Anda di halaman 1dari 21

BAB I

KERANGKA TEORI
1.1 Gangguan Perkembangan Intelektual
1.1.1 Definisi Sindrom
Intellectual disability (intellectual developmental disorder) merupakan
gangguan yang dimulai selama masa periode perkembangan yang meliputi
berkurangnya fungsi intelektual dan menurunnya fungsi adaptif pada domain
konseptual, sosial dan praktek
1.1.2 Gejala
Gangguan perkembangan intelektual ditandai dengan tiga kriteria dibawah ini
(American Psychiatric Association, 2013):
1. Berkurangnya fungsi intelektual yaitu seperti reasoning, problem solving,
planning, abstract thinking, judgment, academic learning dan learning from
experience, yang telah dikonfirmasi melalui asesmen klinis dan tes inteligensi
individual.
2. Berkurangnya fungsi adaptif yaitu kemandirian dan tanggung jawab sosial,
ditunjukkan dengan tidak mampunya seorang individu mencapai standar
perkembangan dan sosiokultural. Tanpa adanya dukungan yang berkelanjutan,
kurangnya fungsi adaptif tersebut dapat membatasi seseorang dalam satu atau
lebih kegiatan sehari-hari individu tersebut, seperti dalam berkomunikasi,
partisipasi sosial, dan aktivitas mandiri. Hal ini mempengaruhi dirinya dalam
berbagai lingkungannya yaitu seperti di rumah, sekolah, kantor dan
komunitas.
3. Berkurangnya fungsi intelektual dan fungsi adaptif dimulai selama masa
periode perkembangan
1.1.3 Etiologi
Risk and Prognostic Factors
Sindrom genetik, inborn errors of metabolism, kesalahan pembentukan
otak, maternal disease, dan pengaruh lingkungan, termasuk kedalam prenatal
etiologi. Penyebab perinatal termasuk variasi kelahiran dan delivery-related
events, mengarah kepada neonatal encephalophaty. Penyebab postnatal termasuk
kedalamnya adalah hypoxic ischemic injury, cedera traumatis pada otak, infeksi,
gangguan demyelinating, dan gangguan kejang, depriviasi sosial yang parah dan
kronis, serta toxic metabolic syndromes dan intoxications (American Psychiatric
Association, 2013).
Culture-Related Diagnostic Issues
Intellectual disability dapat terjadi pada seluruh ras dan budaya. Sensitifitas
dan pengetahuan mengenai kebudayaan harus diketahui selama asesmen, dan the
individuals ethnic, kebudayaan, dan latar belakang bahasa, pengalaman yang
ada, dan fungsi adaptif pada komunitasnya serta latar belakang budaya harus
masuk kedalam perhitungan (American Psychiatric Association, 2013).
Gender-Related Diagnostic Issues
Secara keseluruhan pria lebih banyak di diagnosa pada mild dan severe
forms dari intellectual disability. Meskipun begitu, rasio jenis kelamin bervariasi
pada studi yang telah dilaporkan. Faktor genetik terkait dengan seks serta
kerentanan lelaki terhadap brain insult dapat mencakup beberapa perbedaan pada
jenis kelamin (American Psychiatric Association, 2013).

1.1.4 Pengukuran dan Diagnosis


Berbagai macam tingkat keparahan dari intellectual disability ditentukan
bedasarkan fungsi adaptif, bukan bedasarkan skor IQ, karena fungsi adaptif
digunakan untuk menentukan bantuan atau dukungan yang dibutuhkan. Terlebih
lagi pengukuran skor IQ dianggap kurang valid. Terdapat empat tingkat keparahan
dari ID yaitu: Mild, Moderate, Severe dan Profound (American Psychiatric
Association, 2013).
- Mild
1. Domain konseptual
Pada usia sebelum sekolah (preschool children) tidak terlihat jelas terdapat
gangguan konseptual. Pada anak usia sekolah dan usia dewasa, terdapat
kesulitan dalam kemmapuan belajar di bidang akademik yang meliputi
membaca, menulis, aritmatika, mengenal waktu dan uang, sehingga
dibutuhkan bantuan pada satu atau lebih bidang area tersebut. Pada orang
dewasa terdapat gangguan dalam berpikir abstrak, kemampuan eksekutif,
dan memori jangka pendek (American Psychiatric Association, 2013).
2. Domain sosial
Dalam interaksi sosial, individu yang mengalami gangguan ID memiliki
sikap yang tidak dewasa. Contohnya, kesulitan dalam memahami bahasa,
cara berkomunikasi dan perbincangan dalam lingkungan teman sebayanya.
Dapat pula terjadi kesulitan dalam mengatur emosi dan perilaku sesuai
dengan usianya dan hal tersebut disadari oleh teman sebayanya. Orang
tersebut kemungkinan akan mendapatkan beberapa resiko yang
didapatkannya dari lingkungan sosialnya, yaitu seperti mudah
dimanipulasi oleh orang lain dan dianggap tidak dewasa oleh lingkungan
sosialnya (American Psychiatric Association, 2013).
3. Domain praktek
Individu dengan intellectual disability akan membutuhkan bantuan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari yang kompleks dibandingkan dengan
rekan seusianya. Bantuan yang dimaksud ialah seperti bantuan disaat
berbelanja, pekerjaan rumah, urusan perbankan, urusan perawatan anak,
keuangan dan banyak lagi. (American Psychiatric Association, 2013).

