Anda di halaman 1dari 22

1

MANAJEMEN DISPLAY KELAS SEBAGAI ALTERNATIF DALAM


MEMBANGUN SELERA BELAJAR ANAK TUNALARAS1

Oleh

Rizka Pipit Elawati2

Abstrak. Makalah berjudul Manajemen Display Kelas sebagai


Alternatif dalam Membangun Selera Belajar Anak Tunalaras
dilatarbelakangi oleh pentingnya membangun selera belajar
anak Tunalaras, karena selera belajar adalah bagian terpenting
dari proses pembelajaran. Pembuatan karya tulis berdasarkan
hasil penelitian ini diantaranya agar para guru maupun calon
guru secara teoritik dan praktik dapat memahami cara
menangani anak berkebutuhan khusus yang mengalami
tunalaras dengan terlebih dahulu memahami apa yang
dibutuhkan anak Tunalaras untuk mencapai pembelajaran yang
maksimal. Manfaat yang diperoleh dari adanya makalah ini
yakni memberikan alternatif pembangunan selera belajar anak
tunalaras sehingga dapat mengasah kreativitas guru dalam
mengajar anak tunalaras di kelas dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menerapkan prinsip
learning by doing. Diharapkan makalah ini dapat dijadikan
acuan dalam pengembangan sebuah penelitian manajemen kelas
yang bermanfaat bagi semua pihak.

Key Word: Tunalaras, Display Kelas, Selera Belajar

A. Pendahuluan
Dalam pendidikan khusus, dan dunia pendidikan pada umumnya, untuk
menjelaskan siswa yang perkembangannya rentan menghadapi suatu masalah
tertentu atau disability biasa digunakan istilah ‘berisiko’ (at risk) (Smith,
2006:143). Anak yang mempunyai ‘risiko’ mengenai perkembangan, kesulitan
dalam pendidikan, anak yang bermasalah di sekolah mempunyai ‘risiko’ untuk
drop uot, dalam dunia profesional medis kehamilan yang ‘berisiko’ akan
mengakibatkan kelahiran anak dengan hambatan perkembangan (devekopment
disability) (Smith, 2006:143). Selain dalam beberapa kasus tersebut, istilah
1
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus
2
NIM 1101491, Mahasiswa Semester 5 Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Purwakarta Tahun 2013/2014
2

‘risiko’ pun terdapat dalam dunia pendidikan khusus, salah satunya yaitu ‘risiko’
pada kelainan-kelainan perilaku yang terdapat pada anak tunalaras.
Tidak sederhana dalam menentukan batasan anak yang mengalami
gangguan tingkah laku atau biasa dikenal dengan istilah tunalaras (Somantri,
2007: 139). Kontroversi pun terus terjadi dalam mendefinisikan gangguan
perilaku dan emosi (behavioral/emotional disorder) (Smith, 2006:144). Namun,
Somantri (2007:139) mengatakan bahwa hampir semua ahli menyebutkan bahwa
batasan tunalaras yaitu menampakan perilaku penentangan secara terus menerus
terhadap masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta terjadinya kegagalan di
sekolah.
Menurut Somantri (2007) anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu pertama anak yang mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, kedua
anak yang mengalami gangguan emosi. Maka, pentingnya suatu pembelajaran
yang menarik dan dapat menumbuhkan selera dan minat belajar anak tunalaras.
Berkaitan dengan selera belajar, Chatib dan Fatimah (2013) mengatakan
bahwa, “belajar itu selera dan berpikir, betapa suasana ruang sangat mendukung
untuk memantik dan mempertahankan selera serta proses berpikir anak. Jika para
guru tidak mampu menghadirkan selera belajar siswa dan tidak mampu
menantang proses dalam belajar, tentunya target belajar akan berantakan dan tak
tercapai”.
Khususnya untuk memantik selera belajar anak tunalaras membutuhkan
metode yang menarik dan membuat anak merasa aman serta nyaman. Karena,
dalam perkembangannya anak tunalaras Somantri (2007) menjelaskan bahwa,
“dari aspek kognitif, anak tunalaras mempunyai kemampuan variatif yang tidak
jauh berbeda seperti anak normal umumnya, ada yang memiliki intelegensi tinggi,
sedang dan rendah, dari aspek kepribadian, akan dipengaruhi oleh upaya
pemenuhan kebutuhan hidupnya, kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan
dalam penyelesaian konflik dapat menjadikan stabilitas emosi terganggu, sehingga
mendorong perilaku menyimpang muncul benih frustasi pada akhirnya
menimbulkan gangguan dalam kepribadian”
3

Selanjutnya Somantri (2007) memaparkan dari aspek emosi, anak


tunalaras memiliki emosi yang tidak stabil, tidak mampu mengekspresikan emosi
secara tepat dan pengendalian yang tidak terkontrol sehingga seringkali mereka
menjadi sangat emosional. Terakhir aspek sosial, ketidakmampuan anak tunalaras
dalam melalui interaksi sosial yang baik menjadikan kurangnya kemampuan anak
untuk bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungannya sehingga menunjukan
ketidakberdayaan ketika dihadapkan terhadap lingkungannya.
Kegagalan anak tunalaras dalam belajar tidak hanya disebabkan oleh
aspek-aspek tersebut, namun bisa jadi karena cara mengajar guru yang kurang
tepat. Terlebih lagi karena anak tunalaras memiliki gangguan dalam aspek sosial
dan emosi, sehingga perlu suatu model pembelajaran yang efektif.
Chatib (2013 : 34) mengatakan bahwa paradigma rekan-rekan guru di
Finlandia jika ada siswa yang sulit memahami materi ajar, yang harus
dipermasalahkan adalah cara mengajar guru yang kurang tepat. Perlunya
memandang siswa-siswa di kelas sebagai manusia-manusia yang cerdas, akan
membangun energi dan emosi positif dalam mengajar. Terlepas dari siswa
tersebut adalah yang berkebutuhan khusus tunalaras atau tidak, karena hakikatnya
setiap manusia itu memiliki potensi yang sama, hanya saja ada beberapa hal yang
menjadikannya tampak berbeda secara kasat mata.
Berkaitan dengan emosi positif, teori ini lahir dari sebuah studi
“psikologi positif” (Golden, 2013) yaitu sebuah studi yang mempelajari
kebahagiaan, keberanian, kegigihan, kepuasan, kreativitas, keriangan, harapan,
optimisme, dan sebuah kekuatan diri sehingga mencerminkan serta berperan
penting untuk berjalannya fungsi diri yang sehat (Golden, 2013). Jika anak
tunalaras dapat menumbuhkan emosi positif dalam dirinya, maka seperti yang
dikatakan oleh Golden (2013) “akan mampu memproduksi sejumlah besar pikiran
yang akan meningkatkan tingkat penerimaan kepada proses kreatif. Semakin baik
dalam memulai pikiran maka kemanapun pikiran tersebut akan selalu membawa
diri manusia”.
Kalimat unik yang dikutip oleh oleh Chatib dan Fatimah (2013) bahwa
“setiap hari guru itu bermain-main dengan otak siswa-siswanya, bukan dengan
4

