Anda di halaman 1dari 9

TUGAS BAHASA INDONESIA

MENCARI KALIMAT TIDAK EFEKTIF DAN KALIMAT EFEKTIF


DALAM SEBUAH ARTIKEL

DISUSUN OLEH :

1. MOHAMAD ROZI

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SURAKARTA
2016
PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PENDIDIKAN

Dunia pendidikan di tanah air pada saat ini hendaknya sudah mulai merubah
paradigma berpikir terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kita semua menyadari bahwa dari
dulu proses pendidikan dan pembelajaran di Indonesia lebih berorientasi dan menekankan
pada kemampuan intelektual (IQ) atau aspek kognisi saja. Kemampuan intelektual seolah-
olah lebih menjawab persoalan pendidikan dibandingkan dengan kemampuan lainnya.
Pendidikan di Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik,
kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan
Tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan
tentang : integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental, kebijaksanaan,
keadilan dan sebaianya mungkin kita bisa melihat dari bentukan karakter dan kualitas sumber
daya manusia era 2000 yang perlu dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis ekonomi yang
berkepanjangan pada waktu itu. Meskipun mereka mempunyai pendidikan yang sangat tinggi
dengan gelar di depan atau belakang namanya, mereka hanya mengandalkan logika saja.
Rupa-rupanya ada satu hal yang terlupakan oleh kita semua adalah kecerdasan emosi atau
Emotional Quotient (EQ) yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia. Dalam dunia
pendidikan dan pembelajaran di sekolah yang terjadi selama ini EQ tidak pernah tersentuh.
Orientasi pembelajaran pada siswa adalah kecerdasan intelektual, dimana hal ini saja tidak
cukup bagi siswa untuk dapat berhasil dalam meniti kehidupan bagi keberhasilan masa depan
mereka..
Menurut penelitian dari Daniel Goleman seorang psikolog dari Harvard University bahwa IQ
akan dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu memfungsikan EQ-nya. Hal ini
dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan di daerah kumuh pada kondisi kesulitan ekonomi
dan ditemukan data hanya sekitar 20% saja masyarakat yang mempunyai IQ mampu bertahan
hidup sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk kecerdasan emosi. Kemampuan
intelektual hanya merupakan salah satu unsur pendukung keberhasilan sesorang. Apakah
keberhasilan ini akan tercapai, tentunya tergantung pada kemampuan sesorang di dalam
menggabungkan IQ dan EQ-nya. Hal ini berimplikasi dan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan manusia baik dalam pendidikan maupuan pekerjaannya sehingga mencapai
kesuksesan dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Namun demikian, kecerdasan emosional saja tidak cukup. Untuk itulah perlu adanya
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) yang berfungsi sebagai stabilitator mengatasi
kesenjangan antara IQ dan EQ. Menurut Ari Ginanjar Agustin (2001) bahwa Spiritual
Quotient dapat dikatakan sebagai perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan
kepribadian berdasarkan prinsip, yang akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi
dan spiritual serta mampu mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan
jasadiyah dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki ESQ tinggi tentu saja tidak hanya
menang secara pribadi tapi juga secara publik. Ia akan memiliki kesadaran terhadap emosi
dan nilai pribadinya, rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri, mempunyai dorongan
untuk berprestasi, dapat dipercaya, optimis, memahami orang lain, mampu berkomunikasi
dan bekerja sama. Pembangunan kecerdasan emosional (EQ) dalam dunia pendidikan
terutama di sekolah-sekolah tentunya bukan tanggung jawab masing-masing individu ataupun
orang tuanya. Seorang guru pun harus mampu memiliki peran untuk membentuk karakter dan
pribadi anak didiknya. Peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional baik tentunya
sangat berpengaruh dalam hubungan interpersonal diantara mereka. Hubungan interpersonal
yang sudah terbangun akan sangat bermanfaat untuk menanamkan kerja sama antara siswa
dalam mengatasi persoalan yang diberikan oleh guru.
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang
wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan
dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar
menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar atau mengikuti bimbingan belajar.
Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya
dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor
tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan
persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan
dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi
perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-
perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki
motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas
kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya
untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan
bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau
kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial:
yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain
dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu,
mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan
kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi
sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur
kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-
kesulitan kognitif seperti ketidakmampuan belajar). (Goleman, 2002: 273)
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai marsmallow challenge di Universitas
Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan
hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu
menyusun gagasan secara nalar, serta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka
memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang
tidak mampu menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002: 81). Individu yang memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam
menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam
memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam
memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 1998: xvii)
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi
membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan
emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan
ketrampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh
pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam
memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses
di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari
resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman
(Gottman, 1998: 250)
Siswa bukanlah benda mati yang hanya bergerak bila ada daya dari luar yang
mendorongnya, melainkan mahluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak
yaitu motivasi. Dengan adanya motivasi, manusia kemudian terdorong untuk melakukan
suatu tindakan atau perilaku, yang termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk berprestasi
tinggi di dalam belajar. (Irwanto, 1997: 184)
Arden N. Fardesen mengatakan bahwa hal yang mendorong seorang untuk belajar adalah:
a. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amat luas.
b. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
d. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru, baik
dengan koprasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar. (Suryabrata, 1998: 253)
Keenam poin tersebut adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa. Bila seorang
siswa mampu mengaturnya dengan baik, hal tersebut menunjukan kecerdasan emosional
yang baik dan akan memberikan sumbangan yang besar terhadap prestasi baiknya dalam
belajar. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka siswa akan terhambat dan mengalami
kesulitan dalam belajar.
Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional
merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki
kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan
emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam
pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sebaliknya,
siswa yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan
mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada
pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan
berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur emosi mereka.
Kecerdasan emosional menunjukkan ke pemahaman akan perasaan diri sendiri,
empati terhadap perasaan orang lain dan penataan emosi demikian rupa sehingga bermanfaat
untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita. Memang pintar saja tidak cukup, tetapi orang
juga harus bisa menempatkan diri. Siapa yang mengerti tempatnya dalam dunia akan
mempunyai sikap batin yang tepat dan kemudian bertindak dengan tepat. Menempatkan diri
berarti mempunyai kepekaan rasa seperti mengenali lingkungan tempat kita berada sehingga
mengerti dan bisa menjaga reaksi kita atas sesuatu peristiwa, mempelajari dan memahami
perasaan orang-orang di sekitar kita sehingga kita mengerti bagaimana menjaga tindakan kita
dan mengenali kita sendiri. Kecerdasan Emosional mencakup pengendalian diri, semangat,
dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-
lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati)
dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk
menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-
anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita
kekurangmampuan pengendalian moral. Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah
menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan
sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi itu memperkaya; model pemikiran yang tidak
menghiraukan emosi merupakan model yang miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam
perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan, pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam
pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam
kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang
berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat
kita menjadi lebih manusiawi.
EQ Dalam Pembelajaran Kecerdasan emosional (EQ) memegang peranan penting
bagi kesuksesan seorang anak. Namun, masih banyak masyarakat saat ini yang hanya terpaku
pada IQ saja. "Padahal, riset telah membuktikan EQ memegang peranan paling besar bagi
kesuksesan anak. Kecerdasan emosional dapat diukur dari kemampuan seseorang untuk
mengenal dirinya sendiri, mengelola emosinya dan memotivasi diri. Selain itu kecerdasaan
emosional juga dapat dilihat dari kemampuan seorang anak merasakan apa yang dirasakan
orang lain (empati) dan keluwesan dalam hubungan dengan orang lain secara efektif.
Siapapun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar
yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik.
Pentingnya EQ dalam pembelajaran adalah bagaimana mengembangkan seorang anak agar ia
memiliki inteligensi yang tinggi yang memiliki spektrum yang kaya sekaligus juga seorang
yang sangat manusiawi memiliki inteligensi emosi yang penuh. Keseimbangan di antara
keduanya diperlukan jika kita menginginkan seseorang yang pandai, kreatif sekaligus