- Moderate
1. Domain konseptual
Dalam semua periode perkembangan dapat terlihat dengan jelas mereka
tertinggal dalam kemampuan konseptual. Pada usia sebelum sekolah,
kemampuan pemahaman bahasanya sangat lamban. Pada usia sekolah,
kemampuan membaca, menulis, pemahaman mengenai waktu dan uang
tertinggal dari teman sebayanya. Bantuan sangat dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari (American Psychiatric Association,
2013).
2. Domain sosial
Bahasa yang digunakan tidak begitu kompleks seperti kelompok usianya.
Individu mungkin saja dapat memiliki hubungan persahabatan yang baik
serta memiliki hubungan intim pada usia dewasa. Namun, individu
mungkin saja tidak dapat memahami atau mengintrepetasi isyarat sosial
(social cues) secara akurat. Dalam hubungan persahabatan seringkali akan
terganggu oleh adanya keterbatasan dalam berkomunikasi. Dibutuhkan
bantuan yang signifikan untuk membantu mereka dalam berkomunikasi
dan bersosialisasi agar mereka dapat berhasil dalam bekerja (American
Psychiatric Association, 2013).
3. Domain praktek
Individu dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti makan, berpakaian,
elimination dan hygiene meskipun dalam hal ini mereka membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk dapat melakukan hal tersebut. Ia dapat
memiliki pekerjaan di kantoran, namun ia tetap membutuhkan bantuan
dari rekan kerjanya untuk membantunya dalam hal-hal yang bersifat
kompleks, seperti mengatur keuangan, pengaturan jadwal dan lain
sebagainya. Perilaku maladaptive mungkin saja muncul pada beberapa
minoritas dan dapat memunculkan masalah (American Psychiatric
Association, 2013).

- Severe
1. Domain konseptual
Pencapaian dalam kemampuan konseptual terbatas. Individu secara umum
memiliki pemahaman yang sedikit dalam written language atau konsep
yang meliputi angka, kuantitas, waktu dan uang. Perawat menyediakan
dukungan tambahan untuk membantu menyelesaikan permasalahan dalam
kehidupan (American Psychiatric Association, 2013).
2. Domain sosial
Bahasa lisan yang dimiliki terbatas dalam hal ejaan dan tata bahasa.
Individu memahami bahasa dan gesture yang sederhana. Hubungan antara
anggota keluarga merupakan hal yang sangat penting bagi individu
(American Psychiatric Association, 2013).
3. Domain praktek
Individu membutuhkan bantuan dalam segala aktivitas sehari-hari yaitu
termasuk menyiapkan makanan, berganti pakaian, mandi dan lain
sebagainya. Individu membutuhkan supervisi atau perawat selama satu
hari penuh. Ia membutuhkan waktu belajar yang cukup lama dan
pendampingan yang berkelanjutan. Perilaku maladaftif, seperti menyakiti
diri sendiri dapat saja muncul pada beberapa orang tertentu (American
Psychiatric Association, 2013).

- Profound
1. Domain konseptual
Individu dalam melakukan kegiatan sehari-harinya lebih sering
menggunakan gaya goal-directed. Kemampuan visuospatial, yaitu seperti
mencocokkan dan mengurutkan sesuatu mampu dilakukan oleh dirinya.
Namun, individu mengalami kesulitan dalam kegiatan yang berhubungan
dengan kemampuan motorik dan sensorik (American Psychiatric
Association, 2013).
2. Domain sosial
Individu memiliki kemampuan yang sangat minim dalam memahami
komunikasi simbolik dalam percakapan serta dalam memahami gestur.
Gangguan dalam kemampuan motorik dan sensorik dapat menimbulkan
masalah bagi dirinya. Individu sangat nyaman berinteraksi dengan
keluarga, perawat dan orang-orang terdekat melalui isyarat dan gestur
tertentu, karena individu memiliki cara sendiri dalam menyampaikan apa
yang mereka maksud melalui isyarat atau gestur tertentu (American
Psychiatric Association, 2013).
3. Domain praktek
Individu bergantung pada semua aspek kehidupan sehari-hari seperti
perawatan fisik, kesehatan dan keamanan dirinya. Individu tanpa
gangguan fisik yang parah dapat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti
membawa cucian kotor ke tempatnya. Melalui bantuan orang lain mereka
juga dapat melakukan kegiatan bersantai seperti mendengarkan musik,
menonton televise dan lain sebagainya. Perilaku maladaptif mungkin saja
muncul pada beberapa orang tertentu (American Psychiatric Association,
2013).

