Anda di halaman 1dari 5

QADARIYAH

1. Sejarah Munculnya Qadariyah

Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan.[18])Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[19]) Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini,
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[20])

Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani
Umayyah yang dianggapnya kejam.

Tak dapat diketahui dengan pasti kapan faham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi
Islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariyah pertama kali
dikenalkan oleh Mabad Al-Juhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi.Keduanya memperoleh
pahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak.Sedangkan menurut Ali Sami bahwa
Mabad Al-Juhani sebagian besar hidupnya tinggal di Madinah, kemudian menjelang akhir
hayatnya baru pindah ke Basrah.Dia adalah murid Abu Dzar Al-Ghiffari, musuh Utsman dan
Bani Umayyah.Sementara Ghailan Al-Dimasyqi adalah seorang Murjiah yang pernah berguru
kepada Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah.[21])

Mabad Al-Juhani adalah seorang Tabii yang baik.Tetapi ia memasuki lapangan politik dan
memihak Abd Al-Rahman Ibn Al-Asyari, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani
Umayyah.Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj, Mabad mati terbunuh dalam tahun 80 H.

1. Perkembangan Qadariyah

Setelah Mabad mati, Ghailan terus menyiarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi
mendapat tantangan dari Khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz. Setelah Umar wafat, ia meneruskan
kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Abd Al-Malik
(724 743 M). Sebelum dijatuhi hukum bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan Al-
AwzaI yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.[22]

1. Para Pemuka Qadariyah dan Doktrin-doktrinnya

a) Ajaran Mabad Al-Juhani

Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab
atas segala perbuatannya. Tuhan samasekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia,
bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia kecuali setelah
perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.

b) Ajaran Ghailan Al-Dimasyqi

1) Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan
buruk tanpa campur tangan Tuhan. Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya,
sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2) Al-Quran itu makhluk.

3) Allah tidak memiliki sifat.

4) Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada
Al-Quran dan As-Sunnah.[23])

c) Ajaran An-Nazzam

Manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

1. Dalil-dalil Qadariyah

Banyak ayat-ayat yang dapat mendukung kepada faham Qadariyah umpamanya :

Artinya :Dan Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.

(Q.S. Al-Kahfi [18] : 29)

Artinya :

Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu
berkata: Darimana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu

(Q.S. Ali Imron [3] : 165)

Artinya :

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768]
[768]
Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka.

(Q.S. Ar-Rad [13] : 11)

Artinya :Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk


(kemudharatan) dirinya sendiri

(Q.S. An-Nisa [4] : 111)


ALIRAN JABARIYAH

A. PENGERTIAN JABARIYAH
Sebelum kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran
Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri, baik secara
etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa
Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. (Abdul Razak,
2009 : 63).
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan
suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur
keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa
nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan
kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-
Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam
keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau
Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh qadha dan qadar Allah. (Harun Nasution, 1986 : 31)
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur
keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha dan qadar
Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri
dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan
bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu
diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai
dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan
bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan
luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.

B. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN JABARIYAH


Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
faktor. Antara lain :
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa
keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan
Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah.
Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain
politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa
pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan
"Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya
golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin
Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula
mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua
perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut
sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama
mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang
yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat
Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah
dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah
namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris
kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut.
Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam
As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang
seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap
adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa
adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan
mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan
mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah
adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah
berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena
terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2. Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh
besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang
ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa
Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.

C. TOKOH-TOKOH SERTA DOKTRIN AJARAN


1. Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh
pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya :
a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh
Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.
b. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat
125 dari surat An-Nisa.
2. Jahm bin Shafwan
Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan
dengan Bani Ummayah. Pendapat-pendapatnya:
a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal
sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga
mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat
nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana
belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
b. Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman
itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka
tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini,
sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak
berbeda tingkatnya.
c. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada
manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak
diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau
mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu.
Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku,
Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata
dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.

D. CIRI-CIRI AJARAN JABARIYAH


Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya
baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama
penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah

E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH


Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari
bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang
ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia
terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan
yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin.
Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka
mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak
bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan
manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa
semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan
rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan
menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak
mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan
melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa
dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa
yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu
mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena
kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu
saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena
apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu
dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa
keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia
mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.

Anda mungkin juga menyukai