lambungnya, bukan ususnya. Naif jika seorang guru tidak mengetahui cara kerja
otak”.
Dalam konsep Triune Brain dari Paul D. MacLean dalam bukunya The
Triune Brain in Evolution yang dikutip oleh Chatib dan Fatimah (2013) secara
sederhana, “pembagian otak manusia yang dalam perkembangannya dibagi
menjadi tiga, yaitu otak reptil, otak limbik (mamalia), dan otak neokorteks.
Khusus otak reptil atau sang penjaga, berfungsi mengatur gerak refleks dan
keseimbangan koordinasi dalam tubuh manusia. Otak reptil akan aktif saat
seseorang merasa takut, stress, terancam, marah, kurang tidur atau kondisi tubuh
lelah. Ia ibarat penjaga, membukakan pintu masuk arus informasi dari luar ke
bagian otak berikutnya, jika ia terpuaskan maka selanjutnya akan mudah untuk
menyerap informasi”.
Selera belajar akan muncul jika otak reptil distimulasi, dengan gambar,
objek nyata, dan berbeda (Chatib dan Fatimah, 2013). Jika selera rendah maka
motivasi belajar akan rendah, artinya otak reptil harus terpuaskan agar hasil
pembelajaran optimal. Hal ini yang terjadi pada anak Tunalaras, mereka
mempunyai gangguan sosial dan emosi, yang membuatnya sulit menerima
informasi dan mengekspresikan diri dengan baik, maka pengoptimalan fungsi otak
reptil yang ada dalam dirinya akan membantu ia dalam proses pembelajaran.
Stimulus yang dihadirkan haruslah menarik, maka sebuah display sangat
dibutuhkan dalam proses pembelajaran, jika ada display otak akan terstimulus dan
tertarik sehingga timbulah selera dan minat belajar anak tunalaras.
Oleh karena itu, diadakan sebuah penelitian untuk memahami secara
teoritik maupun praktik mengenai cara menangani anak berkebutuhan khusus
yang mengalami tunalaras dengan terlebih dahulu memahami apa yang
dibutuhkan anak tunalaras untuk mencapai pembelajaran yang maksimal dengan
menerapkan manajemen display kelas.

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini difokuskan terhadap: 1) Apa yang dimaksud dengan tunalaras; 2)
5

Berdasarkan faktor penyebab ketunalarasan?; 3) Apa saja yang menjadi hambatan


belajar anak tunalaras?; 4) Apa saja yang dapat membangun minat belajar anak
tunalaras; 5) Apa yang dimaksud dengan manajemen display kelas?; 6) Apa
pengaruh positif display kelas terhadap pembelajaran?; 7) Apa kaitannya antara
manajemen display kelas dengan pembangunan selera belajar anak tunalaras?; 8)
Bagaimana penerapan display kelas dalam pembelajaran untuk anak tunalaras?.

2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini, secara umum untuk mendeskripsikan cara
menangani anak berkebutuhan khusus yang mengalami tunalaras dengan
menerapkan manajemen display kelas. Dengan terlebih dahulu mengkaji
kebutuhan untuk membangun selera atau minat belajar anak tunalaras sehingga
dapat mencapai proses dan hasil pembelajaran yang maksimal.
Adapun secara khusus tujuan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan pengertian tunalaras dan batasannya; 2) Menganalisis faktor
penyebab terjadinya ketunalarasan; 3) Mengkaji beberapa masalah yang menjadi
hambatan belajar anak tunalaras; 4) Menjelaskan elemen pembangun selera atau
minat belajar anak tunalaras; 5) Mendefinisikan arti manajemen display kelas; 6)
Menganalisis pengaruh positif display kelas terhadap pembelajaran; 7)
Menghubungkan manajemen display kelas dengan pembangunan selera belajar
anak tunalaras; 8) Merancang model manajemen display kelas dalam
pembelajaran untuk anak tunalaras.

3. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Secara umum, manfaat yang diperoleh dari karya tulis ini yakni
memberikan alternatif dalam pembangunan selera belajar anak tunalaras dengan
manajemen display kelas, sehingga dapat menjadi solusi dalam penanganan
pembelajaran anak tunalaras.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi guru Sekolah Dasar, dalam karya tulis ini terdapat wawasan mengenai
definisi tunalaras, fator penyebab ketunalarasan, hambatan belajar anak
6

tunalaras, rancangan manajemen display kelas, dan penerapannya dalam


pembelajaran. Dengan wawasan ini dapat mengasah kreativitas guru dalam
mengajar anak tunalaras di kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan menerapkan prinsip learning by doing sehingga pada akhirnya guru
dapat memberikan pelayanan pendidikan yang tepat.
2) Bagi penulis, karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai
mengenai definisi tunalaras, fator penyebab ketunalarasan, hambatan belajar
anak tunalaras, rancangan manajemen display kelas, dan penerapannya dalam
pembelajaran. Dengan wawasan ini penulis dapat mengasah kreativitas untuk
mengembangkan suatu manajemen pendidikan di kelas khususnya untuk
membangun selera dan minat belajar anak tunalaras.
3) Bagi orang tua, memahami kebutuhan anak, mengetahui apa saja yang
menjadi titik terpenting dalam menumbuhkan selera belajar anak.
4) Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan sebagai bahan pelengkap sehingga
dapat melengkapi sarana dan prasarana sekolah untuk kelangsungan
pembelajaran anak tunalaras.

