Hindu yang berada di tepi Sungai Brantas, Jawa
Timur. Kerajaan ini berdiri pada abad ke 12 dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno.
Raja pertama kerajaan Kediri ini yaitu Sri Jayawarsa Digjaya Shastraprabu yang menyebut dirinya
sebagai titisan Wisnu.
Berdirinya Kerajaan Kediri diawali dengan perintah Raja Airlangga yang membagi kerajaan menjadi
dua yaitu Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi dengan Gunung Kawi dan Sungai
Brantas. Tujuan pembagian kerajaan tersebut yaitu agar tidak ada pertikaian. Kerajaan Janggala atau
Kahuripan terdiri atas Malang dan Delta Sungai Brantas dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan
Pasuruhan, dengan ibukotanya Kahuripan. Sedangkan Kerajaan Panjalu (Kediri) meliputi Kediri,
Madiun dengan ibukotanya Daha.
Pada November 1042, kedua putra Raja Airlangga berebut tahta kerajaan sehingga terpaksa
Airlangga membelah kerajaan menjadi dua. Hasil perang saudara tersebut, Kerajaan Panjalu (Kediri)
diberikan pada Sri Samarawijaya yang berpusat di Kota Daha. Sedangkan Kerajaan Jenggala
(Kahuripan) diberikan pada Mapanji Garasakan yang berpusat di Kahuripan. Dalam Prasasti
Meaenga disebutkan bahwa Panjalu bisa dikuasai Jenggala dan nama Raja Mapanji Garasakan
(1042-1052 M) diabadikan. Tapi, pada peperangan berikutnya Kerajaan Panjalu (Kediri) berhasil
menguasai seluruh tahta Airlangga.
B.Raja-Raja Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri pernah diperintah oleh delapan raja dan masa keemasan kerajaan kediri pada masa
pemerintahan Prabu Jayabaya. Berikut nama-nama raja Kerajaan Kediri:
Sri Jayawarsa
Sejarah pemerintahan raja Sri Jayawarsa diketahui dalam prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa
pemerintahan Jayawarsa memberikan hadiah pada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena
rakyat telah berjasa pada raja. Dari prasasti tersebut diketahui Raja Jayawarsa sangat perhatian
terhadap masyarakat dan berusaha menyejahterakan rakyatnya.
Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan
Kertosono. Prasasti-prasasti tersebut lebih banyak memuat masalah keagamaan, sehingga sangat baik
diketahui keadaan pemerintahannya.
Prabu Jayabaya
Pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya. Strategi
kepemimpinan yang dilakukan oleh Prabu Jayabaya untuk menyejahterakan rakyatnya memang
sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribukota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, daerah
tersbut memiliki tanah yang amat subur, sehingga segala macam tanaman dapat tumbuh subur.
Hasil bumi Kerajaan Kediri tersebut lalu diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, menggunakan
perahu. Roda perekonomian yang berjalan lancar membuat kerajaan ini disebut sebagai negara yang
“Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.
Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130-1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material Prabu
Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya
yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak untuk dikenang sepanjang masa.
Sri Sarwaswera
Berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161), Sri Sarwaswera merupakan
raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi” yang
artinya “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara memerintah Kerajaan Kediri sekitar tahun 1171.
Nama gelar abhiseka Sri Aryeswara yaitu Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka. Peninggalan sejarah dari raja ini yaitu berupa prasasti Angin, 23
Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha.
Sri Gandra
Pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring yakni mengenai
penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti nama gajah, kerbau dan tikus. Nama tersebut
menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakawin
Smaradhana. Pada masa pemerintahan dari tahun 1182-1185 Masehi, seni sastra mengalami
perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Pada masa
pemerintahannya juga dikenal cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti
Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, Sri Kertajaya memerintah Kerajaan dari
tahun 1190- 1222 Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan nama Dandang Gendis. Pada masa pemerintahan raka Kertajaya
kestabilan kerajaan menurun. Hal tersebut disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak kaum
Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu
itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat
itu diperintah oleh Ken Arok.
Kemudian, Raja Kertajaya yang mengetahui hal tersebut mempersiapkan pasukan untuk menyerang
Tumapel. Sementara, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan
Kediri. Kedua pasukan tersebut bertemu di dekat Ganter (1222 M).
