Anda di halaman 1dari 14

1.

Tari Gambyong

Tari Gambyong merupakan salah satu jenis tarian Jawa klasik yang berasal dari
daerah Surakarta. Tari ini dikembangkan dari tarian Tayub yang biasanya digelar
dalam upacara panen atau ketika proses menanam padi dimulai. Nama gambyong
sendiri diambil dari nama penari terkenal pada masa itu yaitu Sri Gambyong yang
sangat mempunyai keluwesan dalam menari dan memiliki suara yang sangat
merdu.Kepopuleran Sri Gambyong kala itu sampai ke telinga raja kasultanan. Ketika
itu Sri Gambyong membawakan tarian Tayub yang disaksikan oleh Raja Pakubuwono
IV di lingkungan keraton Surakarta, dan sejak saat itulah tari Tayub yang dibawakan
Sri Gambyong diberi nama sebagai Tari Gambyong.

Seiring dengan perkembangan jaman, tari Gambyong yang tadinya ditampilkan


untuk upacara menanam padi, beralih menjadi suguhan dalam beberapa upacara
ataupun acara adat. Setelah masuk ke dalam area Keraton, tari Gambyong dijadikan
sebagai tarian hiburan yang disuguhkan dalam penyambutan tamu kehormatan oleh
Kerajaan. Selain itu, tarian ini juga dipergunakan dalam pertunjukan-pertunjukan
khas Jawa lainnya seperti upacara pernikahan, khitanan, atau acara adat yang lainnya.
Karena dikenal sebagai tarian yang khas dengan kelemahlembutannya, tarian ini juga
merupakan wujud gambaran masyarakat Jawa yang mempunyai perilaku yang
terkenal lemah dan lembut.
Dengan banyaknya ketertarikan tersebut, tarian ini terus mengalami inovasi.
Beberapa pengembangan terus dilakukan hingga menghasilkan beberapa tarian
gambyong lainnya. Tarian tersebut adalah Gambyong Sala Minulya, Gambyong
Gambirsawit, Gambyong Ayun-Ayun, Gambyong Mudhatama, Gambyong
Dewandaru, dan Gambyong Campursari.

Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gendhing pangkur . Secara umum,
Tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu: awal, isi, dan akhir atau dalam istilah
tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur
beksan.

Yang menjadi pusat dari keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan,
tubuh, dan juga kepala. Gerakan kepala dan juga tangan yang terkonsep adalah ciri
khas utama tari Gambyong. Selain itu pandangan mata selalu mengiringi atau
mengikuti setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan juga
merupakan hal yang sangat dominan . Selain itu gerakan kaki yang begitu harmonis
seirama membuat tarian gambyong indah dilihat. Teknik gerak, irama iringan tari dan
pola kendhangan mampu menampilkan karakter tari yang luwes, kenes, kewes, dan
tregel.

Busana pada tari gambyong identik dengan warna hijau dan kuning sebagai simbol
kesuburan dan kemakmuran. Para penari yang menyuguhkan tarian ini harus
mengenakan pakaian khas Jawa syarat utamanya. Kostum khusus tersebut berupa
kebaya kemben dengan bahu terbuka dan menggunakan kain panjang bermotif batik
untuk bawahannya. Kain ini biasa dikenal dengan masyarakat Jawa sebagai Kain Jarik
atau Jarit. Selain pakaian yang khas, para penari juga dilengkapi dengan selendang
yang dipakai di atas bahu sebagai pelengkap tarian. Biasanya, kain selendang yang
digunakan adalah berwarna khas yaitu kuning keemasan. Untuk dandanan rambut
juga ditata sedemikian rupa sesuai adat khas Jawa yaitu dengan menggunakan
sanggul.

Untuk iringannya tarian ini menggunakan musik khas Jawa yaitu gamelan dan
seperangkat alat musik gong, kenong, kendang, dan gambang. Kendang menjadi
tolak ukur utama dalam tarian ini. Karena kendang dianggap sebagai alat musik yang
paling istimewa yang merupakan panduan bagi para pemusik lainnya untuk
melakukan gerakan atau menghasilkan suara tertentu. Selain alat musik, biasanya
tarian Gambyong juga diiringi dengan lantunan lembut suara sinden sebagai
penyanyinya.
2. Tari Bondan

Tari Bondan Payung atau lebih dikenal dengan sebutan Tari Bondan
merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Surakarta. Dimana
menggambarkan suatu kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Yang menjadikan
ciri khas tarian ini ialah properti yang dipakai, yaitu sebuah payung kertas, kendil,
dan boneka bayi yang digendong menggunakan kain.

Berdasarkan cerita historisnya tarian ini merupakan tarian yang wajib


diperankan oleh para kembang desa untuk mengetahui jati dirinya sendiri. Dengan
melakukan tarian ini, akan terlihat bagaimana mereka sebagai seorang ibu dan
mengurus anak serta suami nya. kebudayaan suku Jawa luas dan amat memukau.
Lalu sebagai seorang istri tidak hanya memiliki wajah yang cantik, tetapi harus bisa
mengasuh, mendidik, memberikan kasih sayang, melindungi anaknya serta dapat
menjadi istri yang baik di mata suami mereka sendiri. Dan juga menceritakan tentang
seorang istri yang ingin bekerja keras dan tidak kenal lelah.

Fungsi tarian ini adalah sebagai tarian upacara dan tarian pergaulan
pertunjukkan atau hiburan. Pada saat pertunjukkannya para penarinya menari
dengan menggendong boneka yang berbentuk bayi dengan satu tangan, sementara
itu tangan yang satunya memegang payung kertas sebagai unsur unsur keindahan
seni tari.

Pada tarian ini lazimnya mempunyai makna yang tersembunyi di setiap


gerakannya. Salah satu aksi yang merupakan ciri khasnya ialah ketika para penari
sedang menari di atas sebuah kendil (periuk). Dan pada saat bersamaan mereka
harus menjaga keseimbangan pada saat menari agar kerdil yang dipijak tidak pecah.
Tidak hanya itu saja para penari juga harus menari seraya berputar-putar di atas
kendil.

Varian Tari Bondan Payung:Tarian Bondan Cindogo menceritakan kasih sayang ibu
kepada anaknya yang kemudian meninggal dunia, dan menghasilkan suasana yang
sedih.Tarian Bondan Mardisiwi menjelaskan kebahagiaan seorang ibu yang pertama
kali dianugerahkan seorang anak.Tarian Bondan Pegunungan atau Tani menjelaskan
kehidupan seorang ibu dimana bukan hanya mengurus anaknya namun juga
membantu suaminya bekerja di sawah.

Penari wajib memakai busana khusus pakaian adat khas seorang gadis desa
Jawa pada saat menari. Bagi Tari Bondan Cindogo dan Bondan Mardisiwi, penari
wajib mengenakan kain yang diwiron, baju kotang, jamang (perhiasan di kepala), dan
beberapa macam properti seperti kain jerek, kendil, payung kertas dan boneka.
Namun bagi penari Tari Bondan Tani, penari umumnya menggunakan topi caping,
menggendong rinjing atau bakul, dan membawa peralatan untuk bertani, yaitu
sambit atau golok. alat musik tradisional Jawa Tengah akan melengkapi gerakan yang
dibuat.

Tari ini tidak hanya mempunyai nilai-nilai artistik saja, akan tetapi terdapat
nilai moral juga di dalamnya yang dapat kita pelajari. Pada akhirnya kita harus tetap
menjaga dan melestarikannya agar tidak hilang di kemudian hari karena
perkembangan zaman. Meskipun tarian ini sudah jarang dipertunjukkan, namun
masih dapat kita lihat di pergelaran budaya saat memberitahukan kesenian
tradisional yang ada di Jawa Tengah.

3. Tari Serimpi

Tari serimpi adalah tarian yang berasal dari Yogyakarta .Tarian klasik ini
menggambarkan suatu kesopanan dan kelemahlembutan .Tarian ini ditampilkan
untuk menyambut tamu dan acara budaya. Asalnya tarian ini bernama Srimpi
Sangopati yang menunjuk pada satu pengertian, yaitu kandidat penerus raja. Tetapi,
kata Serimpi sendiri mempunyai makna perempuan. Opini Dr. Priyono nama Serimpi
bisa dikaitkan ke dasar kata “impi” atau mimpi. Saat menyaksikan tari serimpi,
penonton terbawa alunan musik dan gerak lembut penari sehingga seolah-olah
penonton masuk ke dalam dunia mimpi.

