Anda di halaman 1dari 20

CERPEN

Cerpen Pendidikan – Si Buta Mencari Matahari


(1) DI PERMUKIMAN YANG TERPENCIL
Berawal dari sebuah gubug tua yang sudah reot, Kala itu hiduplah sebuah
keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan dua orang anak laki-laki.
Kepala keluarga itu bernama pak Sumber (begitu orang menyebutnya) dan
istrinya bernama simpun (begitu orang menyebutnya), serta kedua anak laki-
laki mereka yang tua bernama Tabung sedangkan adiknya bernama Kumpul.

Kehidupan keluarga tersebut serba kekurangan mereka hanya mengharapkan


hasil-hasil buah hutan yang liar dan berburu untuk mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya, itupun sehari makan dan terkadang tidak makan, bahkan
baju pakaian yang mereka kenakan boleh di katakan kering di badan itu
semua akibat tidak ada untuk berganti, melihat kehidupan yang demikian itu,
kedua anaknya tidak dapat menuntut banyak yang ia bisa lakukan hanyalah
bermain dan membantu orang tuanya mencari buah-buahan dan berburu di
hutan, tidak mengenal apa itu alat tulis apalagi namanya sekolah.

Seiring dengan bejalannya waktu hari berganti hari, minggu berganti minggu,
bulan berganti bulan hingga tahun berganti, kedua anak pak Sumber
semestinya sudah saatnya mengenal bangku sekolah, akan tetapi apa daya
orang tua mereka tak dapat menyekolahkan anak-anaknya itu semua karena
banyaknya masalah-masalah yang mereka hadapi, di samping masalah-
masalah yang mereka hadapi kendala lain tidak ada biaya untuk
menyekolahkan anak-anaknya juga disebabkan mereka tinggal di hutan yang
jauh dari lokasi sekolah.

(2) DI SUATU PAGI HARI


Pada waktu pagi hari, sang surya memancarkan sinarnya yang begitu cerah,
Pak Sumber tidak seperti biasanya apabila bangun dari tidur ia bergegas pergi
ke hutan mencari nafkah, namun pagi itu ia termenung di beranda depan
gubugnya duduk di atas bangku yang terbuat dari susunan kayu-kayu kecil, ia
berpikir dan bertanya-tanya dalam hati sendiri, bagaimana nasib anak-
anaknya nanti kalau tetap tinggal di hutan, bagaimana anak-anak kalau aku
dan istriku sudah meninggal, bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya. Segudang pertanyaan dalam hati pak Sumber pagi itu.

Disaat pikiran Pak Sumber mengawang belum mendapat jawaban, tiba-tiba


dikejutkan oleh suara istrinya yang sedari tadi sudah berada di sampingnya.
“Pak.. apa yang dipikirkan tidak seperti biasanya bapak termenung?” tanya
istrinya. “Oh.. ibu mengejutkan bapak saja, pak Sumber sambil menoleh ke
istrinya” tak ada apa-apa kok bu, jawab Pak Sumber, “Tapi bapak tidak seperti
biasanya duduk merenung,” tanya istrinya kembali, “Saya lagi memikirkan
nasib anak-anak kita nantinya”, jawab pak Sumber. Bu Sumber hanya terdiam
tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, hanya tetesan air mata yang
keluar dari kelopak mata istri pak Sumber. “Bu… Bapak punya pikiran
bagaimana kalau kita pindah rumah mendekati kota supaya anak-anak bisa
sekolah seperti layaknya anak-anak lain” Kata pak Sumber “Terus kita mau
kerja apa pak..? bila pindah mendekati kota” jawab bu Sumber. Sambil
menarik nafas panjang pak Sumber tidak langsung menjawab apa yang di
utarakan istrinya. Sesaat suasana di beranda rumah hening sepasang suami
istri itu hanya saling memandang, Tak berapa lama terdengar suara dari
mulut pak Sumber, ia sambil menoleh pada istrinya, “Bu… Demi anak-anak,
kita kerja apa saja nanti yang penting tidak mengambil punya orang” Jawab
pak Sumber. Baiklah kalau menurut bapak baik, saya sebagai istri menurut
saja, demi masa depan anak-anak kita.
Tak terasa percakapan mereka lumayan lama, mataharipun sudah mulai
merangkak semakin tinggi. Pak Sumber bergegas ke samping pondok
mengambil peralatan seperti biasanya langsung pergi ke hutan mencari
nafkah sambil berburu.

(3) PERGI KE KOTA


Pada suatu hari pak Sumber pergi ke kota bersama anaknya yang pertama,
dengan bejalan kaki mereka pagi-pagi sekali sudah berangkat, di perjalanan
bapak dan anak tersebut sambil bercakap-cakap.
“Masih lama lagikah kita sampai ke kota pak..?” tanya Tabung, “Iya nak, kira-
kira dua jam berjalan lagi kita sampai”, jawab pak Sumber. “Wah sangat jauh
ya, pak” tanya Tabung lagi. “Bener, karena kita tempuh dengan jalan
kaki”,jawab pak Sumber. “Pak… Seandainya kita pergi naik sepeda tentu agak
cepat sampainya ya pak?” “Tentu cepat sampainya nak” jawab Pak Sumber.
“Tapi sayang kita tidak punya sepeda” kata Tabung “Sabar ya nak, suatu saat
nanti kita pasti dapat membeli sepeda.” Jawab pak Sumber (sambil
menghibur hati anaknya).
Tiba-tiba terdengar suara deru-menderu dan hiruk pikuknya lalu lintas,
tersentaklah hati dan perasaan Tabung, ah suara apa itu tanyaku dalam hati,
dan tidak lama kusaksikan dan aku lihat hiruk pikuknya kendaraan bermotor
dan hilir mudik orang-orang. Wah ramai sekali, banyak banget mobil, motor
dan becak ada juga.
Nak.. ayo kita masuk pasar, ajak pak Sumber dengan anaknya, Kita mau beli
apa pak?, tanya Tabung, Kita membeli keperluan seadanya sesuai uang yang
ada. Melihat hari sudah mulai siang dan keperluan yang dibeli sudah cukup
pak Sumber dan anaknya segera keluar dari dalam pasar dan langsung pulang.
Di tengah perjalanan pulang pak Sumber dan anaknya berpapasan dengan
anak-anak yang pulang sekolah. Dengan seketika Tabung bertanya, “Pak itu
anak-anak banyak sekali dan bajunya sama warnanya bagus lagi” “Oh itu
anak-anak yang pulang sekolah” jawab pak Sumber. “Wah Tabung ingin
seperti mereka bisa gak pak?” tanya anaknya lagi “Ya.. suatu saat nanti kamu
dan adikmu pasti bisa seperti mereka” jawab pak Sumber. “Benar pak..?”
tanyanya lagi, “Ya.. pasti kalian bisa”

Tak terasa perjalanan mereka sampai rumah, Bu.. bu.. kami datang, suara
tabung memanggil ibunya dengan bergegas bu Sumber membuka pintu.

