Seiring dengan bejalannya waktu hari berganti hari, minggu berganti minggu,
bulan berganti bulan hingga tahun berganti, kedua anak pak Sumber
semestinya sudah saatnya mengenal bangku sekolah, akan tetapi apa daya
orang tua mereka tak dapat menyekolahkan anak-anaknya itu semua karena
banyaknya masalah-masalah yang mereka hadapi, di samping masalah-
masalah yang mereka hadapi kendala lain tidak ada biaya untuk
menyekolahkan anak-anaknya juga disebabkan mereka tinggal di hutan yang
jauh dari lokasi sekolah.
Tak terasa perjalanan mereka sampai rumah, Bu.. bu.. kami datang, suara
tabung memanggil ibunya dengan bergegas bu Sumber membuka pintu.
Tak terasa waktu semakin beranjak malam dan kedua anak pak Sumber juaga
terlihat mulai sayu pertanda mengantuk. “Anak-anak hari sudah malam,
sekarang kalian tidurlah karena besok pagi berkemas-kemas persiapan kita
pindah”. Iya pak.. Sambil beranjak dari tempat duduk Tabung dan Kumpul
menuju ke tempat tidur.
Tinggallah Pak Sumber dan Istrinya yang masih duduk melanjutkan rencana
kepindahan mereka demi masa depan ke dua anaknya. Bagaimana bu ada
yang perlu kita bicarakan lagi?, tanya pak Sumber kepada istrinya. Kiranya
kita sudah matang atas rencana kita pak, jadi kita istirahat dulu, Bapak kan
capek seharian kerja!, Ya.. ya.. ya mari kita istirahat.
Tepat pukul 11.30 WIB Teng… teng… teng… lonceng berbunyi tanda pulang
sekolah, dalam perjalanan pulang Tabung dan Adiknya saling bercerita dan
bercanda, terlihat raut wajah mereka merasa senang karena bisa sekolah
seperti anak-anak yang lainnya.
“Dik.. bagaimana perasaanmu senang gak bisa sekolah?” Tanya Tabung
kepada adiknya. Dengan semangat adiknya menjawab, “ya tentu senang sekali
kak” jawab adiknya. “Terus bagaimana perasaan kakak senang juga kan?”,
tanya adiknya. ”Ya.. kakak juga sangat senang sekali, akhirnya kita bisa
bersekolah”, jawab Tabung.
Cerpen Pendidikan – Disana Aku Berada
Suara dentuman keras benda itu begitu menggelegar, alunan melodinya
sangat dahsyat ternyata itu adalah suara lonceng alat peringatan di setiap
melakukan aktifitas agar lebih teratur dan gak ngawur kalau lagi nganggur.
Sekejap membuyarkan seluruh mimpi tidurku, aku tersadar dan duduk
terdiam mengamati seluruh bagian di sekelilingku, kebingungan, kegelisahan,
kaget, sedih semua bergelut dalam benakku, kudapati sederetan lemari
pakaian tersusun rapi dan jumlahnya pun tidak sedikit, sekumpulan manusia
berjejer seperti ikan pepes, otakku terus berputar, berpikir dan akhirnya aku
kejatuhan sisir, tersentak saja aku kaget dari lamunan panjangku.
kuberanikan diriku tuk menjabat tangannya “aku nanik sundari, ayo kita
bergegas saatnya sholat subuh jangan sampai kita terlambat nanti kita bisa
kena hukuman. Aneh rasanya saat aku mendengar kata HUKUMAN? apa itu
“hukuman”? amie dengan santai dan luwesny menjelaskan padaku (hukuman
ini adalah sebuah peringatan saat kita melakukan pelanggaran kedisiplinan
kecil maupun berat yaitu dengan cara di pukul menggunakan tali besar dan
keras ke arah tangan si pelanggar). oooooo… berusaha memahami
penjelasannya dengan sedikit rasa ketakutan kalau saja itu semua terjadi
padaku.
Aku gak ngerti kenapa bapak dan ibuku memasukkan aku ke pesantren ini
tapi aku yakin ini semua akan berbuah manis seperti buah manggis.
