Anda di halaman 1dari 8

TOKOH-TOKOH PENDIRI SEKTE

DALAM ILMU KALAM

MIATUN HASANAH

(210204056 )
A. Pendiri Sekte Jabariyah

Sebelum kita memahami dan mengenal lebih tentang siapakah Jahm bin Sofwan tersebut, alangkah
baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu jabariyah.

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang
berarti Allah Maha Memaksa.

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. 1

Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak
manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak memiliki
kebebasan dalam melakukan, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. 2

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu
Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu
para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan
kekuasaan mutlak Tuhan.(Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997),
cet ke-4, h. 239) Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan.

*Biografi jahm bin sofwan

Shafwan mempunyai nama lengkap Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan (Persia)
yang lahir pada tahun 696 M. Ia seorang teolog Islam yang sangat terkenal pada masa itu. Tokoh ini
mempunyai minat bakat dalam ilmu kalam dan filsafat. Ia juga menjadi pendiri dalam paham
fatalisme. Pada waktu itu, ia dijatuhi hukuman mati oleh Salm b. Ahwaz pada tahun 745 M. Karena
pada waktu itu, ia berusaha melakukan pemberontakan kepada Bani Umayyah mengenai kekuasaan.

Dia belajar dibawah asuhan al-Ja'd bin Dirham, seorang sektarian dari Harran di Suriah. al-Ja'd bin
Dirham adalah seorang guru dari Dinasti Umayyah Khalifah terakhir, Marwan II, dan digambarkan
sebagai Dahri dan Zindq. Dia adalah Muslim pertama yang berbicara tentang createdness dari Al
Qur'an, penolakan persahabatan Abraham kepada Allah dan Musa berbicara kepada-Nya Dari al-Ja'd
Jahm bin Safwan mewarisi beberapa doktrin sektarian dan akan menjadi pendiri Jahmiyyah.

Adapun doktrin-doktrin Jabariyah yaitu:

1
Kompasiana

2
Harun Nasution, Teologi Islam..., h. 31
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih
terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.

2) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.

3) Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru
(hadits). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jahm berpendapat bahwa, Tuhan sekali- kali tidak
mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.

4) Surga dan neraka tidak kekal. tentang keberadaan surga-neraka, setelah manusia mendapatkan
balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah surga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jahm
dengan tegas mengatakan bahwa, surga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal. 3

B. Pendiri Sekte Murjiah

Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konlik
politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat
nanti.

Kaum Khawarij dan Syi‟ah, sungguhpun merupakan dua golongan yang bermusuhan, sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berlainan. Kalau Khawarij meentang
Dinasti ini, karena memandang mereka menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Syi‟ah menentang,
karena memandang mereka merampas kekuasaan dari „Ali dan keturunannya.

Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral
tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan
itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang
lebih baik menunda (arja‟a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan tuhan(Ahmad
Amin: 1965, 279).

Al-Syahrastani mengemukakan bahwa orang pertama yang telah menemukan paham “irja” adalah
Ghailan al-Dimasyqi, tetapi di tempat lain juga dikatakan bahwa pembawa ajaran ini adalah Hasan Ibn
Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Dan kemudian orang yang manganut paham ini di sebut dengan
kaum “Murji‟ah”.

3
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986). 34
Adapun secara istilah, murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari
keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang
(Abdul Rozak: 2001, 56).

C. Pendiri Sekte Qadariayah

Nama Qadariyah sendiri diambil dari paham yang mereka anut, yaitu bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam telogi modern, paham Qadariyah ini
dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. 4

Qadariah pada awalnya muncul pertama kali sekitar sekitar tahun 70 H/689 M, yang dipimpin oleh
seorang yang bernama Ma'bad al-Juhani dan Ja'ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah
Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).

Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam menyebutkan bahwa paham Qadariyah pertama kali
ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Keduanya mengambil paham ini dari
seorang Kristen yang telah masuk Islam di Irak. Pada waktu Ma’bad mati terbunuh dalam
pertempuran melawan al- Hallaj, maka Ghailan terus menyebarkan paham Qadariyah tersebut di
Damaskus. Tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn al-Aziz. Akhirnya di zaman Hisyam ‘Abd
al-Malik, ia harus mengalami hukuman mati.5

Para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad al-Juhani adalah orang yang pertama kali di kalangan
kaum muslimin menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini
terjadi pada masa akhir periode sahabat. Belakangan diketahui paham Muktazilah dengan paham
kebebasannya yang terhimpun dalam Ushul al-Khamsah-nya sangat dipengaruhi paham Ma’bad ini.

