Anda di halaman 1dari 8

Tari Remo

Tari Remo berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tarian ini berasal dari kecamatan Diwek Di desa
Ceweng, tarian ini diciptakan oleh orang yang berprofesi sebagai penari jalanan di kala itu, memang banyak
profesi tersebut di Jombang, kini Tarian ini pada akhirnya merupakan tarian yang digunakan sebagai
pengantar tarian ludruk. Namun, pada awal pertengahanya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai
sambutan kepulangan atas tamu kedaerahan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam
festival kesenian daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran dalam
medan laga. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih garang ditarikan oleh perempuan,
sehingga memunculkan gaya tarian yang lain: Remo Putri atau Tari Remo gaya perempuan dan banci

Menurut sejarahnya, tari remo merupakan tari yang khusus dibawakan oleh penari laki – laki. Ini berkaitan
dengan lakon yang dibawakan dalam tarian ini. Pertunjukan tari remo umumnya menampilkan kisah
pangeran yang berjuang dalam sebuah medan pertempuran. Sehingga sisi kemaskulinan penari sangat
dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini.

Berdasarkan perkembangan sejarah tari remo, dulunya tari remo merupakan seni tari yang digunakan
sebagai pembuka dalam pertunjukan ludruk. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dari tari remo pun
mulai beralih dari pembuka pertunjukan ludruk, menjadi tarian penyambutan tamu, khususnya tamu – tamu
kenegaraan. Selain itu tari remo juga sering ditampilkan dalam festival kesenian daerah sebagai upaya untuk
melestarikan budaya Jawa Timur. Oleh karena itulah kini tari remo tidak hanya dibawakan oleh penari pria,
tetapi juga oleh penari wanita. Sehingga kini muncul jenis tari remo putri. Dalam pertunjukan tari remo
putri, umumnya para penari akan memakai kostum tari yang berbeda dengan kostum tari remo asli yang
dibawakan oleh penari pria.

Tata Gerak

Karakteristika yang paling utama dari Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini
didukung dengan adanya lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat
penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristika yang lain yakni gerakan
selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari
membuat tarian ini semakin atraktif.

Tata Busana

Busana dari penari Remo ada berbagai macam gaya, di antaranya: Gaya Sawunggaling, Surabayan,
Malangan, dan Jombangan. Selain itu terdapat pula busana yang khas dipakai bagi Tari Remo gaya
perempuan.

Busana gaya Surabayan


Terdiri atas ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-
18, celana sebatas pertengahan betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang menjuntai
hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip di belakang. Penari memakai dua
selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing
tangan penari memegang masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki berupa
kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.
Busana Gaya Sawunggaling
Pada dasarnya busana yang dipakai sama dengan gaya Surabayan, tetapi yang membedakan yakni
penggunaan kaus putih berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.

Busana Gaya Malangan


Busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan, tetapi yang membedakan
yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum.

Busana Gaya Jombangan


Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya Sawunggaling, tetapi perbedaannya adalah penari
tidak menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi.

Busana Remo Putri


Remo Putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul,
memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai
ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.

Pengiring

Musik yang mengiringi Tari Remo ini adalah gamelan, yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok,
bonang penerus, saron, gambang, gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong.
Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah Jula-Juli dan Tropongan,
tetapi dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru.
Dalam pertunjukan ludruk, penari biasanya menyelakan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya.

Tema & Jenis

Tema dari Tari Remo adalah tema kepahlawanan dan jenis dari Tari Remo adalah tari laki laki gagah.
Tari Pendet

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat
Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia.
Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat
datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini
adalah I Wayan Rindi

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya
tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang,
pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis

Tarian ini diajarkan sekadar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis
muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam
memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara
berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya
menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari
membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
Tari Kandagan

Sejarah

Pada tahun 1957 Tjetje Somantri menciptakan tari Topeng Wadon, hanya nama Wadon tidak cocok dengan
bentuk tarinya, seterusnya namanya diubah menjadi renggarini. Rengga artinya berlaga dalam arti kebaikan.
Rini artinya wanita, jadi Renggarini bisa diartikan sebagai wanita yang kelakuannya seperti lelaki atau
wanita yang aktif.