C.Peninggalan Kerajaan Kediri
Adapun peninggalan sejarah atau bukti sejarah kerajaan Kediri, diantaranya prasasti dan juga kitab.
Peninggalan Prasasti Kerajaan Kediri
Adapun beberapa prasasti kerajaan kediri diantaranya seperti:
 Prasasti Turun Hyang Prasasti Malenga (974 Saka/1052 M)
 Prasasti Banjaran (974 Saka/1052)
 Prasasti Padlegan (1038 Saka/1116)
 Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 M)
 Prasasti Jaring (1103 Saka/1181 M)
 Prasasti Lawudan (1127 Saka/ 1205).
Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri
Pada zaman kerajaan kediri perkembangan karya sastra seperti kitab. Berikut beberapa kitab
peninggalan kerajaan Kediri, diantaranya seperti:
 Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat
syair yang baik.
 Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja
sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya
adalah Dahana.
 Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang
pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa
dan rohnya diangkat ke surga.
 Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal,
tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.
 Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang
terkenal untuk Begawan Trenawindu.
 Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.
 Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.
D.Kehidupan Politik Kerajaan Kediri
Masa pemerintahan Mapanji Garasakan tidak lama, kemudian ia digantikan oleh Raja Mapanji
Alanjung (1052 – 1059 M). Selanjutnya, Mapanji Alanjung digantikan oleh Sri Maharaja
Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus terjadi antara Jenggala dan Panjalu membuat tidak
ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut selama 60 tahun hingga muncul nama Raja
Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri.
Saat itu, ibukota Panjalu berpindah dari Daha ke kediri sehingga kerajaan ini dikenal dengan
Kerajaan Kediri. Pada masa pemerintahan Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa
tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang disebut dengan Candrakapala. Setelah raja Bameswara
turun tahta, lalu digantikan oleh Jayabaya dan pada masa pemerintahannya ia berhasil mengalahkan
Jenggala. Setelah Jayabaya , raja kediri teris berganti.
Pada 1019 M, Airlangga dinobatkan sebagai Raja Medang Kemulan. Saat memerintah ia berhasil
mengembalikan kewibaan kerajaan tersebut. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kahuripan dan
berhasil membawa kerajaan ke puncak kejayaan. Namun menjelang masa hidupnya, Airlangga
memutuskan mundir dari pemerintahan dan menjadi seorang petapa yang dikenal dengan Resi
Gentayu.
Tahta yang harusnya jatuh ke seorang putri bernama Sri Sanggramawijaya yang lahir dari permaisuri,
namun kerena memilih menjadi pertapa, tahta berpindah pada putra Airlangga yang lahir dari
seorang selir. Untuk menghindari perang saudara, Kerajaan dibagi menjadi dua yaitu Kerajaan
Jenggala (Kahuripan) dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Akan tetapi, usaha tersebut gagal. Justru kedua
kerajaan tersebut saling berperang dengan berhakhir kekalaha Jenggala lalu keduanya dipersatuikan
kembali olehpemerintahan kerajaan kediri.
E.Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
Kerajaan kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Karena memiliki tanah yang subur banyak
masyarakat pedalaman bermata pencaharian petani dengan hasil pertanian yang melimpah.
Sedangkan masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup melalui perdagangan dan pelayaran. Saat
itu perkembangan keduanya sangat pesat bahkan pedagang kediri telah memiliki hubungan dagang
dengan Maluku dan sriwijaya.
F.Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Kediri
Masyarakat kediri sudah memiliki banyak peraturan yang harus dipatuhi, dimana penduduk memakai
kain hingga di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan,
keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang yang sakit memohon
kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Tinggi rendahnya martabat seseorang dilihat
berdasarkan moral dan tingkah lakunya bukan berdasarkan pangkat dan hartanya. Selain itu raja juga
menghargai dan menghormati hak rakyatnya.
Sedangkan dalam budaya, karya sastra sangat berkembang pesat di kediri. Ada banyak karya sastra
yang dihasilkan berupa kitab. Kitap tersebut diantaranya Kitab Smaradhahana dan lain sebagainya.
G.Masa Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan kediri
Puncak keemasan atau kejayaan Kerajaan Kediri terjasdi pada masa pemerintahan Raja Jayabaya.