Kusiapkan diriku untuk segera bergegas ke masjid semua penghuni kamar
sibuk dengan atributnya masing-masing. Kulangkahkan kakiku ku ambil
sandal dari rak penyimpanan sepatu, perlahan kuamati apa yang ada di
sekelilingku semua terasa berbeda saat alunan merdu syair abunawas
dilantunkan dari sebuah masjid, bangunan ini ukurannya tidak terlalu besar
dan tidak pula terlalu kecil tapi ia mampu menampung 500 jamaah.
Di sini aku gak pernah menyaksikan kebiasan budaya luar yang tanpa batas
tapi malah sebuah aktifitas dan rutinitas yang sangat luar biasa semua sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Ada yang ngantri makan, belanja ke koprasi,
ngantri di wartel, ngantri di administrasi (tempat pengambilan paket, wesel,
tabungan, bahkan tempat pembayaran spp sekolah). Semua serba antri demi
melatih diri dan pribadi.
Hari-hari kulalui dengan penuh harapan untuk bisa jadi yang terbaik dan
kebanggaan untuk kedua orang tua serta keluargaku, tak terasa 7 tahun bukan
waktu yang singkat untuk tetap kuat dan menghabiskan masa muda di tempat
yang penuh dengan keberkahan ini, terima kasih untuk semua para guru
engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa, penyemangat saat tekad ini mulai
lemah, untuk kedua orang tuaku yang dengan ikhlas merelakanku untuk
menimba ilmu di pesantren ini. Tak ada kata yang terucap kecuali rasa syukur
atas smua anugrah dan karunia yang aku dapatkan di sini semoga bermanfaat
dunia akhirat, diri sendiri dan orang lain, aminnn…
Ketika sang surya mulai sirna, Tak ada kata selain berkaca
Tumbuh dan besar dalam ikatan penuh dengan aturan
Keihklasan, kekuatan, kesederhanaan serta kemandirian diagungkan di sini
Hanya hati dan pikiran yang berbuat untuk berusaha tegar
Jauh dari orang tua dan sanak saudara
Menimba ilmu ke negeri orang demi masa depan
Masa depan gemilang yang cemerlang selalu terngiang
Berjanji pada diri sendiri untuk menjadi yang terbaik untuk siapapun
Keabadian ilmu itu adalah buku
Kemurnian hati itu adalah budi pekerti, dan
Kesempurnaan pekerjaan itu adalah pikiran
Menjadikan kekurangan untuk menjadi kelebihan
Melengkapi kelebihan untuk sebuah kesempurnaan
Karena kesempurnaan hanya milik tuhan,
Start do the best where ever and what ever for
Cerpen Sedih – Akhirnya Aku Bisa Merasakan
Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia
sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku,
aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku disbanding-bandingkan
dengan kelebihan adib.
Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib,
adikku.
Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu
member nafkah pada keluarga kami pun member oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja
dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa
terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib.
Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku.
Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku
hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.
Suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan ditimpa oleh adib. Cairan bahan
kimia mengenai kedua matanya ketika praktik di sekolah. Akhirnya adib
dilarikan ke rumah sakit terdekat, guru-guru yang bersangkutan serta aku pun
ikut ke rumah sakit tersebut.
Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang
melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium
tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit
tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.
Akan tetapi, seketika aku menyapu halamna rumah malah gunjingan dari
tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah,
malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada
mendengar celotehan para tetangga.
Aku sangat sayang pada orang tua dan adikku. Tugasku untuk menjaga adik
telah aku selesaikan walau hanya sebentar, sedangkan tugas rumah yang
selalu dibebankan padaku belum aku laksanakan, oleh karenanya aku pulang
demi melaksanakan kewajibanku.
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi
rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi
seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib
dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi, keputusan yang membuat aku berat hati
ini menjadikan aku lebih tegang dan bahkan mengharukan dalam hidupku.
Dokter memutuskan bahwa mata adib tidak bisa siselamatkan kembali, tapi
dapat diganti dengan bola mata lain baru dia bisa pulih seperti sedia kala, itu
pun jika operasi berhasil.
Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan
dengan mengganti bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan
menulis iklan dalam media masa bahwa mereka butuh donor mata dengan
nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka,
keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola
mataku untuk adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang. Aku mempunyai mimpi yang besar, akan
tetapi hal ini apakah tidak menghalangi mimpiku? Mata adalah salah satu
organ yang sangat penting adanya dan kegunaannya. Aku hanya bisa
menangis sejenak melihat hal yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku hanya bisa
bergumam dan meronta dalam hati serta mengelus dada.
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya
hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari
sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat,
kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.
Aku sadar, aku tak berarti apa-apa dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya aku
telah berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu berpikiran positif dalam
perjalanan hidupku serta meyakini ada rahasia tuhan yang tersembunyi di
balik peristiwa ini semua.
Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang
akan mengambil mataku. Aku tak sadarkan diri pada waktu itu, akan tetapi
kala ini aku sadar namun terasa ada yang hilang. Ya, kemewahan dan
keindahan alam telah hilang menurutku. Semua di dunia ini telah musnah
pikirku. Tetapi aku salah, yang telah hilang dari keindahan bukanlah dunia
dan seisinya, melainkan kedua mataku telah hinggap pada tempat bola mata
adib berada dulu.
Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas
seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya
aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk
tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak
setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada
adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam
menyetujui keputusanku.
Ini adalah jalanku, sebelum aku pergi jauh dan tinggal bersama orang-orang
yang asing pintaku hanya satu. Aku hanya ingin berbincang-bincang dengan
keluarga sampai larut malam.
Pagi harinya, sebelum aku pergi. Aku memberikan secarik kertas untuk adib,
yang sempat aku tulis ketika malam terakhir aku memiliki mata yang
sempurna. Aku tidak menulis panjang lebar untuk adib, namun aku hanya
menulis “Dik, Akhirnya aku bisa merasakan. Akhirnya aku bisa merasakan
sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang.
Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola
mataku”
Cerpen Sedih – Surat Terakhir
Poooss…!
Teriakan tukang pos membangunkanku dari tidur siangku, aku yakin sekali
surat kali ini untukku.
Ini pasti dari sahabatku,Dini. Aku dengan Dini sudah hampir setahun saling
bertukar surat, awalnya kami berkenalan dengan tdak sengaja, pada awalnya
aku mendapat surat tidak dikenal, saat aku cek ke kantor pos, ternyata surat
itu memang nyasar.
Surat itu dari Dini yang bermaksud mengirimnya kerumah neneknya,
kebetulan alamatnya hampir sama dengan alamat rumahku.
Semenjak saat itu kami menjadi teman pena, Dini dan aku mempunyai hobi
yang sama yaitu menulis.
Yup, ternyata benar surat itu dari Dini, segera saja aku membuka amplop yang
berwarna biru. Aku dan Dini sepakat jika memakai amlop yang berwarna biru
jika saling berkirim surat.
23 November 2009
Anna, tak terasa hampir setahun kita saling berkirim surat. Aku sangat senang
sekali kejadian yang kebetulan setahun yang lalu, menjadi kebetulan yang
sangat indah bagiku
27 November 2009
Diiiniiii, wah aku senang sekali kamu mau mengunjungiku, tentu aku
bersedia, aku juga telah bilang kepada ibuku, ibuku juga senang, aku harap
nanti kamu akan menginap dirumahku selama beberapa hari, aku mempunya
segudang rencana menarik untuk kita lakukan bersama.
Kamu akan kesini bulan depan kan? Itu berarti beberapa hari lagi.
Hati hati di jalan ya Dini. Salam hangat
Anna.
Tidak terasa hari ini hari terakhir sekolah sebelum liburan, berarti Dini akan
kerumahku beberapa hari lagi, aku segera mandi dan berpakaian untukpergi
kesekolah, sebelum itu aku sarapan sebentar lalu berpamitan ke orangtuaku
untuk pergi kesekolah.
Kebetulan jemputanku juga sudah datang.
Akhirnya pengumuman dari sekolah yang aku tunggu tunggu datang juga,
sekolah akan libur akhir tahun, teman-teman disekolahku sangat ramai, tidak
salah lagi, mereka bercerita rencana mereka saat liburan nanti.