(4) DI SUATU MALAM HARI


Seperti biasanya keluarga pak Sumber sebelum tidur mereka berkumpul di
ruang depan gubugnya, meneruskan pembicaraan kemarin pagi pak Sumber
memulai berbicara kepada istri dan ke dua anaknya, Anak-anak kita
berencana pindah rumah…! Bagaimana menurut pendapat kalian…? Kedua
anak pak Sumber terdiam sejenak saling memandang tanpa ada suara yang
keluar dari mulut mereka, namun tiba-tiba Bu Sumber berucap dengan pelan
dengan matanya tertuju pada kedua anaknya. “Bagaimana anak-anakku kalian
setuju kita pindah rumah..?” Eh.. eh memangnya kita mau pindah ke mana
bu?, Tanya Tabung kepada ibunya..? Iya mau pindah ke mana kita sang adik
juga ikut bertanya…? Kita mau pindah di desa yang dekat dengan sekolah,
jawab bu Sumber dan diangguki kepala pak Sumber tanda mengiyakan. Hore..
hore kita bisa sekolah kak, kata Kumpul sembari menatap wajah kakaknya
yang tersenyum tanda rasa senang atas rencana kepindahan mereka. Anak-
anakku, itulah maksud bapak dan ibu kalian rencana pindah ini supaya kalian
bisa bersekolah untuk menuntut ilmu demi masa depan kalian nantinya.

Tak terasa waktu semakin beranjak malam dan kedua anak pak Sumber juaga
terlihat mulai sayu pertanda mengantuk. “Anak-anak hari sudah malam,
sekarang kalian tidurlah karena besok pagi berkemas-kemas persiapan kita
pindah”. Iya pak.. Sambil beranjak dari tempat duduk Tabung dan Kumpul
menuju ke tempat tidur.
Tinggallah Pak Sumber dan Istrinya yang masih duduk melanjutkan rencana
kepindahan mereka demi masa depan ke dua anaknya. Bagaimana bu ada
yang perlu kita bicarakan lagi?, tanya pak Sumber kepada istrinya. Kiranya
kita sudah matang atas rencana kita pak, jadi kita istirahat dulu, Bapak kan
capek seharian kerja!, Ya.. ya.. ya mari kita istirahat.

(5) AWAL YANG CERAH BAGAI SINAR MATAHARI


Di pagi yang cerah matahari menyinari desa Argo Mukti yaitu desa di
pinggiran kota kecamatan, di mana terdapat bangunan Sekolah Dasar yang
kondisinya kurang begitu baik namun itulah satu-satunya sekolah yang
menjadi tumpuhan untuk menuntut ilmu anak-anak di desa tersebut. SDN
Argo Mukti nama sekolah tersebut.
Teng… teng… teng… bunyi lonceng tanda masuk kelas, murid-murid dengan
tertib memasuki kelasnya masing-masing, tak ketinggalan juga Tabung dan
Kumpul juga ikut masuk kelas yang di dampingi oleh orang tuanya, maklum
mereka berdua murid baru yang belum terbiasa dengan suasana seramai ia
lihat selama mereka masih tinggal di daerah terpencil yang jauh dari
keramaian sekolah.
Layaknya sekolah lain SDN Argo Mukti melakukan proses pembelajaran
dengan tertib dan menyenangkan, murid-murid juga dengan antusias
mengikuti pembelajaran di kelas masing-masing.

Tepat pukul 11.30 WIB Teng… teng… teng… lonceng berbunyi tanda pulang
sekolah, dalam perjalanan pulang Tabung dan Adiknya saling bercerita dan
bercanda, terlihat raut wajah mereka merasa senang karena bisa sekolah
seperti anak-anak yang lainnya.
“Dik.. bagaimana perasaanmu senang gak bisa sekolah?” Tanya Tabung
kepada adiknya. Dengan semangat adiknya menjawab, “ya tentu senang sekali
kak” jawab adiknya. “Terus bagaimana perasaan kakak senang juga kan?”,
tanya adiknya. ”Ya.. kakak juga sangat senang sekali, akhirnya kita bisa
bersekolah”, jawab Tabung.
Cerpen Pendidikan – Disana Aku Berada
Suara dentuman keras benda itu begitu menggelegar, alunan melodinya
sangat dahsyat ternyata itu adalah suara lonceng alat peringatan di setiap
melakukan aktifitas agar lebih teratur dan gak ngawur kalau lagi nganggur.
Sekejap membuyarkan seluruh mimpi tidurku, aku tersadar dan duduk
terdiam mengamati seluruh bagian di sekelilingku, kebingungan, kegelisahan,
kaget, sedih semua bergelut dalam benakku, kudapati sederetan lemari
pakaian tersusun rapi dan jumlahnya pun tidak sedikit, sekumpulan manusia
berjejer seperti ikan pepes, otakku terus berputar, berpikir dan akhirnya aku
kejatuhan sisir, tersentak saja aku kaget dari lamunan panjangku.