Wilayah kekuasaan kediri semakin meluas dari Jawa tengah hingga hampir semua bagian pulau
Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga masuk Ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan
Sriwijaya.Runtuhnya kerajaan kediri terjadi karena pada masa pemerintahan Kertajaya terjadi
pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menganggap bahwa Kertajaya langgar
agama dan memaksa menyembahnya sebagai dewa. Selanjutnya, kaum Brahmana Brahmana
meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di
desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuran tersebut Kertajaya berhasil dikalahkan oleh
Ken Arok.Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah
pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil
meloloskan diri ke Madura. Karena memiliki perilaku yang baik, Jayakatwang memperbolehkan
Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya.
Pada tahun 1293, tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan datang untuk membalas
dendam terhadap Kertanegara. Keadaan tersebut dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang
Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di
bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menyerang Kediri. Dalam perang tersebut pasukan
Jayakatwang kalah dan setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
SEJARAH KERAJAAN PADJAJARAN

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita
asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya,
yaitu Kesultanan Banten
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata
Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada
kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa
kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti
Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih,
Cibadak, Suka Bumi.
Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling
berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan
Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang
putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga
pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak
“Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan
dari Majapahit. Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut
besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja
itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang
ditunjuk. Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu
Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua
kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan
Pajajaran pada tahun 1482. Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama
kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni
tahun 1482.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing,
dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan
Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran,
terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita
Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di
dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh)
itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-
Pemerintahan)
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya,
Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga
atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran
masyarakat. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan. Sang Maharaja membuat
karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang
menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa
perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang
menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan
(asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan),
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak
kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga
telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya;
memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat
angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang
kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus
kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di
Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya
dengan kata Sriman.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan,
penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang
copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti,
dan jenis-jenis batik.


KERAJAAN BALI

A. Latar Belakang Kerajaan Bali


Kerajaan Bali merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat bali secara
keseluruhan. Bagian pemerintah kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada masa
itu, terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan mereka.
Kerajaan pertama Bali pada saat itu bernama Kerajaan Bedahulu dan di lanjutkan oleh kerajaan
Majapahit.
Meskipun tidak banyak yang tahu tentang sejarah kerajaan Bali, yang pasti adalah kerajaan
Bedahulu atau biasa juga di sebut Bedulu merupakan kerajaan awal yang muncul di Bali. Kerajaan
yang terpusat di Pajeng atau Bedulu, Gianyar , Kerajaan Bali ini berdiri pada sekitar abad ke-8
hingga abad ke-14. Konon katanya kerajaan ini di perintah oleh salah satu kelompok bangsawan
yang bernama Dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja pertamanya.
B. Silsilah Kejaraan Bali
1.Sri Kesari Warmadewi : Berdasarkan Prasati Blanjong yang berangka tahun 914. Istananya
berada di Singhadwalawa.
2.Ratu Sri Ugrasena : Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah pada tahun
915-924. Istananya berada di Singhamandawa. Sang Ratu meninggalkan Sembilan prasasti. Pada
umumnya prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu. Selain itu, ada
juga prasasti yang membritakan tentang pembangunan tempat-tempat suci.
3.Tabanendra Warmadewa : Raja ini memerintah pada tahun 955-967M.
4.Jayasingha Warmadewa : Ada yang menduga bahwa Jayasingha Warmadewa bukan keturunan
Tabeanemdra karena pada tahun 960 M Jayasingha Warmadewa sudah menjadi Raja. Akan tetapi,
mengkin juga ia adalah Putra Mahkota yang telah di angkat mendaji raja sebelum ayahnya turun
takhta. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.
5. Jayasudha Warmadwea : Ia memerintah pada tahun 975-983M.
6. Sri Wijaya Mahadewi : Pada tahun 983 M muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Wijaya
Mahadewi. Menurut Syein Callendels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya.
7.Dharma Udayana Warmadewa : Pada pemerintahan Udayana , kerajaan Bali mengalam
kejayaan. Ia memerintsh bersama permaisuri nya, yaitu Mahendradatta, anak dari Raja
Makutawangsawadhana dari Jawa Timur. Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun
1001M karena pada tahun itu Gunapriya mangkat dan didharmakan di Burwan.Udayana meneruskan
pemerintahannya hingga tahun 1011M.
8.Maraka : Marakata bergelar DHarmawangsawardhana Marakata pangkajasthana uttunggadewa.
Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022M.