1.2 Gangguan Belajar (Dyslexia)


1.2.1 Definisi
Gangguan belajar atau Learning Disabilities merupakan kondisi dimana
adanya suatu hambatan atau gangguan pada bidang akademik tertentu, seperti
berbicara, bahasa, atau keterampilan motorik (Davison, Neale, & Kring, 2010).
Anak-anak yang mengalami gangguan belajar memiliki kesulitan dalam
memahami atau menggunakan bahasa tertulis ataupun ucapan, kesulitannya
muncul pada proses membaca, menulis, mendengarkan, memikirkan, dan
mengeja. Gangguan belajar juga dapat mencakup kesulitan dalam matematika
(Santrock, 2011).
1.2.2 Gejala
Berikut ini adalah beberapa gejala dari dyslexia. Namun , tidak semua orang
dengan dyslexia memiliki masalah atau karakteristik yang sama persis. Dibawah ini
merupakan gejala-gejala umum yang terjadi pada orang dengan dyslexia:
1. Kesulitan membaca dan mempersepsikan seuatu
- Kesulitan awal dalam memperoleh kemampuan fonic
- Memiliki kesulitan memahami bacaan
- Kecepatan membaca yang rendah
- Ketepatan membaca rendah, kalimat yang dibaca sering tidak tepat
- Ketidakmampuan untuk scanning dalam membaca
- Memiliki distorsi dalam teks (Huruf terlihat seperti mengambang atau
berantakan)
- Merasa silau atau terganggu ketika melihat kertas putih atau papan tulis
- Bila membaca dengan keras, mereka melewatkan, menambah, atau
menyimpangkan kalimat
- Gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan dala mengingat fakta-
fakta secara cepat dan akurat, menghihtung objek dengan benar dan cepar
atau mengurutkan angka-angka (Davison, Neale, & Kring, 2010)
2. Kesulitan menulis
- Kesulitan menulis ejaan
- Kebingungan terhadap kata-kata yang kecil
- Kelalaian pada kata, khususnya ketika ia menulis dalam tekanan
- Tulisan tangan yang membingungkan
- Kecepatan menulis yang rendah
- Ketidakmampuan menyusun kata-kata (kesalahan ejaan, bahasa, tanda
baca)
(Lucid, 2006)

1.2.3 Etiologi
Berbagai peneliti dewasa ini menyatakan bahwa kelemahan inti yang
membentuk diseleksia mecakup berbagai masalah dalam proses-proses visual,
pendengaran dan bahasa. Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan
adanya satu masalah dalam pemrosesan bahasa, termasuk persepsi bicara dan
analisi bunyi bahasa ucapan, sebagai masalah yang mendasari diseleksia.
Berbagai studi yang menggunakan pencitraan otak menemukan adanya
perbedaan aktivitas berbagai bagian tertentu dalam otak ketika individu diseleksia
melakukan tugas-tugas visual, pendengaran, dan bahasa jika dibandingkan dengan
aktivitas otak individu yang tidak menderita disleksia. Sebagai contohnya, studi
yang dilakukan menggunakan fMRI menemukan bahwa jika dibandingkan dengan
anak-anak nondisleksik, anak-anak disleksik tidak mampu mengaktifkan daerah
temporoparietal dalam otaknya ketika melakukan tugas-tugas perosesan fonologis.
Bukti lain juga menunjukkan bahwa abnormalitas otak, kemungkinan
bertanggung jawab atas disleksia. Hal ini diperkuat dengan otopsi otak yang
dilakukan pada beberapa individu disleksik pada masa kanak-anak
mengungkapkan adanya abnormalitas mikroskopik pada pengaturan, jumlah, dan
lokasi neuron di daerah otak yang disebut daerah bahasa posterior pada korteks.
Abnormalitas ini, kemungkinan terjadi karena faktor keturunan, dimana berbagai
studi keluarga dan anak kembar menunjukkan bahwa terdapat faktor keturunan
pada disleksia. (Davison, Neale, & Kring, 2010)
1.2.4 Pengukuran dan Diagnosis
Pengukuran dan Diagnosis awal dapat dilakukan salah satunya dengan
melakukan sebuah test yang disebut The Dyslexia Early Screening Test Second
Edition (DEST-2) untuk menentukan apakah anak mengalami kesulitan pada
bidang-bidang yang diketahui terpengaruh oleh dyslexia. Selain itu dapat juga
dilakukan observasi dan wawancara kepada anak, juga wawancara dengan
orangtua serta guru untuk mengumpulkan informasi sebelum kemudian dilakukan
diagnosis.

Diagnosis gangguan belajar dan gangguan membaca menurut DSM-IV adalah,

Gangguan belajar
Dyslexia merupakan salah satu jenis gangguan belajar. Dimana gangguan belajar
sendiri didiagnosa ketika pencapaian individu pada standar tes membaca,
matematika, ekspresi tertulis berada jauh dibawah rata-rata umur, sekolah dan
level intelegensi nya. Gangguan belajar dapat mengganggu pencapaian akademik
atau aktivitas sehari-hari yang mengharuskan membaca, matematika dan
kemampuan menulis. Gangguan belajar mungkin dapat berlangsung hingga
dewasa.
Gangguan belajar harus dibedakan dari variasi normal dalam pencapaian
akademik dan dari kesulitan akademik akibat kurangnya kesempatan, pengajaran
yang buruk atau faktor budaya.
Lemah dalam penglihatan atau pendengaran mempengaruhi kemampuan belajar
dan seharusnya ditelusuri melalui audiometric atau visual screening tes.
Gangguan belajar juga dapat didiagnosa dari munculnya deficit sensori.
Dalam retardsasi mental, gangguan belajar setara dengan gangguan umum pada
fungsi intelektual. Bagaimanapun juga, dalam beberapa kasus retardasi mental
ringan, tingkat pencapaian dalam membaca, matematika, atau ekspresi tertulis
mereka secara signifikan jauh dibawah tingkat yang diharapkan.
Gangguan membaca
Criterion A: Ciri penting dari gangguan membaca adalah prestasi membaca
(keakuratan membaca, kecepatan, atau pemahaman) yang secara substansial lebih
rendah dari yang diharapkan.
Criterion B: Gangguan membaca secara signifikan mengganggu prestasi
akademik atau dengan aktivitas sehari-hari yang memerlukan ketrampilan
membaca
Criterion C: Jika defisit sensorik muncul, gangguan membaca yang melebihi dari
seharusnya biasanya berkaitan dengan hal tersebut.
Jika neurologis, atau kondisi umum medis atau sensori deficit muncul,
seharusnya dikategorikan kedalam Axis III. Individu yang mengalami gangguan
membaca, membaca dengan lisan ditandai dengan distorsi, substitusi, dan
penghilangan; baik membaca dengan lisan (oral reading) atau diam ditandai
dengan kelambatan dan kesalahan dalam pemahaman. (American Psychiatric
Association, 2005)