Tak terasa bel tanda akhir sekolah sudah dibunyikan, keadaan kelas makin
ramai saja. Setelah mengucapkan selamat liburan, kamipun naik mobil
jemputan masing masing.
Di tengah perjalanan aku teringat mimpiku tadi malam, di mimpiku aku
melihat Dini memakai gaun putih yang indah dan tersenyum padaku, tapi
makin lama sosok Dini makin jauh, aku mencoba mengejarnya tetapi tidak
bisa .
“tapi kan bu, belum tentu Dini ada di dalam penerbangan itu”tanyaku cemas.
“tidak, anna. Nenek Dini tadi menelpon ibu, dan menyampaikan berita ini”
jawab ibuku sedih.
Tidak terasa, air mata telah membasahi pipiku, aku tidak bisa mengatakan
apa-apa, disekelilingku terasa berputar, dan tiba-tiba gelap. Aku pingsan.
Tidak terasa sudah genap sebulan setelah kecelakaan pesawat itu, jasad Dini
belum juga diketemukan, diliburanku kali ini, aku merasa tidak bersemangat
karena kejadian tersebut, keluargaku mencoba untuk menghiburku, tapi itu
sama sekali tidak bisa membantu.
Poooss…!!!
Teriakan tukang pos membuyarkan lamunanku.
“aku malas untuk keluar, biar ibu saja yang mengambil suratnya” pikirku.
Pooooss…!!!
“Urgghhh, mana sih ibu?” gerutuku.
Aku ingat, aku sedang sendirian dirumah,ibu sedang arisan RT.
Segera saja aku berlari keluar untuk mengambil surat itu.
Ternyata pak pos mengantarkan sebuah kotak yang ditujukan kepadaku.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada tukang pos, aku masuk dan
membuka isi dari kotak itu.
Isi kotak itu adalah bungkusan plastik yang didalamnya ada kertas-kertas
yang dijilid rapi dan sebuah amplop yang berwarna… HIJAU.
7 Desember 2009
sahabatku Anna, saat kamu membaca surat ini, mungkin ini menjadi surat
terakhir dariku, maaf Anna, aku tidak bisa menepati janjiku untuk liburan
bersama denganmu.
Air mata kembali membasahi pipiku setelah membaca surat itu, dan aku
mengambil kertas-kertas yang dijilid itu, itu adalah naskah novel yang belum
sempat diselesaikan oleh Dini.
“tentu Dini, aku bersedia dengan senang hati menyelesaika novelmu, aku akan
mengerjakannya sebaik mungkin, semoga kamu tenang di alam sana” kataku
dalam hati.
Yah, memang, didunia ini memang banyak kejadian yang tak terduga.
Persahabatanku dan Dini diawali dengan kejadian yang terduga, dan diakhiri
dengan kejadian yang tak terduga juga.
Dan juga, di dunia ini tak ada yang abadi.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, entah cepat atau lambat.
Bintang Hancurpun Tak
Sepenuhnya Hancur
Cerpen Karangan: Sinta Za
Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Pengalaman Pribadi
Lolos moderasi pada: 3 June 2020
Rasa tak pernah berbeda ketika seseorang merasa ingin sekali menang. Begitupun aku yang selalu
menginginkan kemenangan. Saat ini aku hanya duduk diam berada di atas ranjang tidur. Balutan
udarapun masuk ke dalam pori-poriku. Aku hanya berfikir keras, sekeras-kerasnya. Aku hanya
bisa merasakan diriku yang mulai rapuh karena celoteh mereka.
Baiklah! Aku akan membeberkannya.
Hatiku rapuh benar-benar rapuh. Aku hanya ingin fokus untuk satu tempat saja, aku hanya ingin
berjalan di satu tempat saja untuk saat ini. Semuaya hanya bisa membincangkan diriku, berkata
aku takkan berhasil melakukannya. Dalam hati aku selalu menanyakan. Apakah diriku tak
disayang tuhan? Apakah aku sudah dilupakan oleh tuhan? Apakah aku bisa menggapai semua cita
dan anganku? Sebenarnya, apa yang akan terjadi nanti? Aku sudah tak kuasa menatap diriku.
