Anda di halaman 1dari 22

PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI UNTUK MEMPERBAIKI

PRESTASI BELAJAR SISWA SD MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Dr. I Gede Rasben Dantes, M.T.I

Disusun oleh:

SARIFA FARIDATIL ILMI AL IDRUS (1829041003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan hendaknya membantu siswa untuk berkepribadian

merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat

yang berguna (Dantes, 2014: 16). Tetapi fakta yang kita lihat dalam praktek

pendidikan saat ini siswa belum sepenuhnya menunjukkan keadaan yang

sesuai dengan yang seharusnya terjadi setelah mereka menempuh dunia

pendidikan khususnya pendidikan dasar.

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan ada beberapa fenomena

yang ditemukan dalam dunia pendidikan dasar saat ini diantaranya: (1) anak

yang pendiam ketika di kelas, pasif, dan sangat perasa sehingga mudah

tersinggung. tidak berani bertanya atau menjawab, merasa dirinya tidak

mampu, kurang berani bergaul serta suka menyendiri, (2) anak yang yang

cepat bereaksi setiap guru memberi pertanyaan dikelas, tetapi jawaban yang

diberikan seringkali tidak menunjukkan kemampuan berfikir yang logis. Ia

ingin menunjukkan diri bahwa dia anak yang pandai, padahal cara anak itu

menjawab justru menunjukkan ketidakmampuannya, (3) anak yang sering

mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak sopan dengan nada mengejek, anak

ini cenderung menentang guru dan menyumpah serapah guru dengan kata-

kata kasar dan tidak sopan yang terlontar dari mulutnya, (4) anak yang
mempunyai sosial ekonomi yang sangat rendah, sehingga merasa dirinya

bodoh dan enggan untuk mencoba membuat tugas-tugas yang diberikan oleh

guru karena dirinya merasa tidak mampu, (5) anak yang mempunyai potensi

intelektual diatas rata-rata, namun prestasi akademiknya dikelas sangat

rendah, diikuti dengan semangat belajar juga sangat rendah, sering

menyepelekan tugas-tugas yang diberikan dan mengabaikan PR yang

diberikan, (6) anak yang mempunyai semangat belajar yang sangat tinggi dan

merespon dengan cara cepat. Namun tidak bisa menerima kegagalan. Ia tidak

mau menerima kritikan dari siapapun termasuk gurunya.

Dari beberapa fenomena yang dipaparkan diatas, yang paling urgent

untuk diselesaikan adalah “ada beberapa siswa diketahui memiliki

kemampuan intelektual yang cukup tinggi, namun cenderung malas belajar

tidak memiliki kontrol sosio emosional yang baik (sering berkata kasar, tidak

sopan menyumpah serapah guru dan tidak mau menerima kritik)”.

Ditinjau dari prilaku yang ditunjukkan siswa pada fenomena tersebut,

peneliti menduga bahwa siswa mengalami masalah belajar yang disebabkan

oleh lemahnya kecerdasan emosi yang berimplikasi kepada prilaku peserta

didik menjadi semakin implusif, tidak semangat dalam belajar dan

berpengaruh terhadap menurunnya prestasi belajar siswa. Dari berbagai

alternatif yang ada, peneliti mencoba untuk menyelesaikan masalah tersebut

melalui penanaman nilai-nilai pendidikan karakter kepada siswa. Menurut


Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha (dalam Kurniawan, 2013: 32) dengan

pendidikan karakter seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita ketahui bahwa penerapan

pendidkan karakter dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan

kecerdasan emosi siswa yang akan disusul dengan meningkatnya prestasi

belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Kurniawan

(2013:32) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah bekal terpenting

dalam mempersiapkan anak meyongsong masa depan, karena dengannya

seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapai segala macam tantangan

termasuk tantangan untuk berhasil secara akademik.