manusia yang dapat berempati, yang dapat mengontrol emosinya, yang dapat memotivasi
dirinya sendiri sehingga dapat mandiri, yang selalu mawas diri karena mengetahui perasaan
yang ada di dalam dirinya sendiri maupun perasaan yang ada pada orang lain.
Hubungan Antara IQ, dan EQ Dalam Dunia Pendidikan selama ini banyak orang
menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi,
maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding
orang lain.
Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan
intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin
seseorang akan meraih kesuksesan. Daniel Goleman dalam bukunya yang terkenal,
Emotional Intelligence membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu
memperlihatkan kesuksesan seseorang. Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang.
Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah
maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang
cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior
(jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan
seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga
meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-
contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut
banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
Empati (memahami orang lain secara mendalam), Mengungkapkan dan memahami perasaan ,
Mengendalikan amarah, Kemandirian, Kemampuan menyesuaikan diri, Disukai ,
Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, Ketekunan, Kesetiakawanan dan
keramahan, serta Sikap hormat.
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ
tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak;
orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka.
Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau
kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin
kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup. Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang
yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri
dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif
memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan
persahabatan, ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan
keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia
akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong
produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan
emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk
berkonsentrasi pada karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang
sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional
daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang
menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Kemerosotan emosi tampak dalam semakin parahnya masalah spesifik berikut : Menarik diri
dari pergaulan atau masalah sosial; Lebih suka menyendiri, Bersikap sembunyi-sembunyi,
Banyak bermuram durja dan kurang bersemangat, Merasa tidak bahagia, terlampau
bergantung, Cemas dan depresi, Menyendiri, Ingin sempurna, Merasa tidak dicintai, dan
merasa gugup.
Perlunya Membangun Kecerdasan Emosional Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita
dalam menempuh kehidupan? Perlu pendidikan kecakapan manusiawi dasariah, seperti
kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan
pertentangan dan kerja sama. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu
seringkali menguasai nalar. Perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan rasional dan
kecerdasan emosional. Keberhasilan hidup ditentukan oleh keduanya. Ajaran Socrates :
Kenalilah dirimu menunjukkan inti kecerdasan emosional : kesadaran akan perasaan diri
sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Pelatihan untuk menyatakan perasaan negatif (marah,
frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi amat penting. Pelampiasan yang tidak tepat justru
menambah intensitas, bukan mengurangi. Cara berpikir menentukan cara merasa, oleh
karenanya berpikir positif sangatlah diperlukan. Ketekunan, kendali dorongan hati dan emosi,
penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu sasaran, kemampuan
untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (empati), dan manajemen diri merupakan
hal yang dapat dipelajari.
Pengalaman dan pendidikan di masa kanak-kanak akan sangat menentukan dasar
pembentukan ketrampilan sosial dan emosional. Untuk itulah perlu membiasakan anak untuk
berpikir kritis, mengajar anak untuk lebih hati-hati, lebih teliti terhadap apa yang dipikirkan.
Mengajar anak memecahkan masalah dengan mencari solusi yang terbaik. Berarti
mengajarkan anak membuat strategi di dalam menghadapi berbagai masalah. Jadi secara
menyeluruh, mengajar anak menentukan pilihan, solusi dan strategi. Hal ini dapat dicapai
dengan membiasakan anak mengambil keputusan sendiri, brainstorming, dan metakognisi
(berpikir tentang berpikir) dan sebagainya. Karena sifatnya meningkatkan kemampuan
berpikir maka di dalam kegiatan tersebut sekaligus meningkatkan kemampuan emosi.
Dalam kegiatan brainstorming misalnya, guru melatih anak untuk mengontrol emosi
dan sekaligus meningkatkan keterampilan interpersonal anak sekaligus melatih anak untuk
lateral thinking, atau berpikir melihat berbagai kemungkinan atau alternatif. Dan yang
terpenting adalah di dalam upaya menyeimbangkan antara kemampuan intelektual dan
kemampuan emosional perlu adanya kecerdasan spiritual (SQ) sebagai fungsi kontrol.
Dengan demikian IQ dalam arti intelligensi yang sifatnya multipel dan EQ yaitu kehidupan
emosi yang meliputi berbagai domain, dapat bergandengan dalam upaya pengembangan
anak, baik di dalam studi maupun dalam menatap masa depannya.

Anda mungkin juga menyukai