Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu ilmu keIslaman. Ilmu kalam
sangat lah penting untuk di ketahui oleh seorang muslim
yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah
pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang merupakan
inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini
memiliki konsekwensi yang berpengarah pada keyakinan
yang

berkaitan

dengan

menginterpretasikan

bagaimana

tuhan

itu

seseorang

sebagai

harus

sembahannya

hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak


terampunkan (syirik).
Dalam pembahasan Ilmu Kalam. Kita dihadapkan
pada barbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran besar
yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran
bahwa agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya
pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu
dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai
dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada
umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al-Quran
dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan
masyarakat luas.
B. Rumusan Masalah
1. Qadriyah dan Jabariyah
2. Asyariyah dan masnsurudiyah
3. Mu'tazilah
4. Syi'ah dan cabang-cabangnya

BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM DAN POKOK
PEMIKIRAN
A. Qadariyah dan Jabariyah
1. Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal
berarti

memutuskan

dari
dan

pada

kata qadara yang

memiliki

kekuatan

atau

kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu


kalam qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu
aliran

yang

memberikan

penekanan

terhadap

kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan


perbuatan-perbuatannya.

Dalam

paham

qadariyah

manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan


untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada
qadar dan qada Tuhan.1
Paham qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M).
Ajaran-ajaran

tentang

paham

ini

banyak

memiliki

persamaan dengan ajaran Mutazilah sehingga Aliran


Qadariyah
Mutazilah,

ini

sering

kesamaan

juga

disebut

keduanya

dengan

aliran

terletak

pada

kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia


mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan
tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia
ini dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena
Qhada dan Qhadar Allah SWT.

1 Abuddin Nata, (1995) Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada. Hal. 36

Paham

ini

merupakan

aliran

yang

suka

mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran


Al-Quran dan hadits sendiri. Al-Quran dan Hadits
mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata..2
Tokoh utama Qadariyah ialah Mabad Al-Juhani dan
Ghailan

al

Dimasyqi.

Kedua

tokoh

ini

yang

mempersoalkan tentang Qadar.


a. Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul
Islam pokok-pokok ajaran qadariyah adalah3 :
1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir dan
bukanlah mukmin tapi fasik dan orang fasik itu
masuk neraka secara kekal.
2. Allah SWT Tidak menciptakan amal perbuatan
manusia,

melainkan

manusia

lah

yang

menciptakannyadan karena itulah maka manusia


akan menerima pembalasan baik (surga) atas
segala amal baiknya dan menerima balasan buruk
(siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya
yang salah dan dosa karena itu pula maka Allah
berhak disebut adil.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu
maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat azali seprti ilmu, Kudrat, hayat,
mendengar dan melihat yang bukan dengan zat
nya

sendiri.

Menurut

mereka

Allah

SWT

itu

mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan


meilahat dengan zatnya sendiri.
4. Kaum Qadariyah berpendapat

bahwa

akal

manusia mampu mengetahui mana yang baik dan


2 Zainuddin, (1992), Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta. Hal. 45
3 Ibid. hal. 47

mana

yang

menurunkan
sesuatu

buruk
agama.

ada

yang

walaupun
Sebab,

Allah

katanya

memiliki

sifat

tidak
segala
yang

menyebabkan baik atau buruk.


Selanjutnya terlepas apakah paham Qadariyah itu
di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas
di dalam Al-Quran dapat di jumpai ayat-ayat yang
dapat menimbulkan paham Qadariyah .
Dalam surat al-Raad Ayat 11, di jelaskan :

Artinya

Sesungguhnya

Allah

tidak

merobah

Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah


keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, allah menegaskan :

Artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya


dari

Tuhanmu;

Maka

Barangsiapa

yang

ingin

(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa


yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan
jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih
yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Dengan demikian paham Qadariyah memilki
dasar yang kuat dalam islam dan tidaklah beralasan
jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau
kelaur dari islam.
2. Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal
mengandung

arti

dari

memaksa

dan

kata jabara

yang

mengharuskannya

melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai


sifat al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya
Allah

Maha

Memaksa.

