Anda di halaman 1dari 22

A.

ALIRAN QODARIYAH
1. Pengertian dan Asal-usul Qodariyah
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan
dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.1 Dalam istilah Inggrisnya paham ini
dikenal dengan nama free will dan free act.2
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya. Seseorang dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan
bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.3
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-
orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan,
yakni baik dan buruk.4
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.5

1
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 43
2
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33
3
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
4
AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. 2008.
Banjarmasin: Antasari Press, hal. 68.
5
Ibid,.
Menurut Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani
dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di
Iraq.6 Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’I yang baik, tetapi ia
memasuki kawasan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam
menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.7
Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur dari Bani Umayyah yang
terkenal kejam dan berdarah dingin.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.8
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat
menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara
saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung
dalam Muktazilah.9
Setelah kematian Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham qadariyah di
Damaskus, tetapi ini tidak berjalan lancar karena mendapat tantangan dari
khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru setelah kematian ‘Umar ia melanjutkan
kegiatannya yang sempat terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia mati dihukum
bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dilaksanakan hukuman tersebut
diadakanlah debat antara Ghailan dan Awza’i yang langsung dihadiri oleh Hisyam
mengenai paham yang dibawa Ghailan.10
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap
perbuatan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat
ketentuan terhadap makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir,
mereka mengingkari iman dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan

6
Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah, hal. 255
7
Ibid,.
8
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
9
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,
1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 74
10
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 34.
bahwa Allah tidak menentukan dan tidak mengetahui sebuah perkara sebelum
terjadi, bahkan Allah baru mengetahui sebuah perkara setelah terjadi.
Dalam kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga
perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah,
sebab faham ini juga dijadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya,
sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua
aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.11
Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
1.1 Pendapat Ahmad Amin
Kapan Qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema
yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani
dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang atba’ tabi’i yang dapat
dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghalian adalah
seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin
Affan.12
1.2 Pendapat Ibnu Nabatah
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad
Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham
Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama kristen kemudian beragama
islam dan balik lagi keagama kristen. Dari oranginilah Ma’bad dan Ghailan
mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud sebagaimana dikatakan
Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al Auza’i adalah Susan.
1.3 Pendapat W. Montgomery
Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui
tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah
Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah

11
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah, hal. 38.
12
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan
Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi
perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab
Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas memilih antara
berbuat baik atau buruk.
Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut watt, adalah
penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan
dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad
Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-
Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh
Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah
dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal dari orang irak kristen
yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah hasil rekayasa orang
yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang yang tidak tertarik
dengan pikiran Qadariyah. Lagipula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz
Goldziher , dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tenteng butir
doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada
baiknya jika meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan
untuk menentukannya. Para peniti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal
ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak
dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat
ini di kuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama
tentang masalah ini adalah seorang kristen di irak yang telah masuk islam
pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghallian. sebagian lain berpendapat
bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang
banyak dipekerjakan di istana-istana.

2. Doktrin-Doktrin Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga
perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas
oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin
Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena
kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.

Manusia Mempunyai Qudroh


Ali Mushthafa Al Gurobi antara menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah
telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat
melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah
memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan
kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang
dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat
Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak
berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan
berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula
melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah
seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa
manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat di pahami bahwa segala tingkah
laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik
berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian
takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan
bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan
sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah
yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran
baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan
akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan
salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.13
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak
dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak
mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang
beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang
kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat
tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang
dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia
juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat
benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang
dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah
kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup
diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang
membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas
akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak
ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada
perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang
dipahami ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum
qadariyah diantaranya adalah:

13
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 73.
1. Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah
laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa
manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada
intervensi dari Allah Swt. Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka
karena kehendak mereka sendiri bukan karena taqdir. Paham ini
merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.14
2. Kaum qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa
Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat.
Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah
berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-
sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat
qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari
satu.15
3. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta
sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut
sunnatullah,16 seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak
termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan
agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena
diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya.
Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala
sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu
sebaliknya.17

Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat


dan pemahaman seputar masalah taqdir. Ada golongan qadariyah yang

14
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
15
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah, hal. 38.
16
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 44.
17
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47
berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan
berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada
dua pencipta. Ada yang berpendapat bahwa semua kebaikan dan keburukan
penciptanya adalah pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya
menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan makhluk, lalu Allah menciptakan
kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada
pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti setelah Allah menciptakan alam
semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti inilah muncul
celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat
ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian
saksikan jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi 'Izz
al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, "Akan tetapi
penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka
lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan
qadariyah meyakini adanya banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha, disebutkan bahwa Imam Al-
Au'zai mengatakan :

‫القدرية خصماء ال عز وجل في الرض‬


"Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah,
karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan
manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.
Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd
al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat
saya tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila
tidak mau, mereka harus dihukum mati".
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti
kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin
hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat
seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus
oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan
dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan
Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang
mengikuti kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.

3. Dalil-Dalil yang menjadi Dasar Ajaran Qodariyah

Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam


sendiri. Ada beberapa dalil al-Quran yang dijadikan landasan untuk mendukung
paham-paham Qadariyah. Dalil-dalil tersebut diantaranya:
Dalam surat Al-Kahfi ayat 29:

Artinya : Dan Katakanlah : "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;


Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.18

Qs.Ar-raad:11:

18
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”19

Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya


secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-
amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga
secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merubah
Keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka.