4. Metode Penelitian
Adapun langkah penyusunan karya tulis ini yaitu pengumpulan data dari
berbagai sumber dengan beberapa metode, diantaranya :
1) Wawancara, wawancara dilakukan terhadap guru / pembimbing / terapis anak
berkebutuhan khusus (tunalaras) dan terhadap orang tua.
2) Observasi, observasi (pengamatan) terhadap dua subyek (anak tunalaras)
yang memiliki karakteristik dan penyebab ketunalarasan yang berbeda.

B. Kajian Konseptual
Kajian teori secara konseptual dalam karya tulis ini, dikumpulkan dari
beberapa sumber. Adapun yang akan dibahas diantaranya: definisi tunalaras,
faktor penyebab ketunalarasan, hambatan belajar anak tunalaras, tumbuhnya
selera belajar anak tunalaras, manajemen display kelas, pengaruh positif display
kelas terhadap pembelajaran, kaitan antara manajemen display kelas dengan
7

pembangunan selera belajar anak tunalaras, penerapan display kelas dalam


pembelajaran untuk anak tunalaras.

1) Definisi Tunalaras

Somantri (2007: 139) mengatakan bahwa anak tunalaras sering disebut


juga anak tunasosial karena tingkah lakunya yang menentang terhadap norma
sosial yang ada di masyarakat terwujud seperi mengganggu, menyakiti, bahkan
sampai mencuri dan merusak.

Dalam Wikipedia (2009) disebutkan bahwa, “Tunalaras adalah individu


yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial”.
Definisi lain, dalam undang-undang  pokok pendidikan nomor 12 tahun 1952
(Firda, 2012) bahwa, “anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah
laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran
terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar,
tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah
terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun
orang lain”.

Selanjutnya, dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977


(Firda, 2012) bahwa, “yang disebut tunalaras adalah 1) anak yang mengalami
gangguan/hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak/kurang menyesuaikan
diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat; (2) anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang
berlaku di mayarakat; (3) anak yang melakukan kejahatan”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah individu yang


mengalami gangguan sosial dan gangguan emosi berlebih, sehingga mempunyai
tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat serta sulit
mengekspresikan emosi dengan baik, yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan
bagi dirinya maupun orang lain.
8

2) Faktor Penyebab Ketunalarasan

Faktor penyebab ketunalarasan menurut Somantri (2007) diantaranya :

a) Kondisi / Keadaan Fisik ; dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh
maupun sensoris yang mempengaruhi perilaku seseorang. Semakin kompleks
dengan adanya sikap atau perlakuan negative dari lingkungannya yang
mengakibatkan timbulnya perasaan rendah diri, mudah putus asa, merasa tidak
berguna, menarik diri dari lingkungan, agresif, ingin diperhatikan.
b) Masalah Perkembangan ; segala tindakan anak pada masa kritis bertujuan
untuk menarik perhatian yang didorong oleh tuntutan pengakuan egonya.
Rintangan dan hambatan pada masa ini akan membuat diri anak merugi.
c) Lingkungan Kerja ; keluarga adalah peletak dasar perasaan aman dalam dir
anak, pengalaman pertama untuk bersikap dan perasaan tumbuh di keluarga.
Adapun faktor dalam lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan gangguan
sosial dan emosi anak diantaranya: 1) kasih sayang dan perhatian; 2)
keharmonisan keluarga; 3) kondisi ekonomi.
d) Lingkungan sekolah; tempat pendidikan kedua setelah keluarga, tidak hanya
membekali ilmu pengetahuan namun juga membina kepribadian anak didik
agar dewasa dan bertanggungjawab baik terhadap dirinya maupun lingkungan
masyarakat.
e) Lingkungan masyarakat; menurut Bandura dalam Somantri (2007) hal yang
berpengaruh terhadap perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu meniru tingkah laku orang lain. Maka lingkungan menjadi
salah satu faktor penting munculnya ketunalarasan.
3) Hambatan Belajar Anak Tunalaras

Hambatan belajar yang terjadi pada anak tunalaras dapat dianalisis


berdasarkan klasifikasi anak tunalaras. Menurut Somantri (2007) anak tunalaras
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertama anak yang mengalami kesulitan
dalam hubungan sosial, kedua anak yang mengalami gangguan emosi.
Menurut William M. Cruickshank dalam Somantri (2007: 141) anak
tunalaras yang mengalami hambatan emosi terdiri dari beberapa kategori, yaitu: 1)
9

The semi-socialize child atau anak yang dapa mengadakan hubungan sosial tetapi
terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya; 2)
Children arrested at primitive level or socialization atau anak yang perkembangan
sosialnya berhenti pada level rendah dalam kata lain tidak mendapat bimbingan
kea rah sikap sosial sehingga terlantar dari pendidikan, pada akhirnya ia
melakukan apa saja yang dikehendakinya; 3) Children with minimum
socialization capacity atau anak yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali
untuk belajar sikap sosial.
Adapun anak yang mengalami gangguan emosi, Somnatri (2007: 142-
143) mengklasifikasikan menjadi dua, diantaranya: 1) Neurotik behavior (perilaku
neurotik), yaitu anak yang masih bisa bergaul namun punya masalah pribadi yang
tidak mampu diselesaikannya; 2) Children with psychotic processes, yaitu anak
yang sudah tidak memiliki kesadaran serta tidak memiliki identitas diri, yang
disebabkan oleh gangguan syaraf akibat dari keracunan, misalnya: obat-obatan.
Dari pemaparan tersebut, tidak sama antara anak yang mengalami
hambatan atau gangguan neurotik, ia akan lebih bersifat fungsional, khusus anak
yang mengalami gangguan psikotis tidak hanya bersifat fungsional namun
mengalami gangguan yang sifatnya organis sehingga terkadang perlu perawatan
secara medis (Somantri, 2007: 143).