Tarian yang merupakan karya seni tertua di Jawa ini dianggap suci dan sakral
dikarenakan hanya dipentaskan di dalam lingkungan keraton sebagai kegiatan ritual.
Tari serimpi mengandung empat komposisi yang mana melambangkang empat unsur
yang ada di dunia dan juga melambangkan empat mata angin. Unsur tersebut
meliputi, toya (air), grama (api), bumi (tanah) dan angin (udara). Gerakan dalam Tari
serimpi ini didominasi oleh gerakan tangan, kaki, dan kepala. Walaupun dulunya
merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan di dalam Keraton Yogyakarta saja,
namun Tari Serimpi ini mulai dikenalkan ke masyarakat luas. Dalam
perkembangannya, tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti
penyambutan tamu besar dan acara budaya diYogyakarta..

Tarian Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul


Layar ,Serimpi Dhempel dan Serimpi Genjung . Untuk Kesultanan Surakarta , Serimpi
digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan. Salah satu jenis
tari Serimpi yang lain adalah Serimpi Renggawati yang dipentaskann oleh lima orang,
yakni empat penari ditambah dengan satu penari sebagai putri Renggawati. Adapun
kisah yang diceritakan adalah kisah Angling Dharma,seorang putra mahkota yang
masih muda dan terkena kutukan menjadi burung mliwis .Dia akan dapat kembali ke
wujud semula jika badannya tersentuh oleh tangan seorang putri cantik jelita (putri
Renggawati). Semua peristiwa ini dicerminkan dalam tari-tarian yang digelar oleh
para penari serimpi Renggawati yang diakhiri dengan sebuah kebahagiaan.

Bentuk kreasi baru dari Tari Serimpi Yogyakarta ini diantaranya adalah Tari
Pondelori dan Among beksa. Pada kreasi Tari Serimpi Pondelori ini bertemakan
sebuah pertengkaran dua orang dewi yang memperebutkan cinta seorang pangeran.
Tarian ini biasanya dipentaskan oleh empat orang yang di bagi dua dan memerankan
dua dewi tersebut. Sedangkan Among baksa dipentaskan oleh delapan orang penari
dengan mengambil tema menak.
Dalam pagelaran, tari serimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari
Bedhaya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja.

Selain gerakannya yang gemulai dan lemah lembut, penari serimpi ini juga terlihat
cantik dan anggun dengan dandanan khas Jawa dan busana yang dikenakannya. Pada
zaman dahulu, busana yang digunakan berupa pakaian pengantin putri Yogyakarta.

Busananya yaitu baju tanpa lengan berwarna cerah dan kain jarik (kain batik
bermotif). Kepala penari menggunakan rambut gelungan yang dihiasi dengan bunga
dan hiasan kepala bulu burung kasuari. Tidak hanya itu, untuk mempercantik
penampilan, ditambahkan pula beberapa aksesoris seperti gelang, kalung dan anting.
Dan yang tidak kalah penting yaitu selendang yang diikatkan di pinggang serta keris
yang diselipkan di bagian depan menyilang ke kiri.Ada juga yang menggunakan pistol.

Selain busana dan aksesoris, tari serimpi diiringi dengan gamelan khas Yogyakarta.
Ketika penari keluar dan masuk, penari akan diiringi dengn gendhing sabrangan.
Kemudian dilanjutkan dengan gendhing ageng atau gendhing tengahan dan gendhing
ladrang. Pada saat adegan perang, penari akan diiringi ayak-ayakan dan srebengan.
Adapun iringan musik untuk tari Serimpi adalah mengutamakan paduan suara
gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.

4.Tari Bedaya Ketawang

Tari Bedaya Ketawang adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan
ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Surakarta (upacara peringatan
kenaikan tahta raja).Tari ini berasal dari Surakarta,Jawa Tengah. Nama Bedhaya
Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana.
Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran,
dan kemuliaan. Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena
menyangkut ketuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak
Tuhan yang maha Esa.

Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai
hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam
suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan
asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram . Semuanya diwujudkan
dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan
lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang
mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara kanjeng ratu Kidul
kepada sang raja.Menurut kepercayaan masyarakat, setiap pertunjukan Tari Bedhaya
Ketawang ini dipercaya akan kehadiran kangjeng ratu kidul hadir dan ikut menari
sebagai penari kesepuluh.
Pada pertunjukkan Tari Bedaya Ketawang diiringi oleh iringan musik gending
Ketawang gefhe dengan nada pelog . Instrumen yang digunakan diantaranya adalah
kethuk , kenong, gong, kendang dan kemanak. Instrumen-instrumen tersebut selain
dianggap juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah kendang Ageng
bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar ,dua buah rebab bernama
Kanjeng Kyai Gerantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sebuah gong Ageng bernama
Kamjeng Kyai Kemitir. Ada paun gending penggiring adalah Gendang Ketawang
Gedhe bernama pelog.