Aw, sakit! Kupegangi kepalaku sembari menggaruknya, ternyata Kejatuhan


sisir yang ukurannya kecil saja serasa saat kejatuhan duren, hufttt. Maaf, aku
tidak sengaja! suara itu terdengar begitu lembut di telingaku, kupalingkan
wajahku kearah suara itu, maaf ya aku tidak sengaja, sepertinya kamu sedang
melamun, siapa namamu? namaku hamida amami panggil saja aku amie hee
(sedikit aneh sih baru kenal saja dia sudah cengengesan mungkin karena dia
terlalu terpana berkenalan denganku).

kuberanikan diriku tuk menjabat tangannya “aku nanik sundari, ayo kita
bergegas saatnya sholat subuh jangan sampai kita terlambat nanti kita bisa
kena hukuman. Aneh rasanya saat aku mendengar kata HUKUMAN? apa itu
“hukuman”? amie dengan santai dan luwesny menjelaskan padaku (hukuman
ini adalah sebuah peringatan saat kita melakukan pelanggaran kedisiplinan
kecil maupun berat yaitu dengan cara di pukul menggunakan tali besar dan
keras ke arah tangan si pelanggar). oooooo… berusaha memahami
penjelasannya dengan sedikit rasa ketakutan kalau saja itu semua terjadi
padaku.

Aku gak ngerti kenapa bapak dan ibuku memasukkan aku ke pesantren ini
tapi aku yakin ini semua akan berbuah manis seperti buah manggis.
Kusiapkan diriku untuk segera bergegas ke masjid semua penghuni kamar
sibuk dengan atributnya masing-masing. Kulangkahkan kakiku ku ambil
sandal dari rak penyimpanan sepatu, perlahan kuamati apa yang ada di
sekelilingku semua terasa berbeda saat alunan merdu syair abunawas
dilantunkan dari sebuah masjid, bangunan ini ukurannya tidak terlalu besar
dan tidak pula terlalu kecil tapi ia mampu menampung 500 jamaah.

Kuletakkan atributku (sajadah dan Al-Qur’an) untuk mengambil air wudhu.


Brrrrrrr airnya dingin banget kayak air es, konon katanya para santri sekitar
yang sudah lama berada di pesantren ini air aliran dari masjid ini bisa di
minum dan dapat mencegah penyakit diantaranya adalah penyakit haus he he
he he

Pengalaman pertama saat aku bisa melaksanakan sholat berjama’ah di masjid


ini yang tidak pernah aku lakukan seumur hidupku. suasananya hening,
udaranya sejuk, lukisan-lukisan bertuliskan kalimat allah begitu terlihat jelas
di setiap dinding serta pilar-pilar bangunan ini. Sungguh besar karunia serta
nikmatmu ya rob, tiba-tiba kekhusyukanku mencair seketika saat kudengar
suara teriakan dari halaman masjid, teriakannya begitu lantang dan
menggema seperti suara pemanggilan pembagian sembako di kantor
kelurahan, ternyata itu adalah teriakan para pengurus keamanan masjid
untuk memberikan sanksi kepada para santri yang terlambat berangkat ke
masjid. Mereka berbaris rapi untuk menanti sebuah pukulan lembut yang
rasanya lebih dari sekedar di gigit semut. Suasana begitu hening saat pukulan
itu satu persatu mengenai sasaran. Andai saja aku tidak cepat bangun dan
berangkat mungkin nasibku saat ini akan bernasib sama seperti mereka.

Keherananku semakin bertambah saat aku harus mengantri antrian panjang


di kamar mandi hanya untuk sekedar mandi. Kesabaran, keikhlasan serta
ketulusan hati dipertaruhkan di sini. berbagai macam suku budaya ada di sini
dari sabang sampai merauke bahkan dari luar negeri saja banyak. Keberanian
adalah modal utama untuk bisa bersosialisasi dengan mereka. Semua gerak
gerik tingkah laku di atur oleh waktu karena waktu adalah uang “(Time is
Money)”. Makan, mandi, sekolah, ibadah bahkan tidur skalipun sudah di atur.
Smakin tidak bisa menghargai dan menggunakan waktu dengan sebaik-
baiknya maka semakin banyak pula pelanggaran serta hukuman menanti. Ini
terbukti saat aku terlambat melakukan aktifitas tidak sesuai waktu yang
ditentukan al hasil semua kegiatanku jadi terbengkalai. Ini untuk yang
kesekian kalinya aku terlambat berangkat ke sekolah gara-gara terlambat
mandi, bukan hanya aku tapi banyak di antara santriwati yang lainnya
mengalami hal yang sama. Hingga akhirnya kita harus membersihkan
bangunan masjid al-marzuqoh tanpa ada kotoran sedikipun. sudah 3 kali aku
kena hukuman dari bagian pengajaran gara-gara telat kesekolah! hufttt bener-
bener gak betah aku pengen pulang saja ke rumah mama di kampung, bosan
di hukum terus benar-benar gak berprikemanusiaan, dia adalah qiqi teman
sekamarku yang kebetulan juga sama nasibnya sama aku, anaknya sdikit
tomboy, kalau ngomong ceplas-ceplos, anak orang kaya keliatan dari semua
barang-barang serta penampilannya tapi ia sangat baik walau kadang sangat
menyebalkan. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB saatnya aku
bergegas mandi persiapan sholat maghrib berjama’ah.

Matahari mulai mengurangi tingkat volume sinarnya yang perlahan mulai


redup dan tenggelam meninggalkan posisi kedudukannya di siang hari, awan
pun seketika berubah menjadi kemerahan, keabu-abuan, lalu kehitaman.
Suara adzan maghrib mulai berkumandang sayup-sayup kudengarkan suara
lembut sang qoriah dari balik dinding masjid mulai menghilang. Kusiapkan
diriku untuk menghadap kehadiratmu ya robb, setiap selesai sholat fardhu
rutinitas yang di lakukan adalah membaca al-Qur’an, ayat-ayat allah begitu
indah saat kita bisa meresapi, menghayati serta tau arti dari makna yang
terkandung di dalamnya. Waktu yang dinantikan telah tiba yaitu saat
pengumuman pelanggaran bahasa (suatu pelanggaran disiplin tentang
penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari yaitu bahasa arab dan
inggris) suasana begitu mencekam lalu berubah menjadi hening, sunyi seperti
tak berpenghuni. semua telinga bersiap mendengarkan dari setiap nama yang
disebutkan. Sujud syukur aku panjatkan ternyata namaku lolos dari eksekusi
pelanggaran bahasa, lega rasanya, alhamdulillah ya allah.