Bahkan untuk melihat masa depan, aku hanya bisa melihat dengan satu mata tertutup dan satu
mata terbuka sipit. Aku tak kuat, aku rapuh. Karena celotehnya…
“apa yang sedang kamu lakukan di dalam? Keluarlah makan malam sudah siap.” Kata ibu yang
berteriak dari dapur untukku.
“baiklah aku akan kesana beberapa menit lagi” ucapku, membalas teriakan ibu.
Inilah hidupku, tak ada yang mendukungku sama sekali. Mereka hanya bisa menghela nafas besar
untuk bisa menanganiku. Kini usiaku beranjak 18 tahun dan aku sudah terlambat jauh untuk
belajar musik. Ya! Aku tak memiliki pengalaman bermusik sedikitpun. Namun aku menyukainya
sejak aku kecil. Hanya sebagian mata saja mereka menganggapku itu hanya keinginan anak kecil
saja. Namun bagiku ini adalah keinginan besar, aku ingin menjadi pemusik hebat. Namun hanya
satu kelemahanku yaitu, aku tak pernah bisa memulai musikku saat orang sekitar mencelotehku.
“apa yang kamu kerjakan?” tanya ibu saat aku menghampiri meja makan.
“hanya menata baju di lemari” jawabku ringan
“baiklah. Ibu kira kamu membuat lagu lagi. Sayang, percayalah, kamu akan mendapatkan banyak
uang jika kamu ikut mengelola perusahaan papa kamu dan gaji kamu juga tetap nggak seperti
bermain musik.”
“iya baiklah. Bu apa ibu benar-benar membenciku jika aku bermain musik? Bagaimana dengan
pengalam waktu kecilku?”
“masa kecil hanya sebuah kenginginan anak-anak. Kamu bahkan tak begitu bagus mengikutinya.
Ibu tak membenci, namun ibu menginginkan kamu memiliki masa depan yang bagus dengan gaji
tetap.”
“mmm… begitu…” aku tak mau meneruskan, aku hanya takut berdosa jika aku melanjutkan
perbincangan ini.
Setelah makan aku masuk lagi ke dalam kamar dan memutar beberapa musik kesukaanku.
Beginilah aku, setiap hari aku hanya menerka bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya. Aku
banyak mencari info bagaimana mengatasi ini dan aku tak menemukan satupun yang cocok
denganku.
Aku hanya termenung, terjaga sembari menatap langit-langit kamarku, membuka dan menutup
mata bahkan air mata tiba-tiba keluar dengan sendirinya di ujung mataku. Apa yang akan aku
lakukan setelah ini? Aku lemah, aku seperti orang bodoh yang mencari lapangan untuk
kebodohanku sendiri. Jutaaan hariku kuhabiskan dengan ketakutan besar.
Drrtt…
Aku melirik hp ku. Rasanya malas untuk mengambil hpku meskipun letaknya tak jauh dari
jangkauanku.
Aku melihatnya temanku nesti mengirimkan pesan untukku.
Nesti
Sinta, bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja disekolah barumu? Aku ingin mendengar
ceritamu walau mungkin itu banyak. Ceritakan aku menunggumu… aku juga akan menceritakan
diriku.
Nesti adalah sahabatku dari aku smp dia memiliki kepribadian yang baik dan semangat. Bahkan
saat aku tidak betah di sekolahku sma yang pertama dia menyemangatiku meskipun dari jauh,
hingga aku berpindah sekolah demi kenyamananku.
Sinta
Aku baik-baik saja. Disini lumayan menyenangkan, tidak seperti yang dulu. Meskipun begitu disini
aku tak bisa mengeksplor hobi bermusikku aku terlalu minder.
Nesti
Hmm… sayang banget, menurutku kamu ada basic dalam bermusik meskipun (maaf) kamu tak
terlalu bagus. Tapi kamu ada kekuatan untuk bermusik sinta. Lakukan jangan minder.
Sinta
Lupakan! Bagaimana denganmu? Aku dengar kamu juara olimpiade matematika? Apakah
menyenangkan kehidupan sma mu?
