Disusun Oleh :
MALANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah swt. atas rahmat dan anugerah-Nya, kami
dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang “Ijtihad dalam Ilmu Ushul Fiqh” meskipun
masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya.
Disamping itu kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
proses pembuatan makalah ini sehingga dapat terealisasikan, khususnya kepada Bapak Shidqi
Ahyani, M.Ag selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas ini kepada
kami .
Adapun maksud dan tujuan penyusunan makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan dosen pengajar juga untuk lebih memperluas pengetahuan para mahasiswanya
khususnya bagi penulis. Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik,
namun penulis menyadari adanya keterbatasan sebagai manusia biasa.
Oleh karena itu jika didapati kesalahan baik dari segi teknik penulisan maupun isi, kami
mohon maaf. Kritik serta saran yang membangun baik dari dosen pengajar dan seluruh pembaca
sangatlah kami harapkan.
Akhir kata, semoga Allah meridhoi segala usaha kita semua, serta makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.4 Manfaat Penulisan
a. Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konsep Ijtihad
b. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dalam mengetahui dasar-dasar
melakukan Ijtihad
c. Makalah ini diharapkan menambah pandangan dan pelajaran tentang fungsi Ijtihad
d. Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konsep Mujtahid dan
syarat-syaratnya
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ijtihad sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang sesuatu masalah yang
belum disebutkan secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan, bahkan
dianjurkan oleh Allah swt, sebagai Pencipta dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah swt,
sebagai Pencipta Syari’at dan oleh Rasul-Nya. Pembenaran dan anjuran ijtihad ini didasarkan
1
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98
2
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
3
atas petunjuk-petunjuk yang dapat dibaca dalam AlQuran dan Sunnah Rasulnya. Dasar
Hukum Ijtihad diantaranya adalah :
a. Terdapat dalam AlQuran Surat An-Nisa’ ayat 105
artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, agar
kamu menetapkan di anataranya manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah
kepadamu”.
b. Selanjutnya dalam Surat An-Nisa’ ayat 59
َۡۡ يما ِ َو ََلَت َ ُك ۡن َِل ۡـل َخا ٓ ِٕٮنِ ۡينَ َخ
َۡ َص َ ََُّٰللا
َٮك ه َ اسَ ِب َم ٰۤاَاَ ٰر ِ بَ ِب ۡال َح
ِ َّـقَ ِلت َ ۡح ُك َمَبَ ۡينَ َالن ۡ اِنَّ ٰۤاَا َ ۡنزَ ۡلن َٰۤاَاِلَ ۡي َك
َ َال ِك ٰت
Artinya: “.... Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengathui kebenarannya akan dapat
mengetahuinya dari mereka”.
d. Dalam Hadis di mana Nabi bersabda ketika Muaz Ibnu Jabbal diutus ke Yaman yang
artinya: “ Rasullullah bertanya “ Dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab dengan
apa yang ada dalam AlQuran, rasul bertanya lagi, Jika kamu tidak mendapatkan dalam
Kitab Allah?, Dia menjawab, Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh
Rasulullan” Rasul bertanya lagi, Jikatidak mendapat dalam ketetapan Rasulullah?
Berkata Muaz.” Aku Berijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, Aku Bersyukur
Kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari RasulNya”. (HR Abu daud dan al-
Tirmidzi).
4
e. Dalam hadis lain Nabi bersabda dalam Hadisnya yang diriwayatkan oleh Umar yang
artinya: “Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata
ijtihadnya benar, maka ia akan mendapat dua pahala daan jika ijtihadnya keliru maka ia
mendapat satu pahala”. (HR Buhkari dan Muslim)
f. Dalam Hadis lain yang artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal
yang salah” (HR al-Tirmidzi)
2.3 Hukum Ijtihad
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama sehingga
istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan
konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual
dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum
dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Joseph Schacht
mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat
Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan, ritual, politik dan hukum.
Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan
terjemahan dari lafaz Mashadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-
kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulamaulama fikih dan ushul fiqh klasik. Untuk
menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah.
Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang
dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syariyyah.
Dalam hukum Islam untuk menentukan hukum ijtihad, para ulama berpendapat
bahwa jika ada seorang Muslim ditanya atau dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara maka hukum bagi orang yang
dihadapkan atau ditanya tersebut bisa wajib `ain, wajib kifayah, sunnat, ataupun haram.