Di tengah tarian nada gendhing berganti menjadi slendro selama dua kali . Setelah
itu nada gendhing kembali lagi ke ada pelog hingga tarian berakhir . Selain diiringi
oleh musik gendhing ,Tari Bedaya Ketawang diiringi oleh tembang (lagu) yang
menggambarkan curahan hati Kanjeng ratu Kidul kepada sang raja . Pada tarian
pertama tarian diiringi dengan tembang Durma . Kemudian dilanjutkan denagan
Ratnamulya . Pada saat penari masuk kembali kedalam Ageng
prabasuyasa ,instrumen musik ditambahkan dengan gambang , rebab, gender, dan
suling untuk menambah keselarasan suasana .

Busana yang digunakan pada tarian ini adalah busana yang digunakan oleh para
pengantin perempuan Jawa yaitu Dodot Ageng atau biasa disebut basahan. Pada
bagian rambut menggunakan Gelung Bokor Mengkurep. Untuk aksesorisnya
perhiasan yang digunakan diantaranya adalah centhung ,Garudha mungkur, sisir
jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang dikenakan
pada gelungan , memanjang hingga dada bagian kanan.Busana penari Bedaya
Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna
hijau.

Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya.
Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika
sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta
izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di panggung
Sangga Buwana Keraton Surakarta Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal
ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.
Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng
Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada
saat latihan berlangsung.
5.Tari Kuda Lumping

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional
Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini
menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang di anyam dan
dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau
sejenisnya yang di gelung atau di kepang. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan
kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan
prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan
atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling
dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari
pagelaran tari reog.

Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang menyebutkan,
bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah seorang pasukan pemuda cantik
bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki
sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan bantarangin melawan pasukan
penunggang babi hutan dari kerajaan lodaya pada serial legenda reog abad ke 8.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan
semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri.
Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan
anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah
kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca,
dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada
zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non
militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian
yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto
Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari.
Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti
alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami
kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena
kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan
dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus
menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam
setiap pagelaran selalu hadir para warok, yaitu orang yang memiliki kemampuan
supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam bergaris
merah dengan kumis tebal. Para warok ini akan memberikan penawar hingga
kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.Pada fragmen selanjutnya,
penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe. Pada fragmen
terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita
membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh
rangkaian atraksi tari kuda lumping.Musik tradisional mengiringi tarian tersebut yaitu
Gong, kenong, gendang, dan terompet berpadu menjadi alunan musik yang selaras
dan harmoni.

6. Tari Beksan Wireng

Beksan Wireng merupakan salah satu tarian tradisional Jawa Tengah yang sangat
tua. Bahkan tarian ini sebenarnya telah ada sejak abad ke-11. Tarian adiluhung
bersumber dari Keraton Jawa yang lestari di Kasunanan Surakarta & di Pura
Mangkunegaran. Ada yang berpendapat bahwa istilah Wireng berasal dari gabungan
dua kata yakni “Wira” atau perwira dan “Aeng” yang berarti prajurit yang unggul.
Ketika merujuk pada P.M Rono Suripto, kata Wireng juga berasal dari kata “wira”
yang artinya perwira atau prajurit. Adapun akhiran “ing” hanya difungsikan sebagai
penyangkat. Sementara itu, istilah Beksan berasal dari kata baksa, babaksan,
ababaksan yang berarti menari . Jadi, Beksan Wireng berarti tarian yang mengusung
tema tentang oleh kaprajuritan, perang dan kepahlawanan.

Tari Beksan Wireng di Mangkunegaran banyak macamnya karena sebagian besar


periode pemerintahan turut menciptakan variasinya sendiri. Meskipun begitu, jika
ditinjau dari struktur penyajian, tari ini selalu disajikan dengan pola yang hampir
sama.