Nesti
Iya aku juara 2, menyedihkan ya? Aku saat ini tidak begitu bahagia. Aku kehilangan sahabat
dekatku di sekolah ini, dia pindah ke sekolah olahraga. Dan sekarang aku melakukan apapun
sendirian, bahkan ketika jam olahraga tak ada satupun teman yang mau melatihku agar aku bisa
olahraga dengan baik. Kau tahu kan aku tak begitu baik dalam pelajaran olahraga. Ini
menyedihkan, aku berharap kamu ada disini, setidaknya ada yang menemaniku setiap hari.
Sinta
Hmm…juara 2 yang pentingkan juara, selamat yaa… aku benar ingin sekali satu sekolah lagi
denganmu. Tapi, tidak bisa. Sekarang umurku terlalu tua untuk belajar musik. Aku tidak bisa
berekspresi di rumah bahkan sekolah. So, sekarang aku hanya bisa mempersiapkan diriku untuk
un tahun ini. Pasti teman kamu senang karena ada yang mendukungnya.
Nesti
tak ada yang namanya terlambat, kamu bisa. Nyatanya apa yang kamu lakukan selalu bagus,
kamu hanya perlu sedikit sentuhan dan aku yakin kamu akan mengolah sentuhan itu menjadi
indah. Semangatlah! Aku akan menyemangatimu dari sini. Maaf aku tak bisa berada di dekatmu
saat kamu seperti ini. Sebenarnya sahabatku pindah orang tuanya sebelumnya tidak ada yang
mengetahui satupun. Dia pindah ke sekolah olahraga dan mau mengulang dari kelas satu dengan
uang kakaknya, dan sekarang orangtuanya marah besar padanya. Namun dia tak
mempedulikannya, pihak sekolahpun menarikanya kembali. Sedangkan sekolah olahraga yang
sudah dia masuki beberapa hari tak ingin melepaskannya, meskipun skillnya minim semangatnya
cukup besar. Begitulah…
Sinta
berarti dia keluar dari sekolah dan masuk ke sekolah satunya, dia sendiri yang melakukannya?
Sendirian?
Nesti
Iya, orangtuanya tidak pernah mendukungnya. karena kakaknya pernah mengalami patah tulang
di bagian kaki, makanya dia tidak mendapat restu orangtuanya. Namun dia menemukan hal asik
dalam berolahraga, bahkan kakaknya juga mendukungnya. Begitulah…
Sinta
Apa aku perlu nekat? Melakukan diriku untuk masuk ke dunia musik? Sedangkan aku tak memiliki
uang sepeserpun untuk belajar musik, bahkan orangtuaku memperhitungkan pengeluaranku
setiap bulan.
Nesti
Bukannya kamu bisa membuat cerpen? Puisi? Kirimkan semua tulisanmu ke aku. Aku akan
memberikannya kepada jurnalistik sekolahku, jika tulisanmu masuk ke dalam majalah mingguan
sekolah dan buletin, kamu akan mendapatkan beberapa uang. Kumpulkan itu. Aku akan
membantumu.
Sinta
Benarkah? Apa benar kau akan melakukannya?
Nesti
Ya! Aku akan membantumu mengedit jika itu masih kurang bagus.
Aku sudah lulus, jaminanku sekarang adalah kuliah. Namun aku merasa aku masih belum bisa
untuk melakukannya, karena berkali kali orangtuaku menyuruhku untuk belajar bisnis. Namun
tetap saja, aku ingin bicara baik-baik tentang musik di hadapan mereka.
“ya. Memang aku tak pernah belajar, bahkan pengalaman bermusikku juga tak bagus sama sekali.
Namun saat ini aku tahu, apa yang kupelajari dari dulu buakan atas kemauanku sendiri tapi
kenginan ibu dan ayah agar aku bisa meneruskan bisnis ayah dan ibu. Sedangkan sekarang aku
ingin membuat jalanku sendiri. Izinkan aku, anggap saja belajar musikku ini adalah pekerjaan
sampinganku nantinya. Untuk bisnis ibu dan ayah aku janji akan meneruskannya. Dan jika ibu dan
ayah tidak mau memberiku uang untuk bersekolah, tidak apa. Aku akan berusaha mencarinya.
