Anda di halaman 1dari 10

Qadariyah berasal dari kata qadar yang artinya kemampuan dan kekuatan.

Qadariyah percaya bahwa


segala tindakan manusia tidak ditentukan dan diarahkan oleh Tuhan.

Penganut Qadariyah percaya bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta perbuatannya. Ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Qadariyah menekankan kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya.

Tokoh Aliran Qadariyah

Tokoh utama aliran Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailani Al-Dimasyqi. Ma’bad Al-
Juhani adalah tabi;in yang dapat dipercaya tetapi ia memberi contoh yang tidak baik serta berbicara
tentang qadar atau kebebasan berkehendak. Dia pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri. Dia meninggal
pada tahun 80 H, dibunuh oleh Al-Hajjaj karena memberontak bersama Ibnu Al-Asy’ats. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik.

Sepeninggalan Ma’bad kemudian Ghailani Ibnu Muslim Al-Dimasyqi yang dikenal dengan Abu Marwan
menjadi tokoh Qadariyah. Menurut Al-Zirikli, Ghailani adalah seorang penulis yang pada masa mudanya
pernah menjadi pengikut Al-Harits Ibnu Sa;id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah mengatakan
tobat terkait paham Qadariyahnya di hadapan Umar bin Abdulah Aziz tetapi setelah Umar wafat ia
kembali dengan mazhabnya.

Paham al-jabar pertama kali

diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian


disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari

Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam. Jahm


tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran

Jahmiah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah


sekertaris Suraih bin al-Haris dan selalu

menemaninya dalam gerakan melawaan


kekuasaan Bani Umayyah. Namun dalam

perkembangannya, Paham al-jabar juga


dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin
Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirham.

Kaum Jabariyah berpendapat bahwa


apapun yang dilakukan mnusia, semua telah
ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah menetapkan
bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan

menetapkan pahala baginya, begitu pula


sebaliknya Tuhan telah menetapkan manusia

berbuat kejelekan dan menetapkan siksaan bagi

pelakunya. Dengan kata lain, pahala, siksa dan

kewajiban merupakan keterpaksaan, sehingga


manusia bagaikan bulu yang bergerak karena
ditiup angin, diam karena anginnya tidak bertiup.

Adapun paham Qodariyah secara matematis sulit

dipastikan kapan ia mulai muncul. Untuk

menelusuri sejarah paham Qodariyah ini tentu

tidak lepas dari pembahasan paham Jabariyah,

sebagai realitas yang masih terus mewarnai

kehidupan kehidupan manusia dalam bidang

teologi,yang secara pasti sulit kapan paham-

paham tersebut lahir/ada.

Sedangkan Qadariyah berpendapat bahwa

perbuatan manusia merupakan ciptaan dan

pilihan manusia sendiri, bukan ciptaan atau

plihan Tuhan. Hal ini didasarkan atas

kemampuan manusia membedakan antara orang

yang berbuat baik dan berbuat buruk.

Pemikiran kaum Qadariyah lebih

menempatkan akal pada porsi yang superior,

sehingga mengesampingkan yang lainnya,

termasuk takdir Allah. Kehendak akal menjadi

rujukan utama manusia dalam melakukan

kehendaknya, tidak sedikitpun terkait dengan

ketentuan Allah Swt., adapun turunan dari aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga menempatkan

posisi akal sebagai segala-galanya dalam

pemikiran keislaman. Aliran Jabariyah memiliki

pemikiran yang terbalik dari pemikiran

Qadariyah. Mereka cenderung menempatkan

akal di posisi akal pada kedudukan yang inferior.

Dan mendudukkan teks pada posisi tinggi,

bersandar secara mutlak pada ketentuan Allah.

Manusia dianggap tidak memiliki kuasa

sedikitpun dalam menentukan kehendaknya.


