Anda di halaman 1dari 6

PENYEBARAN dan ALIRAN-ALIRAN ISLAM di INDONESIA

1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Sunni atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah seseorang yang mengikuti
Nabi serta para Sahabatnya. Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang
perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa
Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara
pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa
Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India
atau langsung dari Timur Tengah.[4] Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama
Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang
pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal
Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran
Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional
telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.

Sumber hukum dari aliran ini adalah Alauran, Al Hadist. Selain itu juga mengakui
Ijma dan Qiyas sebagai sumber hukum. “Bagi Ahli Sunnah wal Jamaah sumber
hukumnya banyak. Ada Alquran yang pertama, yang ke dua Hadist, yang ketiga
Ijtimak, yang keempat baru Qiyas,” sambung Ustadz Rizki.

2. Syiah
Syiah adalah aliran yang mengikuti Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan
kepemimpinannya baik. Ada banyak pendapat akan awal munculnya aliran ini salah
satunya pendapat ulama Syiah yang mengatakan, Muncul sejak Zaman nabi
Muhammad SAW. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
ialah, Syiah muncul pada akhir pemerintahan Ustman bin Affan.

Mereka berpendapat bahwa sahabat - sahabat Nabi kecuali Sayidina Ali tidak benar.
Syiah sendiri terbagi menjadi banyak kelompok.

Aliran Syiah mempunyai pendapat bahwa Alquran yang sekarang mengalmi


perubahan dan pengurangan. Sedangkan yang asli berada di tangan Al Imam Al
Mastur (Syiah Imamiyah). Aliran Syiah juga tidak mengamalkan Hadist kecuali dari
jalur keluarga Nabi Muhammad (Ahlul Bait). Selain itu Syiah juga memperbolehkan
nikah Mut’ah, yang kita kenal dengan istilah kawin kontrak, yang mana, pernikahan
suami – istri akan waktu yang telah disepakati pada akad.

3. Khawarij
Asal kata Khawarij adalah Kharijiy yang berarti keluar. Pada sejarahnya aliran
khawarij, seperti yang ditulis di atas, merupakan aliran yang tidak setuju dengan
adanya perdamaian antara Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah saat perang
siffin. “Yang dimaksud Khawarij itu dia yang keluar dari dari golongan sayidina Ali,
dia yang keluar dari golongan Nabi Muhammad,” sambung Ustadz Rizki Nugroho.
Mereka menganggap Ali serta orang – orang yang menyetuji perjanjian tersebut
mendapatkan dosa besar, maka orang tersebut dapat dikatakan orang yang kafir.
Mereka juga menganggap orang-orang yang seperti itu halal darahnya.

Menurut Farid Zainal Effendi, orang-orang khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa
besar adalah kafir. Mereka juga menyebut, orang yang tidak sepaham dengan mereka
maka anak, istri mereka boleh ditawan, dijadikan budak atau dibunuh, menurut
khawarij Al Azariqoh, sedangkan tidak untuk khawarij Al Ibadiyah, mereka bukan
mukmin dan bukan kafir, maka membunuh mereka adalah haram. Tidak hanya itu,
mereka berpendapat bahwa surat Yusuf bukan termasuk dalam Alquran, karena
mengandung cerita cinta.

4. Mutazilah
Menurut buku yang ditulis Harun Nasution, Mutazilah adalah golongan yang
membawa persoalan teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofi. Artinya dalam
membahas persoalan persoalan agama, kaum Mutazilah lebih banyak menggunakan
akal yang lebih bersifat rasional. Mereka juga mendapat julukan sebagai “kaum
rasionalis islam”

Awalnya, Wasil bin Atha dan seorang temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan al
Basri (guru Wasil dan Amr bin Ubaid) karena terdapat adanya perselisihan di dalam
Majlisnya tentang persoalan orang yang berdosa besar. Akhirnya Hasan Al Basri
mengatakan “Wasil menjauhkan dari kita, (I’tazala’anna). Dengan demikian dia serta
teman-temannya, kata Al Syaharastani, disebut kaum Mu’tazilah.

Aliran dalam islam ini berpendapat bahwa, orang islam yang berdosa besar bukan
kafir juga bukan mukmin, akan tetapi berada di antara keduanya. Mereka hanya
mengakui Isra Rasulullah ke Baitul Maqdis tetapi tidak mengakui Mi’raj nya ke
langit. Selain itu mereka tidak percaya akan Azab kubur, malaikat pencatat amal,
Arsy dan kursi Allah. Selain tidak percaya ada azab kubur, mereka juga tidak percaya
dengan adanya Mizan (timbangan amal), Hisab (perhitungan amal), dan syafaat nabi
di Hari Kiamat.