9.Anak Wungsu : Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah I Burwan
Bhatara Lumah I Banu Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kunp yang paling banyak
meninggalkan prasasti ( lebih dari 28 Prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali
Selatan. Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun dari tahun 1049-1077M.
10. Jaya Sakti : Jaya Sakti memenrintah dari tahun 1133-1150M.
11.Bedahulu : Memerintah pada tahun 1343 M adalah Sri Asatara Ratna Bhumi Banten. Raja
Bedahulu di bantu oleh kedua Patihnya, Kebo Iwa dan Pasunggrigis. Ia adalah raja terakhir karena
pada masa pemerintahannnya Bali di taklukan oleh Gajad ada dan menjadi wilayah taklukkan
Kerajaan Majapahit.
C. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali
Kagiatan ekonomi masyarakat Bali di titik beratkan pada sektor pertanian . Hal itu di dasarkan pada
beberapa Prasasti Bali yang memuat hal – hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam.
Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan
kasuwakan (irigasi).
Diluar kegiatan pertanian, masyarakat Bali kehidupannya juga ditemukan sebagai berikut:
1.Pande (pandai=perajin)
Mereka memiliki kepandaian membuat kejarajaan perhiasan dari bahan emas dan perak, membuat
peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.
2. Undagi
Mereka memiliki kemampuan memahat, melukis, dan membuat bangunan.
3.Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan menjadi pedagang laki-laki (wanigrama) dan pedagang
perempuan (wanigrami). Nereka sudah melakukan perdagangan antarpulau (Presasti Banwa Bharu).
Kehidupan ekonomi yang berkembang di Bali yaitu sektor pertanian. Hal itu dapat dibuktikan
dengan katakata yang terdapat dalam banyak sekali prasasti yang menawarkan usaha dalam sektor
pertanian, menyerupai suwah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), dan kaswakas
(pengairan sawah).
D.Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Bali
Struktur masyarakat yang beerkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno di dasarkan pada hal
sebagai berikut:
1. Sistem Kasta (Catirwarna)
Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali sisitem
kemasyarakatan nya juga di bedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat yang berada
di luar kasta di sebut Budak atau njaba.
2.Sistem Hak Waris
Pewaris harta benda dalam suatu keluarga di bedakan atas anak laki-laki dan anak perempuan. Anak
laki-laki memiliki hak waris labih besar di bandingkan anak perempuan.
3. Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno di bedakan atas system kesenian Keraton
dan system kesenian rakyat.
4. Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar, mereka tetap
mempertahan kan tradisi kepercayaan nenek moyang nya. Dengan demekian, di Bali di kenal ada
penganut agama Hindu, Budha, dan Kepercayaan aninisme.
E. Kehidupan Politik Kerajaan Bali
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa. Udayana memiliki
tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak, Airlangga akan menjadi
raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu
Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini
dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu
Sindok. Kedudukan Raja Udayana digantikan putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebeneran hukum karena ia
selalu melindungi rakyatanya. Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan untuk
rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi
(Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu. Anak
Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga
kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar
kerajaan. Dalam menjalankan pemerinahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat yang
disebut pakirankiran i jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta Siwa serta
Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja atas berbagai
permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Senapati bertugas di bidang kehakiman dan
pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.
F. Kehidupan Beragama Kerajaan Bali
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng. Akan tetapi, tardisi
megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan
penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura Hindu. Pada
masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai berkembang di
Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu, dan
Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur
Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan.
Agama Hindu dan Buddha mulai medapatkan peranan penting pada masa Raja Udayana.
Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu penasihat raja.
Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan (inkarnasi) dewa. Dalam prasasti
Pohon Asem dijelaskan Anak Wungsu merupakan penjelmaan Dewa Hari (Wisnu). Bukti ini
menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng merupakan penganut waisnawa, yaitu
pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha, di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil
yang menyembah dewa-dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora
(penyembah dewa Matahari).
