KECERDASAN EMOSIONAL
OLEH :
HERI SANTOSO
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dulu, semua orang beranggapan bahwa anak yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ
tinggi. Namun kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi kesuksesan
mereka di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar mengajar di sekolah,
siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya.
Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi
belajar yang relatif rendah. Tetapi, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya
relatif rendah, ia bisa meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi
bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang. Ada faktor
lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ).[1]
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik, cenderung
dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular
penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan
orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah
lebih baik. Sehingga dia akan mampu menyeleseikan seluruh beban akademisnya tanpa stress
yang berlebihan. Lebih lanjut, Kecerdasan emosional juga menjadikan anak memiliki
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi
berbagai kesulitan yang mungkin dihadapinya.
Menurut Goleman, kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor-faktor kekuatan lain di antaranya adalah
kecerdasan emosional (EQ). Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat
diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional
terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Keseimbangan antara IQ dan EQ
merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah.[2]
Melihat pentingnya kecerdasan emosional bagi peserta didik, maka penulis akan membahas
mengenai kecerdasan emosional dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kehidupan sehari-hari, emosi sering diistilahkan juga dengan perasaan. Misalnya,
seorang siswa mengatakan hari ini ia merasa senang karena dapat mengerjakan semua
pekerjaan rumah (PR) dengan baik. Siswa dan siswi lain mengatakan bahwa ia takut
menghadapi ujian. Senang dan takut berkenaan dengan perasaan, kendati dengan makna yang
berbeda. Senang termasuk perasaan sedangkan takut termasuk emosi. Perasaan menunjukkan
suasana batin yang lebih tenang dan tertutup karena tidak banyak melibatkan aspek fisik,
sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang dinamis dan terbuka karena melibatkan
ekspresi fisik.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara keduanya tidak
dapat dinyatakan dengan logis. Emosi dan perasaan merupakan gejala emosional yang secara
kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasannya. Pada suatu saat suatu warna
afektif dapat dikatakan sebagai perasaan tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi.
Contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan
emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi itu adalah sebagai berikut:
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dari dalam
individutentang keadaan mental dan fisik berwujud suatu tingkah laku yang tampak. [3]
Dalam referensi lain, emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang
berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya,
terutama well-being dirinya.[4]
Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik sesorang, seperti:
Menurut english and english emosi adalah “A complex feeling state accompained by
characteristic motor and glandular activies” suatu keadaan atau perasaan yang kompleks yang
disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan Sarlito wirawan sarwono
berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai
warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupunpada tingkat yang luas (mendalam).
Emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu.
Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat
menghadapi (menghayati) suatu sitasai tertentu. Contohnya gembira, bahagia, putus asa,
terkejut, benci (tidak senang) dan sebagainya. Dibawah ini ada beberapa contoh tentang
pengaruh emosi terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut:
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah
dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai
puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu sesama kecilnya akan
mempengaruhi sikap dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain.
Salovey dan Mayer (1990), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu jenis
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri
dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan.[8]
Menurut Dwi Sunar P. (2010), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.
[9]
Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) empati, yaitu kemampuanuntuk
merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau
masyarakat.
Berdasarkan definisi kecerdasan emosional menurut para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan
orang lain.
Goleman (1997) menjelaskan ada beberapa faktor kecerdasan emosional individu yaitu:
b. Lingkungan non keluarga, hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan
pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan
mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalm suatu aktivita bermain sebagai
seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.
a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan
untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang
berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara
kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini
berupa bagian berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam
otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis
mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti
terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2) System limbic. Bagian ini sering disebut
sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus,
tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu
ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
b. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat
dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu
secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic,
secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
Menurut Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah
faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial dan keluarga. Anak
yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan
reaksiemosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan
disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola asuh orang tua berpengaruh
terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja , diabaikan atau dikontrol dengan
ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung menunjukkan reaksi emosional yang
negatif. [11]
a. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor
internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan
mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.
Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak
emosional.Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak
jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa
tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan
kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan
kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan
nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu
kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa
sunahSenin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar
tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri.
Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara
hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c. Faktor Pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan
kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana
mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga
di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya
menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta
menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang
berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan
emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran,
komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan,
peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.[12]
Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru berusia lima tahun, dan
sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia sembilan tahun. Oleh karena itu, orang
tua dalam hal ini harus menjadi pelatih yang efektif bagi anak untuk meningkatkan
kecerdasan emosional anak yang dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional.