Ungkapan al-insan

majbur (bentuk isim maful) mempunyai arti bahwa


manusia

dipaksa

kata jabara (bentuk

atau

terpaksa.

pertama)

menjadi Jabariyah (dengan

Selanjutnya

setelah

menambah ya

ditarik
nisbah),

memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).4


Dalam sejarah, tercatat bahwa orang yang pertama
kali mengemukakan paham Jabariyah dikalangan umat
Islam adalah al-Jaad ibn Dirham. Pandangan-pandangan
4 Abuddin Nata, Ibid. Hal. 39

jaad

ini

kemudian

disebarluaskan

oleh

para

pengikutnya seperti Salim bin Safwan. Ia mengatakan


bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang
mengadakan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan
reflex atau gerak lain yang semacam atau perbuatanperbuatan

yang

kelihatannya

dikehendaki

atau

disengaja seperti berbicara, berjalan dan sebagainya.


Manusia tidak lain bagaikan bulu yang ditiup angin,
tidak mempunyai gerak sendiri.
Mengenai kemunculan paham Jabariyah ini, para ahli
sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan
geokultural

bangsa

Arab,

digambarkan

bahwa

kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun


pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan hidup mereka kepada
alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap-sikap
penyerahan diri terhadap alam. Sebenarnya benihbenih al-Jabbar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah
berikut ini :
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang
sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi
melarang

mereka

memperdebatkan

masalah

tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran


tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalfiah Umar bin Khattab pernah menangkap
seseorang

yang

diinterogasi

pencuri

ketahuan
itu

mencuri.

berkata,

Tuhan

Ketika
telah

menentukan aku mencuri. Mendengar ucapan itu


Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu Umar

memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman


potong tangan karena mencuri kedua, hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Pada
pemerintahan
Daulah
Bani

Umayyah

pandangan tentang Jabariyah semakin mencuat ke


permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya
memberka reaksi yang keras kepada penduduk Syiria
yang diduga berpaham Jabariyah.5
Paparan
di
ats
menjelaskan

bahwa

bibit

paham Jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam.


Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran
yang dianut dipelajari dan dikembangkan baru terjadi
pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah yakni
oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada
yang menyatakan bahwa kemunculannya diakibatkan
oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab qurra dan agama Kristen bermazhab
yacobt. Namun,

tanpa

pengaruh

asing

itu,

paham Jabariyah akan muncul juga di kalangan umat


Islam. Di dalam Alquran sendiri terdapat ayat-ayat yang
dapat menimbulkan faham ini, misalnya :

5 Harun Nasution, (1986), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta:


UI Press, cet. IV, Hal. 37

Artinya :

Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat

kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati


berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula)
segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka
tidak

(juga)

menghendaki,

akan

beriman,

tetapi

kecuali

kebanyakan

mengetahui. (Q.S. al-Anam : 111)

jika

Allah

mereka

tidak

Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan


apa yang kamu perbuat itu. (Q.S. al-Shaffat : 96)

Artinya : Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu

melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Q.S. alAnfal : 17)


Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang
pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang
menyebabkan

pola

pikir

Jabariyah

masih

ada

di

kalangan umat Islam hingga kini.


a. Pokok Pemikiran Jabariyah
Perlu ditegaskan bahwa paham Jabariyah yang
dikemukakan Jahm bin Safwan itu adalah paham
Jabariyah yang ekstrim dan disebut dengan istilah aljabariyah al-khalish. Sementara itu terdapat pula
paham Jabariyah yang moderat seperti diajarkan oleh
Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn Amir,

dan

diberi

istilah

dengan al-jabariyah

mutawasithah.6
Diantara doktrin
pendapatnya
bukan

bahwa

merupakan

kemauannya

Jabariyah
segala

perbuatan

sendiri

tetapi

ekstrim

perbuatan
yang

al-

adalah
manusia

timbul

perbuatan

dari
yang

dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang


mencuri

perbuatan

itu

bukanlah

terjadi

atas

kehendaknya sendiri tapi timbul karena qadha dan


qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
B. Asyariyah dan Mansuridiyah
1. Aliran Asyariyah
Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asyary keturunan dari
Abu Musa Al-Asyary salah seorang perantara dalam
sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asyari lahir tahun
260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M.
Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mutazilah
terkenal

yaitu

Al-Jubbai

mempelajari

ajaran-ajaran

Mutazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus


sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya
untuk mengarang buku-buku kemutazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di
rumahnya selama 15 hari, kemudian eprgi ke Mesjid
Basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa ia
mula-mula mengatakan Quran adalah makhluk, Tuhan
tidak dapat dilihat mata kepala, perbuatan buruk
manusia

sendiri

yang

membuatnya.