Pendidikan karakter dipilih sebagai solusi terbaik, bukan berarti

alternatif-alternatif yang ada tidak baik untuk menyelesaikan masalah

misalnya alternatif pertama yaitu jika memungkinkan orang tua harus

meluangkan waktu maksimal untuk anak menyaksikan perkembangannya,

memberikan pengalaman-pengalaman terbaik dan menanamkan nilai-nilai

sosial dengan memberi contoh prilkau baik kepada anak yang akan

berimplikasi merangsang emosi positif anak. Penjelasan ini diambil dari

pendapat Soyomukti (2008: 98) yang mengatakan bahwa aspek afektif harus

ditanamkan supaya anak dapat menggunakan potensi perasaan moral dan

estetisnya. Alternatif tersebut bukan berarti tidak baik dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi siswa hanya saja masalah emosi yang sedang dihadapi
siswa sangat kompleks dan berimplikasi terhadap prestasi belajarnya yang

semakin menurun. Jadi jika hanya orang tua yang berperan menanamkan

nilai-nilai positif tanpa ada campur tangan guru dan pihak sekolah melalui

penanaman nilai-nilai pendidikan karakter maka nilai-nilai positif yang

ditanamkan tersebut tidak akan bertahan lama terlebih ketika anak sudah

mulai mengenal lingkungan baru selain lingkungan keluarga. Selanjutnya

alternatif kedua yaitu guru dapat menumbuhkan percaya diri siswa dengan

menjelaskan bahwa semua orang mempunyai kemampuan untuk bisa jika

orang itu mau belajar. Penjelasan ini didukung oleh pendapat Eric Jensen

(dalam Irham dan Wiyani, 2015: 62) yang mengatakan bahwa cara menjaga

emosi postif dan memunculkan motivasi siswa dalam belajar adalah tanamkan

keyakinan positif kepada peserta didik tentang kemampuan yang dimilikinya

sehingga lebih semangat dalam belajar. Alternatif ini tidak dipilih untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi karena hanya menawarkan satu cara

yaitu menumbuhkan rasa percaya diri sedangkan masalah yang dihadapi siswa

sangat kompleks, jika hanya dengan menumbuhkan rasa percaya diri tidak

akan efektif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa dan cara ini

juga sudah termasuk dalam salah satu dari tiga implementasi pendidikan

karakter yaitu pengembangan diri. Kemudian alternatif ketiga yaitu jika

memungkinkan guru harus menciptakan susana belajar yang nyaman, yang

dapat membuat siswa berani bertanya dan menjawab pertanyaan guru tanpa

harus takut salah, guna menstimulasi emosi positif siswa sehingga ia merasa
nyaman dan tidak merasa tertekan dengan lingkungan belajarnya. Penjelasan

ini diambil dari pendapat Eric Jensen (dalam Irham dan Wiyani, 2015: 62)