4) Tumbuhnya Selera Belajar Anak Tunalaras

Sebuah analogi unik yang disampaikan oleh Chatib dan Fatimah dalam
bukunya Kelasnya Manusia (2013) yaitu belajar diibaratkan seperti selera dan
berpikir. Misal, selera makan, ia akan muncul dalam kondisi tempat yang bersih,
suasana yang nyaman, di dinding terpampang menu-menu lezat, dan seorang
penyaji yang ramah, bersih dan rapi. Sebaliknya, kondisi tempat yang kotor,
suasana yang gersang, penat, bau, banyak lalat hijau hinggap di lauk yang tersaji,
ditambah seorang penyaji yang berpakaian kotor dan tidak menarik hati akan
menghilangkan selera makan seketika.
10

Begitupun dengan belajar, khususnya anak tunalaras yang memiliki rasa


ingin diperhatikan lebih, yang mempunyai gangguan sosial dan emosi berlebih
sehingga belajar pun harus yang memantik seleranya dalam menerima materi ajar.

Suasana kelas akan sangat mempengaruhi hasil dan poses pembelajaran


(Chatib dan Fatimah, 2013). Konsep Triune Brain dari Paul D. MacLean dalam
bukunya yang berjudul The Triliun Brain in Evolution yang dikutip oleh Chatib
dan Fatimah (2013) secara sederhana, membagi otak manusia dalam
perkembangannya menjadi tiga, yaitu otak reptil, otak limbik (mamalia), dan otak
neokorteks.

Otak reptil atau sang penjaga terletak paling belakang di otak manusia,
menghubungkan bagian belakang otak dengan tulang belakang berperan aktif saat
seseorang merasa takut, stress, terancam, marah, kurang tidur, atau kondisi tubuh
lelah. Diibaratkan sebagai penjaga pintu gerbang, pembuka pintu arus informasi
(Chatib dan Fatimah, 2013).

Kedua, otak limbik atau sang pengatur, berfungsi sebagai pengendali


emosi, pertahanan keseimbangan hormonal, rasa haus dan lapar, pusat
kesenangan, metabolism, dan bagian penting untuk ingatan jangka panjang, yang
dalam melakukan sesuatu ia akan melibatkan emosi mendalam sehingga manusia
lebih mudah mengingatnya (pengguna otak ini cenderung menjadi manusia yang
lebih sabar dan dapat mengendalikan emosi) (Chatib dan Fatimah, 2013).

Ketiga, otak neukorteks atau sang pemikir, berfungsi sebagai alat


berpikir, berbicara, melihat, mencipta, tempat kecerdasan bermuara, di sini juga
tempat kecerdasan yang lebih tinggi yaitu intuisi berada (intuisi : kemampuan
menerima informasi yang tidak dapat diterima pancaindera) (Chatib dan Fatimah,
2013).

Dari ketiga bagian otak tersebut, otak reptil menjadi pembuka arus
informasi yang akan diolah. Maka, otak reptil harus terpuaskan dalam proses
belajar, sehingga tidak menghambat dibukanya arus informasi.
11

Awie Suwandi dalam bukunya Turbo Neuro Selling yang dikutip Chatib
dan Fatimah (2013) ada beberapa stimulus yang punya akses langsung terhadap
otak reptil, diantaranya : 1) stimulus yang focus pada diri individu; 2) stimulus
yang mengandung kontras; 3) stimulus yang bersifat konkret, nyata, dan bisa
diterima secara langsung oleh panca indra (sensory based); 4) stimulus berupa
awal akhir sebuag proses; 5) stimulus yang bersifat visual.

Oleh karena itu, Chatib dan Fatimah (2013) menjelaskan bahwa jika
guru ingin membuat otak reptil siswa maksimal maka dapat melakukan: 1) selalu
berpenampilan berbeda setiap hari, 2) selalu mendesain display kelas yang unik
dan berbeda-beda; 3) selalu mengajar dengan strategi yang berbeda. Maka selera
belajar anak tunalaras yang pertama kali harus ditumbuhkan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Somantri (2007) bahwa yang perlu
dilakukan oleh pengelola pendidikan dalam memunculkan motivasi belajar anak
tunalaras yaitu: 1) pengaturan lingkungan belajar yang tidak membuat anak
merasa tertekan, warna cat yang tidak mencolok yang akan menimbulkan
kegelisahan, posisi duduk yang setengah melingkar, sehingga memudahkan
komunikasi guru dan anak. 2) mengadakan kerjasama dengan lembaga pendidikan
lain, sekolah khusus hanyalah sementara karena anak perlu berinteraksi sosial,
maka ketika anak memungkinkan untuk masuk sekolah biasa maka perlu
kerjasama dengan pihak lebaga lain misal menghadirkan guru pendamping dan
terapis di sekolah tersebut; 3) tempat layanan pendidikan yang tidak selalu harus
dipisahkan dengan anak normal.

5) Manajemen Display Kelas

“Suasana yang mendukung akan mempertahankan selera untuk


menikmati sesuatu” (Chatib dan Fatimah, 2013). Membahas mengenai suasana
kelas, maka akan berkaitan erat dengan display. Menurut Sampurno (2013)
display merupakan suatu media yang digunakan untuk memberikan informasi
penting digunakan sebagai penunjang pembelajaran. Sampurno (2013)
12

mengatakan bahwa display adalah menampilkan hasil karya anak didik, baik
untuk di kelasnya sendiri maupun untuk dipertontonkan pada lingkungan terbatas.