Imam al-Zahabi menulis tentang tokoh utama aliran Qadariyah ini mengemukakan; Ma’bad al-Juhani
adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abdur Rahman bin
Al-Asy`as, gubernur Sajistan dalam menentang Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj,
Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H.

Berdasarkan sejarah, aliran Qadariyah pada hakikatnya adalah sebagian dari paham Muktazilah,
karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Muktazilah. 6Dalam kitab Al-Mila>l wa An-Niha>l,
pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa
doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah, akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini

4
Dr. Hasan Bashrah dkk. Ilmu Kalam: sejarah dan pokok aliran aliran, (Bandung, 2006). Azkia pustaka utama. Hlm. 31

5
Dr. Hasan Bashrah dkk. Ilmu Kalam: sejarah dan pokok aliran aliran, (Bandung, 2006). Azkia pustaka utama. Hlm. 33

6
Muslihin S. Pd.I, M. Pd.I: Latarbelakang Qadariyah dan Tuduhan Qadariyah sebagai Warisan Nasrani
sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa
campur tangan Tuhan.

*Biografi Ma'bad Ibn Kalid al- Juhani

Ma'bad ibn Kalid al-Juhanī (meninggal 80 AH/699M), berasal dari suku Juhaynah yang tinggal dan
masih tinggal di sekitar kota Medinah di Arab Saudi. Dia adalah Qadari , ide dia dapatkan dari
Sinbuya , dan dinyatakan sebagai sesat oleh beberapa sahabat dari Nabi Islam Muhammad , seperti
Abdullah bin Umar. Dia adalah orang pertama, setelah Sinbuya, yang membahas Qadar ( Ketetapan
Ilahi ).Gagasannya kemudian diikuti oleh Gaylān ibn Mūslīm ad- Dimashq an- Nabati al-Qībt.

D. Pendiri Sekte Muktazilah

Secara harfi’ah kata Mu’tazilah berasal dari i’taza>la yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau memisahkan diri.

dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya,
amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M.

Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah- kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di
msjid Basrah. Suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan
tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al- kabair). mengenai pelaku dosa besar
khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir,
tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al-manzilah baina al-
manzilataini). Setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-Hasan karena tidak setuju dengan sang guru
dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna>” (Washil menjauhkan
dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.

Wasil bin Atha (80-131 H / 699 M), Ia adalah pendiri aliran Muktazilah dan yang meletakkan ajaran-
ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan Mu’tazilah.Kebanyakan pendapat-
pendapatnyabelum matang.

*Biografi washil bin Atha

Nama Washil bin Atha sering juga disebut Abu Huzhaifah dan lebih terkenal dengan gelar al-Gazzal. Ia
dilahirkan pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal dunia pada tahun 131 H di Bashrah.

Pada mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya, ia
banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal ajaran Syi’ah di Madinah. Ia kemudian
melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Dialah pendiri madzhab
Mu'tazilah.
Washil bin Atha termasuk murid yang cerdas dan berani di antara sekian banyak murid Hasan al-
Bashriy. Ia tidak segan-segan berbeda pendapat dengan siapa pun juga,sekalipun membawa dampak
harus berpisah dengan gurunya, Hasan al-Bashriy, lantaran perbedaan pandangan dengannya
mengenai pelaku dosa besar.

Pengikut madzhab ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal.
Sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi
pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah “ketetapan
akal”. Adapaun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan
ketetapan akal, atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah merupakan
lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam.

Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak mengalami tantangan dan hambatan
yang datang silih berganti dari kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran
yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam
sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para sahabatnya. Namun, Washil
memperoleh dukungan dari kalangan intelektual dan juga penguasa Abasiyah, yaitu pada masa
pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), bahkan ajaran Washil bin Atha itu dinyatakan
sebagai mazhab resmi negara.

E. Pendiri Sekte Maturidiyah

Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama
muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari
nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah
iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah
mengenai kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah.

Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H
terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat
Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri
dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham


Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan
jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut
“berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.
Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah. Kaum Asy’ari
berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi berhadapan di
Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah dianggap memiliki
kesamaan walaupun berbeda aliran.

Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam Theology Islam (Ilmu Kalam),
yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan semuanya tidak terlalu prinsip,
kecuali hanya istilah. Keduanya membela kepercayaan yang ada dalam Alquran. Dalam usahanya
tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan itu. 7

*Biografi Abu Mansur Muhammad al-Maturidi.

Imam Abu Mansur Al-Maturidi, atau lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-Hanafi. Imam Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah
pemukiman di kota Samarkand (sekarang termasuk wilayah Uzbekistan) yang terletak di seberang
sungai. Mengenai tahun kelahirannya, Dr. Muhammad Ayyub menyatakan Abu Manshur al-Maturidi
lahir sekitar sebelum tahun 238 H. Ia hidup di zaman kemajuan daerah Asia Tengah sebagai pusat
peradaban Islam. Di antara ulama besar yang sezaman dan berasal dari satu daerah dengan beliau
adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (w. 256 H) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur (w. 261 H). 8

Sejak Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abbasiyyah mengucilkan ajaran sekte Muktazilah pada tahun
234 H maka semenjak itulah ajaran sekte Muktazilah mulai menyingkir ke daerah-daerah sekitar Asia
Tengah. Begitu juga dengan sekte Qaramithah yang mencapai kejayaan dakwahnya di daerah Asia
Tengah sekitar tahun 261 hingga tahun 278 H. Ditambah dengan pengaruh ajaran Zoroaster dan
beberapa ajaran agama lain yang mengakar kuat sejak dahulu di Asia Tengah. Hal ini juga disebabkan
letak daerah Asia Tengah yang strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan budaya dari
daratan China hingga kawasan Timur tengah.

Maka, tampillah Abu Manshur al-Maturidi sebagai tokoh Aswaja paling berpengaruh di Asia Tengah
dengan segenap karya tulisnya yang mampu mematahkan segenap pemikiran sekte yang
menyimpang dengan argumentasi nalar yang kuat. Pemakaian nalar akal yang cukup dan seimbang
adalah corak pemikiran Abu Manshur al-Maturidi dalam ilmu aqidah yang juga mengacu terhadap
karakter pemikiran Imam Abu Hanifah.

Para ulama ahli sejarah sepakat menyatakan bahwa Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333
H. Abu Manshur al-Maturidi wafat pada usia sekitar 100 tahun dan dimakamkan di daerah
Samarkand.

7
Nidia Zuraya, Maturidiyah menentang paham Muktazilah. 13 Jun 2020

8
Lihat tesis doktoral Dr. Muhammad Ayyub di Universitas Dar al-Ulum, Kairo berjudul al-Islam wal Imam al-Maturidi
F. Pemikiran sekte Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah paham akidah yang mana di nisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy'ari.
Asy'ariyah mengambil dasar keyakinan dari kulla bilyah,yaitu pemikiran dari Abu Muhammad Bin
Kullah dalam meyakini sifat-sifat allah. Kemudian mengedepankan akal diatas tekstual ayat dalam
memahami Al-qur'an dan Hadits.Aliran Asy'ariyah disebut juga sebagai aliran Ahli Sunnah yang
dimana kemunculannya mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat islam dan
menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat.

Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari mengkritik paham Muktazilah yang lebih mengutamakan pada
pendekatan akal (logika) dan cenderung mengesampingkan dalil-dalil naqli (Qur’an dan Hadis). Maka
itu, Abu Hasan mengembangkan aliran Asy’ariyah yang lebih mengutamakan penggunaan dalil naqli
dan mengurangi atau membatasi penggunaan logika filsafat sebagai fondasi pemikiran teologis.

*Biografi Abu al-Hasan Asy’ari

Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa
bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. adalah salah seorang
keturunan dari sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu Musa Al-Asy'ari. Beliau lahir di
Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.[1] Sebagian besar
hidupnya berada di Baghdad.

Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti aliran Muktazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian
setelah sekian lama akhirnya al-Asy'ari keluar dari aliran Muktazilah. Menurut data sejarah yang
disampaikan oleh para ulama, seperti Ibnu Asakir, Syamsuddin ibn Khallikan, dan Tajuddin as-Subuki,
setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy'ari dari Muktazilah. Salah satunya
adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak puas dengan paham Muktazilah yang selalu mendahulukan akal
tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang
sama.

Abu al-Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.

Anda mungkin juga menyukai