(semuanya

pendapat aliran Mutazilah). Kemudian ia mengatakan


Saya

tidak

lagi

memegangi

pendapat-pendapat

tersebut, saya harus menolak paham-paham orang

6 Ibid. Hal. 42

10

Mutazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan


kelemahan-kelemahannya.7
Al-Ayari meninggalkan aliran

Mutazilah

selain

karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran


tersebut

dalam

soal-soal

al-Ashlah

(keharusan

mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan) juga karena ia


melihat ada perpecahan di kalangan kaum Muslimin
yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera
diakhiri. Ia sangat mengkhawatirkan kalau Al-Quran
dan hadits-hadits Nabi akan menjadi korban fahamfaham aliran Mutazilah yang menurut pendapatnya
tidak

dapat

pemujaan

dibenarkan,

kekuatan

karena

akal

didasarkan

pikiran,

atas

sebagaimana

dikhawatirkan juga akan menjadi korban sikap ahli


hadits anthropomorphist yang hanya memegang lahir
(bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya
dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang
tidak dapat dibenarkan. Melihat keadaan demikian,
maka Asyari dan golongan textualist dan ternyata jalan
tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum
Muslimin.
a. Pokok Pemikiran Asyariyah
Al-Ayari sebagai orang yang pernah menganut
paham Mutazilah, tidak dapat menjauhkan diri dari
pemakaian
menentang

akal

dan

dengan

argumentasi
kerasnya

pikiran.

mereka

Ia

yang

mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam


soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak
pernah disinggung-singgung oleh Rasul merupakan
7 Ahmad Hanafi, (1974), Thelogy Islam (Ilmu Kalam), Jakarta:Bulan
Bintang. Hal. 58-59

11

suatu

kesalahan.

Sahabat-sahabat

Nabi

sendiri

sesudah wafat beliau, banyak membicarakan soalsoal baru dan meskipun demikian mereka tidak
disebut orang-orang yang sesat.
Ia menentang keras orang yang berkeberatan
membela agama dengan ilmu kalam (Thelogy Islam)
dan argumentasi pikiran, keberatan mana tidak ada
dasarnya dalam Quran maupun hadits.
Ia juga mengingkari orang yang berlebihlebihan

menghargai

akal

pikiran

yaitu

aliran

Mutazilah. Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat


Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan
Imam

Al-Asyari

seperti

yang

dilukiskan

oleh

pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang


ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi
Quran dan Hadits dengan menempatkannya sebagai
dasar (pokok) di samping menggunakan akal pikiran,
di mana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat
nas-nas tersebut.8
Ada beberapa pendapat Al-Asyari, antara lain :
1. Sifat
Pendapat Al-Asyari dalam soal sifat terletak di
tengah-tengah antara aliran Mutazilah di satu
pihak dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah di
lain pihak. Aliran Mutazilah tidak mengakui sifatsifat

wujud,

qidam,

baqa,

dan

wahdaniyah

(Keesaan). Sifat zat lain, seperti sama, bashar


dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri.
Golongan

8 Ibid. Hal. 107-108

Hasywiyah

dan

Mujassimah

12

mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifatsifat makhluk.


Al-Asyari dalam pada itu mengakui sifat-sifat
Tuhan yang tersebut sesuai dengan Zat Tuhan
sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifatsifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak
seperti kita mendengar dan seterusnya.9
2. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Menurut aliran Asyariyah faham kewajiban
Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (asshalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan
aliran Mutazilah tidak dapat diterima karena
bertentangan

dengan

paham

kekuasaan

dan

kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan AlGhazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban

berbuat

baik

dan

terbaik

bagi

manusia. Dengan demikian aliran Asyariyah tidak


menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban.
Karena berpendapat pada kekuasaan mutlak
Tuhan

dan

berpendapat

bahwa

Tuhan

tak

mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asyariyah


menerima

paham

pemberian

beban

di

luar

kemampuan manusia. Al-Asyari sendiri dengan


tegas mengatakan dalam al-Luma bahwa Tuhan
dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul
pada manusia.10
3. Melihat Tuhan pada hari Kiamat
Menurut aliran Mutazilah Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian,
9 Ibid, Hal. 108-109
10 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, (2003), Ilmu Kalam Untuk IAIN,
STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, Hal. 155-156