Perbedaan dari dua tari ini yaitu dalam tata pakaian dan pemakaian soder atau sampur panjang. Hiasan
kepala tari Renggarini berupa perkembangan desain iket, sedangkan di tari Kandagan menggunakan siger
dengan rambut membentuk gambuh kecil diatasnya. Pemakaian pakaian tari Renggarini yaitu kebaya kutung
merah tua, dengan pinggirannya warna hijau, sedangkan tari Kandagan menggunakan baju tutup kutung,
kerahnya pendek warna hitam. Perbedaan dalam tata rias yaitu tidak dihiar godeg geulis di tari Renggarini
sebab tidak pakai susumping, rambut digulung keatas disembunyikan dalam iket. Dalam tari Kandagan
rambut memakai sanggul melengkapi tata rias Kandagan. Kandagan artinya wadah, tempat menyimpan
perhiasan dan barang-barang berharga lainnya. Oleh karena itu, nama tari Kandagan bisa juga dimaksudkan

tempat kumpulan gerak-gerak tari. Dalam latihannya, tari Kandagan termasuk tari putri yang gagah, tari ini
memerlukan keterampilan bakat dan latihan yang lama untuk menguasainya. Untuk membentuk koreografi
tari Kandagan untuk pemula biasanya dimulai dengan mengolah badan untuk persiapan menari.
Dalam pertunjukannya, tari Kandagan dipertunjukkan tunggal, tetapi bisa juga ditarikan sejara berbarengan,
tentu saja dengan karakter penari yang sama yaitu karakter gagah putri. Tari Kandagan mempunyai
kekayaan gerak yang beragam yang dibangun oleh gerak pokok dan gerak peralihan. Selain dari itu, untuk
belajar menari tari Kandagan dibutuhkan sikap dan gerak sebagai pola yang mendorong ke pertunjukannya.
Seperti sikap kepala, badan, kaki, dan tangan. Begitu juga gerak kepala, badan, kaki dan tangan. Sama
seperti karakter tarinya yang gagah, dalam menerapkan sikap dan gerak mempunyai perbedaan dengan tari
Dewi dan Sulintang.
Tari Golek Menak

merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek
Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksa Golek
Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek Menak.

Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu
pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941
memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat,
Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja, K.R.T.Mertodipuro, RW
Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga.

Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana
dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan. Bentuknya masih
belum sempurna, karena tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan sultan
tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu:

1. tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli,


2. tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal,
3. tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta

Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan, yaitu perang antara Dewi Sudarawerti
melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.

Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara sultan dengan para seniman dan seniwati, maka
sultan Hamengku Buwana IX membentuk suatu tim penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim
tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu: Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja,
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana dan Institut
Seni Indonesia (ISI).

Keenam lembaga ini setelah menyatakan kesanggupannya untuk menyempurnakan tari Golek Menak (1 Juni
1988), kemudian menyelenggarakan lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil
garapannya. Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988.

Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan RM Dinusatama diawali dengan
pagelaran fragmen lakon kelaswara, dengan menampilkan 12 tipe karakter, yaitu:

1. Alus impur (tokoh Maktal, Ruslan dan Jayakusuma),


2. Alus impur (tokoh Jayengrana),
3. Alur kalang kinantang (Perganji),
4. Gagah kalang kinantang (Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan dan Gajah Biher),
5. Gagah kambeng (Lamdahur),
6. Gagah bapang (tokoh Umarmaya),
7. Gagah bapang (Umarmadi dan Bestak),
8. Raseksa (Jamum),
9. Puteri (Adaninggar seorang Puteri Cina),
10. Puteri impur (Sudarawerti dan Sirtupelaeli),
11. Puteri kinantang (Ambarsirat, Tasik Wulan Manik lungit, dan kelas wara),
12. Raseksi (mardawa dan Mardawi).

Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa bagongan. Busana yang dikenakan para penari mengacu
pada busana Wayang Golek Menak Kayu, semua tokoh berbaju lengan panjang, sedangkan cara berkain
menerapkan cara rampekan, kampuhan, cincingan, serta seredan disesuaikan dengan tokoh yang dibawakan.

Giliran kedua jatuh pada Pusat Latihan tari Bagong Kussudiardja diselenggarakan di Padepokan Seni
Bagong Kusssudiardja sendiri. Bentuk-bentuk tari yang ditampilkan merupakan garapan baru yang
bersumber dari Golek Menak, dengan mempergunakan ragam tari yang pernah dipelajari dari kakaknya,
yaitu Kuswaji Kawindrasusanta (seorang peraga Golek Menak pada saat proses penciptaan tari oleh Sri
Sultan Hamengkubuwana IX).