Selain itu, Chatib dan Fatimah (2013) beberapa display kelas


diantaranya : 1) display tema kelas, misal “Aku Anak Hebat”, “Rumahku,
Syurgaku” dan lainnya; 2) Lukisan Abstrak ala Mind Mapping; 3) display dengan
afirmasi, misalnya kalimat “ujian itu mudah, kuncinya belajar, itu saja!”, “belajar
itu menyenangkan, mudah, dan kreatif”, “sukses adalah perjalanan, bukan
tujuan”dan lainnya. 3) display hasil karya siswa; 4) display prestasi siswa; 5)
display peraturan kelas; 6) display tokoh; 7) display emosi.

Anak tunalaras sangat rentan dengan warna-warna yang mencolok,


karena itu akan membuatnya resah, maka sebisa mungkin cat tembok kelas harus
yang berwarna lembut namun tetap cerah misalnya biru muda. Beberapa hal yang
perlu dperhatikan saat membuat display diantaranya : 1) warna bahan maupun
pewarna yang digunakan; 2) alat dan bahan; 3) teknik membuat display yang
menyenangkan anak Tunalaras; 4) kreasi anak yang tidak dibatasi dan tidak
dikomentari negatif (ingat, setiap manusia adalah cerdas dan istimewa); 5) cara
memajangkan display yang telah dibuat; 6) selalu mengganti display kelas, misal
dua pekan sekali agar anak tidak merasa bosan dan agar kelas selalu tampil
menarik dengan display yang berbeda-beda; 7) tidak membuang display yang
sudah tidak terpajang, dapat dikembalikan kepada siswa dengan menghimbaunya
agar menyimpannya di rumah, ini akan membuat anak tunalaras merasa bahwa
karyanya dihargai dan diapresiasi sehingga akan memunculkan selera belajar yang
berkesinambungan.

6) Pengaruh Positif Display Kelas Terhadap Pembelajaran

Banyak hal sederhana yang bisa membuat display lebih menarik (Chatib
dan Fatimah, 2013). Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam Golden
(2013) dikatakan bahwa, “dalam kondisi kreatif, manusia berada di luar dirinya
sendiri. Ia melepaskan semua itu seakan-akan menurunkan ember timba kea lam
bawah sadarnya dan mengambil sesuatu yang biasanya tidak bisa ia sentuh. Ia
13

mencampuri ini dengan pengalaman normalnya dan dari campuran ini ia membuat
karya seninya”.

Adanya display menjadikan anak Tunalaras terjauh dari ketakutannya, ia


mengekspresikan dirinya dalam display yang ia buat, sehingga secara tidak sadar
ia masuk dalam pembelajaran yang guru berikan. Ketika ia mulai memiliki selera
untuk ikut belajar, maka selanjutnya guru tinggal mengarahkan apa yang harus ia
lakukan tentunya dengan tuntunan kalimat yang membangun emosi positif dan
memantik kinerja otak reptil.

Tugas guru adalah menumbuhkan kinerja otak reptil di awal


pembelajaran, sehingga tertanamlah dalam diri anak tunalaras, seperti kalimatnya
Isaac Newton dalam Golden (2013), “kalau aku mampu membuat penemuan
berharga, hal itu terjadi karena kesabaran, bukan karena bakat”. Tumbuhnya
keyakinan anak Tunalaras akan kemampuannya, maka sedikit demi sedikit akan
membantu ia untuk belajar bersosialisasi dan mengendalikan emosi diri yang
berlebihan.

7) Kaitan antara Manajemen Display Kelas dengan Pembangunan Selera


Belajar Anak Tunalaras

Informasi pertama yang ditangkap oleh otak adalah berupa gambar,


visual atau dengan sebutan display (Chatib dan Fatimah, 2013). Berkaitan dengan
anak tunalaras, yang memiliki gangguan sosial dan emosi sangat rentan merasa
bosan dalam belajar. Pengendalian emosi yang kurang terkontrol menjadikannya
mudah mengganggu dan merusak, hal ini tergantung dari karakterisktik tunalaras
yang dialaminya. Namun, hakikatnya semua anak mempunyai potensi yang sama,
hanya penggaliannya yang berbeda. Pembangunan emosi positif yang perlu
menjadi titik tekan dalam penyembuhan anak tunalaras.

Seperti yang disebutkan oleh Waugh dan Fredrickson dalam Hefferon


dan Boniwell (2011) bahwa ketika seorang individu merasakan emosi positif, ia
akan merasa terhubung dengan orang lain dan benar-benar menjadikan dirinya
terbuka dan menjadikan orang lain adalah bagian dari dirinya. Maka, ketika rasa
14

empatinya muncul, secara tidak langsung rasa sosialnya pun mulai tumbuh, dari
sanalah anak akan mulai mengembangkan kemampuan sosial yang ia miliki
sehingga ketika belajar pun ia akan mudah memahami karena mampu mengenali
kemampuan yang ia miliki.

Display kelas dapat menjadi salah satu alternatif membangun selera


belajar anak tunalaras. Karena display adalah kebutuhan otak (Chatib dan
Fatimah, 2013). Guru sebagai unsur terpenting dalam pembelajaran harus
mengetahui cara kinerja otak, terlepas anak tersebut mengalami Tunalaras atau
tidak.

Beberapa hal yang harus dipahami dan diperhatikan menurut Chatib dan
Fatimah (2013) dalam display kelas untuk pembelajaran kreatif dan menarik
diantaranya : 1) jadikanlah lingkungan belajar itu seluas samudra, semua
lingkungan adalah kelas, kelas bukan terbatas ruang yang dibatasi dinding-dinding
saja, namun lebih luas lingkungan sekolah pun adalah kelas yang data digunakan
untuk belajar, tidak lupa untuk menghijaukan lingkungan sekolah agar kinerja
otak anak maksimal; 2) ruang kelas itu bukan penjara, harus nyaman, terutama
bagi anak Tunalaras, display yang menarik dan cantik akan membuat anak merasa
nyaman berada di kelas, perhatikan selalu kelas dan isinya tampilkan kelas agar
selalu menarik; 3) kreativitas dahsyat display ruang kelas, mulai dari materi
pembalajaran sampai peraturan kelas pun dibuat dengan display, hal tersebut akan
lebih menarik dan selalu dirindukan anak Tunalaras.