13

mereka menawilkan ayat-ayat yang mengatakan


adanya ruyat, di samping menolak hadits-hadits
Nabi yang menetapkan ruyat, karena tingkatan
hadits itu menurut mereka adalah Ahad.
Menurut golongan Musyabbihah Tuhan dapat
dilihat dengan cara tertentu dan pada arah
tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah
antara

kedua

golongan

tersebut,

Al-Asyari

mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat tetapi


tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada
arah tertentu.
Tuhan dapat dilihat di akhirat, dengan alasanalasan yang dikemukakannya ialah bahwa sifatsifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada
arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan
dilihat tidak membawa kepada hal ini karena apa
yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti
bahwa

ia

mesti

bersifat

diciptakan.

Dengan

demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu


tidak

mesti

berarti

Tuhan

harus

ebrsifat

diciptakan.11
4. Dosa besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asyari
sebagai wakil ahl As-Sunnah tidak mengafirkan
orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun
melakukan

dosa

besar

seperti

berzina

dan

mencuri. Menurutnya mereka masih tetap orang


yang beriman dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi
11 Harun Nasution, Op.Cit. Hal. 69

14

jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan


dibolehkan

(halal)

dan

tidak

meyakini

keharamannya ia dipandang telah kafir.


Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku
dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertobat

maka

menurut

Al-Asyari

hal

itu

ebrgantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha


Berkehendak

Mutlak.

Tuhan

dapat

saja

mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu


mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW
sehingga

terbebas

dari

siksa

neraka

atau

kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan


neraka

sesuai

dengan

ukuran

dosa

yang

dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal


di

neraka

seperti

orang-orang

kafir

lainnya.

Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia


akan dimasukkan ke dalam surga.
5. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asyari dan Mutazilah setuju
bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam
memandang

makna

sependapat

keadilan.

dengan

Al-Asyari

Mutazilah

tidak
yang

mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia


harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala bagi orang yang baik.
Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan
apapun

karena

ia

Dengan

demikian,

adalah
jelaslah

Penguasa
bahwa

Mutlak.

Mutazilah

mengartikan keadilan dari visi manusia memiliki

15

dirinya, sedangkan Al-Asyari dari visi bahwa Allah


adalah pemilik mutlak.12
Aliran Asyari seterusnya menentang faham
keadilan

yang

dibawa

Mutazilah.

Dengan

demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran


Mutazilah tentang al wad wa al-waid.
b. Tokoh-tokoh Asyariyah
Suatu utama bagi kemajuan aliran Asyariyah,
ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang
kenamaan seperti yang telah disinggung di atas yang
mengkonstruksikan

ajaran-ajarannya

atas

dasar

filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain


13

:
1. Al-Baqillani (wafat 403 H)
2. Ibnu faurak (wafat 406 H)
3. Ibnu ishak al-Isfaraini (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al-Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al-Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al-Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As-Syihristani (wafat 548 H)
10.
Ar-Razi (1149 1209 H)
11.
Al-Iji (wafat 756 H / 1359 M)
12.
As-Sanusi (wafat 895 H).
2. Aliran Maturidiyah
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid sebuah
kota kecil di daerah Samarkand wilayah Transoxiana di
Asia Tengah daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Ia dieprkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-3
Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M.
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama
Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268
12 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ibid. Hal. 123-124
13 Harun Nasution, Op. Cit, Hal. 70

16

H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil


yang memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.14
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan
untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini
dilalukan

untuk

menghadapi

memperkuat

faham-faham

berkembang

pada

pengetahuan

teologi

yang

masyarakat

Islam,

dalam
banyak
yang

dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar


menurut

akal

dan

syara.

Pemikiran-pemikirannya

banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis.


