Anda di halaman 1dari 16

Siapakah Ja’d bin Dirham?

Tidak banyak referensi yang mengungkap seluk-beluk Ja’d bin Dirham. Kitab-
kitab yang ada tidak menyinggungnya, kecuali sebatas yang berkaitan dengan
bid’ah yang dilahirkannya.
Rujukan yang ada menyatakan, ia seorang maula (bukan Arab asli, mantan budak).
As Sam’ani, Az Zabidi dan Ibnul Atsir secara jelas menyatakan bahwa ia adalah
maula Suwaid bin Ghafiah bin Ausajah Al Ju’fi.

Ibnu Katsir berpendapat, asal usul Ja’d bin Dirham ialah dari Khurasam, Persia.
Kelahirannya tidak diketahui. Kalau bukan karena bid’ah yang diusungnya, sudah
tentu ia tidak menjadi populer. Sejak kecil, tokoh kesesatan ini tumbuh dalam
komunitas yang buruk, yaitu Jazirah Furat. Dalam hal ini, Al Harawi mengatakan:
“Adapun Ja’d, ia orang Jazari tulen. Penisbatan ini mengacu kepada daerah nama
Jazirah, yang terletak antara sungai Dajlah (Trigis) dan Furat (Eufrat), tepatnya di
distrik Harran.”

Sebelum Islam datang, Harran adalah sentral kaum Shabiah musyrikin dan kaum
filosif, yang merupakan sisa-sisa penganut ajaran Namrud dan kaum Kan’aniyyun,
yang juga menganut perganisme. Mereka adalah para penyembah bintang. Di sana
ada sekian tugu sesembahan yang mereka bangun, misalnya, seperti: Al Illah Al
Ula, Al Aqlul Awwal, An Nafsu Al Kulliyyah, Az Zuhrah, Uthraid dan Al Qamar.

Demikian aliran kepercayaan penduduk negeri Harran sebelum datang agama


Nashara yang kemudian disusul oleh Islam. Keberadaan kaum Shabiah dan kaum
filosod masih tersisa, meski Islam telah datang.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kabarnya, ia (Ja’d) termasuk penduduk Harran.


Darinyalah Jahm bin Shafwan mengambil pemikiran aqidah yang menafikan

1
(meniadakan) sifat Allah. Di distrik Harran, para tokoh Shabiah, para filosof
berccokol. Mereka ini adalah orang-orang musyrik. Mereka menafikan sifat dan
perbuatan Allah. Ja’d telah mengadopsi perkataan-perkataan mereka, kaum filsafat
dan Shabiah, untuk kemudian menggagas aqidah yang ia yakini Ja’d mengatakan,
‘Sesungguhnya Rabb tidak memiliki sifat kecuali sifat yang buruk,’.”

Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad: Dikabarkan bahwa ia (Ja’d) berasal
dari penduduk Harran. Darinyalah, Jahm bin Shafwan mereguk madzhab
orang-orang yang menafikan sifat Allah. Di sana, terdapat para tokoh Shabiah,
filosof, dan sisa orang-orang yang menganut paganisme, yang menafikan sifat
Allah dan perbuatan-perbuatannya.

Di kampungnya, ia mulai menebarkan racun bid’ahnya. Di antara orang yang


terpengaruh dengan racun bid’ahnya ialah Marwan bin Muhammad yang pada
gilirannya ia akan menjadi khalifah terakhir Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia
sampai dikenal dengan sebutan Marwan Al Ja’di. Sebab Ja’d pernah berperan
sebagai guru dan penasehatnya, saat Marwan menjabat gubernur Al Jazirah di Irak
di bawah Hisyam bin Abdul Malik. Aqidah gurunya meresap, seperti
pernyataannya bahwa Al-Quran adalah makhluk. Kedekatan Ja’d dengan sang
gubernur sangat membantu penyebaran aqidahnya yang sesat itu.

Kemudian ia merangsek menuju kota Damaskus, ibukota pemerintahan pusat saat


itu. Ia ingin menjadikannya ladang kedua untuk menyebarkan aqidah sesatnya. Di
hadapan ulama sekalipun, Ja’d tidak segan untuk “menawarkannya”. Bahkan
menarik mereka untuk masuk dalam perdebatan.