yang mengatakan bahwa cara menjaga emosi postif dan memunculkan

motivasi siswa dalam belajar adalah menegelola kondisi psikologis siswa,

artinya guru membangun kondisi pembelajaran yang memunculkan rasa

nyaman, menyenangkan dan membuat siswa selalu ingin mengikuti proses

pembelajaran, alternatif ini tidak dipilih untuk menyelesaikan masalah karena

aspek penting dalam pendidikan karakter salah satunya adalah memperbaiki

kompetensi, kinerja dan karakter guru/kepala sekolah dan solusi tersebut

sudah tercover dalam aspek ini, alternatif ke-empat yaitu lingkungan

keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal individu sebelum

lingkungan sekolah, oleh karena itu orang tua, saudara dan keluarga inti

lainnya diharapkan mampu menjaga perasaan anak dengan memberikan

dukungan ketika ia melakukan sesuatu yang positif, mendengarkan anak

ketika ia bercerita, menolongnya ketika ia butuh pertolongan, menunjukkan

perasaan senang ketika anak senang begitu juga ketika ia sedih. Penjelasan ini

diambil dari pendapat Gottman dan De Claire (dalam Januarini) yang

mengatakan bahwa prinsip dasar orang tua dalam melatih kecerdasan

emosional anak yaitu mendengarkan, empati dan meneguhkan perasaan anak,

kemudian alternatif yang ke-lima yaitu bagi orang tua maupun guru

hendaknya menjadi role model yang baik bagi anak, orang tua dan guru

sebaiknya secara berkesenambungan memberi contoh eksplorasi emosi positif


kepada anak dengan cara menunjukkan sikap menghargai orang lain dan taat

terhadap suatu aturan. Penjelasan ini diambil dari pendapat Wibmarti (dalam

Khodijah, 2014: 147) yang mengatakan bahwa cara yang dapat dilakukan

orang tua maupun guru dalam rangka mengajarkan naskah emosi yang sehat

pada anak adalah dengan membuat disiplin yang konsisten pada diri kita agar

anak belajar menghormati otoritas. Menghormati otoritas sangat diperlukan

untuk menghindarkan anak dari tindakan yang tidak benar dan alternatif yang

ke-enam yaitu guru sebaiknya tidak perlu memaksa dan bersikap keras

terhadap siswa, artinya guru sebagai pendidik harusnya faham dengan

kondisi fisik maupun psikis siswa. Semisal ketika jam istirahat tiba dan siswa

sedang mengerjakan tugas guru hendaknya memberi intruksi kepada siswa

untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaan mereka pada jam belajar

selanjutnya karena ketika siswa dipaksakan untuk mengerjakan sesuatu ia

akan merasa lelah secara fisik dan akan mengalami frustrasi sehingga

berakibat kepada penyaluran emosi yang negatif. Penjelasan ini diambil dari

pendapat Purwanto (2014: 139) yang menyatakan bahwa pendidik tidak boleh

bersikap terlalu keras terhadap anak didiknya. Dengan kekerasan dan paksaan

anak tidak akan mematuhi peraturan-peraturan karena banyak mengalami

frustrasi. Anak hanya mematuhi peraturan karena merasa takut, bukan karena

keinsafan dalam diri sendiri. Sikap keras dan paksaan dapat pula

menghasilkan yang sebaliknya, yakni sikap menentang dan keras kepala. Oleh

karena berbagai pertimbangan diatas, peneliti memilih pendidikan karakter


sebagai alternatif solusi terbaik dalam mengatasi masalah dan mengambil

fokus penelitian dengan judul “Pengembangan Kecerdasan Emosi untuk

Memperbaiki Prestasi Belajar Siswa SD Melalui Pendidikan Karakter”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah mengapa siswa mengalami masalah dalam

belajar? dan Bagaimana cara mengatasi masalah belajar yang dialami siswa?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah untuk memahami mengapa siswa mengalami

masalah dalam belajar dan ntuk memahami bagaimana cara mengatasi

masalah belajar yang dialami siswa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kebermanfaatan dari pemyelesaian masalah dalam penelitian

ini diantaranya:

1) Siswa akan memiliki rasa empati dan kontrol diri. Hal ini sejalan dengan

pendapat yang disampaikan oleh (Khodijah, 2014: 146) yang

mengatakan bahwa unsur terpenting dalam kecerdasan emosi adalah

empati dan kontrol diri empati artinya dapat merasakan apa yang

dirasakan oleh orang lain terutama bila orang lain dalam keadaan
malang, sedangkan kontrol diri adalah kemampuan untuk

mengendalikan emosi sendiri sehingga tidak mengganggu

hubungannnya dengan orang lain. Oleh karena itu jika siswa sudah

cerdas emosinya maka seyogyanya siswa tersebut memiliki rasa empati

dan mampu mengontrol diri keduanya ini akan mengantarkan siswa

untuk menghargai orang lain yang ada disekitarnya sehingga tidak akan

ada lagi prilaku negatif seperti sering berkata kasar, tidak sopan

menyumpah serapah guru dan tidak mau menerima kritik.

2) Meningkatnya prestasi akademik siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat

yang disampaikan oleh Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha (dalam

Kurniawan, 2013: 32) yang mengatakan bahwa Seorang anak yang

memiliki kecerdasan emosi akan berpengaruh positif terhadap

keberhasilan belajarnya di sekolah. Hal ini juga sejalan dengan pendapat

yang disampaikan oleh Kurniawan (2013:32) yang mengatakan bahwa

kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak

meyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat

berhasil dalam menghadapai segala macam tantangan termasuk

tantangan untuk berhasil secara akademik. Selain kedua pendapat

tersebut Goelman (dalam Khodijah, 2014: 145) juga menyatakan bahwa

kecerdasan umum (intelegensi) semata-mata hanya dapat memprediksi

(meramalkan) kesuksesan hidup seseorang hanya 20% saja sedang, 80%

lainnya adalah apa yang disebutnya emotional intellegence.