1.3 ADHD
1.3.1 Definisi
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan
perkembangan saraf dari masa kanak-kanak dimana anak tersebut secara konsisten
menunjukkan karakteristik inatensi, perilaku hiperaktif dan perilaku impulsive
selama periode waktu tertentu (Santrock, 2011).
1.3.2 Gejala

Perilaku Hiperaktif
Anak dengan ADHD memiliki kesulitan dalam mengendalikan dirinya dalam
segala situasi yang ditandai dengan anak sering meninggalkan tempat duduk
ketika seharusnya diam di kursi, sering berjalan dan memanjat berlebihan
dalam situasi yang tidak seharusnya, sering mengalami kesulitan dalam
bermain atau menikmati waktu santai dengan berdiam, bergerak tanpa kenal
lelah seolah-olah digerakkan oleh mesin, sering berbicara berlebihan (Castro
& Brown, 2011).

Perilaku impulsif
Anak dengan ADHD memiliki kesulitan dalam berpikir sebelum bertindak.
Mereka kurang dapat mempertimbangkan konsekuensi sebelum melakukan
sesuatu dan akibat perilaku yang mereka lakukan. Karena itu mereka sulit
mengikuti peraturan yang berlaku. Dalam situasi yang membuat mereka
emosi, mereka memiliki kapasitas terbatas dalam pengendalian diri karena
kebutuhan yang terdesak untuk segera bertindak (Goldstein & Reynolds,
2011).

Inattention
Anak dengan ADHD memiliki kesulitan dalam fokus pada suatu tugas dan
memusatkan perhatian mereka dibandingkan anak tanpa ADHD dengan usia
kronologis yang sama. beberapa literature mengemukakan bahwa masalah ini
tidak akan terjadi selama tugas yang dikerjakan menarik dan memotivasi,
namun pada tugas yang berulang-ulang, tidak menarik, dan berat untuk
dikerjakan anak-anak mereka akan sulit untuk fokus dan mudah terdistraksi
untuk melakukan hal lain yang terlihat lebih menarik (Goldstein & Reynolds,
2011).

Mudah Terpancing
Karena kurangnya hambatan, anak-anak dengan ADHD cenderung berlebihan
gelisah, terlalu aktif, dan mudah terangsang secara emosional. Kecepatan dan
intensitas mereka dalam berpindah emosi secara ekstrim juga lebih besar
dibanding anak lain di usia mereka (Goldstein & Reynolds, 2011).

Emosi dan Locus of Control


Karena anak-anak dengan ADHD sering memunculkan peningkatan dan
penuruan emosi yang drastis sepanjang masa kecil mereka. Ketika mereka
sedang senang, mereka terlalu senang sehingga orang-orang menyuruh mereka
untuk tenang, ketika mereka sedih mereka juga amat sedih sampai orang lain
menyuruh mereka untuk tenang. Hal ini membuat mereka belajar bahwa emosi
mereka tidak dihargai dan menjadi sebuah masalah. Mereka juga mungkin
lebih cenderung untuk mengembangkan locus of control eksternal,
memproyeksikan kesalahan ke orang lain, dan tidak mau mengakui dan
menerima peran yang mereka mainkan dalam perilaku mereka sendiri. Mereka
tampak lebih rentan terhadap masalah-masalah kepribadian tertentu, terutama
yang berhubungan dengan kesulitan antisosial, sebagian karena sifat ini
dikombinasikan dengan pengalaman hidup mereka. Mereka mungkin juga
lebih rentan terhadap depresi, sebagian karena kurangnya keseimbangan antara
pengalaman sukses dan gagal pada hari hari mereka (Goldstein & Reynolds,
2011).
1.3.3 Etiologi
Etiologi atau faktor resiko dari ADHD dapat dibagi menjadi 3, temperamental,
environmental, serta genetic dan physiological (Castro, M.D & Brown, M.D,
2011)
o Tempramental Risk Factors
o ADHD sering dikaitkan dengan berkurangnya hambatan perilaku,
effortful control, emosi negatif, dan/atau tingginya keinginan untuk
mencari hal-hal baru.
o Environmental Risk Factors
o Anak-anak yang lahir dengan kategori berat sangat kurang (dibawah
1.5 kg) beresiko dua hingga tiga kali lipat lebih besar mengidap
ADHD. Namun, anak-anak yang lahir dengan katergori berat kurang
tidak mengidap ADHD. Komplikasi pada masa perinatal, seperti durasi
melahirkan yang tidak normal, forceps delivery, toxemia, dan
meconium staining, dapat meningkatkan resiko dari ADHD.
o Genetic and Physiological Risk Factors
Dalam DSM-5, dijelaskan bahwa ADHD sering ditemukan pada anak yang
memiliki gangguan kejang yang diasumsikan memiliki keterlibatan secara
neurologis. Selain itu, lemahnya kemampuan pendengaran dan penglihatan,
abnormalitas metabolisme, gangguan tidur, kekurangan nutrisi, dan epilepsi
dapat mempengaruhi timbulnya gejala ADHD
1.3.4 Pengukuran dan Diagnosis
Asesmen dan diagnosis pada ADHD dapat dilakukan dengan dua cara (Castro,
M.D & Brown, M.D, 2011):
Typical Clinical Presentation
Gender
Wanita cenderung jarang menunjukkan gejala menggaggu, namun
lebih sering menunjukkan masalah atensi dan masalah internal seperti
depresi dan kecemasan. Di sisi lain, pria cenderung lebih sering
menunjukkan perilaku yang menggaggu, seperti agresi, hiperaktif, dan
impulsif.
Younger Children
Subtipe hiperaktif lebih umum dan prevalensinya beragam mulai yang
paling rendah yaitu sebesar 2% pada klinik perawatan umum dan
paling tinggi yaitu sebesar 59% pada klinik psikiatri anak-anak.

Screening Tools (Alat Ukur)


SNAP-IV Rating Scale-Revised (SNAP-IV-R)
Alat ukur ini digunakan untuk anak-anak usia 6-18 tahun, berisi 90
item dan administrasinya memakan waktu sekitar 10 menit. Selain
digunakan untuk melihat gejala dari ADHD, alat ini juga dapat melihat
gejala dari Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Agresi. Alat ini
dikembangkan oleh James Swanson, Edith Nolan, William Pelham.
Vanderbilt ADHD Diagnostic Parent and Teacher Rating Scales
Alat ukur ini digunakan untuk anak-anak usia 6-12 tahun, berisi skala
untuk mengetahui gejala ADHD yang berhubungan dengan kelemahan
dalam bidang akademik dan performa perilaku. Walaupun alat ini tidak
dimaksudkan untuk mendiagnosa, namun banyak digunakan untuk
menyediakan informasi tentang kemunculan gejala, tingkat keparahan,
performa didalam kelas, rumah, dan tatanan sosial. Untuk
mengadministrasikan alat ini dibutuhkan waktu selama sekitar 10
menit, berisi 55 item untuk orang tua (Parent Form) dan 43 item untuk
guru (Teacher Form).

1.4 Autism
1.4.1 Definisi
Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan sebuah istilah yang
digunakan untuk menyebutkan beberapa jenis autisme yaitu autism, atypical
autism and Aspergers syndrome (Scottish Intercollegiate Guidelines Network
, 2007). Ini merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, dapat
didefinisikan secara perilaku, yang mencakup beberapa kemungkinan
gangguan perkembangan dalam interaksi sosial dan komunikasi secara timbal
balik, dan juga stereoptipe, berulang atau terbatas, serta repetoar perilaku
(Scottish Intercollegiate Guidelines Network , 2007). ASD mungkin terjadi
dalam hubungan dengan setiap tingkat umum kemampuan inteletual atau
kemampuan belajar, dan juga manifestasi ASD berkisar dari masalah
pemahaman halus dan gangguan fungsi sosial yang berat (Scottish
Intercollegiate Guidelines Network , 2007).
Gangguan pada setiap bidang yang relevan dengan diagnosis ASD
yang terjadi dalam suatu kontinum dari minimal (ringan) hingga parah (berat)
dan diagnosis kategoris pasti melibatkan definisi dari cut off (Scottish
Intercollegiate Guidelines Network , 2007). Klasifikasi diagnostik itu sendiri
seharusnya tidak menjadi dasar untuk keputusan mengenai ketentuan dalam
pendidikan atau kebutuhan untuk social care dan support (Scottish
Intercollegiate Guidelines Network , 2007).
1.4.2 Gejala
Gejala yang terjadi pada (Autism Spectrum Disorder) pada anak-anak pra-
sekolah, ditandai dengan (Network, 2007)
Keterlambatan dalam berbicara.
Tidak memahami ekspresi / perasaan orang lain.
Jarang terlihat mengimajinasikan suatu objek atau peristiwa.
Tidak menunjukan minat bermain dengan teman sebaya.
Tidak dapat berbagi kesenangan dengan orang lain.
Kurangnya kemampuan turn-taking.
Gangguan kualitatif dalam komunikasi non-verbal.
Kurangnya inisiatif dalam bermain
Reaksi yang tidak biasa atau kurangnya reaksi terhadap rangsangan sensori.

Gejala yang terjadi pada (Autism Spectrum Disorder) pada anak-anak sekolah,
ditandai dengan (Network, 2007)
Gangguan komunikasi
Kelainan dalam perkembangan bahasa termasuk kebisuan
Kosakata yang tidak biasa untuk usia / kelompok anak.
Terbatasnya penggunaan bahasa untuk komunikasi dan / atau kecenderungan
untuk berbicara bebas.

Gangguan Sosial
Ketidakmampuan untuk bergabung dengan kelompok anak-anak lain namun
ada upaya untuk tetap bermain tetapi dengan perilaku agresif / mengganggu.
Kurangnya kesadaran norm kelas, seperti enggan untuk bekerja sama dalam
kegiatan kelas, ketidakmampuan untuk menghargai orang lain.
Mudah lelah oleh stimulasi social dan lainnya.
Kegagalan dalam berhubungan.
Menunjukan reaksi ekstrim bila melanggar ruang pribadi yang dimilkinya.