Percayalah! Apa yang aku inginkan ini bukan keinginan buruk seperti kejadian-kejadian sma ku
saat berpindah sma.” Paparku di hadapan ibu dan ayah. Kini ayah dan ibuku terdiam menatapku
seolah khawatir mengahadapiku saat aku berbicara seakan pasrah.
“sebenarnya ibu bukan tidak setuju. Namun ibu khawatir…” ucap ibu.
“hmm… begitupun ayah, ayah benar-benar sangat khawatir. Bagaimana jika kamu tidak bisa
terkenal di dalam musikmu? Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang dari musikmu? Semuanya
punya massa dan massa itu akan habis jika sudah tidak ada lagi yang mendukungmu. Apa yang
akan kamu lakukan jika kamu tak bisa tenar?” papar ayah, kini aku mulai paham kalau ayah dan
ibu bukan tidak memperbolehkan aku bermain musik melainkan mereka khawatir terhadap masa
depanku.
“baiklah.. jadi begini. Jika masa ku sudah habis. Aku akan menjadi produser musik, aku akan
menjadi penulis lagu, aku akn menjadi komposer musik. Dan itu tak akan habis… aku akan
menghasilkan uang dari situ. Yang ayah dan ibu fikir adalah, jika aku menjadi artis dan aku turun
daun apa yang aku lakukan? Begitukah? Maaf bukannya sinta ingin memberontak, melainkan sinta
ingin ayah dan ibu mengerti apa yang sedang sinta inginkan.”
“apa benar kamu menginginkan itu? Bukan menjadi penyanyi?” ucap ibu.
“ya. Menjadi penyanyi bisa dibilang hanya sampingan, namun untuk produser, penulis, komposer
itu yang utama.”
“hmm… ayah benar-benar salut. Kamu mempunyi keinginan dewasa, lakukanlah. Ayah akan
membantumu untuk mewujudkan itu. Apa ibu setuju?”
“hmm… pasti. Ibu juga akan mendukung. Ibu akan mensuport juga. Ibu kira kamu hanya
menyukai ketenaran, namun ternyata kamu juga menyukai ketenaran dibalik panggung. Ya!
Lakuakan” senyum ibu berimbuh-imbuh.
Aku menatap kedua orangtuaku. Aku selalu menganggap mereka adalah penceloteh terbesar
untuk menurunkan keinginan kuatku. Namun pada kenyataannya, mereka hanya khawatir. Aku
mulai paham, sekarang aku sepertinya tumbuh sedikit lebih dewasa.
3 tahun kemudian
Aku menyukai hidupku, meskipun aku sering menangis ketika tugas kuliah mulai menghantam.
Aku tertawa hingga lupa jika aku sedih aku tak bisa mengingat bahwa aku juga pernah bahagia.
Saat ini adalah tempatku. 1 tahun yang lalu beberapa produser mengenalku, beberapa bulan
kemudian aku mulai dikenal dengan musikku, hingga kini aku meraih semuanya. Saat ini bukan
aku dengan musikku yang terkenal melainkan diriku saja sudah banyak yang mengenalku. Ayah
dan ibuku selalu berada di sampingku bahkan ketika aku terjatuh hingga bangkit.
Kedewasaanku mulai tumbuh. Saat ini aku mulai berfikir jernih. Aku paham sebenarnya aku bisa
menggapai ini dari dulu, namun aku terlalu takut mempijaknya. Aku takut untuk menatapnya,
bahkan sampai saat ini aku hidup rasa khawatirku terhadap masa depanku masih ada. Namun
bedanya aku mulai bisa membuka kedua mataku meski ada kekhawatiran di dalamnya.
Untuk kalian…
Jangan takut menghadapi apapun. Katakanlah keinginanmu, namun pastikan dulu apa itu
keinginan kuatmu atau hanya sebatas cucuran keinginan kecilmu. Hidup ini fleksibel jika kalian
bisa fleksibel juga. Hanya bertahan dan tersenyum, karena di dunia ini tak pernah ada yang tidak
membantumu. Bertahan, kuat, dan berdo’a. Kunci itu akan membawamu masuk ke lorong yang
kamu inginkan dengan baik. Kuat dan yakin! Jangan kau lupakan.