Maturidy semasa hidupnya dengan Asyari , hanya
dia hidup di Samarkand sedangkan Asyari hidup di
Basrah (Iraq). Maturidy adalah pengikut mazhab Hanafy.
Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam
soal-soal keprcayaan kepada pikiranpikiran Abu Hanifah
yang tercantum dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar dan alFiqh

al-Absat

terhadap

dan

kedua

memberikan
kitab

ulasan-ulasannya

tersebut.

Al-Maturidy

meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan


sebagian besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.15
a. Ajaran-Ajaran Teologi Al-Maturidi
1. Akal dan wahyu
Dalam pemikirannya Al-Maturidi mendasarkan
pada Al-Quran dan akal namun porsi untuk akal
lebih banyak. Menurut al-Maturidi mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
14 Musthafa Al-Maraghi, (1947), Al-fath Al-Mubin fi tabaqat AlUshuliyyin, Jilid I, An-Nasyr Muhammad Amin wa Syirkah, cet.II, Hal.
182-183
15 Ahmad Hanafi, (1974), Theology Islam Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan
Bintang, Hal. 70

17

mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan


ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar
manusia

menggunakan

akal

dalam

usaha

memperoleh pengetahuan dan keimanan kepada


Allah SWT.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal
pada 3 macam yaitu :
a. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
keburukan sesuatu itu
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
2. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan karena seagla sesuatu dalam wujud
ini

adalah

ciptaan-Nya.

Khusus

mengenai

perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan


kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajibankewajiban yang dibebankan kepadanya dapat
dilaksanakannya.
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Qudrat
Tuhan
tidak
sewenang-wenang
(absolut) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan
yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4. Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama,
bashar dan sebagainya. Pengertian al-Maturidi
tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asyari. AlAsyari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu
yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu
sendiri.

Sedangkan

Al-Maturidi

berpendapat

18

bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya


dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat
Tuhan itu mulzamah dzat tanpa terpisah.
5. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat
melihat Tuhan kelak di akhirat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia
immaterial.
6. Kalam Tuhan
Menurut Maturidi, Mutazilah memandang AlQuran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan
kata-kata, sedangkan Asyari memandangnya dari
segi

makna

abstrak.

Kalam

Allah

menurut

Mutazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan


pula dari dzat-Nya. Al-Quran sebagai sabda Tuhan
bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan
Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini
diterima al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih
suka

menggunakan

pengganti
Dalam

makhluk

konteks

ini,

istilah
untuk

hadits

sebutan

pendapat

sebagai
Al-Quran.

Al-Asyari

juga

memiliki kesamaan dengan pendapat al-Maturidi,


karena yang dimaksud Al-Asyari dengan sabda
adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi
menurut al-Maturidi dan itu memang sifat kekal
Tuhan.16
7. Pengutusan Rasul
Menurut
al-Maturidi
bimbingan

ajaran

wahyu

akal
untuk

memerlukan
mengetahui

kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan


16 Mahmud Qasim, (1969), Fi Ilmi kalam, Maktabah Al-Anglo alMishriah, Kairo, Hal. 70

19

Rasul

ebrfungsi

sebagai

sumber

informasi.

Pandangan al-Maturidi ini tidak jauh berbeda


dengan pandangan Mutazilah bahwa pengutusan
Rasul itu kewajiban Tuhan
8. Pelaku dosa besar
Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum
bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan
akan memebrikan balasan manusia sesuai dengan
perbuatannya.

Kekal di dalam neraka adalah

untuk orang-orang musyrik.


C. Mutazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan
antar

aliran

Khawarij

dan

aliran

Murjiah

mengenai

persoalan orang mukmin yang berdosa besar. Menghadapi


dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang ketika itu menjadi
murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra,
mendahuli gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil
mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya,
orang itu bukan mukmin dan bukan kafir.
Aliran Mutazilah merupakan golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan
bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak
memakai akal sehingga mendapat nama kaum rasionalis
Islam.
Setelah

menyatakan

pendapat

itu,

Wasil

bi

Ata

meninggalkan perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk


kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal dengan Muktazillah.
Pada awal perkembangannya aliran ini tidak mendapat
simpati

umat

Islam

karena

ajaran

Muktazillah

sulit

dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal itu

20

disebabkan ajarannya bersifat rasional dan filosofis. Alas


an lain adalah aliran Muktaszillah dinilai tidak berpegang
teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat.
Aliran

baru

ini

pemerintahan

memperoleh

Khalifah

dukungan

pada

masa

penguasa

Bani

mempunyai lima dokterin

yang

al-Makmun,

Abbasiyah.
1. Pokok Pemikiran
Aliran Muktazillah

dikenal dengan al-usul al- khamsah. Berikut ini kelima


doktrin aliran Muktazillah.17
a. At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini
sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid
menurut

mereka

adalah

paling

murni

sehingga

mereka senang disebut pembela tauhid (ahl alTauhid).