Gangguan ketertarikan, kegiatan dan / atau perilaku


Kesulitan dalam mengorganisir diri.
Ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan situasi .
Kurangnya imajinasi dan /atau kreatif.

Gejala yang terjadi pada (Autism Spectrum Disorder) pada remaja, ditandai dengan
(Network, 2007)
Gangguan umum
Kesulitan dalam berperilaku social, komunikasi dan perubahan yang pada
umumnya terjadi pada masa transisi.
Perbedaan yang signifikan antara kemampuan akademik dan sosialintelejen.

Gangguan bahasa,ketrampilan non-verbal dan komunikasi social.


Masalah dengan komunikasi, kosa kata dan tatanan bahasa.
Gagal untuk mrmahami sarkasme atau metafora.
Penggunaan yang tidak biasa saat interaksi non-verbal, seperti kontak mata,
sikap dan ekspresi.

Gangguan social
Kesulitan dalam membuat dan mempertahankan pertemanan, meskipun
lebih mudah dengan orang dewasa atau anak-anak

1.4.3 Etiologi
Autism Spectrum Disorder (ASD), memiliki etiologi yang masih
diperdebatkan hingga saat ini (Jacqueline Lubin, 2015). Penyebab dari autisme
hingga saat ini masih belum di ketahui secara pasti, dimana beberapa penelitian
mengenai ASD mengatakan, bahwa ASD dapat disebabkan oleh faktor genetik,
atau faktor lingkungan (Jacqueline Lubin, 2015). Ada pula penelitian yang
menyatakan, bahwa autisme dapat disebabkan oleh kombinasi tiga faktor, yaitu
faktor genetik, lingkungan, dan perkembangan neurologis (Jacqueline Lubin,
2015). Banyaknya faktor yang di kira dapat menyebabkan autisme, membuat para
keluarga memunculkan caranya tersendiri untuk mengatasi autisme tersebut
(Jacqueline Lubin, 2015). Ada beberapa keluarga yang mempercayai autisme
disebabkan oleh faktor biologis dan lingkungan, dan ada pula yang mempercayai
bahwa ASD dapat disebabkan oleh vaksin (Jacqueline Lubin, 2015). Meskipun
beberapa peneliti menyatakan bahwa vaksin tidak memiliki hubungan dengan
autisme, namun beberapa orangtua masih mempercayai bahwa vaksin tersebut
salah satu penyebab vaksin (Jacqueline Lubin, 2015).
Teori-teori yang ada pada dahulu menyatakan bahwa autisme
merupakan sebuah gangguan yang bersifat psikogenik, dimana faktor-faktor
psikologis yang memiliki pengaruh besar atas gangguan ini (Davison, Neale, &
Kring, Psikologi Abnormal, 2010). Pemikiran tersebut digantikan dengan adanya
penelitan-penelitian yang menyatakan bahwa faktor biologis merupakan salah satu
etiologi dari gangguan ini (Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal, 2010).
Kanner meyakini bahwa anak-anak dengan gangguan autisme memiliki
tingkat kecerdasan rata-rata, penampilan fisik serta fungsi fisiologis mereka yang
tampak normal, menyebabkan para teoris terdahulu salah kaprah dalam menilai
adanya faktor biologis pada gangguan ini (Davison, Neale, & Kring, Psikologi
Abnormal, 2010). Namun, faktor biologis pada gangguan ini tidak terlalu terlihat
seperti stigmata fisik pada sindroma Down, oleh karena itu para teoris terdahulu
lebih memfokuskan pada faktor-faktor psikologis, terutama pengaruh keluarga
sejak usia dini (Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal, 2010).
Para teoris psikoanalisa berasumsi bahwa autisme memiliki kemiripan
dengan apati dan keputusasaan yang dialami oleh para penghuni kamp konsentrasi
Jerman dalam PD II dan karena itulah, sesuatu gangguan dapat sangat merusak
karena terjadi sejak usia dini (Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal,
2010). Sama seperti teori psikoanalisa, para teoris behavioral mengemukakan
bahwa penyebab autisme merupakan pengalaman belajar tertentu yang terjadi di
masa kanak-kanak, salah satunya adalah kurangnya perhatian orang tua pada anak
terutama ibu (Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal, 2010). Namun,
teori-teori psikologis diatas belum memiliki penguat.
Secara neurologis, pada berbagai studi mengenai EEG terdahulu,
menemukan bahwa anak-anak autistic memiliki pola gelombang otak yang tidak
normal (Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal, 2010). Ada dua studi
yang menemukan bahwa anak laki-laki penderita autisme memiliki ukuran otak
yang secara keseluruhan lebih besar dibandingkan orang-orang tanpa autisme
(Davison, Neale, & Kring, Psikologi Abnormal, 2010).

1.4.4 Pengukuran dan Diagnosis


a. Penilaian awal
Pada tahap ini dapat dikumpulkan banyak informasi dari perawat atau
pelayanan sosial. Mereka akan menilai tingkat komunikasi, kecerdasan,
kepribadian, perbedaan gender, keluarga dan mendukung pendidikan. Bagian
yang perlu dieksplorasi pada tahap ini: mengklasifikasikan jenis pada kriteria
ASD, dan keparahan masalah (disfungsi dan / atau stress dalam beberapa
konteks termasuk individu, keluarga, pendidikan atau tempat kerja, atau
keparahan dalam satu konteks tersebut). Jika penilaian awal diduga anak
tersebut memiliki ASD, maka dianjurkan merujuk pada spesialis.

b. Penilaian Spesialis
Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mengumpulkan dan merekam
informasi yang memungkinkan diagnosis dan merumuskan rencana
multiagency, agar mengarahkan ke pengembangan yang tepat karena ASD
bersifat komorbid.

c. Komponen Penilaian Spesialis


Penulusuran informasi dari keluarga dan pengasuh (History Taking).
Hal ini merupakan komponen penting dari setiap penilaian ASD. Tanpa itu,
perilaku ASD tidak dapat dibuktikan. Sebuah riwayat klinis harus mencakup :
Deskripsi masalah saat ini dialami oleh orang tua, pengasuh, anak / orang
tersebut dan individu lain.
Sejarah pra-natal, perinatal dan perkembangan anak (termsuk faktor social
dan emosional). Termasuk penyelidikan rinci pada setiap bukti masalah di
rumah, sekolah atau tempat lainnya.
bukti sejarah keluarga bila mengalami gangguan ASD, seperti kesulitan
berbicara dan berbahasa, gangguan psikiatri, ketidakmampuan belajar,
epilepsi atau masalah perkembangan neurologis dan riwayat masalah
keluarga (perceraian) yang mempengaruhi anak tersebut.
BAB II
ANALISA KASUS
2.1 Deskripsi Kasus Secara Umum
2.1.1 Penampakan Fisik Kasus
Dalam film Like Stars On Earth, Ishaan Nandikishor Awasthi
merupakan anak laki-laki berusia 8 tahun yang sering mengalami masalah
disekolah. Ishaan mengalami kesulitan dalam kegiatan-kegiatan akademik,
seringkali ia mendapatkan nilai yang sangat buruk dalam ujian dan sering kali
ia dihukum oleh guru karena kesalahannya.
Dalam film tersebut, Ishaan terlihat mengalami kesulitan membaca dan
menulis, karena kesulitannya tersebut seringkali ia tidak memperhatikan guru
yang sedang menerangkan dikelas. Dan hal tersebut yang kemudian
menyebabkan ia sering dihukum dan dimarahi oleh guru-gurunya disekolah.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaannya dirumah, ketika orangtua
Ishaan mengajarinya membaca dan menulis, sering kali Ishaan tetap gagal dan
melakukan kesalahan, dan ketika ia melakukan kesalahan, orangtua Ishaan
akan memarahinya. Karena ketidakmampuanya tersebut, Ishaan seringkali di
ejek oleh teman-temannya juga dicap oleh guru dan orangtuanya sebagai anak
yang bodoh dan pemalas.
2.1.2 Gejala-gejala yang tampak dalam kasus observasi
Sulit memahami instruksi yang diberikan oleh gurunya seperti contoh
ketika gurunya menyuruh para murid untuk membaca kalimat di bab 4
halaman 100, paragraf ke 3, Ishaan mengalami kesulitan memahami
instruksi tersebut
Berdasarkan hasil tulisannya, banyak huruf-huruf yang penulisannya
salah, dan kesalahan-kesalahan tersebut memiliki pola tertentu, seperti
huruf S dan R yang arahnya terbalik, kebingungan membedakan huruf
d dan b, dan lain sebagainya.
Sering kali ia menulis kalimat dengan ejaan-ejaan yang salah di tiap
kata
Seringkali ia menulis angka dengan arah atau penulisan yang salah
Ketika ia mencoba untuk membaca, seringkali huruf-huruf yang
tertulis terlihat seperti tertukar-tukar atau bergerak menjadi urutan
yang kacau
Ketika guru menuliskan sebuah titik (.) di papan tulis, Ishaan tidak
dapat melihatnya.
2.1.3 Perawatan yang diterima kasus selama ini
Disekolah pertama, Ishaan selalu mendapatkan hukuman dari gurunya
ketika ia tidak dapat melakukan apa yang diinstruksikan oleh guru. Ishaan
juga seringkali diejek oleh teman-temannya ketika ia tidak dapat menjawab
pertanyaan guru atau ketika ia tidak bisa membaca. Orangtua Ishaan terutama
ayahnya juga selalu bersikap keras kepada Ishaan, ketika orangtuanya
mendapatkan keluhan mengenai ketidak mampuan Ishaan dari guru ataupun
dari tetangga, orangtuanya kemudian memarahinya dengan keras dan
seringkali memberi cap buruk kepada Ishaan, seperti menganggap Ishaan
sebagai anak yang malas dan bodoh serta tidak patuh terhadap apa yang
diperintahkan.
Setelah Ishaan pindah ke sekolah yang baru, pada awalnya Ishaan tetap
mengalami permasalahan yang sama seperti ketika ia berada disekolah
sebelumnya, namun semenjak sekolah tersebut memiliki guru baru, kehadiran
guru tersebut mengubah Ishaan, ia menyadari bahwa terdapat sebuah masalah
pada Ishaan yaitu Dyslexia. Guru ini juga menyadari kemampuan Ishaan yang
luar biasa dalam hal seni dan pemikirannya yang sebenarnya diatas rata-rata.
Dan setelah mengetahui hal tersebut, ia membantu Ishaan untuk dapat
menyelesaikan permasalahan kesulitan membaca dan menulisnya dengan cara-
cara yang menarik dan menyenangkan, sehingga pada akhirnya Ishaan dapat
perlahan-lahan membaca dan menulis dengan baik. Guru tersebut juga
membantu Ishaan dalam mengembangkan dan mengekspresikan
kemampuannya dalam seni dan melukis. Hingga pada akhirnya, Ishaan dapat
mengikuti sekolah dengan baik, mendapatkan nilai-nilai yang baik dan karya-
karyanya diapresiasi oleh semua pihak sekolah dan juga orangtuanya.