Kulangkahkan kakiku mengambil sandal dari tumpukan rak lalu keluar


masjid, kuperhatikan setiap sudut bangunan tempat ini semua begitu rapi,
tertib dan bersih. Tiap kamar di huni oleh 35 orang dan swmuanya
perempuan, uniknya lagi tidak ada satupun laki-laki di tempat ini kecuali
tukang listrik dan bagian kebersihan. Kalaupun ada seorang laki-laki di sini
diharuskan yang sudah berumah tangga. Tak ada seorangpun yang bersantai
ria layaknya para remaja yang asik berkumpul dengan teman sebayanya
menghabiskan waktu meraka sia-sia bersenda gurau dengan tertawa, makan
bahkan sampai lupa waktu.

Di sini aku gak pernah menyaksikan kebiasan budaya luar yang tanpa batas
tapi malah sebuah aktifitas dan rutinitas yang sangat luar biasa semua sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Ada yang ngantri makan, belanja ke koprasi,
ngantri di wartel, ngantri di administrasi (tempat pengambilan paket, wesel,
tabungan, bahkan tempat pembayaran spp sekolah). Semua serba antri demi
melatih diri dan pribadi.

Hari-hari kulalui dengan penuh harapan untuk bisa jadi yang terbaik dan
kebanggaan untuk kedua orang tua serta keluargaku, tak terasa 7 tahun bukan
waktu yang singkat untuk tetap kuat dan menghabiskan masa muda di tempat
yang penuh dengan keberkahan ini, terima kasih untuk semua para guru
engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa, penyemangat saat tekad ini mulai
lemah, untuk kedua orang tuaku yang dengan ikhlas merelakanku untuk
menimba ilmu di pesantren ini. Tak ada kata yang terucap kecuali rasa syukur
atas smua anugrah dan karunia yang aku dapatkan di sini semoga bermanfaat
dunia akhirat, diri sendiri dan orang lain, aminnn…

Ketika sang surya mulai sirna, Tak ada kata selain berkaca
Tumbuh dan besar dalam ikatan penuh dengan aturan
Keihklasan, kekuatan, kesederhanaan serta kemandirian diagungkan di sini
Hanya hati dan pikiran yang berbuat untuk berusaha tegar
Jauh dari orang tua dan sanak saudara
Menimba ilmu ke negeri orang demi masa depan
Masa depan gemilang yang cemerlang selalu terngiang
Berjanji pada diri sendiri untuk menjadi yang terbaik untuk siapapun
Keabadian ilmu itu adalah buku
Kemurnian hati itu adalah budi pekerti, dan
Kesempurnaan pekerjaan itu adalah pikiran
Menjadikan kekurangan untuk menjadi kelebihan
Melengkapi kelebihan untuk sebuah kesempurnaan
Karena kesempurnaan hanya milik tuhan,
Start do the best where ever and what ever for
Cerpen Sedih – Akhirnya Aku Bisa Merasakan
Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia
sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku,
aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku disbanding-bandingkan
dengan kelebihan adib.

Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib,
adikku.

Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu
member nafkah pada keluarga kami pun member oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja
dengan kehidupanku.

Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa
terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib.
Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku.
Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku
hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.

Suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan ditimpa oleh adib. Cairan bahan
kimia mengenai kedua matanya ketika praktik di sekolah. Akhirnya adib
dilarikan ke rumah sakit terdekat, guru-guru yang bersangkutan serta aku pun
ikut ke rumah sakit tersebut.

Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang
melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium
tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit
tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.

Akan tetapi, seketika aku menyapu halamna rumah malah gunjingan dari
tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah,
malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada
mendengar celotehan para tetangga.

Aku sangat sayang pada orang tua dan adikku. Tugasku untuk menjaga adik
telah aku selesaikan walau hanya sebentar, sedangkan tugas rumah yang
selalu dibebankan padaku belum aku laksanakan, oleh karenanya aku pulang
demi melaksanakan kewajibanku.
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi
rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi
seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib
dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.

Aku tak mengira hal ini akan terjadi, keputusan yang membuat aku berat hati
ini menjadikan aku lebih tegang dan bahkan mengharukan dalam hidupku.
Dokter memutuskan bahwa mata adib tidak bisa siselamatkan kembali, tapi
dapat diganti dengan bola mata lain baru dia bisa pulih seperti sedia kala, itu
pun jika operasi berhasil.

Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan
dengan mengganti bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan
menulis iklan dalam media masa bahwa mereka butuh donor mata dengan
nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka,
keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola
mataku untuk adib, sang juara keluarga.

Mengapa nasibku sungguh malang. Aku mempunyai mimpi yang besar, akan
tetapi hal ini apakah tidak menghalangi mimpiku? Mata adalah salah satu
organ yang sangat penting adanya dan kegunaannya. Aku hanya bisa
menangis sejenak melihat hal yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku hanya bisa
bergumam dan meronta dalam hati serta mengelus dada.

Tanpa basa-basi, aku kembali ke rumah dan merenung di kamar. Tuhan


sangat sayang padaku, dan aku pun yakin atas hal tersebut. Aku berpikir, jika
aku tak punya mata lagi apakah aku bisa menangis? Biarlah, aku habiskan air
mataku untuk adib, kebanggaan semua orang. Mungkin dengan cara ini aku
bisa mendapat pujian dari semua orang yang kagum atas adib.

Keesokan harinya pun operasi akan dilaksanakan, tanpa basa-basi malam


sebelum operasi dilakukan aku telah siap dan berbicara pada orang tuaku
sebelum mereka bicara padaku. Aku bisa merasakan ada air mata dari ayahku,
tapi aku tidak bisa merasakan air mata yang ada dalam mata mamaku,
padahal yang akan aku sumbangkan untuk adib adalah salah satu organ tubuh
yang sangat ku sayangi.

Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya
hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari
sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat,
kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.

