Anda di halaman 1dari 4

H.

Agus Salim
Oleh: Rusnali Rasid
rusnalirasid05@gmail.com

Pada masa awal kemerdekaan, pengakuan kedaulatan adalah hal yang sangat sulit
untuk didapatkan (Budiardjo, 2003). Untuk memperoleh pengakuan kedaulatan, Indonesia
memakai dua jalan, yaitu perang fisik dan politik diplomasi. Salah satu pendiri negeri yang
banyak berkontribusi dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan lewat politik diplomasi
adalah Haji Agus Salim. Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti
“pembela kebenaran”. Dia Lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8
Oktober 1884. Dia menjadi anak keempat Sultan Moehammad Salim dengan Siti Zaenab,
seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa
belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas. Dalam
usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki,
Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah
menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota,
yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau
mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi,
permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini,
anak Bupati Jepara. Sebuah cuplikan dari surat Kartinike Ny. Abendanon, istri pejabat yang
menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini: “Kami tertarik sekali kepada seorang
anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak
Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan
ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke
Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak
memungkinkan,” Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat
ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah
tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim.
Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul
orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung
dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan
Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah
sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai
penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu
agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya, serta
mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche
School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional. Karir politik Agus Salim berawal di SI,
bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu
mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah
Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi,
sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar
dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.

Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan
menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan
Tjokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat
yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier
politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai
mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan
dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang
menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil
menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia
pada 1934.

Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong
Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang
kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim
dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan
dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir;
perempuan di belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori
emansipasi perempuan,” ujarnya. Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia
diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi
membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II
serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan
Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.

Selain rangkaian misi diplomatiknya, Haji Agus Salim juga masih menghadapi
serangkaian upaya politik diplomasi lainnya. Perannya yang cukup besar adalah dalam
pembentukan Komisi Tiga Negara. Di New York, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim berbicara
dalam sidang Dewan Kemanan PBB. Mereka mendesak PBB untuk membentuk panitia
pemisah dalam persengketaan Indonesia-Belanda ini. Saat ini adalah pertama kalinya wakil
RI berbicara di forum internasional. Pihak Belanda tentu saja berusaha untuk menghalangi,
tetapi mereka tidak berhasil, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim dapat menyadarkan PBB.
Atas usaha mereka, kemudian dibentuk Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Belgia,
Australia dan Amerika Serikat. (Kutojo dan Safwan, 1974).

Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan
julukan The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang
diplomasi.
Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-
batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi
sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di
Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi
anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya,
selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan
berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan
formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di usia ke 70 tahun. Haji Agus Salim banyak
mengalami perubahan. Dalam sejarah hidupnya, Haji Agus Salim tidak saja dikenal sebagai
pemimpin yang hidup sederhana, politikus, wartawan dan pengarang, tetapi seorang ulama
dan diplomat yang ulung. Kemahirannya dalam bidang diplomasi, membuatnya memulai
karir politiknya dalam bidang politik diplomasi sebagai Menteri Muda Luar Negeri (Suhatno
et al, 1995).

Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi oleh latar belakang
hidup di lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam gerakan moderen Islam di
Indonesia, Agus Salim, memiliki pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam
hal sosial-intelektual. Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari
kalangan bangsawan dan agama. Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan
nuansa-nuansa keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di
Jakarta, dia bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sini dia mempelajari
kembali lebih dalam tentang Islam, kendatipun dia memberi pengakuan: “meskipun saya
terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak
dari masa kanak-kanak, [setelah masuk sekolah Belanda] saya mulai merasa kehilangan
iman.”
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah seorang yang anti-
nasionalisme. Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita adalah bukti
bahwa dia adalah seorang yang berjiwa nasionalisme. Perjuangan Agus salim dalam meraih
kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di
Indonesia tak lain dan tak bukan adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan
alangkah lebih baik apabila perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati untuk
merevitalisasi semangat dalam diri menggali secara konsisten khazanah-khazanah
keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan.

Referensi
https://min.m.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim

https://youtu.be/ZwJ09bmAqLk

http://bctemas.beacukai.go.id/profil/haji-agus-salim/

Fauzi, W. I. (2019). Haji Agus Salim: Diplomat dari Negeri Kata-Kata. Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti
Sejarah, 2(2), 111-124.

Anda mungkin juga menyukai