5. Murjiah
Masih dalam buku Aliran dalam Islam, Murjiah berasal dari Kata Irja yang artinya
menangguhkan. Murjiah muncul pada abad pertama hijriah, yang muncul karena
perbedaan dua pendapat, yaitu syiah dan khawarij. Kaum syiah mengkafirkan para
sahabat, yang menurut mereka menghina ke Khalifahan dari Ali. Sedangakan kaum
Khawarij, mereka mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyah. Maka pada saat itulah
muncul golongan umat islam, yang menjauhkan dari hal kafir mengkafirkan kedua
keompok tersebut.
“Sekte Murji'ah muncul sebagai reaksi atas sikap yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana yang
dilakukan kaum khawarij,” ujar Ustad Asroni Al Paroya, Ketua Forum Komunikasi
Dai Muda Indonesia untuk Jakarta Timur.

Pendapat Aliran dalam islam ini terbagi menjadi dua, golongan Moderat, dan
golongan Ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa, orang berdosa bukan kafir
dan tidak kekal dalam Neraka.
Sedangkan golongan Ekstrim berpendapat bahwa Orang Islam yang percaya pada
Allah kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak menjadi kafir karena iman
itu letaknya di dalam hati, bahkan meskipun melakukan ritual agama-agama lain.
“Perbedaan teologi adalah perbedaan dalam hal mengkafirkan,” sambung ustadz
Asroni.

6. Qadariyah
Qadariyah berasal dari kata qadr yang artinya mampu atau berkuasa. Kaum Qadariyah
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya.

Selain itu, mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan
sendiri untuk mewujudkan perbuatan – perbuatannya. Maka, nama Qodariyah
berangkat dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai takdir yang sudah ditetapkan Allah SWT. Ustad Asroni Al Paroya juga
mengatakan bahwa, Qadiriyah berkeyakinan mengingkari Taqdir Allah, atau segala
perbuatan makhluk di luar kehendak Allah

7. Jabariyah
Berbeda dengan Qadariyah, aliran Jabariyah justru berbanding terbalik dengan
Qadariyah. Jabariyah berasal dari kata jabr yang artinya paksaan. Aliran ini
ditonjolkan pertama kali Jahm bin Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang
memberontak pada Bani Umayyah di Khurasan. Memang dalam aliran ini terdapat
faham bahwa manusia mengerjakan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa.

Aliran ini berpendapat bahwa, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam


menentukan kehendak dan perbuatannya. Perbuatan – perbuatan manusia telah di
tentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.

Tidak semua aliran dalam islam di atas masih ada hingga kini. Karena pada zaman
dahulu aliran tersebut muncul sebagai senjata untuk merebut kekuasaan. Seperti
khawarij, mereka muncul karena tidak setuju dengan kebijakan yang diambil oleh
Sayidina Ali untuk berdamai dengan Muawiyah. Sehingga pada akhirnya pengikut Ali
bin Abi Thalib mempunyai dua musuh, yaitu Khawarij dan juga Muawiyah.
Lahirnya beragam aliran atau sekte di dalam Islam tak lepas dari situasi sosial-politik, di
samping dinamika pemikiran dan pencarian spiritualitas. Perbedaan paham antar aliran yang
rentan menyulut konflik mestinya tak semata-mata dilihat dari kacamata teologis, tetapi juga
sosiologis.

Tahun 2011 lalu, fakta keagamaan di Indonesia ditutup dengan catatan buram. Di penghujung
Desember, kompleks madrasah, rumah ibadah dan kediaman pemuka kaum sekte Syi’ah di
Sampang Madura dibakar. Jamak pihak menduga konflik itu berpangkal dari seteru keluarga
yang beda paham, yakni kakak beradik yang mengikuti Sunni dan Syi’ah. Masalah pribadi
yang disangkutkan perbedaan keyakinan, memang bisa dengan mudah dimanfaatkan untuk
memobilisasi kelompok.

Mafhum jika taksiran yang muncul adalah adanya pihak ketiga yang sengaja memecah belah
Sunni dan Syiah. Tidak sesederhana itu, sejauh konflik itu berbelitan dengan “prasangka
sesat” yang ditujukan kepada sekte Syi’ah di Indonesia selama ini. Mengingat, gesekan antara
Sunni dan Syi’ah di Madura sebetulnya cukup panjang.