b. Ad-Adl
Menurut

aliaran

Muktazillah

pemahaman

keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan


wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim
kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa
tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia.
Misalnya,

tidak

memberi

beban

terlalu

berat,

mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya


manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wad wa al-Waid (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati
janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam
sorga.

Begitu

juga

menempati

ancaman-Nya

mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa


besar ke dalam neraka.
17 Drs. H. M Yusran Asmuni, (1996), Ilmu Tauhid, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, Hal. 114

21

d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua


Posisi).
Pemahaman
pertama

yang

ini
lahir

merupakan
di

ajaran

kalangan

dasar

Muktazillah.

Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam


yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa
besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia
juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik.
Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke
neraka selama-lamanya. Akan tetapi, sikasanya lebih
ringan daripada orang kafir.
e. Amar Maruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan
Kebajikan dan Melarang Kemungkaran).
Dalam prinsip Muktazillah setiap muslim wajib
menegakkan

yang

maruf

dan

menjauhi

yang

mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka pernah


memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang
yang menentang akan dihukum.
D. Syiah
Syiah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut,
pendukung atau kelompok. Sedangkan secara terminologis
adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya merujuk pada keturunan Nabi
(ahlul-Bait). Point penting dalam syiah adalah pernyataan
bahwa petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait.
Mereka menolak petunjuk-petunjuk dari sahabat yang
bukan ahlul bait atau pengikutnya.
Ajaran syiah berawalan pada sebutan untuk pertama
kalinya kepada pengikut Ali (Syiah Ali), pemimpin pertama
ahlul bait pada masa Rasulullah SAW hidup. Kejadiankejadian pada awal munculnya Islam dan pertumbuhan
Islam selanjutnya selama 23 tahun masa kenabian.

22

Kaum syiah ialah orang-orang yang menyokong Ali


bin Abi Thalib ra. Ali telah mempunyai pendukungpendukung sejak permulaan sesudah wafat Rasulullah
SAW, di antaranya Jabir Ibnu Abdillah, Huzaifah Ibnu
Yaman, Salman Al Farisi, Abu Zar Al Gifari dan lainnya.
Inti ajaran syiah adalah berkisar masalah khalifah. Jadi
masalah politik yang akhirnya berkembang dan bercampur
dengan masalah-masalah agama.18
1. Cabang-cabang Syiah
a. Syiah Imamiyah atau syiah Itsna Asyariyah
Dinamakan syiah Imamiyah karena

yang

menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam


(dalam arti khalifah). Syiah Imamiyah juga terkenal
sebagai syiah Itsna Asyariah, sebabnya karena
mempunyai dua belas Imam saja.
Dua belas yang mereka yakini ialah :
1. Al-Murtadha, lahir tahun 23 SH, wafat tahun 40 H
(Abdul Hasan Ali bin Abi Thalib).
2. Azzaky, lahir tahun 2 H, wafat tahun 50 H (Abu
Muhammad Hasan bin Ali).
3. Sayyidusy Syuhada, lahir tahun 3 H, wafat tahun
61 H.
4. Zainal Abidin, lahir tahun 38 H, wafat 95 H (Abu
Muhammad Ali bin Husien)
5. Al-Baqir, lahir tahun 57 H, wafat 114 H (Abu Jafar
Muhammad bin Ali).
18 A. Syalabi, (1995), Sejarah Dan kebudayaan Islam 2, terj. Prof. Dr.
H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief, PT. Al Husna Zikra, Jakarta,
Hal. 176.

23

6. Ash-Shadiq, lahir tahun 83 H, wafat 147 H (Abu


Abdillah Jafar bin Muhammad).
7. Al-Kazhim, lahir tahun 128 H, wafat tahun 183 H
(Abu Ibrahim Musa bin Jafar).
8. Ar-Ridha, lahir tahun 148 H, wafat tahun 203 H
(Abu Hasan Ali bin Musa)
9. Al- Jawwad, lahir tahun 195 H, wafat tahun 220 H
(Abu Jafar Muhammad bin Ali).
10.