Tinggal beberapa menit lagi operasi akan dimulai, aku memanfaatkannya


dengan memanggil ayah dan ibuku. Aku hanya ingin memandang mereka
dengan peka, karena mungkin ini akhir aku melihat mereka yang telah berjasa
dalam hidupku.

Aku sadar, aku tak berarti apa-apa dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya aku
telah berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu berpikiran positif dalam
perjalanan hidupku serta meyakini ada rahasia tuhan yang tersembunyi di
balik peristiwa ini semua.

Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang
akan mengambil mataku. Aku tak sadarkan diri pada waktu itu, akan tetapi
kala ini aku sadar namun terasa ada yang hilang. Ya, kemewahan dan
keindahan alam telah hilang menurutku. Semua di dunia ini telah musnah
pikirku. Tetapi aku salah, yang telah hilang dari keindahan bukanlah dunia
dan seisinya, melainkan kedua mataku telah hinggap pada tempat bola mata
adib berada dulu.

Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas
seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya
aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk
tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak
setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada
adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam
menyetujui keputusanku.

Ini adalah jalanku, sebelum aku pergi jauh dan tinggal bersama orang-orang
yang asing pintaku hanya satu. Aku hanya ingin berbincang-bincang dengan
keluarga sampai larut malam.

Pagi harinya, sebelum aku pergi. Aku memberikan secarik kertas untuk adib,
yang sempat aku tulis ketika malam terakhir aku memiliki mata yang
sempurna. Aku tidak menulis panjang lebar untuk adib, namun aku hanya
menulis “Dik, Akhirnya aku bisa merasakan. Akhirnya aku bisa merasakan
sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang.
Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola
mataku”
Cerpen Sedih – Surat Terakhir
Poooss…!

Teriakan tukang pos membangunkanku dari tidur siangku, aku yakin sekali
surat kali ini untukku.
Ini pasti dari sahabatku,Dini. Aku dengan Dini sudah hampir setahun saling
bertukar surat, awalnya kami berkenalan dengan tdak sengaja, pada awalnya
aku mendapat surat tidak dikenal, saat aku cek ke kantor pos, ternyata surat
itu memang nyasar.
Surat itu dari Dini yang bermaksud mengirimnya kerumah neneknya,
kebetulan alamatnya hampir sama dengan alamat rumahku.
Semenjak saat itu kami menjadi teman pena, Dini dan aku mempunyai hobi
yang sama yaitu menulis.

Yup, ternyata benar surat itu dari Dini, segera saja aku membuka amplop yang
berwarna biru. Aku dan Dini sepakat jika memakai amlop yang berwarna biru
jika saling berkirim surat.

23 November 2009
Anna, tak terasa hampir setahun kita saling berkirim surat. Aku sangat senang
sekali kejadian yang kebetulan setahun yang lalu, menjadi kebetulan yang
sangat indah bagiku

Oh ya, bulan depan aku berencana mengunjungi kotamu,aku ingin


menghabiskan liburan di rumah neneku, dan aku juga berencana
mengunjungimu, aku sangat ingin beremu kamu secara langsung
Sekian dulu yaa, aku menunggu balasanmu
Salam hangat,
Dini..
Waaah, aku senang sekali membacanya, ternyata Dini akan mengunjungi
bulan depan.
Segera saja aku bilang kepada ibuku tentang rencana Dini yang akan
berkunjung kesini, setelah itu aku langsung menulis surat balasan kepada
Dini.

27 November 2009

Diiiniiii, wah aku senang sekali kamu mau mengunjungiku, tentu aku
bersedia, aku juga telah bilang kepada ibuku, ibuku juga senang, aku harap
nanti kamu akan menginap dirumahku selama beberapa hari, aku mempunya
segudang rencana menarik untuk kita lakukan bersama.
Kamu akan kesini bulan depan kan? Itu berarti beberapa hari lagi.
Hati hati di jalan ya Dini. Salam hangat
Anna.
Tidak terasa hari ini hari terakhir sekolah sebelum liburan, berarti Dini akan
kerumahku beberapa hari lagi, aku segera mandi dan berpakaian untukpergi
kesekolah, sebelum itu aku sarapan sebentar lalu berpamitan ke orangtuaku
untuk pergi kesekolah.
Kebetulan jemputanku juga sudah datang.

Akhirnya pengumuman dari sekolah yang aku tunggu tunggu datang juga,
sekolah akan libur akhir tahun, teman-teman disekolahku sangat ramai, tidak
salah lagi, mereka bercerita rencana mereka saat liburan nanti.

Tak terasa bel tanda akhir sekolah sudah dibunyikan, keadaan kelas makin
ramai saja. Setelah mengucapkan selamat liburan, kamipun naik mobil
jemputan masing masing.
Di tengah perjalanan aku teringat mimpiku tadi malam, di mimpiku aku
melihat Dini memakai gaun putih yang indah dan tersenyum padaku, tapi
makin lama sosok Dini makin jauh, aku mencoba mengejarnya tetapi tidak
bisa .

Mengapa ya, aku bermimpi seperti itu tadi malam.


“ah, mungkin aku terlalu senang Dini akan mengunjungiku” pikirku.

“aku pulaaang…” teriaku.


“Tidak seperti biasanya, biasanya ibuku selalu menyambutku saat aku pulang
sekolah”. Ternyata ibuku ada diruang keluarga. Disitu aku melihat ibuku
menangis sedih.
“ada apa bu??” desakku.
Ibuku menatapku, lalu berkata “anna, ibu harap kau tabah”.
“ada apa bu, ada apa??” tanyaku setengah berteriak, karena aku bingung apa
yang sebenarnya terjadi.
“temanmu,Dini, telah mengalami kecelakaan pesawat” kata ibuku terisak-isak.
“apa?” kataku heran.
Lalu aku segera mengambil remote tv yang tergeletak disitu dan segera
menyalakan tv. Di TV ditayangkan gambar yang sangat mengerikan, sebuah
serpihan pesawat yang terombang-ambing di laut lepas. Reporter di TV
mengatakan pesawat itu telah meledak di udara, dugaan sementara tidak ada
satupun korban selamat.