G.Masa Kejayaan Dan Keruntuhan Kerajaan Bali
Massa kejayaan Kerjaan Bali terjadi pada saat di pimpin Oleh Dharmawangsa. Pada masa
Pemerintahan ini kerajaan Bali mengalami kejayaan dengan system pemerintahan yang semakin jelas
daripada sebelumnya. Pada masa ini pihak kerajaan mempererat hubungan dengan kerajaan Jawa
Timur, hal ini memperkokoh kedudukan kerajaan di antara Pulau Jawa dan Bali. Kerajaan Bali
Kuno, yang dahulu mengalami sebuah kemajuan pesat disebutkan menjadi salah satu kerajaan
termakmur dengan para penguasanya yang sangat piawai menjaga kemakmuran, sangat menyayangi
rakyat, memperhatikan bidang-bidang spiritual dan kebudayaan karena dahulu masyarakatnya
dikenal sangat menjunjung budayanya sendiri seperti halnya diceritakan Kerajaan Atlantis dengan
tingkat perkembangan peradabannya yang memukau orang.
a. Penyebab Kejayaan
1). Naik tahtanya Dharmodayana. Pada masa pemerintahannya system pemerintahan Kerajaan Bali
semakin jelas.
2). Perkawinan antara Dharma Udayana dengan Mahendradata yang merupakan putrid dari Raja
Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, sehingga kdudukan Kerajaan Bali semakin kuat.
b. Penyebab Keruntuhan
1). Patih Kebo Iwa yang berhasil di bujuk untuk pergi ke
Majapahit, sesampainya di Majapahit Kebo Iwa Dibunuh.
2). Patih Gajah Mada yang berpura-pura menyerah dan
diminta di adakan perundingan di Bali, lalu ia menangkap.
H. Peninggalan Kerajaan Bali
1. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis
tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan
untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali
yang bernama Sri Kesari Warmadewa.
Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur,
Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini
unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali
Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
2.Pura Tirta Empul
Sejarah pura tersebut yang terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M
(Tahun Caka : 889) oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura atau Tempat suci ini, digunakan
beliau untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi, melakukan tapa, brata,
yoga, semadi, dengan spirit alam sekitarnya. Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang
menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari
tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa
peninggalan purbakala. Air suci yang ada di pura ini, sebagaimana disebutkan dalam purana bali
dwipa, berfungsi untuk memusnahkan racun yang disebarkan oleh Mayadenawa. Sehingga Pura Tirta
Empul ini digunakan untuk upacara melukat seperti penjelasan dalam tata cara melukat / meruwat di
Pura Tirta Empul, Tampak Siring.
3. Pura Penegil Dharma
Penegil Dharma | sejarah pendirian pura ini dimulai pada 915 Masehi yang keberadaan pura
ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I dan
kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.

4. Candi Padas di Gunung Kawi


Candi Gunung Kawi atau Candi Tebing Kawi Terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penaka,
Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Candi
ini sangat unik karena biasanya candi berupa batuan utuh yang terbuat dari bata merah atau batu
gunung, namun candi ini tidak seperti itu melainkan pahatan di dinding tebing batu padas ditepi
sungai. Nama Gunung Kawi itu sendiri konon berasal dari kata Gunung dan Kawi. Gunung
berarti Gunung atau Pegunungan dan Kawi Berarti Pahatan Jadi Candi Gunung Kawi berarti Candi
yang dipahat di atas gunung.
5. Candi Mangenin
Candi Yeh Mangenin terletak di Banjar, Sarasada, Desa Tampaksiring. Candi Yeh Mangenin
Dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebing nya yang agak terjal.
Candi ini di dirikan pada lereng tebing sebelah Timur yang merupakan saksi sejarah masa lalu (Bali
Kuno, 10-13 M).
Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur, tepatnya di
sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan Pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak dari rakyat Majapahit
yang melarikan diri kemudian menentap di Bali. Sehingga sampai saat ini masih ada kepercayaan
bahwa sebagian dari masyarakat Bali adalah pewaris tradisi Majapahit.Kerajaan Bali adalah sebuah
kerajaan yang terletak di sebuah pulau berukuran kecil yang tak jauh dari Pulau Jawa dan berada di
sebelah timur. Kerajaan ini berada di sebuah pulau kecil yang dahulu masih dinamakan dengan Pulau
Jawa sehingga bisa dikatakan pulau ini masih dianggap sebagai bagian dari Pulau Jawa.Kerajaan ini
pada umumnya menganut kepercayaan berupa agama Hindu walau pada perkembangannya nanti
ternyata tidak hanya agama Hindu yang dominan, tapi juga kepercayaan-kepercayaan seperti
animisme dan dinamisme. Ini bisa terjadi

Anda mungkin juga menyukai