Al-Hadi, lahir tahun 212 H, wafat tahun 254 H

(Abdul Hasan Ali bin Muhammad)


11.

Al-Askari, lahir tahun 232 H, wafat tahun 260 H

(Abu Muhammad bin Ali)


12.

Al-Mahdi, lahir tahun 256 H (Abul Qasim

Muhammad bin Hasan).


13.

Syiah Zaidiyah

Disebut Syiah Zaidiyah karena sekte ini mengakui


Zaid bin Ali sebagai Imam yang kelima, putra Imam
keempat,

Zainal

Abidin.

Kelompok

ini

berbeda

dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhammad


Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, Zaidiyah
diambil.19

19 Agnas Golziher, (1991), Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj.


Heri Setiawan, INIS, Jakarta, Hal. 121

24

Oleh karena itu, kelompk Syiah Zaidiyah tidak


menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai perampas
hak kekhalifahan yang seyogyanya diperuntukan
bagi Ali. Jadi, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar
adalah sah menurut mereka meskipun yang lebih
berhak adalah Ali.
Dalam masalah akidah, mazhab Zaidiyah lebih
condong kepada Mutazilah. Imam Zaid tokoh pendiri
mazhab ini (Zaidiyah) adalah murid dari Washil bin
atha yang bapak moyangnya Mutazilah. Dalam
masalah fiqh mereka lebih mirip dengan mazhab
Syafii.
2. Syiah Ismailiyah
Ismailiyyah adalah
Imamiyyah.

Dalam

bagian

sejarah

dari

Islam

aliran

mereka

Syiah
tercatat

pernah berjaya dengan suatu kekuasaan yang besar,


yaitu Dinasti Fatimiyyah di Mesir dan Syam. Nama aliran
ini dinisbahkan kepada Ismail bin Jafar al-Shadiq. Ia
adalah imam keenam dalam aliran Imamiyyah dua
belas. Imam berikutnya adalah Musa Al-Kazim sebagai
imam ketujuh. Namun aliran Ismailiyyah menetapkan
bahwa imam ketujuh adalah anaknya yang bernama
Ismail. Mereka mengatakan bahwa hal itu berdasarkan
nash

dari

ayahnya,

Jafar

tetapi

Ismail

wafat

mendahului ayahnya. Walaupun Ismail telah wafat,


mereka tetap menerapkan nash itu, sehingga keimaman
terus berlangsung setelah Ismail wafat. Prinsip mereka
ialah

mengamalkan

nash

itu

lebih

baik

daripada

meninggalkannya. Hal itu tidak mengherankan karena


mereka memandang ucapan-ucapan seorang imam

25

sepenuhnya sama dengan nash-nash syara yang wajib


dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan.
Hak keimaman melalui Ismail berpindah kepada
anaknya

Muhammad

al-Maktum.

Sejak

Muhammad

mulailah ada doktrin bahwa para imam tersembunyi


atau

tertutup,

karena

mereka

menetapkan

bahwa

seorang imam dapat saja tersembunyi dan tetap wajib


dipatuhi.

Tersembunyinya

seorang

imam

tidak

menghalanginya untuk menjadi imam.


Setelah Muhammad al-Maktum yang menajdi imam
berturut-turut ialah Muhammad al-Habib ibn Muhammad
al-Maktum dan anak al-Habib, Abdullah al-Mahdi yang
kemudian menampakkan dirinya di Afrika Utara dan
kerajaan Maghrib. Daulah Fathimiyyah di Mesir timbul
setelah Abdullah al-Mahdi muncul.20
Karena menganut paham Syiah, para pengikutnya
mengalami penderitaan dan diburu sehingga melarikan
diri dari Irak ke Persia, Khurasan dan kawsan-kawasan
Islam lainnya sepertin India dan Turkistan. Di daerahdaerah itu paham aliran ini bercampur dengan sebagian
kepercayaan Persia kuno dan pemikiran filsafat India.
Karena dipengaruhi paham dan pemikiran-pemikiran itu,
banyak penganut aliran Ismailiyyah yang menyimpang
sehingga mereka banyak mengikuti hawa nafsunya.
Itulah sebabnya muncul kelompok-kelompok baru yang
membawa nama aliran Ismailiyyah yang sebagiannya
masih dalam ruang lingkup pemahaman ajaran Islam,
tetapi sebagian lagi menyimpang karena pahamnya
telah tercemar dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pokok Islam.
20 Ibid. Hal. 57