Tarian ini hanya menceritakan olah keprajuritan dan tidak mempunyai cerita
tertentu. Tarian ini diciptakan oleh Prabu Amiluhur dengan tujuan agar sang putra
beliau aktif dalam mengolah keprajuritan dengan memanfaatkan persenjataan
perang serta cinta kepada negeri. Dalam menari penari membawa sebuah tombak
dan tameng dengan berkembangnya zaman, tarian ini terbagi menjadi 6 jenis yaitu
Panji Sepuh, Panju Anem, Dhadap Kanoman, Jemparing Ageng, Lhawung Ageng dan
Dhadhap Kreta.

Biasanya tarian ini ditarikan oleh laki-laki dan menggunakan kostum bak seorang
prajurit. Tari ini dibawakan oleh 2 orang penari yang berpasang dan semuanya
merupakan laki-laki. Penari menggunakan busana dan gerakan yang sama atau
kembar. Tarian ini tidak memiliki dialog atau ontowacono serta tanpa
menggambarkan suatu cerita tertentu. Tarian ini hanya menggambarkan olah
keprajuritan dan perang tanding namun tidak ada yang kalah atau menang yang
mencerminkan gagah dan perkasa seperti seni bangunan Indonesia. Tari ini tidak
menggunakan gendung sampak, hanya iramanya kendho, gendung satu yang artinya
Gendhing Ladrang kemudian diteruskan Gendhing Ketawang.

Tari Beksan Wireng yang terdapat di beberapa karya sastra Beksan Wireng dalam
Serat SastrawirudaSerat Sastrawiruda merupakan karya sastra jawa berhuruf Jawa
yang diterjemahkan oleh Kamajaya, yang berisikan wawancara Kanjeng Pangeran
Arya Kusumadilaga (seorang dalang yang ahli dalam wayang pura) dan muridnya
yang bernama Mas Sastramiruda. Tarian ini menitik beratkan pada keterampilan
dalam memainkan keris dan andhadap (menari dan memegang perisai) diiringi oleh
Gamelan Slendro.
7. Tari Ketek Ogleng

Tarian tradisional yang satu ini bernama Kethek Ogleng berasal dari bahasa Jawa
yang bila diartikan ‘kethek’ adalah kera. Sedangkan Ogleng diambil dari suara bunyi
yang melatar belakangi tarian ini yang seperti berbunyi Ogleeeng… Ogleeeng….Tari
Kethek Ogleng berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah. Asal usulnya tarian ini
menceritakan Raden Gunung Sari yang menjelma menjadi kera, dan berusaha
mengelabui musuhnya.
Maka dari itu, penarinya pun selalu bertopeng kera dan menirukan gerakan-
gerakan kera, tidak ada gerakan khusus untuk tarian ini, penari hanya menikmati
alunan musik dan menari layaknya seekor kera. Gerakan-gerakan tarian kethek
ogleng tidak baku dan kaku, malah terkesan atraktif dan akrobatik. Penari pun bebas
melakukan improvisasi, misalnya, dengan mengajak penonton menari dan bercanda
bersamanya. Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan
gerak-gerik sekelompok kera putih. Dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,
kebersamaan, semangat, kelucuan dan atraktif.

Bagi masyarakat Wonogiri, kesenian kethek ogleng difungsikan sebagai kesenian


rakyat pasca panen atau hiburan pada saat pesta hajatan, khitanan, nadzar setelah
sembuh dari sakit atau ketika berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan. Kesenian
Kethek Ogleng sendiri biasanya akan tampil dalam beberapa acara festival.

Dalam setiap pertunjukan tarian ini, akan ada 4 orang penari. 3 penari perempuan
dan penari laki-laki hanya 1 orang. Sama halnya dengan kota-kota atau daerah
lainnya di Indonesia, Kediri juga memiliki tarian khas. Tidak hanya terkenal dengan
wisata alamnya saja yang banyak, tapi juga wisata kuliner, kesenian dan budayanya.

Dalam gerakan tari atau kesenian Kethek Ogleng, cerita yang digambarkan.
Dengan masuknya manusia kera ke dalam panggung dan berjumpa dengan Endang
Rara Tompe yang merupakan Dewi Sekartaji dalam penyamaran. Pada gerakan
manusia kera yang berguling dan melompat juga akan diperlihatkan.
Menggambarkan sebuah persahabatan yang sangat akrab. Sedangkan di akhir tarian,
Endang Rara Tompe akan menaiki manusia kera dan berakhir dengan bersatu. Kedua
dayang akan merangkul tubuh Dewi Sekartaji.

Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa, alat perkusi tradisional dan


penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.

Anda mungkin juga menyukai