Serta dalam Qs.An-Nisa’ 111 yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia


mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”20

Q.S. al-Fussilat : 40

19
Ibid,.
20
Ibid,.
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami,
mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang
dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan
aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”21

Q.S. Ali Imran: 164

Artinya : “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang


beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.”22

A. ALIRAN JABARIYAH
1. Pengertian dan Asal-usul Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam
istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination23. Dalam kamus
Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai
segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir.24 Di dalam kamus Munjid
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah
Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
21
Ibid,.
22
Ibid,.
23
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33.
24
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia, hal. 234 dan
443.
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).25 Sehingga makna secara umum
adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan Qadar Tuhan.
Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa
manusia makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt.
Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan
bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan
Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.26
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya
penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak
zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.27 Paham Jabariyah ini dalam sejarah
teologi Islam ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang
mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.28 Jahm
Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia
ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Jahm yang terdapat
dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah
dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut
dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm
dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di tahun 131 H 29. Sepeninggalnya,
25
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 63.
26
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
27
Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet ke-4, hal. 239.
28
Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan
bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka
golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah,
sehingga dia ditangkap.
29
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah
(ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.30
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di
kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari
golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini
adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul
sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab
yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara
hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat
sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput
yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.31
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat
arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai
dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.32
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam,
Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam
gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh
sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah
berikut ini:
a. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan

30
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
hal. 132.
31
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 64.
32
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-
ayat tuhan mengenai takdir.33
b. Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan
aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap
orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan
dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan.
Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.34
c. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya
dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju
perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan
qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu
merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji
dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya
memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham
jabariyah.
e. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan
bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab
Yacobit.35

2. Tokoh dan Pemikiran Jabariyah


Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah,
maka perlu dipahami dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan

33
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam Islam. 1987. Jakarta: Beunneubi Cipta.
hal 27-29.
34
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, hal. 15.
35
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali, hal. 133.
tentang aliran-aliran dalam Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam
bukunya as-Syihritsani. Penggolongan tersebut sebagai berikut;
Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok
persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah
dan Mu’tazilah.
Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan
golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya
diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan
imamah (khalifah). Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah.36
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya.
Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas
kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang
menghendaki demikian.37
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin
Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah
sebagai berikut ini;
1. Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
2. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah.
3. Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan
melihat.38
36
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna, hal. 58.
37
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 286-287.
38
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit Wijaya, hal. 102.
4. Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan
Allah serupa dengan makhluk.Pendapat ini sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah.
5. Bid’ah jabr. yaitu pernyataan bahwa manusia tidak mempunyai
kemampuan dan daya upaya sama sekali, bahkan semua kehendaknya
muncul karena dipaksa oleh Allah Swt.
6. Bid’ah irja’, yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang
siapa yang inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir
sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap karena ingkar, dan keimanan
tidak berkurang dan semua hamba setara dalam keimanannya serta
iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan.39
b. Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang kristen yang
senang membicarakan tentang teologi. Ia adalah seorang maulana dari bani
Hakam dan tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur
Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok Ja’ad secara
umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang
baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
yang baik. Tetapi manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh
jabariyah moderat adalah sebagai berikut;
a. An-Najjar, nama lengkapnya adalah husain bin muhammad an-najar, para
pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Najjariyyah juga
terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan

39
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah, hal. 35.
Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok
dalam aliran Jabariyah.40 Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai
berikut;
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.41
2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa
tuhan dapt saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat tuhan.42
b. Adh-Dhirar, nama lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan husein an-najjar, bahwa manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-
mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan
diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui
indera keenam.43

4. Dalil-Dalil yang menjadi Dasar Ajaran Jabariyah

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam
Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar
belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:

a. QS ash-Shaffat: 96

40
Ibid, 75.
41
Ibid, 89.
42
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
43
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah, hal. 78.
Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".44

b. QS al-Anfal: 17

Artinya : “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,


akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”45

c. Q.S. al-Insan: 30

Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”46
d. Q.S. al-An’am: 112

44
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
45
Ibid,.
46
Ibid,.
Artinya : “Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh,
Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia)[499]. Jikalau Tuhanmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”47

e. Q.S. al-Hadid: 22

Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.”48

Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi kaum Qadariyah


dan Jabariyah di atas, maka tidak mengherankan kalau dua paham ini masih tetap
berkembang dalam kalangan umat Islam, walaupun pelopor-pelopor paham ini
sudah tiada. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut
oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.49

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:


1. Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap
perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat
ketentuan terhadap makhlukNya.
47
Ibid,.
48
Ibid,.
49
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 39
2. Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya,
manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
3. Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu
rukun dari enam rukun iman.
4. Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw:
“Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita
terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan iman.
Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa
diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Semoga makalah ini dapat bermanfaat kita, terutama dalam memahami
paham-paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dan
lain lain. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca.
Kami mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan. Terima kasih
atas kerjasama dan saran dari pembaca semua. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA

AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran


Islam. 2008. Banjarmasin: Antasari Press.
Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah.
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t.
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta.
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam Islam. 1987.
Jakarta: Beunneubi Cipta.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta:
Gramedia.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari
Mabahits fi Ulum al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal.
Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah.
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2.
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali.
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit
Wijaya.
Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Cet ke-4.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan
Islam dan Pemikiran, 1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta).
http://www.sa36071.blogspot.com/2012/12/makalah-aliran-jabariyah.html,
diunduh 30 Maret 2014.
http://abasawatawalla01.blogspot.com/2013/06/sejarah-dan-pemikiran-
aliran-jabariyah.html, diunduh 30 Maret 2014.
http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com, diunduh 30 Maret 2014.
http://filsafatcoy.blogspot.com/2013/05/qadariyah-dan-jabariyah.html,
diunduh 30 Maret 2014.
http://syafieh.blogspot.com/2013/03/aliran-teologi-islam-jabariyah-
dan.html#ixzz2w0wrzYNo, diunduh 30 Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai