Anda di halaman 1dari 9

“Kelahiran Aswaja Di Indonesia”

Oleh : Subhi Amali

1. Awal lahirnya Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

Kemunculan Aswaja atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas
lahirnya golongan-golongan ekstrim dalam memahami ayat-ayat suci dan dalil agama pada abad
ketiga Hijriah. Terjadinya pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Sahabat
Muawiyah bin Abi Sufyan yang sedang menjabat sebagai Gubernur Damaskus. Pertikaian
keduanya tak kunjung usai hingga berujung pada peristiwa Tahkim atau yang lebih dikenal
dengan arbitrase, hingga mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak adanya tahkim dan menganggap Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash,
dan semua yang terlibat dalam peristiwa tahkim dianggap kafir karena telah membuat hukum
tanpa memakai hukum yang Allah telah tetapkan. Mereka memahami seacara dangkal dan
sempit firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah : 44 “ Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Jargon mereka adalah “laa hukma illallah” tiada
hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij.

Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, menurut mereka Ali adalah
representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw.
Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah.
Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah
sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di
sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.

Khalifah Ali kemudian terbunuh oleh salah satu tokoh Khawarij. Ia adalah Abdurrahman
bin Muljam, seorang fanatik Khawarij. Miris sekali, Ibnu Muljam adalah sosok yang dikenal
sebagai penghafal Al-Qur’an, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. Fanatisme
dan minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia bringas dan sadis.
Sahabat-sahabat besar yang masih tersisa pada waktu itu melakukan musyawarah dalam
dalam forum ahlul halli wal áqdi menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh
puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia
mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut
ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat.
Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan “am al-jamaáh” atau tahun
persatuan.

Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menjadikan keadaan semakin kisruh serta


menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan
Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncak
tatkala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk
anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-
Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah,
telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian
selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij.
Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong
pemerintahan yang sah.

Kisruh politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok
lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang
berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya
serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah
SWT.

Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah.Perdebatan siapa


yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang
perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah dan Qodariah . Jabbariah
beranggapan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana
wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia
sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya.
Setelah Qodariah dan Jabbariah, selanjutnya lahir aliran Mu’tazilah yang beranggapan
sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat
(atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada
Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah.

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh
persoalan politik yang melanda umat Islam awal, melainkan juga dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran diluar Islam. Hal ini dikarenakan Ekspansi Islam yang begitu meluas hingga akhirnya
dapat menaklukkan Romawi dan Persia yang pada saat itu sudah memiliki peradaban yang
mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat)
seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín)
seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah
generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah
saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini.

Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti metodologi para
sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan teks suci dan
akal. Menyikapi pendapataliran-aliran ekstrem tersebut Aswaja mengambil jalan tengah di antara
pendapat-pendapat mereka. Beberapa ajaran pokok Aswaja, antara lain:

1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat,
bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Aswaja mengambil sikap
tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan
para sahabat (hadisnya bisa diterima).

2. Dalam masalah takfir Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan kembali
kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan ahlul qiblah atau selama masih
mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan allah; mengakui
hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun
Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin,
peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya diketahui dari
Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.

3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat seseorang yang
berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang perbedaan pendapat di
dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan
umat adalah rahmat.

4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya
diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang
bersamaan dengan kehendak Tuhan.

5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang bagi akal
untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada teks yang
mengandung makna majazi(metaforis) yang membuka ruang akal (tafsir) untuk memahaminya.

6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja berpendapat manusia
divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum syariat sedangkan di
akhirat mutlak adalah keputusan Allah.

7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat (esensi) dan Sifat
(atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya sifat manis
yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun
tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi).

8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot
(memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan pertikaian
dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat. Namun pemerintahan hasil
kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya
beberapa hukum syariat.

9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan mendarah
daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat. Namun bila bertentangan
dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan revolusioner. Perubahan
harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan
kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam.

Selepas tabi’ tabiín ajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid
mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-
Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi,
Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.

2. Masuknya Islam dan Kelahiran Aswaja Di Indonesia

Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di Indonesia adalah
Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah Pijnapel dari Universitas
Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya
adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di India yang membawa Islam
ke Indonesia.

Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak
kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak diantara mereka
tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara,
datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka
disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari mereka adalah keturunan Nabi Muhammad. Karena
manggunakan gelar sayyid atau syarif, yang menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Dan
hal ini terjadi pada sekitar abad ke-12.

Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengan kapal dari
Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah
Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat pada 698/1297. seabad kemudian
seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah.
Seorang penguasa itu Parameswara mengambil gelar Mohammad Syah.
Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam tersebut
melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini, maka
nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada waktunya nanti mempunyai andil yang besar
buat perkembangan Islam di Nusantara. Selanjutnya para pedagang ini melakukan perkawinan
dengan bangsawan lokal sehingga mereka atau keturunanya memperoleh kekuasaan di dunia
politik, untuk penyebaran agama Islam.

Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka pertumbuhan
komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau lainya. Kerajaan Islam
pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak,
Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar.
Menjelang akhir abad ke 17, Islam sudah hampir merata di Nusantara.

Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka
membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas.
Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di
Aceh, surau di Minangkabau. Kemudian mereka juga membuat karya-karya yang tersebar dan di
baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia
masa itu. Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat,
metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di zaman apapun
di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi kebudayaan Islam sedang
berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu telah mapan. Bahkan disana terkenal
dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia
pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di
pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan


berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan
Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah.
Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-
ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu
belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas
terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-
satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-
Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan
penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) Keharusan mengikuti mazhab empat,

(3) Karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk
merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang
dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).

(4) Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu
al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun
jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan
dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama
lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-
Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian
mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.

(5) Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan
serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn
Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan
praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam
Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam
risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok
ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib
dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke
mana-mana.

(6) Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami
proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai
paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang
beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan
makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam
yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang
menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah

KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH.
Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah
Hasan. Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian ;

Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang
biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal
Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam
bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf
Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .

Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan
tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam
mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.
Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama yaitu :
Pertama, Usaha untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah
air (untuk Persatuan dan Kesatuan). Kedua, Berkembangnya Ajaran wahabiyah (haram Ziarah
kubur, tidak mengakui waliyullah, haram Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram
Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh untuk orang yang telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya
Komite Hijaz.

Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan


Nahdlatul ‘Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren.
Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala
sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur
dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita keagamaan
yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darain bagi umat
dan warganya.

Sumber bacaan :

- Nuonline
- Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP
Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002).
- http://www.numalang.com

Anda mungkin juga menyukai