Tergantung pada kapasitas seseorang tersebut.
a. Pertama, bagi seorang Muslim yang sudah memenuhi kriteria menjadi mujtahid dan
dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa dan ia juga dihadapkan kepada suatu masalah
atau suatu peristiwa dan ia khawatir akan hilangnya kepastian hukum akan terjadinya
suatu peristiwa tersebut padahal tidak ada seorang mujtahid lain maka hukum ijtihad
adalah wajib `ain.
5
b. Kedua, bagi seorang Muslim yang ditanya fatwa hukum atas terjadinya suatu peristiwa
tetapi ia khawatir akan tidak ada kepastian dari hukumnya tersebut tetapi masih ada
mujtahid yang lain maka hukum ijtihad tersebut wajib kifayah. Artinya apabila tidak ada
yang melakuakan ijtihad atas kasus tersebut maka semuanya berdosa. Apabila ada salah
satu dari mujtahid melakukan suatu upaya untuk melakukan ijtihad atas kasus tersebut
maka gugurlah hukum dosa tersebut.
c. Ketiga, hukum ijtihad akan menjadi sunnah apabila dilakukan atas persoalan yang belum
terjadi
d. Keempat, Hukum Ijtihad menjadi haram apabila tidak mempunyai kemampuan dalam
melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya justru bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
2.4 Fungsi Ijhtihad
a. Fungsi al-ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an dan
sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
b. Fungsi al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam
semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
c. Fungsi al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-ijtihadi oleh
ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan
kondisi yang dihadapi.3
2.5 Macam-Macam Ijtihad
Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai ijtihad. Misalnya, Imam
Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas yakni dua nama tetapi maksudnya satu. Dan tidak
mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan dan masalah mursalah. Sementara ulama lain
memiliki pandangan lain yang lebih luas tentang ijtihad, menurut mereka ijtihad itu
mencakup pada ra’yu, qiyas dan akal.4
Pendapat tentang ra’yu tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid. Atau
paling tidak mendekati hukum syariat tanpa melihat apakah hal tersebut ada dasarnya
maupun tidak. Dengan berdasarkan itu, Ad-Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian
yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab AlMuwafaqat, yaitu:
3
Ibid, h. 123.
4
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh…, h. 104.
6
pertama, ijithad al-batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara dari nash, 2)
ijtihad al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al -Qur’an
dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas, 3) ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al -Qur’an dan sunnah dengan mengunaka
ra’yu berdasar kaidah istishlah.5
Di samping itu, Muhammad Taqlyu Al-Hakim menganggap bahwa penjabaran
seperti di atas belumlah sempurna. Sehingga ia membagi ijtihad menjadi dua: 1) ijtihad al-
aqll, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal dan tidak menggunakan dalil syara’,
2) ijtihad syari’,yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara.6
5
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2003), h. 102.
6
Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009), h. 390.
7
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
7
2.7 Syarat-Syarat Mujtahid
a. Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam
secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa
melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya
alGhazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar
500 ayat.
b. Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-
Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui
secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan
memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks
Qur’an tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa mengetahui
sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-
Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan
keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan
dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang
bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.
c. Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan tidak
bisa dipergunakan untuk dalil.
d. Mengetahui As-Sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari
Nabi Saw.
8
e. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan
hadis yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak.
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu
tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis,
tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal
yang tercakup dalam ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam
menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
f. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya
dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana
hadis tersebut sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-hadis lain.
g. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-
nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.
h. Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab.
i. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati
oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan
dengan hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari
fatwa yang berseberangan8
8
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang terutama kaum Muslimin
yang ada di Indonesia atau di dunia ini, sangat sulit untuk mencari orang yang ahli dalam
masalah ijtihad jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman dahulu. Namun jika kita melalui
lajur yang benar, yaitu mencari hukum baru atau menggali permasalahan yang belum
terselesaikan, dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar bisa jadi pintu
ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak, hukum Islam akan menjadi bisu dan kaku
lantaran tidak mampu mengimbangi dinamika zaman.
3.2. Saran
Dalam menulis makalah ini kami masih terdapat kesalahan, baik dari segi
penulisan kalimatnya dan isinya. Penulis belum mampu memaparkan secara lengkap,
karena keterbatasan penulis dalam memahami informasi. Oleh karena itu penulis sangat
mengaharapkan saran dan kritik.
Dalam menulis makalah ini penulis menyarankan untuk mengumpulkan lebih
banyak sumber agar pembahasan materi ini menjadi lebih lengkap. Dan penulisan lebih
menyarankan untuk tidak menjadikan makalah ini sebagai sumber pertama dalam
mengerjakan tugas karena makalah ini terdapat banyak kekurangan yang belum
tersampaikan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994).
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2003).
Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2009).
11