2
Ulama yang bernama Wahb bin Munabbih pernah didatangi. Ja’d melontakarkan
pertanyaan tentang sifat-sifat Allah Azza Wa Jalla. Maka Wahb bin Munabbih
menukas,

“Celaka engkau, wahai Ja’d. Urungkan untuk bertanya tentang itu. Aku khawatir
engkau akan menjadi orang yang binasa. Seandainya Allah tidak memberitahukan
kepada kami dalam kitab-Nya, bahwa Dia mempunyai tangan, maka kami tidak
akan mengatakannya…” emudian beliau menyebutkan sifat-sifat Allah lainnya.

Perdebatan yang ia sulut ternyata hanya menjadi bumerang bagi dirinya. Alih-aih
membantu penyebaran pemikiran miringnya, akan tetapi justru semakin
membongkar kedok kejahatan agama yang diinginkannya. Sehingga dirinya
diajukan kepada Khalifah. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam
bin Abdil Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap ahli bid’ah.

Ibnul Atsir menceritakan tentang kronologis terbongkarnya kedok Ja’d, sehingga ia


menjadi buronan Khalifah dengna berkata, ‘Telah tersebar berita bahwa Ja’d zindiq
(kufur). Maimun bin Mihran pun telah menasihatinya, tetapi justru Ja’d
membantahnya dengan mengatakan, ‘Aliran Syah Qubadz lebih aku cintai
daripada agama yang engkau anut (Islam)’, kemudian Maimun bersaksi di hadapan
Khalifah tentang ucapannya itu, hingga akhirnya urusan Ja’d diserahkan kepada
Khalid Al Qasri untuk dibinasakan’.

Kelompok dan Faham Jabariyah

Tampaknya setiap aliran memilki faham yang mereka anut dan mereka jalankan
sesuai dengan keyakinan mereka. Meskipun sebuah aliran sudah tidak ada, namun
faham-faham aliran tersebut masih terus bergulir saling mempengaruhi dari

3
generasi ke generasi. Meskipun secara jelas aliran jabariyah ini sudah hampir tidak
dijumpai lagi, namun faham-fahamnya masih ada. Sejalan dengan faham jabariyah
ini adalah faham Fatalism. Disamping itu juga ada beberapa golongan yang
memilki pemahaman yang serupa dengan jabariyah, dan dalam jabariyah itu
sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok :

1. Kelompok moderat

Faham moderat ini dipelopori dan di bawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-
Najjar Nama lengkapnya adalah Husain Bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H).
Para pengikutnya disebut dengan An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Kata al-
Najar, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik perbuatan
baik maupun perbuataan jahat. Meski demikian manusia memilki andil dalam
perbuatan-perbuatannya. Tenaga yang diciptakan-Nya memilki efek untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang disebut
usaha, kasb atau acquition. Senada dengan faham ini adalah fahamnya Dirar Ibn
‘Amr ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakekatnya
diciptakan Tuhan, dan diperoleh (acquired, iktasaba) pada hakekatnya oleh
manusia.
Dalam faham yang dibawa Dirar dan al-Najjar ini manusia tidak lagi
merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia telah mempunya bagian
dalam perwujudan perbuatan-perbuatannya. Menurut faham ini, manusia dan
Tuhan bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia
semata-mata tidak dipaksa dalam dalam melakukan perbuatan-perbuatannya.
Faham kasb yang dibawa Dirar dan al-Najjar merupakan faham penengah dari

4
faham Qadariyah yang dibawa Ma’bad serta Ghailan dan faham Jabariyah yang
dibawa oleh Jahm.