2.2 Analisa Kasus


2.2.1 Analisa Etiologi gejala kasus menurut literature review
Pada kasus, terlihat bahwa Ishaan melihat huruf-huruf pada sebuah tulisan
dengan cara yang berbeda dengan anak-anak lain, ia tidak dapat membaca
dikarenakan huruf-huruf tersebut seakan terbalik-balik dan hal ini sangat
menyulitkannya. Berdasarkan literature review, disebutkan bahwa ada
perbedaan aktivitas berbagai bagian tertentu dalam otak ketika disleksik
melakukan tugas-tugas visual, pendengaran, dan bahasa. Mungkin perbedaan
aktivitas otak yang terjadi pada Ishaan ketika ia mencoba untuk membaca
yang menyebabkan ia mengalami kesulitan untuk membaca, berbeda dengan
anak-anak lain yang tidak mengalami diseleksia.

2.2.2 Rancangan intervensi yang perlu dilakukan dalam kasus


Pada kasus ini, Ishaan memiliki gangguan dalam hal membaca dan
menulis. Intervensi yang dapat dilakukan untuk kasus ini salah satunya adalah
dengan menggunakan pendekatan linguistik tradisional yang memfokuskan
pada instruksi dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis dengan cara yang logis, multi indrawi, dan berurutan. Contohnya
pemberian instruksi oleh guru dan orang tua selaku pengajar Ishaan dapat
menggunakan instruksi fonik, yaitu mengubah bunyi menjadi kata. Seperti
misalkan pada kasus Ishaan ini, ia diajarkan untuk menyebutkan bunyi e
diganti dengan kata elephant. (Davison, Neale, & Kring, Psikologi
Abnormal, 2010)
Selain intervensi langsung pada Ishaan untuk mengembangkan
kemampuan membaca dan menulis, perlu juga dilakukan sosialisasi kepada
pihak keluarga dan guru agar mereka dapat memahami permasalahan subjek
dan dapat memberikan dukungan emosi secara positif.
Program intervensi yang perlu dilakukan juga harus dapat
meningkatkan motivasi anak dan keyakinan anak terhadap kemampuan
dirinya, karena anak-anak dengan gangguan belajar (pada kasus ini dyslexia)
beresiko menderita frustasi akibat tekanan dari lingkungan sosial.

2.3 Diagnosa Multiaksial


Axis I-V
Axis I : Gangguan Belajar
315.00 Reading Disorder
315.2 Disorder of Written Expression
Axis II : Tidak ada diagnosis.
Axis III : Tidak ada diagnosis.
Axis IV :
o Problems with primary support group;
Orangtua yang tidak mencoba untuk memahami kondisi
subjek dan terus-menerus menyalahi subjek atas
ketidakmampuannya.
Removal from home (ketika subjek dipindahkan ke sekolah
asrama)
o Educational Problems;
Perselisihan dengan guru
Ketidak sesuaian lingkungan sekolah dengan keadaan
subjek
Axis V : 51-60 kesulitan sedang dalam fungsi sosial
Tidak memiliki teman di sekolah yang lama karena selalu
di bully akibat ketidakmampuannya dalam akademik
BAB III
3.1 Simpulan
Kelompok kami memilih film sebagai media kami untuk mendapatkan data
analisis kami, film yang kami gunakan berjudul Like Stars On Earth. Kami
mendapatkan data subjek yang bernama Ishaan Nandikishor Awasthi melalui film
tersebut, kami juga mendapatkan data beberapa tokoh lainnya yang memiliki
hubungan dengan subjek kami, yaitu keluarganya, gurunya dan teman-temannya.
Terdapat dua setting utama dalam film tersebut, yaitu di rumah dan di sekolah.
Setelah mendapatkan data dari film tersebut, kami melakukan analisis sesuai dengan
kerangka yang telah kami susun sebelumnya. Kami melakukan analisis melalui
literature review, menentukan rancangan intervensi untuk kasus tersebut serta
melakukan diagnosis multiaksial. Kami menyimpulkan bahwa subjek menderita
gangguan belajar, lebih khususnya ia mengalami disleksia.
3.2 Saran
Kelebihan : Data yang kami dapatkan pada film ini cukup lengkap.
Gejala-gejala diseleksia yang muncul pada subjek tampak jelas pada film ini.
Serta penangan yang dilakukan oleh guru dan orang tua subjek ditunjukkan
dengan jelas dalam data yang kami dapatkan.
Kekurangan : Data pada film yang kami lihat sebagai kasus yang kami
bahas, memiliki kekurangan, dimana latar belakang keluarga subjek dan masa
kecil subjek tidak ditunjukkan pada data yang kami dapatkan. Serta data
neurologis pada subjek tidak dimunculkan.

American Psychiatric Association. (2005). DSM-IV . Washington DC: British Library


Cataloguing in Publication Data.

Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2010). Psikologi Abnormal Edisi ke-9.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Lucid. (2006). Understanding Dyslexia. London: Lucid Researcch Ltd.

Anda mungkin juga menyukai