Sejarah Qodariyah

Ahli teologi islam menerangkan bahwa

paham Qodariyah pertama kali di kenalkan oleh

Ma'bad Al-Juhani: seorang Tabi'in yang baik dan

temannya Ghailan Al-Dimasqi, yang keduannya

memperoleh pahamnya dari orang Kristen yang

masuk islam di Irak. Ma'bad Al-Juhani adalah

seorang lelaki penduduk Bashro keturunan orang

Majusi. Dia adalah seorang ahli hadits dan tafsir

al-qur'an, tetapi kemudian beliau di anggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta

batal. Setelah diketahui pemerintahan waktu itu,

ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada

tahun 80 H. Dia adalah tabai' yang dapat

dipercaya dan pernah berguru pada Hasan al-

Basrih. Sedangkan menurut al-Zahabi, Ma'bad

adalah orang Tabi'i yang baik, tetapi ia memasuki

lapangan politik dan memihak 'Abd al-Rahman

Ibn al-Asy'as ,Gurbernur Sajistan, dalam

menentang Bani Umayyah. Dalam pertempuran

dengan al-Hajjaj Ma'bad terbunuh dalam tahun

80H.

Pada waktu itu Ghailan sendiri terus

menyiarkan faham qodariyah-nya di Damaskus,

tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn

'Abd al-Aziz. Setelah Umar wafat meneruskan

kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya

dihukum mati oleh Hisyam 'Abd al-Malik (724-

743M).Sebelum dijatuhi hukuman bunuh

diadakan perdebatan antra Ghailan dan al-Awza'i

yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

Berkaitan dengan kemunculan Qodariyah,

para peneliti di bidang teologi berbeda pendapat.

Penganut Qodariyah sangat lah banyak Di

antaranya di Irak dengan bukti gerakan ini terjadi

pada pengajian Hasan al-Bashri.


Ada perbedaan pendapat mengenai latar

belakang kemunculan aliran Qodariyah. Menurut

Harun Nasution, kemunculan Qodariyah erat

kaitannya dengan masalah perbuatan manusia

bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan

kebebasan dalam menentukan perjalanan

hidupnya. Berbeda dengan Jabariyah, aliran ini

berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah

pencipta bagi segala perbutannya, ia dapat

berbuat sesuatu dan meningalkannya atas

kehendaknnya sendiri. Manusia mempunyai

qudrah (kekutaan) untuk melaksanakan

kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian

bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar

Tuhan.

Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah

timbulnya paham ini, Qadariyah muncul sebelum

paham Jabariyah. Paham Qodariah muncul pada

periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul

perdebatan tentang qadar atau ketetapan Tuhan.

Terkait penolakan terhadap qadar ini, para ulama

salaf dan para imam telah membantah tentang

pendirian kaum Qodariyah, Jabariyah, dan

bid'ah-bid'ah kedua golongan ini.

Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis

kitab ``Syahral 'uyun'' mengakatan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham

Qodariyah adalah seorang penduduk Irak. Pada

mulanya,ia seorang Nasrani kemudian masuk

islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari

orang inilah Ma'bad al-Juhani dan Gailan al-

Dimasyqiy mengambil paham Qodariyah. Dapat

dipahami bahwa pengaruh keyakinan Mahesian

munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum

muslimin bersentuhan langsung dengan penganut

agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di


dalamnya muncul pengaruh Israiliyah terhadap

ayat-ayat al-qur'an.

Senada dengan pendapat diatas, Abu Zahrah

lebih cenderung tidak merinci dan tidak

memastikan asal,timbul dan berkembangnya

paham qodariyah. Menurut Abu Zahrah, para ahli

sejarah ilmu pemikiran islam telah meneliti dan

mengkaji lebih jauh mengenai siapakah yang

pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah

mana timbul dan berkembang. Hanya saja

pedoman umum yang dapat di dijadikan

pegangan bahwsannya Basra dan Iraklah tempat

timbulnya dan berkembangnya paham

Qodariyah.

Abu Zahrah, selanjutnya menyimpulkan

bahwasannya kaum muslimin pada akhir masa

Khulafaur Ar-Rasyidin dan masa pemerintahan

Muawiyah ramai membicarakan masalah Qadha

dan Qadar. Sekelompok umat islam sangat

berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi

umat manusia, mereka adalah kaum Jabariyah.

Sedangkan kaum qodariyah sangat berlebihan

dengan pendapatnya bahwa semua perbutaan

manusia adalah murni keinginan manusia yang

terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.

Namun demikian,meski para pakar

berbeda pendapat tentang latar belakang

kemunculan aliran Qodariyah, para ahli hampir

sepakat bahwa Ma'bad al-Junani adalah orang

yang pertama kali dikalangan kaum muslimin

menyampaikan paham periode sahabat.