“tapi kan bu, belum tentu Dini ada di dalam penerbangan itu”tanyaku cemas.
“tidak, anna. Nenek Dini tadi menelpon ibu, dan menyampaikan berita ini”
jawab ibuku sedih.
Tidak terasa, air mata telah membasahi pipiku, aku tidak bisa mengatakan
apa-apa, disekelilingku terasa berputar, dan tiba-tiba gelap. Aku pingsan.

Tidak terasa sudah genap sebulan setelah kecelakaan pesawat itu, jasad Dini
belum juga diketemukan, diliburanku kali ini, aku merasa tidak bersemangat
karena kejadian tersebut, keluargaku mencoba untuk menghiburku, tapi itu
sama sekali tidak bisa membantu.

Poooss…!!!
Teriakan tukang pos membuyarkan lamunanku.
“aku malas untuk keluar, biar ibu saja yang mengambil suratnya” pikirku.

Pooooss…!!!
“Urgghhh, mana sih ibu?” gerutuku.
Aku ingat, aku sedang sendirian dirumah,ibu sedang arisan RT.
Segera saja aku berlari keluar untuk mengambil surat itu.
Ternyata pak pos mengantarkan sebuah kotak yang ditujukan kepadaku.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada tukang pos, aku masuk dan
membuka isi dari kotak itu.
Isi kotak itu adalah bungkusan plastik yang didalamnya ada kertas-kertas
yang dijilid rapi dan sebuah amplop yang berwarna… HIJAU.

Aku membuka isi dari surat itu dan membacannya.

7 Desember 2009

sahabatku Anna, saat kamu membaca surat ini, mungkin ini menjadi surat
terakhir dariku, maaf Anna, aku tidak bisa menepati janjiku untuk liburan
bersama denganmu.

Anna, aku ada satu permintaan, semoga kamu menyanggupinya.


Kamu ingat kan, aku pernah bercerita kalau sedang menyelesaikan menulis
novel,,
Aku ingin kamu menyelesaikannya.
Nah anna, meskipun kita belum pernah bertemu langsung, tapi kamu adalah
sahabatku terbaiku.
Dan aku minta maaf karena tidak bisa menepati janji, terima kasih ya Anna,
kamu telah menjadi sahabatku.
Salam persahabatan
DINI

Air mata kembali membasahi pipiku setelah membaca surat itu, dan aku
mengambil kertas-kertas yang dijilid itu, itu adalah naskah novel yang belum
sempat diselesaikan oleh Dini.
“tentu Dini, aku bersedia dengan senang hati menyelesaika novelmu, aku akan
mengerjakannya sebaik mungkin, semoga kamu tenang di alam sana” kataku
dalam hati.

Yah, memang, didunia ini memang banyak kejadian yang tak terduga.
Persahabatanku dan Dini diawali dengan kejadian yang terduga, dan diakhiri
dengan kejadian yang tak terduga juga.
Dan juga, di dunia ini tak ada yang abadi.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, entah cepat atau lambat.
Bintang Hancurpun Tak
Sepenuhnya Hancur
Cerpen Karangan: Sinta Za
Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Pengalaman Pribadi
Lolos moderasi pada: 3 June 2020

Rasa tak pernah berbeda ketika seseorang merasa ingin sekali menang. Begitupun aku yang selalu
menginginkan kemenangan. Saat ini aku hanya duduk diam berada di atas ranjang tidur. Balutan
udarapun masuk ke dalam pori-poriku. Aku hanya berfikir keras, sekeras-kerasnya. Aku hanya
bisa merasakan diriku yang mulai rapuh karena celoteh mereka.
Baiklah! Aku akan membeberkannya.

Hatiku rapuh benar-benar rapuh. Aku hanya ingin fokus untuk satu tempat saja, aku hanya ingin
berjalan di satu tempat saja untuk saat ini. Semuaya hanya bisa membincangkan diriku, berkata
aku takkan berhasil melakukannya. Dalam hati aku selalu menanyakan. Apakah diriku tak
disayang tuhan? Apakah aku sudah dilupakan oleh tuhan? Apakah aku bisa menggapai semua cita
dan anganku? Sebenarnya, apa yang akan terjadi nanti? Aku sudah tak kuasa menatap diriku.
Bahkan untuk melihat masa depan, aku hanya bisa melihat dengan satu mata tertutup dan satu
mata terbuka sipit. Aku tak kuat, aku rapuh. Karena celotehnya…

“apa yang sedang kamu lakukan di dalam? Keluarlah makan malam sudah siap.” Kata ibu yang
berteriak dari dapur untukku.
“baiklah aku akan kesana beberapa menit lagi” ucapku, membalas teriakan ibu.

Tak lama ibu menghampiriku dan engetok pinti kamarku.


“sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan? Hampir setiap hari kamu selalu telat makan. Apa
kamu membuat lagu lagi? Tak akan berguna, mengertilah kamu itu anak pengusaha hebat. Kamu
harus meneruskan perusahaan ayah kamu. Sudah! Keluarlah ibu nggak mau tahu, kamu harus
bersekolah dengan giat. Lupakan musikmu.” Ujar ibu.

Inilah hidupku, tak ada yang mendukungku sama sekali. Mereka hanya bisa menghela nafas besar
untuk bisa menanganiku. Kini usiaku beranjak 18 tahun dan aku sudah terlambat jauh untuk
belajar musik. Ya! Aku tak memiliki pengalaman bermusik sedikitpun. Namun aku menyukainya
sejak aku kecil. Hanya sebagian mata saja mereka menganggapku itu hanya keinginan anak kecil
saja. Namun bagiku ini adalah keinginan besar, aku ingin menjadi pemusik hebat. Namun hanya
satu kelemahanku yaitu, aku tak pernah bisa memulai musikku saat orang sekitar mencelotehku.

“apa yang kamu kerjakan?” tanya ibu saat aku menghampiri meja makan.
“hanya menata baju di lemari” jawabku ringan
“baiklah. Ibu kira kamu membuat lagu lagi. Sayang, percayalah, kamu akan mendapatkan banyak
uang jika kamu ikut mengelola perusahaan papa kamu dan gaji kamu juga tetap nggak seperti
bermain musik.”
“iya baiklah. Bu apa ibu benar-benar membenciku jika aku bermain musik? Bagaimana dengan
pengalam waktu kecilku?”
“masa kecil hanya sebuah kenginginan anak-anak. Kamu bahkan tak begitu bagus mengikutinya.
Ibu tak membenci, namun ibu menginginkan kamu memiliki masa depan yang bagus dengan gaji
tetap.”
“mmm… begitu…” aku tak mau meneruskan, aku hanya takut berdosa jika aku melanjutkan
perbincangan ini.
Setelah makan aku masuk lagi ke dalam kamar dan memutar beberapa musik kesukaanku.
Beginilah aku, setiap hari aku hanya menerka bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya. Aku
banyak mencari info bagaimana mengatasi ini dan aku tak menemukan satupun yang cocok
denganku.

Aku hanya termenung, terjaga sembari menatap langit-langit kamarku, membuka dan menutup
mata bahkan air mata tiba-tiba keluar dengan sendirinya di ujung mataku. Apa yang akan aku
lakukan setelah ini? Aku lemah, aku seperti orang bodoh yang mencari lapangan untuk
kebodohanku sendiri. Jutaaan hariku kuhabiskan dengan ketakutan besar.

Drrtt…
Aku melirik hp ku. Rasanya malas untuk mengambil hpku meskipun letaknya tak jauh dari
jangkauanku.
Aku melihatnya temanku nesti mengirimkan pesan untukku.

Nesti
Sinta, bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja disekolah barumu? Aku ingin mendengar
ceritamu walau mungkin itu banyak. Ceritakan aku menunggumu… aku juga akan menceritakan
diriku.

Nesti adalah sahabatku dari aku smp dia memiliki kepribadian yang baik dan semangat. Bahkan
saat aku tidak betah di sekolahku sma yang pertama dia menyemangatiku meskipun dari jauh,
hingga aku berpindah sekolah demi kenyamananku.

Sinta
Aku baik-baik saja. Disini lumayan menyenangkan, tidak seperti yang dulu. Meskipun begitu disini
aku tak bisa mengeksplor hobi bermusikku aku terlalu minder.

Nesti
Hmm… sayang banget, menurutku kamu ada basic dalam bermusik meskipun (maaf) kamu tak
terlalu bagus. Tapi kamu ada kekuatan untuk bermusik sinta. Lakukan jangan minder.

Sinta
Lupakan! Bagaimana denganmu? Aku dengar kamu juara olimpiade matematika? Apakah
menyenangkan kehidupan sma mu?

Nesti
Iya aku juara 2, menyedihkan ya? Aku saat ini tidak begitu bahagia. Aku kehilangan sahabat
dekatku di sekolah ini, dia pindah ke sekolah olahraga. Dan sekarang aku melakukan apapun
sendirian, bahkan ketika jam olahraga tak ada satupun teman yang mau melatihku agar aku bisa
olahraga dengan baik. Kau tahu kan aku tak begitu baik dalam pelajaran olahraga. Ini
menyedihkan, aku berharap kamu ada disini, setidaknya ada yang menemaniku setiap hari.

Sinta
Hmm…juara 2 yang pentingkan juara, selamat yaa… aku benar ingin sekali satu sekolah lagi
denganmu. Tapi, tidak bisa. Sekarang umurku terlalu tua untuk belajar musik. Aku tidak bisa
berekspresi di rumah bahkan sekolah. So, sekarang aku hanya bisa mempersiapkan diriku untuk
un tahun ini. Pasti teman kamu senang karena ada yang mendukungnya.

Nesti
tak ada yang namanya terlambat, kamu bisa. Nyatanya apa yang kamu lakukan selalu bagus,
kamu hanya perlu sedikit sentuhan dan aku yakin kamu akan mengolah sentuhan itu menjadi
indah. Semangatlah! Aku akan menyemangatimu dari sini. Maaf aku tak bisa berada di dekatmu
saat kamu seperti ini. Sebenarnya sahabatku pindah orang tuanya sebelumnya tidak ada yang
mengetahui satupun. Dia pindah ke sekolah olahraga dan mau mengulang dari kelas satu dengan
uang kakaknya, dan sekarang orangtuanya marah besar padanya. Namun dia tak
mempedulikannya, pihak sekolahpun menarikanya kembali. Sedangkan sekolah olahraga yang
sudah dia masuki beberapa hari tak ingin melepaskannya, meskipun skillnya minim semangatnya
cukup besar. Begitulah…
Sinta
berarti dia keluar dari sekolah dan masuk ke sekolah satunya, dia sendiri yang melakukannya?
Sendirian?

Nesti
Iya, orangtuanya tidak pernah mendukungnya. karena kakaknya pernah mengalami patah tulang
di bagian kaki, makanya dia tidak mendapat restu orangtuanya. Namun dia menemukan hal asik
dalam berolahraga, bahkan kakaknya juga mendukungnya. Begitulah…

Sinta
Apa aku perlu nekat? Melakukan diriku untuk masuk ke dunia musik? Sedangkan aku tak memiliki
uang sepeserpun untuk belajar musik, bahkan orangtuaku memperhitungkan pengeluaranku
setiap bulan.

Nesti
Bukannya kamu bisa membuat cerpen? Puisi? Kirimkan semua tulisanmu ke aku. Aku akan
memberikannya kepada jurnalistik sekolahku, jika tulisanmu masuk ke dalam majalah mingguan
sekolah dan buletin, kamu akan mendapatkan beberapa uang. Kumpulkan itu. Aku akan
membantumu.

Sinta
Benarkah? Apa benar kau akan melakukannya?

Nesti
Ya! Aku akan membantumu mengedit jika itu masih kurang bagus.

3 bulan kemudian setelah lulus dari sma


Hariku sedikit demi sedikit merasa lega. Hambatan kadang simpang siur. Namun tetap saja aku
tak bisa membuka lebar kedua mataku, aku tak bisa menatap masa depanku dengan tenang.
Untuk bermusikku aku sendiri masih takut mengeksplornya. Bahkan orangtuaku sendiri tak
mengetahui aku yang sekarang mendalami musik di beberapa tempat untuk belajar musik (les
musik).