Proses tersebut terjadi dalam lima langkah:
1. Menyadari emosi anaknya, yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak
mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus menyadari emosi-emosi, pertama dalam
diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-anak mereka.[13] Orang tua yang awas dapat
mengenali isyarat-isyarat malapetaka emosional pada anak-anak mereka, isyarat-isyarat itu
muncul dalam tingkah laku seperti makan terlalu banyak, hilangnya nafsu makan, mimpi
buruk, dan keluhan pusing-pusing atau sakit perut.
2. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar, yaitu mengakui
emosi anak dan menolong mereka mempelajari keterampilan-keterampilan untuk menghibur
diri mereka sendiri.[14]
3. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut, yaitu
mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik emosi pada anak. Orang tua
menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi tersebut dari titik pandang anak
kemudian menggunakan kata-kata mereka untuk merumuskan kembali dengan cara yang
menenangkan dan tidak mengecam untuk menolong anak-anak mereka memberi nama emosi-
emosi mereka itu.[15]
4. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang
dialaminya, langkah ini merupakan langkah yang gampang dan sangat penting dalam
pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit hati, marah, sedih dan takut. Menyediakan
kata-kata dengan cara ini dapat menolong anak-anak mengubah suatu perasaan yang tidak
jelas, menakutkan, dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang
mempunyai batas-batas dan merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Studi-studi
memperlihatkan bahwa tindakan memberi nama emosi itu dapat berefek menentramkan
terhadap sistem saraf, dengan membantu anak-anak untuk pulih kembali lebih cepat dari
peristiwa-peristiwa yang merisaukan.
Selain terjadi dalam lingkungan keluarga, pendidikan emosi bisa diupayakan di lingkungan
sekolah. Sekolah harus menyertakan keterampilan emosional di dalam kurikulumnya,
misalnya pelajaran untuk bekerja sama. Di Amerika, keterampilan emosional ini disebut
“Self Science”.
Self Science adalah perintis gagasan yang saat ini (pada tahun 1996, yakni tahun penulisan
buku Emotional Intellegence oleh Goleman) menyebar di sekolah-sekolah dari pantai timur
sampai pantai barat Amerika Serikat. Nama dari pelajaran semacam ini beragam mulai dari
social development (pengembangan sosial), life skill (keterampilan hidup), sampai social and
emotional learning (pembelajaran sosial dan emosi). Benang merahnya adalah sasaran untuk
meningkatkan kadar keterampilan emosional dan sosial pada anak sebagai bagian dari
pendidikan reguler mereka.[17]
Untuk meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik, maka dibutuhkan kiat-kiat sebagai
berikut:
Keterampilan ini meliputi kemampuan anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya
anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat
menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari
emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian.
Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan anda untuk memahami dampak dari emosi
negatif terhadap diri anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun
memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali
justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan
stres. Jadi, selama anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru anda tidak bisa
mencapai potensi terbaik dari diri anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik
pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga anda maupun orang-orang di sekitar Anda
tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi
adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab
munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau
peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu
Anda mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu:
Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda. Kedua,
berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah
berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil
tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk
pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya
yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting
dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri
sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala
bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan
orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti
terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan
dengan manusia secara efektif.
Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar
pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina
hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian
besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.
Keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita
dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang
kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi
sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu
dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan
mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan
kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain
untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja
sama tim yang tangguh dan handal.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
4) Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang
dialaminya.
Gottman, John & Joan de Claire. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Terj. T. Harmaya. Jakarta: Gramedia.
Sunar P., Dwi. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ. Jogjakarta: Flash Books.
Yusuf LN, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[2] Loc .Cit.
[3] Hastuti, Wiwik Dwi, dkk, Perkembangan Peserta Didik, Surabaya: LAPIS- PGMI, 2008,
hal. 10-11.
[6] Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005, hal. 114.
[8] Sunar P., Dwi, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ, Jogjakarta: Flash Books, 2010, hal.
132.
[9] Ibid., hal. 129.
[14] Ibid., hal. 94.
[15] Ibid., hal. 95-96.
[16] Ibid., hal. 101-103.