Pada tahun 2006, sekitar 50 Ulama Madura mengeluarkan maklumat atas ajaran Syi’ah yang
disebarkan Tajul Muluk Ma’mun di Sampang tersebut. Ajaran yang disebarkan Tajul Muluk
Ma’mun dinilai Syi’ah Ghulah (Rifadlah) karena sebagian doktrin yang membenci dan
merendahkan Sahabat Nabi atau khulafa’ ar-rasyidin, di samping berlebih-lebihan di dalam
ahl al-bait. Jadi, tidak mustahil konflik tersebut adalah akumulasi dari kegirisan masyarakat
Madura terhadap sebagian ajaran Syi’ah yang didakwa keliru.

Belum lama ini Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss menyoroti perkara intoleransi
agama yang marak terjadi di Indonesia. Pembandingan PBB terkait intoleransi keagamaan di
Indonesia dengan negara-negara lain semata-mata mengacu perkara hak asasi manusia bisa
jadi memang kurang komprehensif. Mengingat, Indonesia terbangun atas bermacam suku dan
tradisi yang turut mewarnai keyakinan atau ekspresi keagamaan.

Di banding negara-negara lain, variasi kelompok keagamaan di Indonesia lebih kompleks.


Terkait itu, Menteri Agama Suryadharma Ali justru menyarankan agar negara lain belajar
toleransi ke Indonesia. Ia “menantang” negara-negara lain untuk menunjuk negara mana di
belahan dunia ini yang memberikan toleransi beragama secara longgar seperti di Indonesia.
Penilaian PBB tersebut juga dibantah oleh mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi.
Menurutnya, tuduhan PBB itu tak berdasar. Sebaliknya, Hasyim membandingkan sempitnya
toleransi agama di Swiss yang sampai kini tidak memperbolehkan pendirian menara masjid,
atau di Prancis yang masih mempermasalahkan jilbab.

Kilas Balik Sejarah

Fenomena keragaman aliran yang rentan meletuskan konflik sosial umat bukan Cuma terjadi
sekarang ini. Berpuluh abad silam, di zaman klasik ketika perkembangan Islam mulai
signifikan, konfrontasi politik maupun perbedaan pemikiran teologi telah sukses membidani
kelahiran banyak sekte atau aliran (firqah) dalam Islam.Ahli sejarah Arab Philip K Hitti
(2005) menjelaskan, pada paruh pertama abad ke-8, yakni masa Dinasti Umayyah, muncul
satu gerakan pemikiran filosofis yang lantas kondang dengan sebutan Mu’tazilah. Sekte ini
mengedepankan akal dalam berteologi. Selain itu mengusung paham kebebasan berkehendak.
Paham itu diikuti kaum Qadariyah yang saat itu bertolakbelakang dengan Jabbariyah dalam
memahami takdir.Sementara itu, muncul sekte politik keagamaan seperti Khawarij, Syi’ah
dan Murji’ah. Ketiganya lahir di tengah kegentingan politik kekhalifahan Islam semenjak
masa sahabat.

Embrio Syi’ah adalah kelompok politik yang mendukung Ali sebagai pewaris sah
kepemimpinan Rasulullah. Syi’ah mengukuhi sistem imamah sebagai landasan politik Islam,
yang secara ideologis dipertentangkan dengan khilafah. Dalil politik itu lantas mekar dalam
wacana teologi Syi’ah yang meyakini keturunan Ali (ahl al-bait) sebagai imam sejati.Masih
menurut Hitti, di sebelah Syi’ah ada Khawarij. Mulanya adalah pendukung setia Ali yang
kemudian keluar dari barisan. Kelompok politik ini berulang kali mengangkat senjata
menuntut hak istimewa Bany Quraisy untuk menduduki tahta kekhalifahan. Dalam teologi,
khawarij tergolong pendukung utama gerakan puritanisme Islam. Melarang praktik-praktik
kultus terhadap orang suci, selain memberangus kelompok-kelompok persaudaraaan para
sufi.Di antara Syi’ah dan Khawarij bercokol kaum Murji’ah yang cenderung netral menyikapi
konfrontasi politik dan inklusif dalam berteologi. Murji’ah memandang hanya Allah yang
berhak menghukum manusia yang berbuat dosa.Sunni muncul belakangan, dan lebih di aras
pemikiran. Weinata Sairin (2006) mencatat, sekte Sunni muncul sebagai reaksi pemikiran
Mu’tazilah yang mengesampingkan al-Qur’an dan as-Sunnah jika tak diterima akal. Lahirnya
Sunni yang dipelopori Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi adalah sekaligus
buntut pertikaian politik dan akidah yang mengguncang persatuan umat muslim saat itu.
Sunni condong kompromistis dalam menyikapi pertikaian politik maupun perdebatan
teologis.Kilas balik sejarah itu menunjukkan, munculnya sebagian aliran dalam Islam berakar
dari pergelutan politik. Klaim-klaim teologis banyak direproduksi untuk menopang
kepentingan sekte politik. Sementara itu, sebagian sekte juga muncul karena gejolak
pemikiran teologi Islam.Perkembangan sekte-sekte di dalam Islam sekarang ini lebih
bervariasi. Kini bermacam mazhab atau paham muncul dalam fiqih, begitu juga dalam
tasawuf. Satu sekte pun melahirkan beberapa subsekte yang mempraktikkan ajaran-ajaran
berlainan.