Tokoh Aliran Qadariyah

Tokoh utama aliran Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailani Al-Dimasyqi. Ma’bad Al-
Juhani adalah tabi;in yang dapat dipercaya tetapi ia memberi contoh yang tidak baik serta berbicara
tentang qadar atau kebebasan berkehendak. Dia pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri. Dia meninggal
pada tahun 80 H, dibunuh oleh Al-Hajjaj karena memberontak bersama Ibnu Al-Asy’ats. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik.

Sepeninggalan Ma’bad kemudian Ghailani Ibnu Muslim Al-Dimasyqi yang dikenal dengan Abu Marwan
menjadi tokoh Qadariyah. Menurut Al-Zirikli, Ghailani adalah seorang penulis yang pada masa mudanya
pernah menjadi pengikut Al-Harits Ibnu Sa;id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah mengatakan
tobat terkait paham Qadariyahnya di hadapan Umar bin Abdulah Aziz tetapi setelah Umar wafat ia
kembali dengan mazhabnya.

Pengertian Qodariyah

Qodariyah berasal dari

bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya

kemampuan dan kekutaan .Adapun menurut

pengertian termologi, qadariyah adalah suatu

aliran yang percaya bahwasegala tindakan

manusia tidak diinvertasi oleh Tuhan.Aliran ini

berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah

pencipta bagi setiap perbuatannya. Ia dapat

berbuat sesuatu atau meninngalkannya atas

kehendaknnya sendiri.Berdasarkan paham

tersebut dapat dipahami bahwa paham qadariyah

dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi

penekanan bahwa manusia mempunyai

kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan

perjalan hidupnya untuk mewujudkan perbuatan-

perbutannnya .Dalam hal ini, Harun Nasution

menegaskan bahwa nama qadariyah berasal

dari pengertian bahawa manusia mempunyai

qudrah atau kekutan untuk melaksanakan

kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian

bahwa manusia tunduk terhadap qadar atau kadar

Tuhan.

Tokoh-Tokoh besar aliran jabariyah dan Dokrinnya

Ada 3 jenis tokoh dalam penyebaran Jabariyah ini, ada sebagai pencetus, penyebar dan moderat (jalan
tengah). Masing-masing dibahas dalam tiap tokohnya yakni sebagai berikut:

Ja’ad bin Dirham


Ia adalah pencetus paham Jabariyah, Jahmu bin Shafwan pernah mendalami paham ini bersama Ja’ad
bin Dirham.

Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad: Dikabarkan bahwa ia (Ja’d) berasal dari penduduk Harran.
Darinyalah, Jahm bin Shafwan mereguk madzhab orang-orang yang menafikan sifat Allah. Disana,
terdapat para tokoh Shabiah (agama samawi kuno), filosof, dan sisa orang-orang yang menganut
paganisme, yang menafikan sifat Allah dan perbuatan-perbuatannya.

Ibnu Katsir berpendapat, asal usul Ja’d bin Dirham ialah dari Khurasan, Persia. Kelahirannya tidak
diketahui. Kalau bukan karena bid’ah yang diusungnya, sudah tentu ia tidak menjadi populer. Sejak
kecil, tokoh kesesatan ini tumbuh dalam komunitas yang buruk, yaitu Jazirah Furat. Dalam hal ini, Al
Harawi mengatakan: “Adapun Ja’d, ia orang Jazari tulen. Penisbatan ini mengacu kepada daerah nama
Jazirah, yang terletak antara sungai Dajlah (Trigis) dan Furat (Eufrat), tepatnya di distrik Harran.

Ia seorang maula (bukan Arab asli, mantan budak). As Sam’ani, Az Zabidi dan Ibnu Atsir secara jelas
menyatakan bahwa ia adalah maula Suwaid bin Ghafiah bin Ausajah Al Ju’fi.

Ia wafat karna dihukum pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah Al Qasri. Pada waktu itu
yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap ahli
bid’ah.

Dokrin-dokrinnya adalah : Allah SWT tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar dan Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Jahm bin Shafwan

Ia berasal dari Kurasan, Persia dan meninggal tahun 131 H dalam suatu peperangan dengan Bani
Ummayah dan dia dibunuh. Pendapat-pendapatnya:

Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.

Surga dan neraka tidak kekal.

Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep
iman yang diajukan kaum Murji’ah.

Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan
melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.