8) Penerapan Display Kelas Dalam Pembelajaran Untuk Anak Tunalaras

Berikut Sampurno (2013) memaparkan mengenai tips memajang karya


siswa, diantaranya : “1) diberi judul dan sub judul (penting bagi yang
membacanya apa yang siswa kerjakan, guru menuliskan pekerjaan ini dilakukan
pada pelajaran apa); 2) diberi  tujuan pembelajaran (apa tujuan yang ingin dicapai,
sehingga orang yang membaca mengerti apa maksud dan tujuan dari display tsb);
3) diberi tanggal (penting untuk mengetahui kapan pekerjaan siswa dikerjakan,
jadi sarana mengingat bagi guru yang membuat display untuk diganti jika terlalu
15

lama); 4) dijelaskan dengan dua bahasa (penting untuk membuat siswa belajar
bahasa dengan cara visual); 5) diganti secara berkala (setiap  6-8 minggu); 6) rapi
(kertas pekerjaan siswa dilapisi kertas lain sebelum di tempel dan segera
dibetulkan jika ada yang terlepas); 7) ada karakter yang tertera (misalnya ada
tulisan di display “saat membuat pekerjaan ini siswa belajar untuk jadi mandiri,
bertanggung jawab dan kreatif”; 8) ada refleksi siswa (penting untuk mengetahui
suasana hati dari siswa saat ia sedang membuat karya yang ditampilkan di
display)”.

Khusus untuk anak tunalaras, maka tuntunan guru secara perlahan dan
menarik kinerja otak reptil anak sangat diperlukan, berikan ia tugas yang sedikit
namun berulang, display yang ia buat dipajang di ruang kelas dan beri apresiasi
positif, bentuk penghargaan ini akan membuat anak merasa dihargai dan berselera
untuk belajar.

C. Metode Penelitian
Data hasil penelitian diperoleh dari hasil survey dengan menggunakan
instrumen berupa wawancara dan observasi. Kedua instrumen tersebut ditargetkan
terhadap dua sampel yang didapat yaitu subyek A dan subjek B. Selanjutnya data
tersebut dijadikan dasar pemikiran untuk menganalisis perkembangan anak
tunalaras dari empat aspek utama yaitu kognitif, kepribadian, emosi, serta sosial.
Keempat aspek tersebut dijadikan bahan acuan dalam penemuan alternatif
menumbuhkan selera belajar anak yaitu dengan manajemen display kelas.
Berhubungan dengan hal tersebut, maka selanjutnya metode yang digunakan
dalam pembuatan karya tulis ini dengan pengumpulan data dari berbagai sumber.
Maka langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian, adalah :
1) Melakukan studi pendahuluan, dengan melakukan kajian pustaka dari buku
sumber.
2) Mengembangkan desain penelitian yang didasarkan pada kerangka pemikiran
di langkah pertama
3) Mengembangkan instrumen penelitian terhadap dua sampel
16

4) Melakukan kajian ulang dari hasil pengamatan (observasi) anak tunalaras di


SDN 3 Cisalak, Depok (SD inklusif) dengan menggunakan instrumen yang
telah dikembangkan pada poin tiga.
5) Instrumen wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dari narasumber
(guru pendamping/terapis dan orang tua subyek A).
6) Instrumen observasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sampel yang
telah dipilih yaitu subyek A dan subjek B.
7) Menyusun hasil kajian pustaka yang dintegrasikan dengan hasil wawancara
dan observasi.
8) Pelaporan karya tulis yang telah disusun kepada dosen pembimbing.

D. Pembahasan
Anak yang mengalami tunalaras memiliki ciri kepribadian yang khas,
baik yang mengalami gangguan tingkah laku maupun emosi, Menurut Moerdiani
yang dikutip Natanagara dkk (2013) ciri-ciri yang tampak dominan pada
kepribadian anak tunalaras, antara lain: 1) kurang percaya diri; 2) menunjukan
sikap curiga pada orang lain; 3) selalu dihinggapi perasaan rendah diri atau
sebaliknya; 4) selalu menunjukan permusuhan terhadap orang lain; 5) suka
melawan otoritas; 6) suka mengisolasi diri; 7) kecemasan / ketakutan yang
berlebihan; 8) tidak memiliki ketenangan jiwa; 9) beberapa di antaranya
hiperaktif; 10) sering melakukan bentrokan atau perkelahian.
Alternatif pembelajaran berbasis psikologi positif sangat diperlukan,
pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan sosial dan emosional anak
Tunalaras, yang bermuara dari kemauannya untuk mau belajar dan menjadikannya
pribadi yang berperilaku baik. Hal tersebut tidak lepas dari kinerja otak reptil yang
terdapat dalam dirinya. Pemaksimalan kinerja otak reptil ini sangat erat kaitannya
dengan pembelajaran berbasis gambar, visual atau biasa disebut dengan display.
Chatib dan Fatimah (2013) pun menegaskan bahwa display kelas harus
dilakukan secara perlahan, karena display sangat tergantung pada momen atau
prosedur harian guru saat mengajar. Chatib (2013) mengemukakan bahwa
17