Beberapa tipe karakter yang ditampilkan antara alain: puteri luruh, puteri Cina, gagah bapang untuk tokoh
Umarmaya, gagah kinantang untuk tokoh Umarmadi. Disamping itu ditampilkan pula sebuah garapan
kelompok dari tipe gagah kinantang yang diberi nama tari Perabot Desa, dengan gendhing-gendhing yang
digarap sesuai keperluan gerak tari sebagai pengiringnya.

Giliran ketiga jatuh pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Yogyakarta, dipimpin oleh Sunartama
dan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli 1988 S.M.K.I. menitik beratkan pada penggarapan ragam gerak
yang merupakan dasar pokok dari tipe-tipe karakter dari Golek Menak dan memperhatikan gendhing-
gendhing yang mengiringi tari agar penampilan tipe-tipe karakter bisa lebih kuat. Penyajian dari S.M.K.I.
menampilkan tipe karakter dengan 14 ragam gerak berbentuk demonstrasi, tanpa menggunakan lakon, tata
busana, tata rias, antawecana, swerta kandha tidak digarap.

Giliran keempat jatuh pada Mardawa Budaya yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 9 Agustus
1988 dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa. Mardawa Budaya menampilkan sebuah fragmen
singkat tetapi padat dengan lakon Kelaswara Palakrama. Dalam penampilannya Mardawa Budaya
menampilkan 14 tipe karakter.

Giliran kelima adalah Surya Kencana pimpinan raden Mas Ywanjana, yang menyelenggarakan lokakarya
pada tanggal 15 Agustus 1988. Surya Kencana memilih bentuk demonstrasi dan menampilakan 16 tipe
karakter, serta berupaya memasukkan gerak pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang
disesuaikan dengan rasa gerak Jawa.

Giliran keenam atau terakhir jatuh pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang menyelenggarakan
lokakarya pada tanggal 22 Agustus 1988. Lokakarya bertempat di Fakultas Kesenian Kampus Utara,
dipimpin oleh Bambang Prahendra Pujaswara, dengan menampilkan 15 tipe karakter dalam demonstrasinya.
Demonstrasi tipe-tipe karakter kemudian disusul dengan penampilan sebuah fragmen pendek dengan lakok
Geger Mukadam dipetik dari Serat Rengganis.

Para penggarap tari dari ISI Yogyakarta menitik beratkan pada garapan geraknya, iringan tari, tata busana,
tata rias serta antawecana. Gerak pencak kembang dari Sumatera barat juga telah dimasukkan, bukan hanya
pada adegan perang saja, tapi juga pada ragam-ragam geraknya. Bahasa yang dipergunakan untuk
antawecana atau dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.

Pada pertemuan pada tanggal 16 September 1988 dia Anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta, sultan
menyatakan kegembiraannya, bahwa enam lembaga tari di DIY telah menanggapi dengan baik permintaan
sultan. Karena hasil lokakarya itu baru merupkan hasil awal dari proses penyempurnaan tari Golek Menak,
sultan mengharapkan agar segmen disusul dengan rencana kerja kedua, yaitu pada bulan Maret 1989.

Tetapi sebelum sultan sempat menyaksikan kerja kedua dari Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak yang
akan jatuh pada bulan Maret 1989, sultan mangkat di Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988.
Beberapa minggu kemudian seluruh anggota Tim sepakat untuk meneruskan penyempurnaan tari Golek
Menak, meskipun sultan telah tiada. Maka dalam pagelaran hasil penyempurnaan tari Golek Menak tanggal
17 Maret 1989 itu ditampilkan demonstrasi Wayang Golek Menak serta fragmen dramatari Golek Menak
dengan cerita yang sama, yaitu kelaswara palakrama atau perkawinan antara kelaswara dengan Wong Agung
Jayengrana.
Tim penyempurnaan tari Golek Menak bekerja sesuai dengan petunjuk-petujuk sultan. Tetapi karena
perancangan tata busana seperti yang diinginkan sultan menuntut biaya yang besar, maka tata busana untuk
pagelaran itu masih menggunakan busana yang telah ada dengan tambahan serta modifikasi seperlunya.

Anda mungkin juga menyukai