Imam Sa’duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa manusia sekai-kali tidak
menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat. Ia tidak mempunyai kebebasan
berkehendak (hurriyatul iradah) dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

Husain bin Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najar (wafat 230 H ) pengikutnya disebut An-
Najariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
Allah SWT menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan
demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung
pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Allah SWT tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

Dhirar bin Amru

Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya
merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan
perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.

Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara
bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya.

Mengenai ru’yat Allah SWT di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat melalui
indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad.
Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

LANDASAN HUKUM

Para penganut aliran qadariyah ini bersandar pada salah satu firman Allah yaitu surat Al Kahfi ayat 29
yang berbunyi, "Barang siapa yang menghendaki untuk menjadi orang beriman, maka berimanlah dan
barang siapa yang menghendaki untuk menjadi orang kafir, maka kafirlah".

Sejarah Jabariyah

Aliran Jabariyah timbul di Khurasan Persia, dan Qadariyah di Irak. Paham al-jabar pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.
Namun dalam perkembangannya, Paham al-jabar jugadikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin
Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirham. Mengenai munculnya aliran jabariyah ini, para ahli sejarah
pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud
adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun
pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada
alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.

Harun Nasution dalam hal ini menjelaskan bahwa bangsa Arab dengan keadaan yang bersifat serba
sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang
pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul, Dalam dunia yang demikian,
mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan
mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran hidup
yang timbul. Dalam kehidupan banyak bergantung pada kehendak.Paparan di atas menjelaskan bahwa
bibit paham Jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir
atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah
Bani Umayyah, yakni oleh Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan dan di kembangkan Al-Husain bin
Muhammad, An- Najjar dan Ja’d bin Dirham.

Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya
diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama
Kristen mazhab Yacobit.
Pengetian Jabariyah

Secara bahasa jabariyah (fatalism) berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Menurut Harun Nasution jabari- yah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentu- kan dari semula oleh Qadha dan Qadar
Allah. Maksudnya, setiap perbuatan yang diker-jakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia,
tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

LANDASAN HUKUM

Dalil-dalil naqliy sebagai dasar aliran Jabariyah

QS. Ash-Shafaat ayat 96 :

َ‫َوهَّللا ُ خَ لَقَ ُك ْم َو َما تَ ْع َملُون‬


Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

Al-Anfal ayat 17 :

‫َو َما َر َميْتَ ِإ ْذ َر َميْتَ َولَـ ِك َّن هّللا َ َر َمى‬

......dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.

‫ب ِّمن قَ ْب ِل َأن نَّب َْرَأهَا ِإ َّن َذلِكَ َعلَى هَّللا ِ َي ِسي ٌر‬
ٍ ‫ض َواَل فِي َأنفُ ِس ُك ْم ِإاَّل فِي ِكتَا‬
ِ ْ‫صيبَ ٍة فِي اَأْلر‬
ِ ‫اب ِمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ ‫َما َأ‬
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah
tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.

QS. Al-Insan 30 :
ً ‫َو َما تَشَاُؤ ونَ ِإاَّل َأن يَشَا َء هَّللا ُ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيما ً َح ِكيما‬

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah

Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti
menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Mereka menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha
Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa. Allahlah yang berbuat dan
menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai kekuasaan.

Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai
kemampuan (Istitha`ah). Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia
karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan
antara memperbuat atau tidak memperbuat.

Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan
kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon berbuah, air mengalir, batu
bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.

persamaan : sama-sama menyimpang dari ajaran Allah. Qadariyah dan Jabariyah ini adalah sama-sama
aliran kepercayaan (teologi) sesuai dengan konteks-politik yang terjadi.
perbedaan : Aliran Jabariyah adalah Kelompok atau yang hanya bertawakkal kepada Allah, dan yang
menafikan ikhtiar Karena semua perbuatan manusia telah ditetapkan oleh Allah. Aliran ini akan
berdampak pada pemahaman yg mengantarkan manusia bersikap apatis, pesimis dalam menjalankan
sesuatu. Aliran Jabariyah ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Sedangkan aliran
qadariyah adalah kelompok atau aliran yang menafikan takdir, hanya melakukan ikhtiar namun
melupakan tawakkal kepada Allah Aliran ini akan berdampak pada sikap kesombongan yang menafikan
salah satu sifat tuhan yang Esa. aliran Qadariyah yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, la dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat
buruk maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.

Anda mungkin juga menyukai