gurunya manusia adalah guru yang mampu mengajar dengan cara menyenangkan,
ia mampu menjadi fasilitator, dan mampu memahami kemampuan dalam arti luas.
Bloom yang dikutip oleh Chatib (2013) mengemukakan kemampuan
seseorang terdiri dari tiga jenis, diantaranya: 1) kemampuan kognitif yang
menghasilkan keterampilan berpikir; 2) kekampuan psikomotorik yang
menghasilkan keterampilan dalam berkarya; 3) kemampuan afektif yang
menghasilkan kemampuan bersiap.
Jika kemampuan kognitif terdokumentasi dalam rapor maka kemampuan
lain psikomotorik terdokumentasi dalam karya, dan kemampuan afektif
terdokumentasi dalam tingkah lakunya terhadap guru, orang tua, teman, dan
masyarakat di lingkungannya. Namun, kebanyakan sekolah dan orangtua hanya
menekankan kemampuan kognitif, pengembangan kemampuan anak Tunalaras
pun hanya terpaku dalam satu dimensi saja. Sementara anak Tunalaras
disekolahkan tujuannya adalah membuatnya menjadi manusia yang paripurna.
Kemampuan anak yang belum terekam inilah yang perlu dikembangkan
oleh guru, bagaimana agar anak tunalaras dapat merasa dihargai, dengan karyanya
seperti presentasi, menulis, menggambar, membuat puisi, membaca puisi dan
lainnya yang membantu anak Tunalaras menemukan kemampuannya dari dimensi
lain selain kognitif. Display kelas dapat menjadi salah satu alternatif perekaman
kemampuan anak tunalaras dalam mengembangkan kemampuan psikomotorik
yang akan berdampak pada pengembangan kemampuan afektifnya akan
membantu anak Tunalaras dalam perbaikan hubungan sosial dan control emosi
dalam dirinya.

E. Aplikasi dalam Pembelajaran


Schloss yang dikutip oleh Somantri (2007) mengemukakan bahwa
sebuah tekanan batin yang berkepanjangan disebabkan oleh ; 1) ketidakberdayaan
yang dipelajari; 2) keterampilan sosial yang minim; 3) konsekuensi paksaan.
Ketiga hal ini yang timbul dalam diri anak tunalaras sehingga menyebabkan
tumbuhnya perasaan merusak diri sendiri.
18

Berkaitan dengan hal tersebut, Golden (2013) mengemukakan bahwa


ada beberapa tema penghambat dalam diri, diantaranya: rasa takut pada
kegagalan, rasa taku pada kesuksesan, variasi rasa bersalah, menghindari rasa
malu, fantasi yang menghalangi mimpi, masalah tentang disiplin,
ketidaknyamanan dengan kesendirian, serta rasa takut kehilangan rasa diri.

Masalah yang timbul dari hal-hal tersebut adalah anak tunalaras menjadi
pribadi yang penakut, cemas berlebih, kecewa mendalam, menarik diri hingga
akhirnya merusak dirinya dan lingkungannya. Sekolah yang sejatinya menjadi
tempatnya menggali potensi diri malah lebih membuatnya cemas, takut jika yang
terjadi di dalam kelas adalah pemaksaan pemahaman.

Berdasarkan hasil pengamatan (observasi) di SDN 3 Cisalak, khususnya


penelitian dilakukan di kelas dua terdapat anak yang mengalami tunalaras dengan
kategori yang berbeda. Diungkapkan oleh terapis di sekolah tersebut (bapak
Supriyono) subyek A memiliki tingkah laku yang agresif, merusak dan merugikan
lingkungannya termasuk temannya sehingga ia dikategorikan tunalaras berat.
Namun, hasil wawancara dengan orang tua, perilaku subyek A dalam lingkungan
keluarga tergolong biasa saja.
Perilaku subjek A yang kurang sealur dengan norma di sekolah tidak
mempengaruhi pencapaian prestasinya. Subjek A memilki semangat belajar yang
tinggi karena ditunjang oleh tingkat kognitif di atas rata-rata (ungkap terapis)
berdasarkan hasil observasi dan wawancara serta analisis data sumber maka
subyek A termasuk ke dalam anak tunalaras kategori the semi-socialize child.
Lain halnya dengan subyek B (MA), menurut terapis sekolah (bapak
Supriyono) ketunalarasannya tidak merugikan orang lain, subyek B cenderung
senang sendiri, bermain sendiri, asik dengan dunianya sendiri sehingga ia
dikategorikan mengalami tunalaras ringan. Namun, ia memiliki selera belajar
yang rendah, motivasi belajar yang kurang, dalam prestasi pun kurang begitu
optimal. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara maka subyek B termasuk
kedalam anak tunalaras kategori childern arrested at a primitive level or
socialization.
19

Kedua kategori yang didapat masih tergolong ke dalam kategori yang


dapat diatasi guru atau terapis, sejauh ini belum memerlukan bantuan medis.
Karena, gangguan yang dialami masih dapat dikatakan gangguan neurotik, yang
lebih bersifat fungsional, belum sampai pada gangguan psikotis yang sifatnya
organis.
Dalam mengatasi anak tunalaras kategori tersebut, maka tepat dengan
melakukan display kelas. Karena, dalam display kelas terdapat sebuah cara
pembangkitan otak reptil. Tidak memandang kemampuan kognitifnya tinggi
ataupun rendah, otak reptil ini yang akan membuka arus masuknya informasi yang
kemudian akan diolah oleh otak limbik sebagai pengatur emosi dan ingatan, lalu
lebih jauh meresap lagi ke otak neokorteks sebagai alat berpikir, berbicara,
melihat dan mencipta.
Dalam display kelas pun terdapat strategi-strategi pengajaran yang unik
dan menarik karena yang pertama dilihat anak tunalaras adalah gambar, visual
yang akan membuatnya bertahan dan merasa nyaman dalam pembelajaran.
Berhubungan dengan display kelas, Smith (2006) mengemukakan
beberapa strategi dalam pengajaran untuk anak dengan masalah sosial dan
emosional, diantaranya :
1) Buatlah sistem penghargaan kelas yang dapat diterima dan dapat diakses,
keberhasilan sosial anak tunalaras akan diraih ketika anak mengalami rasa
dihargai dan merasa memiliki kesempatan untuk menerima penghargaan yang
diterima juga oleh siswa lainnya. Dalam display kelas, begitu erat kaitannya
dengan penghargaan, setelah guru menilai, maka display hasil siswa dipajang
di kelas. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa ketika ia melihat
karyanya terpajang di dinding.
2) Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain, berbicara terbuka dan
penuh perhatian akan sedikit-demi sedikit membuat anak percaya kepada
guru, perkembangan sosial dan emosional tumbuh dari mampunya anak
tunalaras untuk mengenal diri dan sikapnya kepada orang lain. Display kelas
akan membantu anak tunalaras dalam mengenal dirinya yang ia ekspresikan
dalam display yang ia buat, lalu mengenal sikapnya terhadap orang lain
20