BAB II

REVIEW TEORITIS, REVIEW EMPIRIS, MODEL PENELITIAN DAN


HIPOTESA

A. Review Teoritis

1. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali emosi diri

sendiri, mengelola dan mengekspresikan diri sendiri dengan tepat,

memotivasi diri sendiri, mengenali orang lain dan membina hubungan

dengan orang lain Salovey dan Mayer (dalam Khodijah, 2014: 145).

Selanjutnya diperjelas lagi oleh (Khodijah, 2014: 146) yang mengatakan

bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola

emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.

Unsur terpenting dalam kecerdasan emosi ini adalah empati dan

kontrol diri. Empati artinya dapat merasakan apa yang sedang dirasakan

orang lain, terutama bila orang lain dalam keadaan malang, sedangkan

kontrol diri adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi sendiri

sehingga tidak mengganggu hubungannya dengan orang lain. Hal yang

sama dijelaskan oleh Howard Gardner (dalam Purnama, 2016: 236)

kecerdasan emosi terdiri atas banyak kecakapan, diantaranya

intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence. intrapersonal

intelligence merupakan kecakapan mengenali perasaan diri sendiri yang


terdiri atas (1) Kesadaran diri, meliputi keadaan emosi, penilaian pribadi,

dan percaya diri. (2) Pengaturan diri, meliputi pengendalian diri, dapat

dipercaya, waspada, adaptif dan inovatif. (3) Motivasi, meliputi dorongan

berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis. Adapun interpersonal

intelligence merupakan kecakapan yang berhubungan dengan orang lain

yang terdiri atas (1) Empati, meliputi memahami orang lain, pelayanan,

mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman, dan kesadaran politis.

(2) Keterampilan sosial, meliputi pengaruh, komunikasi, kepemimpinan,

katalisator, perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi,

dan koperasi serta kerja tim. Sedangkan menurut Goelman (dalam

Purnama, 2016: 236) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our

emosional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion an its expression)

melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri,

empati, dan keterampilan sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengendalikan diri

sendiri dan kemampuan individu dalam berhubungan baik dengan orang

lain.
2. Prestasi Belajar

Purwanto (2007) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu

hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar yang diberikan

dalam bentuk raport. Selanjutnya Winkel (1997) mengatakan bahwa

prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan

seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar sesuai dengan bobot

yang dicapainya . Sedangkan menurut Nasution, S (1987) prestasi belajar

adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan

berbuat, prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek

yakni: kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi

kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam

ketiga aspek tersebut (dalam Hamdu dan Agustina, 2011: 83).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa prestasi belajar adalah manifestasi dari keberhasilan belajar siswa

dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diberikan dalam

bentuk laporan hasil belajar.

3. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Prasetyo dan Emusti Rivasintha

(dalam Kurniawan, 2013: 30) adalah penanaman nilai-nilai karakter

kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran

atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik


terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan, maupun

kebangsaan sehingga menjadi manusa insan kamil. Selanjutnya

diperjelas oleh pendapat (Judiani,2010: 282) yang dikutip dari (Pusat

Kurikulum, 2010) Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang

mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga

mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,menerapkan

nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat

dan warga yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.

Sedangkan menurut Samani & Hariyanto (dalam Ramdhani, 2014:

30) Pendidikan karakter merupakan upaya pembentukan karakter sebagai

nilai dasar yang membangun pribadi seseorang yang terbentuk baik karena

pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakan

antara satu orang dengan orang lain serta diwujudkan dalam sikap dan

prilakunya dalam kehidupan sehari hari.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan karakter adalah penanaman nilai-nilai karakter kepada individu

untuk membentuk individu menjadi manusia yang berbudipekerti.