2. Kelompok ekstrem

Faham ekstrem ini lah yang dibawa oleh jahm bin shafwan, Nama lengkapnya
adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, ia seorang da’i
yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Haris Bin Surais.
Seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia
ditawan lalu dibunuh secara politis tanpa kaitannya dengan agama.
Jahm bin shafwan selain penggerak gerakan jabariyah, juga seorang pemimpin
yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mempunyai sifat-sifat menurut Jahm,
Tuhan hanya memilki Zat saja. Jahm berkata tidak layak tuhan itu disipati oleh
sifat-sifat yang dipakai untuk mensifati makhluknya. Kaum jabariyah ekstrem ini
berpendapat bahwa manusia tidak memilki kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Nama Jabariyah sendiripun diambil dari kata Jabara yang
mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham yang
memandang bahwa manusia dalam mengerjakan perbuatanya terpaksa (majbur)
dalam istilah Inggris faham ini disebut
faham fatalism atau predenstination. Perbuatan-perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Allah.
Menurut Jahm manusia tidak memilki kekuasaan untuk berbuat apa-apa,
manusia tidak mempunyai daya, tidak memilki kehendak sendiri dan tidak
mempunyai kekuasaan serta tidak memilki pilihan. Manusia dalam perbuatan-
perbuatannya adalah dipaksa dengan dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
5
pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam diri manusia, tak
obahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh
karena itu manusia berbua bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti
majazi atau kiasantak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak,
maahari terbit dan sebaginya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti
menegrjakan kewajiban, menerima pahala dan menerima siksaan.
Menurut faham ekstrem ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya. Kalau seorang mencuri, umpamanya, maka perbuatan mencuri itu
bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena kada dan kadar
Tuhan menghendaki yang demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukanlah
kehendaknya sendiri, tetapi Tuhan lah yang memaksa ia mencuri. Manusia, dalam
faham ini hanya merupakan wayang yang digerkan oleh sang dalang. Sebagaimana
manusia digerakan oleh Tuhannya. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak bisa
berbuat apa-apa.

Pertanyaan-Pertanyaan kepada Jabariyah dan Jawabannya

Dalam dialektika keilmuan, beradu argument dalam rangka mempertahankan


pendapat dan membuka diri untuk dapat dikritik merupaka sebuah tradisi. Mereka
tidak menutup diri dari kritik, hanya yang belum berpendirian teguhlah yang belum
berani terbuka. Hal ini dibuktikan mislanya pada tradisi dialektika masa filsuf
yunani. Disamping itu pula dalam dunia teologi Islam, saling serang menyerang

6
argument adalah hal yang biasa. Di bawah ini ada beberapa pertanyaan yang
dilontarkan kepada Jabariyah dan bagaimana mereka menjawabnya.
Sebelum memualai pada pertanyaan dan jawaban mereka, alangkah lebih baik
diketahui terlebih dahulu bagaimana jalan pikiran Jabariyah dalam soal-soal
keimanan lainnya. Di bawah ini akan diuraikan alam pikiran Jabariyah:
1. Apa yang diperbuat itu adalah atas qudrat dan iradat Allah semata, tanpa campur
tangan manusia sedikitpun. Tetapi dengan faham ini tidak berarti bahwa Jabariyah
menganggap semua kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah itu sia-sia saja,
dan juga mereka tidak menganggap bahwa balasan-balasan Tuhan atas kejahatan
manusia itu sebagai kezhaliman.
2. Ahli Jabariyah tidak mendustakan utusan-utusan Allah dan tidak juga
membebaskan diri dari semua larangan-larangan Allah. Dari sini teranglah bahwa
Jabariyah tidak sama dengan kaum Musyrikin yang menentang kewajiban dan
larangan Allah dengan menggunakan alasan: jika Allah tidak menghendaki kami
menjadi kaum Musyrikin, niscaya tidak akan menjadi orang Musyrikin.

Setelah mengetahui alur pikiaran, maka timbullah beberapa pertanyaan yang


ditujukan pada mereka diantaranya: Kalau pedapat ahli Jabariyah seperti yang
disebutkan diatas, maka apakah artinya Tuhan mengutus Rasulnya dan
menurunkan Qur’an yang penuh dengan perintah, larangan, janji dan ancaman?
Tidaklah itu menajadi sia-sia belaka? Jabariyah menjawab semuanya itu tidak sia-
sia, karena semuanya itu pun untuk menjalankan qadar Allah juga terhadap orang-
orang yang ta’at dan orang-orang yang maksiat. Keadaan itu tidak bedanya dengan
Tuhan menurunkan hujan. Jika hujan itu jatuh di atas tanahyang subur tentu akan
menyuburkan dan akan menumbuhkan macam-macam tumbuhan atas izin dan
kekuasaan Allah SWT. Sedangkan sebagian hujan yang lain jatuh di atas tanah
yang tandus karena sudah ditakdirkan Allah demikian.
7
Demikian pula Allah menerbitkan matahari, yang dengan sinarnya
berpencerlah faedah dan kemanfaatan yang tidak erbilang banyaknyabagi
kehidupan manusia dan langsungnya hidup alam fana ini. Tidak bedanya dengan
hal itu Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus Rasul-rasul Nya yang dipilih
dari hamba-hamba Nya, bagaikan hujan dan matahari yang penuh dengan rahmat
dan hikmah. Bilamana hikmah dan pengajaran Rasul-rasul Nya itu kebetulan
sampai kepada oarng yang hatinya telah dibukakan Allah untuk menerimanya
niscaya segeralah ia menangkap dan menerima ajaran-ajaran yang mengandung
hikmah itu.
Sebaliknya bila ajaran-ajaran itu jatuh kepada orang-orang yang memang
hatinya tidak bersedia menerimanya, sudah tentu ia tidak akan suka menerimanaya,
malahan ia lari dan benci terhadap ajaran-ajaran yang amat tinggi nilainya itu.
Sedangkan dakwah itu seolah-olah suatu kewajiban yang ditaklif (diwajibkan),
tetapi pada hakekatnya merupakan merupakan kewajiban untuk membuktikan
ketaatan mereka yang sangat taat, dan perintah Tuhan bagi orang-orang maksiat
itu, adalah sebagi perintah memperolok-olok saja, atau untuk menjadi bukti akan
kelalaian dan pembangkangan mereka.
Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan dakwah perintah-perintah
Tuhan, kepada seluruh manusia. Dengan begitu maka mereka tidak ada alasan
untuk mengingkari adanya kewajiabn - kewajiban itu. Kalu kitab-kitab itu tidak
diturunkan Allah dan Allah tidak mengutus utusan yang menyampaikan dakwah
itu, mungkin timbul perdebatan kalau seandainya kami menerima menerima
ajaran-ajaran itu, tentu kami akan iman dan akan lebih sempurna iman kami dari
pada mereka yang sudah beriman sekarang.
Demikianlah, maka dengan telah diturunkannya kitab-kitab Allah dan
diutusnya Rasul-rasul itu, akan ternyata kelak bahwa merek melakuakan kejahatn
dan tidak suka tunduk kepada ajaran Rasul –rasul itu harus memilki konsekwensi
8
atas perbuatannya sendiri dan tidak akan melemparkan pertanggung jawaban itu
kepada Rabb al-Alamin.
Seperti di atas juga telah disebutkan bahwa orang tidak perlu memperkatakan
mengapa si A dijadikan baik sedang si C dijadikan jelek, atau mengapa si B
menjadi orang yang sedang-sedang. Sebab persoalan ini merupakan persoalan yang
berputar bagaikan lingkaran yang tiada berujung dan berpangkal. Sebab walaupun
pekerjaan itu baik toh masih akan ditanya juga sebab mengapa diperbuat baik,
tidak diperbuat yang jelek saja. Allah SWT Tuhan semesta alam pencipta dan
pengatur alam, lebih baik berhak untuk mengerjakan dan menunjukan kekuasaan
Nya di alam yang luas ini menurutkehendak dan kemauan Nya.
Manusia tidak berhak untuk menyanggah apa yang telah ditentukan dan
ditetapkan serta diperbuat Allah, tetapi Allah berhak menuntut dan mengadili apa
yang diperbuat oleh manusia. Sebab akal manusia tidak akan sanggup mencapai
ilmu Allah, dan hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui hikmah-hikmah yang
lebih dalam tentang apa-apa yang dijadikan Nya. Demikianlah, semua yang telah
diuraikan di atas, adalah uraian singkat tentang sekelumit Jabariyah.

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia berasal dari
Khurasan, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai
sekretaris Haris Bin Surais. Seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani
Umayyah di Khurasan. Ia ditawan lalu dibunuh secara politis tanpa kaitannya
dengan agama.
Sebagai penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan
Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan dengan teologi adalah sebagai
berikut:
9
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm
tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang
surga dan neraka, konsep iman, kalam Allah, meniadakan sifat Allah (nahyu as-
sifat), dan melihat Allah di akhirat.