26

Aliran

Ismailiyyah

dinamai

juga

dengan

al-

Bathiniyyah (al-Bathiyyun) antara lain karena mereka


selalu mengatakan bahwa imam mereka tesrembunyi,
dan selalu tersembunyi sampai munculnya kerajaan
mereka di Maghrib yang kemudian pindah ke Mesir.
Sebab lain ialah karena mereka mengatakan bahwa
syariat itu ada yang lahir dan ada yang bathin.
Masyarakat

Islam

hanya

mengetahui

yang

lahir,

sedangkan imam mengetahui yang bathin, malah yang


lebih mendalam lagi dari itu. Dengan alasan itu mereka
mentawilkan ayat-ayat Al-Quran dengan tawil yang
sangat jauh. Pendapat mereka dalam masalah ilmu lahir
dan ilmu bathin ini sama dengan pendapat aliran
Imamiyyah dua belas. Sebagian aliran tasawuf juga
mengadopsi paham ini.
Pendapat-pendapat yang dianut oleh kalangan aliran
Ismailiyyah yang moderat didasarkabn atas tiga teori
yang sebagian besar dianut juga oleh aliran Ismailiyyah
dua belas, yaitu :
1. Limpahan cahaya Illahi (al-Faidh al-Illahi) dalam
bentuk pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada
para Imam.
2. Seorang imam tidak mesti menampakkan diri dan
dikenal, tetapi dapat tersembunyi dan meskipun
begitu ia wajib dipatuhi. Ia adalah al-Mahdi yang
akan memberi petunjuk kepada manusia.
3. Seorang imam tidak bertanggung jawab kepada
siapa

pun,

dan

siapa

pun

tidak

boleh

27

mempersalahkannya

ketika

ia

melakukan

suatu

perbuatan.

BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai
pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat
kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa
Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami
pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah
dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang
kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan
tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang
bersumber pada al-Quran dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapatpendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana
penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat
nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia
mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan
peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa
menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada
kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan
manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.

28

DAFTAR PUTSAKA
Abuddin Nata, (1995) Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf.
Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta,
1992
Harun Nasution, (1986), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
Jakarta: UI Press, cet.
IV
Ahmad

Hanafi, (1974),

Thelogy

Islam

(Ilmu

Kalam), Jakarta:Bulan Bintang.


Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, (2003), Ilmu Kalam Untuk
IAIN, STAIN,
PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia
Musthafa Al-Maraghi, (1947), Al-fath Al-Mubin fi tabaqat
Al-Ushuliyyin, Jilid I, AnNasyr Muhammad Amin wa Syirkah, cet.II
Ahmad

Hanafi,

(1974),

Theology

Islam

(Ilmu

Kalam, Jakarta: Bulan Bintang


Mahmud Qasim, (1969), Fi Ilmi kalam, Maktabah Al-Anglo
al-Mishriah, Kairo

29

Drs. H. M Yusran Asmuni, (1996), Ilmu Tauhid, Jakarta : PT


RajaGrafindo Persada
Prof. Dr. A. Syalabi, (1995), Sejarah Dan kebudayaan Islam
2, terj. Prof. Dr. H.
Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief, PT. Al Husna
Zikra, Jakarta
Agnas Golziher, (1991), Pengantar Teologi dan Hukum
Islam, terj. Heri Setiawan, I
NIS, Jakarta

30

ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM DAN POKOK


PEMIKIRAN
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Semester VI PAI A
Pada Mata Kuliah
MATERI PAI SMA/MA

Disusun Oleh Kelompok : VII


Nur Salim

: 2013. 1748

Andi Siregar

: 2014. 1936

Dosen Pembimbing :
Martonno, MA

31

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN
ILMU AL-QURAN (STAI-PIQ)
SUMATERA BARAT
2016 M /1437 H

Anda mungkin juga menyukai