terwujud ketika ia melihat karya orang lain dan belajar memberi apresiasi
yang baik.
3) Mengajarkan sikap positif, ketika anak tunalaras sadar akan sikapnya, maka ia
akan lebih respon baik terhadap instruksi bagaimana membentuk hubungan
yang baik dan citra diri yang lebih positif. Hal tersebut terjadi di display kelas,
saat proses pembelajaran berlangsung anak tunalaras akan belajar berbagi
dengan temannya, misal lem, cat warna, sedikti demi sedikit dengan tuntunan
lembut dari guru dan pengekspresian diri melalui display kelas ia belajar
memahami dirinya dan pribadinya.
4) Khusus untuk menangani anak tunalaras kategori gangguan psikotis yang
sifatnya organis atau anak tunalaras ringan namun mendekati berat maka
meminta bantuan ahli itu sangat disarankan, jika semua cara telah dicoba
namun hasilnya tetap negatif maka jangan ragu untuk meminta bantuan.
Pertama kepada teman sejawat di sekolah, dan paham masalah gangguan
sosial dan emosional lalu cari solusi mengenai kesulitan tersebut. Pertolongan
bisa datang dari orang tua, pendidik khusus, pembimbing, psikolog, dan
kepala sekolah.
Satu strategi tambahan, yaitu display dengan menggunakan computer
atau teknologi lainnya. Hal tersebut akan memantik dan lebih menarik selera
belajar anak tunalaras.
Jean Seto dalam Chatib dan Said (2012) mengemukakan bahwa, “Setiap
anak itu unik, tujuan utama setiap pendidikan dan pengajaran adalah kita
mendidik mereka dengan segala kekurangan dan segala potensinya yang ada,
sehingga potensi ini dapat kita kembangkan untuk kebaikan secara lebih
maksimal”.

F. Kesimpulan
Anak tunalaras adalah individu yang mengalami gangguan sosial dan
gangguan emosi berlebih, sehingga mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai
dengan norma dalam masyarakat serta sulit mengekspresikan emosi dengan baik,
yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan bagi dirinya maupun orang lain.
21

Faktor penyebab ketunalarasan menurut Somantri (2007) diantaranya :


kondisi / keadaan fisik, masalah perkembangan, lingkungan kerja, lingkungan
sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertama anak


yang mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, kedua anak yang mengalami
gangguan emosi. Anak yang mengalami hambatan atau gangguan neurotik, ia
akan lebih bersifat fungsional, khusus anak yang mengalami gangguan psikotis
tidak hanya bersifat fungsional namun mengalami gangguan yang sifatnya organis
sehingga terkadang perlu perawatan secara medis.

Dalam perkembangannya otak manusia dibagi menjadi tiga, yaitu otak


reptil, otak limbik (mamalia), dan otak neokorteks.Otak reptil menjadi pembuka
arus informasi yang akan diolah. Maka, otak reptil harus terpuaskan dalam proses
belajar, sehingga menumbuhkan selera belajar anak tunalaras, dan tidak
menghambat dibukanya arus informasi.

Display merupakan suatu media yang digunakan untuk menampilkan


dan memberikan informasi penting sebagai penunjang pembelajaran. Display
kelas adalah menampilkan hasil karya siswa dalam kelas, yang dipertunjukan pada
lingkungan terbatas, misal pameran sekolah.

Adanya display menjadikan anak tunalaras terjauh dari ketakutannya, ia


mengekspresikan dirinya dalam display yang ia buat, sehingga secara tidak sadar
ia masuk dalam pembelajaran yang guru berikan. Ketika ia mulai memiliki selera
untuk ikut belajar, maka selanjutnya guru tinggal mengarahkan apa yang harus ia
lakukan tentunya dengan tuntunan kalimat yang membangun emosi positif dan
memantik kinerja otak reptil.

Chatib dan Fatimah (2013) dalam display kelas untuk pembelajaran


kreatif dan menarik diantaranya : 1) jadikanlah lingkungan belajar itu seluas
samudra; 2) ruang kelas itu bukan penjara, harus nyaman; 3) kreativitas dahsyat
display ruang kelas.
22

Chatib dan Fatimah (2013) pun menegaskan bahwa display kelas harus
dilakukan secara perlahan, karena display sangat tergantung pada momen atau
prosedur harian guru saat mengajar. Chatib (2013) mengemukakan bahwa
gurunya manusia adalah guru yang mampu mengajar dengan cara menyenangkan,
ia mampu menjadi fasilitator, dan mampu memahami kemampuan dalam arti luas.

G. Referensi
Chatib, Munif. (2013). Gurunya Manusia. Bandung: Penerbit Kaifa PT Mizan
Pustaka.
Chatib, Munif dan Fatimah, Irma Nurul. (2013). Kelasnya Manusia. Bandung:
Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka.
Chatib, Munif dan Said, Alamsyah. (2012). Sekolah Anak-Anak Juara. Bandung:
Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka.
Firda. (2012). Anak Tunalaras dan Karakteristiknya. [Online]. Tersedia:
http://phierda.wordpress.com/2012/11/04/anak-tuna-laras-dan-
karakteristiknya/[5 Januari 2014].
Golden, Bernard. (2013). Unlock Your Creative Genius. Jakarta: Daras Books.
Hefferon, Kate dan Boniwell, Ilona. (2011). Positive Psychology: Theory
Research and Applications. New York: Open University Press.
Nuansa Somantri, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Sampurno, Agus. (2013). Display sebagai Sarana Belajar dan Memperkuat
Penampilan Fisik di Kelas. [Online]. Tersedia:
http://gurukreatif.wordpress.com/2013/07/22/display-sebagai-sarana-
belajar-dan-memperkuat-penampilan-fisik-di-kelas/[5 Januari 2014].
Smith, J. David. (2006). Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit
Nuansa.
_____. (2009). Tunalaras. [Online]. Tersedia :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras[5 Januari 2014].

Anda mungkin juga menyukai