2. Surga dan neraka itu tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Allah SWT.

3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya
sama dengan konsep iman yang dimajukan oleh kaum Murji’ah.

4. Al-Qur’an adalah Makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan
seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu juga Allah tidak dapat dilihat
dengan indera mata di Akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan aliran
Murji’ah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkeritik dan
sejarawan menyebutkan dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i, dan Al-Asy’ri.

B. alja’d

Al-Ja’d adalah seorang Maulana Banu Hakim, tinggal di Damaskus. Ia


dibesarkan di dalam lingkungan orang-orang Kristen yang senang membicarakan
tentang teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintahan
Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontriversial, Bani
10
Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu
dengan Jahm, serta mentrasfer fikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan
disebarluaskan.
Dokrin pokok Ja’d secara umum sama dengan fikiran Jahm. Al-Ghuraby
menjelaskannya sebagai berikut :

1. Al-Qur’an itu makhluk. Oleh karena itu, Al-Qur’an adalah sesuatu yang baru.
Sesuatu yang baru itu tidak bisa disifatkan kepada Allah SWT.

2. Allah tidak mempunyai sifat yang sama atau serupa dengan makhluknya, seperti
berbicara, mendengar, dan melihat.

3. Manusia terpaksa oleh Allah SWT dalam segala hal.

Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Allah


memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik ataupun perbuatan
jahat, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (ecquisitin). Menurut teori kasab, manusia tidaklah majbur
(dipaksa oleh Allah), tidak seperti wayang yang dikendalikan sepenuhnya oleh
dalang, dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan oleh Allah SWT.

Dalam Sumber Lain :

11
1. Sejarah Munculnya Aliran jabariyah

Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam.
Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus,
menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan
kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam.
Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara
para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya.
Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau
melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat
(Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah.
Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Umar
menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu
ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk
kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan
perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan
waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah
penyakit, mereka berkata, “Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar
menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain.” Perkataan
Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala
keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya
sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan
manusia (maqdurah).

12
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat
kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada
penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula
oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah
muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir
(mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir
pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh
Ja’ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan.
Ja’ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain
menyatakan bahwa Ja’ad menerimanya dari Aban ibn Syam’an, dan yang terakhir
ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham
Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.

2.Tokoh – tokoh Jabariyah

 Ja’ad Bin Dirham

Ja’ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat
Islam, la seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai
muncul pendapatnya tentang al-Qur’an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini,
ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia
bertemu dengan Jahm ibn Shafwan yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-
nya dan menjadi pengikutnya yang setia.
Sewaktu di Damsyik, Ja’ad menjadi guru Marwan ibn Muhammad, salah seorang
Khalifah Bani Umayah, sehingga Marwan mendapat julukan “al-Ja’dy”. Namun,

13
pada akhir hayatnya Marwan tidak menyukai Ja’ad. la bahkan menyuruh Khalid al-
Qasari untuk membunuhnya. Akhirnya, Ja’ad dihukum pancung oleh Gubernur
Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri pada Hari Raya Idul Adkha.

Pendapat-pendapat Ja’ad Bin Dirham :

1. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan


oleh Alqur’an surat An-Nisa ayat 164.
2. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan-Nya menurut
ayat 125 dari surat An-Nisa.

 Jahm bin Shafwan

Jahm termasuk muslim non Arab (mawali). la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia
tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand.
Ia meninggal tahun 128H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani
Ummayad.

Pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan :

1. a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan


akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat
hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba’ts/dihidupkan
kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk
tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.

14
2. b. Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab
itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan
karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang
lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka
sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
3. c. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan
pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat
itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu
atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki
sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan
Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat
itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
4. Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak
ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam al-Qur’an tidak
berarti kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-
muks). Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula
kekal. Keadaan mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena
tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan
ayat:

(١٠٧) ُ‫ض إِال َما شَا َء َربُّكَ إِ َّن َربَّكَ فَعَّا ٌل ِل َما ي ُِريد‬ ْ ‫س َم َاواتُ َو‬
ُ ‫األر‬ َّ ‫ت ال‬
ِ ‫خَا ِلدِينَ فِي َها َما دَا َم‬
Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki. (QS. Hud: 107)

15
16

Anda mungkin juga menyukai