Gerakan “Agama Baru”Fenomena aliran Islam di Indonesia kontemporer bukan terbatas pada
penampakan aliran-aliran besar seperti Sunni, Syi’ah, maupun Mu’tazilah. Banyak aliran
muncul dengan modus mengawinkan ajaran Islam dengan kepercayaan lokal. Perkawinan
ajaran itu memang berbau sinkretik di satu sisi, dan di sisi lain merupakan upaya
mengintegrasikan nilai atau tradisi lokal dengan ajaran Islam di dalam sistem religi. Taruhlah
Islam Wetu Telu/Islam Sasak, Islam Aboge, atau sejenis Islam Kejawen.
Persinggungan Islam di Indonesia dengan Timur Tengah juga menjadi medium bagi
masuknya varian sekte Wahabi atau Salafi sekitar abad ke 19. Di samping agenda
puritanisme Islam, sekte tersebut juga menyusupkan ideologi politik yang hendak
diperjuangkan. Kini Salafi-Wahabi secara terselubung memekarkan akar-akarnya lewat
ormas-ormas keagamaan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Negara Islam Indonesia (NII), Front Pembela Islam dan sejenisnya. Selama ini
mereka getol memperjuangkan tegaknya sistem khilafah. Perbincangan mengenai aliran
Islam di Indonesia terkini tidak bisa lepas dari gerakan pencarian spiritualitas yang lantas
membentuk atau memunculkan varian baru Islam. Krisis spiritualitas di zaman modern
memicu menjamurnya gerakan-gerakan sempalan. Sepanjang abad 20 hingga kini, di
Indonesia menjadi “ladang gembur” bagi tumbuhnya sekte-sekte kecil, yang populer di
antaranya Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi’ah,
Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Al-Qiyadah al-Islamiyah, gerakan Usroh,
Salamullah/Lia Eden, Brahma Kumar atau aliran tasawuf dan tarekat yang berfaham
wahdatul wujud.Menurut Mukhsin Jamil (2008), seorang pemikir sekaligus peneliti kajian
keagamaan, varian-varian Islam itu tergolong sebagai gejala “gerakan agama baru”. Tiga
sebab yang melatarinya, pertama, gerakan spiritualitas pencarian, seperti Lia Eden, Al-
Qiyadah al-Islamiyah atau Brahma Kumar. Kedua, revitalisasi tradisionalisme seperti
tercermin dalam gerakan sufisme kota atau kelompok-kelompok fundamentalis-radikalis.
Ketiga, revitalisasi agama lokal, misal Sunda Wiwitan, Budho Tengger atau Samin.

Memahami Islam acap buntu jika melulu dipandang dari sudut teologis yang berujung pada
klaim “sesat-menyesatkan”. Bahkan klaim semacam itu kerap dijadikan dalih yang
membenarkan aksi-aksi anarkistis yang semakin memperkeruh toleransi beragama.Fenomena
aliran agama di Indonesia kini perlu dilihat pula dengan pendekatan sosiologis. Dalam
pendekatan itu, label ortodoks (sesuai ajaran) dan sempalan bukan konsep abadi dan mutlak,
tetapi relatif dan dinamis. Martin Van Bruinessen (1992), seorang pemerhati Islam Indonesia
menilai, secara politis ortodoksi adalah paham yang didukung penguasa, sedangkan paham
yang tidak disetujui dicap “sesat”. Bruinessen juga mensinyalir, gerakan sempalan seringkali
lahir sebagai penolakan terhadap paham dominan, sekaligus merupakan protes sosial-politik.

Anda mungkin juga menyukai