Aku sudah lulus, jaminanku sekarang adalah kuliah. Namun aku merasa aku masih belum bisa
untuk melakukannya, karena berkali kali orangtuaku menyuruhku untuk belajar bisnis. Namun
tetap saja, aku ingin bicara baik-baik tentang musik di hadapan mereka.

“ayah, ibu. Bolehkah sinta bicara sesuatu?”


“bicara apa? Katakan saja.” Ujar ayahku sembari melipat koran yang sedang dibacanya.
“aku… aku… ingin kuliah di musik. Aku ingin mendalami musik”
“hmm… mulai lagi..” ucap ibu. “sebentar-sebentar, apa alasan kamu ingin belajar musik? Basic
kamu kan bukan di musik tapi di bisnis? Bahkan kamu juga tak pernah mempelajarinya dari kecil.
Mengapa dari awal kamu sma kamu selalu berbicara tentang musik? Coba jelaskan” sela ayah.
Ibu yang tadinya sedang menyetrika langsung duduk di samping ayah.

“ya. Memang aku tak pernah belajar, bahkan pengalaman bermusikku juga tak bagus sama sekali.
Namun saat ini aku tahu, apa yang kupelajari dari dulu buakan atas kemauanku sendiri tapi
kenginan ibu dan ayah agar aku bisa meneruskan bisnis ayah dan ibu. Sedangkan sekarang aku
ingin membuat jalanku sendiri. Izinkan aku, anggap saja belajar musikku ini adalah pekerjaan
sampinganku nantinya. Untuk bisnis ibu dan ayah aku janji akan meneruskannya. Dan jika ibu dan
ayah tidak mau memberiku uang untuk bersekolah, tidak apa. Aku akan berusaha mencarinya.
Percayalah! Apa yang aku inginkan ini bukan keinginan buruk seperti kejadian-kejadian sma ku
saat berpindah sma.” Paparku di hadapan ibu dan ayah. Kini ayah dan ibuku terdiam menatapku
seolah khawatir mengahadapiku saat aku berbicara seakan pasrah.

“sebenarnya ibu bukan tidak setuju. Namun ibu khawatir…” ucap ibu.
“hmm… begitupun ayah, ayah benar-benar sangat khawatir. Bagaimana jika kamu tidak bisa
terkenal di dalam musikmu? Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang dari musikmu? Semuanya
punya massa dan massa itu akan habis jika sudah tidak ada lagi yang mendukungmu. Apa yang
akan kamu lakukan jika kamu tak bisa tenar?” papar ayah, kini aku mulai paham kalau ayah dan
ibu bukan tidak memperbolehkan aku bermain musik melainkan mereka khawatir terhadap masa
depanku.

“baiklah.. jadi begini. Jika masa ku sudah habis. Aku akan menjadi produser musik, aku akan
menjadi penulis lagu, aku akn menjadi komposer musik. Dan itu tak akan habis… aku akan
menghasilkan uang dari situ. Yang ayah dan ibu fikir adalah, jika aku menjadi artis dan aku turun
daun apa yang aku lakukan? Begitukah? Maaf bukannya sinta ingin memberontak, melainkan sinta
ingin ayah dan ibu mengerti apa yang sedang sinta inginkan.”

“apa benar kamu menginginkan itu? Bukan menjadi penyanyi?” ucap ibu.
“ya. Menjadi penyanyi bisa dibilang hanya sampingan, namun untuk produser, penulis, komposer
itu yang utama.”
“hmm… ayah benar-benar salut. Kamu mempunyi keinginan dewasa, lakukanlah. Ayah akan
membantumu untuk mewujudkan itu. Apa ibu setuju?”
“hmm… pasti. Ibu juga akan mendukung. Ibu akan mensuport juga. Ibu kira kamu hanya
menyukai ketenaran, namun ternyata kamu juga menyukai ketenaran dibalik panggung. Ya!
Lakuakan” senyum ibu berimbuh-imbuh.

Aku menatap kedua orangtuaku. Aku selalu menganggap mereka adalah penceloteh terbesar
untuk menurunkan keinginan kuatku. Namun pada kenyataannya, mereka hanya khawatir. Aku
mulai paham, sekarang aku sepertinya tumbuh sedikit lebih dewasa.

3 tahun kemudian
Aku menyukai hidupku, meskipun aku sering menangis ketika tugas kuliah mulai menghantam.
Aku tertawa hingga lupa jika aku sedih aku tak bisa mengingat bahwa aku juga pernah bahagia.
Saat ini adalah tempatku. 1 tahun yang lalu beberapa produser mengenalku, beberapa bulan
kemudian aku mulai dikenal dengan musikku, hingga kini aku meraih semuanya. Saat ini bukan
aku dengan musikku yang terkenal melainkan diriku saja sudah banyak yang mengenalku. Ayah
dan ibuku selalu berada di sampingku bahkan ketika aku terjatuh hingga bangkit.

Kedewasaanku mulai tumbuh. Saat ini aku mulai berfikir jernih. Aku paham sebenarnya aku bisa
menggapai ini dari dulu, namun aku terlalu takut mempijaknya. Aku takut untuk menatapnya,
bahkan sampai saat ini aku hidup rasa khawatirku terhadap masa depanku masih ada. Namun
bedanya aku mulai bisa membuka kedua mataku meski ada kekhawatiran di dalamnya.

Untuk kalian…
Jangan takut menghadapi apapun. Katakanlah keinginanmu, namun pastikan dulu apa itu
keinginan kuatmu atau hanya sebatas cucuran keinginan kecilmu. Hidup ini fleksibel jika kalian
bisa fleksibel juga. Hanya bertahan dan tersenyum, karena di dunia ini tak pernah ada yang tidak
membantumu. Bertahan, kuat, dan berdo’a. Kunci itu akan membawamu masuk ke lorong yang
kamu inginkan dengan baik. Kuat dan yakin! Jangan kau lupakan.

Anda mungkin juga menyukai