B. Review Empiris

Berikut hasil penelitian tentang pengembangan kecerdasan emosi dan

penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dalam meningkatkan prestasi

belajar. Penelitian Daud (2012) yang meneliti tentang Pengaruh Kecerdasan


Emosional (EQ) dan Motivasi Belajar terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa

SMA Negeri Kota Palopo hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi berpengaruh positif dan siginifikan terhadap hasil belajar

biologi siswa SMA Negeri Kota Palopo.

Penelitian Rudyanto (2014) yang meneliti tentang Model Discovery

Learning dengan Pendekatan Saintifik Bermuatan Karakter untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif hasil penelitian ini menunjukkan

pembelajaran matematika dinyatakan efektif, dengan indikator: 1)

kemampuan berpikir kreatif mencapai ketuntasan dengan nilai rataan 71,55

dan mencapai ketuntasan klasikal mencapai 90%; 2) karakter rasa ingin tahu

dan keterampilan mengkomunikasikan berpengaruh positif terhadap

kemampuan berpikir kreatif.

C. Model Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah

penelitian kualitatif. Data yang dikumpulkan tidak dalam bentuk angka-angka,

melainkan data yang diperoleh melalui naskah wawancara, catatan lapangan,

dokumen pribadi dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan

dari penelitian ini adalah ingin menggambarkan realita empirik dibalik

fenomena yang diteliti secara mendalam rinci dan tuntas. Oleh karena itu

penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan


mencocokkan realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan

metode deskriptif.

Menurut Keirl dan Miller (dalam Moleong, 2004: 131) definisi dari

penelitian kulaitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya

sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan

peristilahannya. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti

sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasilnya lebih menekankan

makna daripada generalisasi.

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitaian deskriptif. Menurut

(Arikunto, 2010: 3) penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan

untuk menyelidiki keadaan, kondisi, situasi, peristiwa, kegiatan dan yang

lainnya yang dilaporkan dalam bentuk laporan penelitian. Dalam penelitian

ini, peneliti menyelidiki fenomena yang ada di Sekolah Dasar.

D. Hipotesa

Jika dalam proses belajar mengajar terintegrasi nilai-nilai pendidikan

karakkter maka kecerdasan emosi siswa akan berkembang dan berimplikasi

terhadap prestasi belajarnya yang semakin meningkat.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang memiliki berbagai

karakteristik, unsur dan nilai terkait dengan fenomena yang diteliti. Subjek yang

dimaksud diantaranya guru, siswa, kepala sekolah serta tenaga pendidikan lainnya

yang ada di Sekolah Dasar.

B. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah masalah menurunnya prestasi belajar

siswa yang disebabkan oleh lemahnya kecerdasan emosi dan minimmya

penanaman nilai-nilai pendidikan karakter di Sekolah Dasar.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Sekolah Dasar. Sedangkan

yang menjadi sampel adalah Sekolah Dasar yang ada di sekitar tempat tinggal

peneliti.
D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi dan dokumentasi.

1) Wawancara (interview)

Wawancara (interview) adalah teknik penelitian yang dilaksanakan dengan

cara dialog baik secara langsung (tatap muka) maupun melalui saluran media

tertentu antara pewawancara dengan yang di wawancarai sebagai sumber data

(Sanjaya 2015: 263). Dalam penelitian peneliti akan melakukan wawancara

dengan informan yaitu pihak-pihak yang memiliki berbagai karakteristik,

unsur dan nilai terkait dengan fenomena yang diteliti.

2) Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara

langsung maupun tidak tentang hal-hal yang diamati. Itu biasa gejala-gejala

tingkah laku, benda-benda hidup, ataupun benda mati (Sanjaya 2015: 270).

Dalam penelitian ini peniliti menggunakan teknik observasi non partisipatif

peneliti hanya mengamati secara langsung fenomena yang diteliti tetapi

peneliti tidak aktif dan terlibat langsung. Artinya peneliti tidak terlibat dalam

proses belajar mengajar yang dilakukan siswa dan guru di dalam kelas.

3) Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274). Dalam penelitian ini peneliti

mengguanakan teknik dokumentasi untuk mencatat hal-hal yang berkaitan

dengan fenomena yang diteliti.

E. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pedoman wawancara berupa garis besar tentang hal-hal yang ingin ditanyakan,

pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang akan mungkin timbul

dan akan diamati, dan pedoman dokumentasi berupa check-list.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis data menurut Milez dan Huberman dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut:

1) Pengumpulan Data

Peneliti mencatat semua data secara obyektif dan apa adanya sesuai dengan

hasil observasi dan wawancara langsung di lapangan.

2) Reduksi Data

Reduksi data yaitu memilih hal-hal yang pokok dan sesuai dengan fokus

penlitian, reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data

yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu

diperlukan.

3) Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang

memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan,

penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, cart atau

grafis sehingga dapat dikuasai.

4) Pengambilan Keputusan atau Verifikasi

Setelah data disajikan maka, dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Untuk itu diusahakan mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-

hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi dari data tersebut

berusaha diambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keptusan

yang didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan

jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Keempat komponen

diatas, saling mempengaruhi dan terkait. Keterkaitan yang dimaksud

khususnya dalam penelitian ini adalah (1) dilakukan penelitian di lapangan

dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi yang merupakan wujud

dari pengumpulan data. (2) untuk memilah mana saja data yang dibutuhkan

sesuai dengan fokus penelitian dilakukan reduksi data, (3) setelah data

direduksi selanjutnya data disajikan dan (4) apabila ketiga langkah tersebut

sudah dilakukan maka peneliti melakukan pengambilan keputusan atau

verifikasi.
Setelah teknik analisis diatas dilakukan selanjutnya data akan diolah

secara deskriptif- kualitatif. Tujuan dari analisis data ini menurut (Nazir,

2003: 16) adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara

sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan

antar fenomena yang di selidiki.

Sedangkan untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini,

digunakan teknik trianggulasi dengan sumber yang dilakukan dengan cara

pertama membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara,

membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang

tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu,

membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan

menengah, atau tinggi, orang berada serta orang pemerintahan, terakhir

membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendkatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.
Dantes, Nyoman. 2014. Landasan Pendidikan Tinjauan Dari Dimensi
Makropedagogis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Daud, Firdaus. 2012. Pengaruh Kecerdasan Emosional (EQ) dan Motivasi Belajar
terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA 3 Negeri Kota Palopo. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. 19(2). 243-255.

Hamdu G. & Agustina L. 2011. Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap Pestasi
Belajar IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan. 12. 81-86.

Irham, Muhammad dan Wiyani, Ardy Novan. 2015. Psikologi Pendidikan Teori dan
Aplikasi dalam Pembelajaran. Jogjakarta: Arruzmedia.
Januarini, Hesti. “Melatih Kecerdasan Emosi Anak. 14 November 2018.
https://www.academia.edu/9575598/Melatih_Kecerdasan_Emosi_Anak.
Judiani, Sri. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui
Penguatan Pelaksanaan Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 16.
280-289.
Khodijah, Nyanyu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Arruzmedia.

Milez, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah
Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI- Press.
Moleong, J. L. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Purnama, M. I. Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Minat Belajar terhadap Prestasi


Belajar Matematika di SMAN Jakarta Selatan. Jurnal Formatif. 6(3). 233-245.
Purwanto, Ngalim M. 2014. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Ramdhani, A.M. 2014. Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan
Karakter. Jurnal Pendidikan Universitas Garut. 08. 28-37.
Rudyanto, E.H. 2014. Model Discovery Learning dengan Pendekatan Saintifik
Bermuatan Karakter untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.
Premiere Educandum. 4(1). 2014. 41-48
Sanjaya, Wina. 2015. Penelitian Pendidikan, Jakarta: Kencana.
Soyomukt, Nurani. 2008. pendidikan berperspektif globalisasi. Jogjakarta:
Arruzmedia.

Susanti, Rita dkk. 2014. Perasaan Terluka Membuat Marah. Jurnal Psikologi. 10.
105.
Suyono dan Harianto. 2017. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Yusuf, Syamsu dan Sugandhi,M. 2014. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai