Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI TOKOH PEJUANG MUSLIM

MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN DAN KERAJAAN ISLAM DI


INDONESIA

DISUSUN OLEH :
DINDA MAYLANI PUTRI
XII IPS 2
GURU PEMBIMBING : UMMUL KHEIR S.Pd.I

SMA NEGERI 12 PADANG


TAHUN AJARAN 2023/2024
BIOGRAFI TOKOH PEJUANG MUSLIM INDONESIA
1) K. H. Agus Salim
Agus Salim lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 dengan nama Masyhudul
Haq, yang berarti pembela kebenaran. Ia merupakan putra dari Sutan Mohammad Salim, seorang jaksa
dan hakim kolonial di Tanjung Pinang. Sewaktu kecil, Agus Salim mengenyam pendidikan di Europeesche
Lagere School (ELS) dan lanjut ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, di mana ia lulus pada 1903
dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda.

Melihat prestasinya, ia berharap agar diberi beasiswa untuk sekolah kedokteran di Belanda.
Namun, permohonannya tidak terkabul. Oleh karena itu, Agus Salim, yang menguasai banyak bahasa
asing sejak usia muda, memilih bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri, Riau. Pada 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja
sebagai penerjemah di konsulat Belanda.

Pada 1915, Agus Salim bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis dalam organisasi
Sarekat Islam (SI). Ia bahkan menjadi pemimpin terkemuka organisasi ini dan dianggap sebagai tangan
kanan pemimpinnya, HOS Tjokroaminoto. Agus Salim sempat dituduh memiliki hubungan yang terlalu
dekat dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini karena surat kabar Neratja, yang sempat didanai oleh
Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada 1917. Akan tetapi, pada 1918, Neratja justru
menjadi media untuk menyampaikan kritik keras terhadap Belanda. Pada 1921, Salim diangkat sebagai
anggota Volksraad (dewan rakyat) mewakili Sarekat Islam.

Setelah Sarekat Islam pecah, Agus Salim mendirikan Partai Sarekat Islam bersama
Tjokroaminoto, yang kemudian menjadi PSSI. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, ia diminta
untuk menyusun kamus militer untuk digunakan oleh Pembela Tanah Air (PETA). Setelah itu, Agus Salim
ditunjuk untuk menasihati para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar
Dewantara, yang bertanggung jawab atas Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Pada Maret 1945, Agus Salim
ditunjuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia juga
menjadi anggota Panitia Sembilan, yang bertugas untuk menyusun dasar negara.

Pada masa Kabinet Sjahrir, Agus Salim dijadikan Wakil Menteri Luar Negeri, yang memiliki misi
diplomatik Indonesia di luar negeri. Ia memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Hubungan Asia di
New Delhi, India, sejak Maret hingga April 1947. Setelah itu, Agus Salim memegang jabatan sebagai
Menteri Luar Negeri untuk beberapa kabinet di Indonesia, sebagai berikut :

 Menteri Luar Negeri dalam kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947)
 Menteri Luar Negeri dalam kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948)
 Menteri Luar Negeri dalam kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949) Menteri Luar Negeri
dalam kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949)

Selama menjadi menteri luar negeri, Agus Salim pernah menghadiri sidang Dewan Keamanan
PBB di New York dan menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam proses Perjanjian Renville.

2) Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada jumat 11 November 1785 dari ibu yang merupakan
seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, dan ayahnya yang bernama Gusti Raden Mas Surojo, yang di
kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwono III. Pada saat Pangeran Diponegoro lahir, Ia diberi
nama Raden Mas Mustahar yang akhirnya ia diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro
pada 1812 ketika ayahnya naik tahta menjadi Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro memiliki 12
putra dan 5 orang putri dari 9 wanita yang dinikahinya. Saat ini, seluruh keturunan Pangeran Diponegoro
tersebut hidup tersebar di Indonesia bahkan di luar negeri, termasuk Australia, Serbia, Jerman, Belanda,
dan Arab Saudi.

Sekitar 1825-1830, Pangeran Diponegoro memimpin Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dalam
perang besar-besaran yang hampir-hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis Belanda di Indonesia.
Perang ini diawali dengan keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas
lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Ditambah lagi, Hindia Belanda yang tidak menghargai adat
istiadat setempat serta eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi. Belanda melakukan
berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan pasukannya. Belanda membuat taktik
sayembara barang siapa yang bisa menangkap atau membunuh Pangeran Diponegoro akan diberikan
hadiah sangat besar yaitu 20.000 gulden. Akan tetapi, pengikut Pangeran Diponegoro pada saat itu tidak
goyah akan tawaran tersebut.

Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya pada 20 April
1830 yang kemudian dibawa dengan kapal Pollux menuju Manado. Sesampainya di Manado, Pangeran
Diponegoro dan rombongannya langsung ditawan di Benteng Amsterdam. Selanjutnya, Ia pun kembali
dipindahkan ke Makassar. Hingga akhirnya pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dan
dimakamkan di kota tersebut.

3) Sultan Hasanuddin
Dia lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama asli Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Sultan Hasanuddin menjadi putra mahkota Kesultanan Gowa yang
telah memeluk Islam sejak pemerintahan sang kakek. Hasanuddin merupakan putra dari Raja Gowa Ke-
15, Sultan Malik as-Said atau Malikusaid (1639-1653), dan istrinya, I Sabbe To'mo Lakuntu. Adapun kakek
Hasanuddin adalah Sultan Alauddin (1593–1639) yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk
Islam. Oleh sebab itu, Hasanuddin juga merupakan raja ke-3 di Kesultanan Gowa sejak kerajaan
ini memeluk Islam.

Pada masa awal kepemimpinan Sultan Hasanuddin di Gowa, Belanda sebenarnya telah menguasai
banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Meski begitu, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk. Alih-
alih tunduk kepada Belanda, Sultan Hasanuddin justru berusaha mengumpulkan kerajaan-kerajaan kecil
lainnya untuk bergabung dan berjuang melawan penjajahan Peperangan antara kerajaan Gowa bersama
para sekutunya untuk melawan pemerintahan VOC Belanda pun dimulai pada 1660. Dalam perang itu,
Belanda dibantu Kerajaan Bone yang sebelumnya telah mereka taklukkan. Pasukan Sultan Hasanuddin
pun berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka merebut dua kapal Belanda, yaitu
Leeuwin dan De walfis. Perang antara Belanda dan Kerajaan Gowa itu menelan korban Raja Kerajaan
Bone yang membantu Belanda.

4) K. H. Dewantara
Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Sebagai figur dari keluarga
bagsawan, beliau memiliki kepribadian yang sederhana dan sangat dekat dengan rakyat. Ki Hajar
Dewantara mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda
selama 7 tahun di Yogyakarta. Sekolah tersebut merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang
berasal dari Eropa. Setelah lulus, Ki Hajar Dewantara kemudian melanjutkan pendidikannya di bidang
kedokteran dan mendapatkan beasiswa di STOVIA, sebuah sekolah khusus kedokteran. Namun, beliau
tidak menyelesaikan pendidikannya karena kondisi kesehatan yang buruk.

Ki Hajar Dewantara kemudian memulai karir sebagai wartawan dan penulis di beberapa surat kabar,
seperti surat kabar Sedyotomo, Midden Java dan De Express. Salah satu tulisan Ki Hajar Dewantara yang
terkenal yaitu berjudul "Als ik een Nederlander was" atau dalam bahasa Indonesia berarti "Seandainya
Aku Seorang Belanda”. Tulisan tersebut dimuat di dalam surat kabar milik Douwes Dekker bernama De
Express pada tahun 1913. Artikel tersebut ditulis sebagai bentuk protes atas rencana pemerintah
Belanda yang ingin mengumpulkan sumbangan dari Indonesia atau saat itu disebut Hindia Belanda untuk
merayakan kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Ki Hajar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker kemudian mendirikan
Indische Partij, partai pertama di Indonesia yang bertujuan untuk mempersatukan Hindia Belanda serta
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Partai ini aktif bergerak di seluruh penjuru Hindia Belanda
untuk mendapatkan dukungan rakyat serta menyebarkan gagasan nasionalisme untuk mengakhiri
penjajahan di Indonesia. Bentuk protes yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut akhirnya
menimbulkan kemarahan dari Belanda. Hingga beliau kemudian diasingkan ke Belanda.

Di masa pengasingannya di Belanda, Ki Hajar Dewantara tidak berhenti memperjuangkan


kemerdekaan dan hak-hak rakyat Indonesia. Selama berada di Belanda, beliau mendalami bidang
pendidikan hingga memperoleh sertifikat Europeesche Akte. Setelah melewati masa pengasingan,
tepatnya pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara bersama rekan-rekannya yang lain mendirikan Perguruan
Taman Siswa. Perguruan Taman siswa merupakan wadah yang dibentuk untuk memberikan pendidikan
serta menanamkan jiwa nasionalisme kepada rakyat pribumi.

Dari pengalamannya dalam memperjuangkan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa


perjuangan kemerdekaan harus didasari oleh jiwa nasionalisme yang ditanamkan sejak masa kanak-
kanak. Hal inilah yang menjadi tujuan awal dari dibentuknya Perguruan Taman Siswa. Sebagai salah satu
lembaga pendidikan, Taman Siswa berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi sistem pendidikan
nasional serta menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada rakyat. Perjuangannya di bidang pendidikan
dan politik inilah yang membuat Ki Hajar Dewantara dihormati sebagai bapak pendidikan atau pelopor
pendidikan di Indonesia. Bahkan, hari kelahiran beliau ditetapkan sebagai hari Pendidikan Nasional.

Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959 setelah selama hampir 37 tahun memimpin
perguruan Taman Siswa yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.

5) Mohammad Hatta
Moh Hatta lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, dengan nama lengkap Muhammad Athar.
Adapun ayah dari Mohammad Hatta adalah Muhammad Djamil, seorang keturunan ulama
Naqsyabandiyah di Payakumbuh, Sumatera Barat. Sementara itu, ibunya adalah Siti Saleha yang
merupakan keturunan pedagang di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak kecil, Moh Hatta telah dididik dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan agama Islam. Sebab, kakeknya,
Abdurrahman Batuhampar, merupakan seorang ulama besar.

Mohammad Hatta merupakan salah satu pahlawan kemerdekaan yang memiliki banyak peran baik
sebelum dan sesudah penetapan Kemerdekaan Indonesia, adalah Mohammad Hatta. Drs. H.
Mohammad Hatta adalah negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden
Indonesia pertama. Beliau bersama Soekarno memainkan peranan sentral dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang sekaligus memproklamirkannya pada
17 Agustus 1945.

6) Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada tanggal 1 Januari 1772 dengan
nama asli Muhammad Syahab. Ayahnya adalah Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama
dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Ibunya Hamatun dan pamannya Syekh Usman adalah
perantau bangsa Arab yang datang ke Alai Ganggo Mudik, dan diterima masuk ke dalam tatanan adat
Minangkabau. Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan suku Koto.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Syahab sempat mendapat
beberapa gelar kehormatan seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan yang terakhir Tuanku Imam. Dalam
tradisi adat Minangkabau, Tuanku merupakan gelar kehormatan bagi pemimpin agama. Hanya ulama
yang telah menguasai ilmu agama Islam yang berhak mendapatkan gelar ini.

Pada 1807, Malin Basa bersama pengikutnya hijrah dan mendirikan sebuah kota kecil bernama
Bonjol. Di tempat ini, gelar baru diberikan yakni gelar Tuanku Imam. Gelar yang diberikan oleh Tuanku
Nan Renceh ini sekaligus merupakan penobatan Malin Basa sebagai pemimpin di Kota Bonjol.
Selanjutnya, Malin Basa lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Selain menjadi pemimpin umat,
Tuanku Imam Bonjol juga mengembangkan usaha perdagangan. Pada masanya, ia berusaha
mengamankan jalur perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang.

Pengembangan perdagangan ini meluas hingga ke Tapanuli Selatan. Alhasil, pada masa itu Bonjol
telah berkembang menjadi pusat pembaruan Islam sekaligus perdagangan di Minangkabau. Ketika
Bonjol dibangun dan terus berkembang, perang saudara tidak terelakkan. Perang saudara itu dikenal
sebagai Perang Padri, peperangan yang terjadi antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.

Gerakan Padri di Minangkabau muncul pertama kali dilatar belakangi setelah tiga orang pulang haji
dari Makkah pada 1803 yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Ketiga haji itu berniat ingin
memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut,
Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta
kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta
Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum
ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan
sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak, pada 21 Februari 1821, kaum adat bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang dan disaksikan
oleh sisa keluarga Kerajaan Pagaruyung. Sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan
penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Singkat cerita, ternyata keikutsertaan
Belanda dalam Perang Padri menimbulkan penyesalan yang mengakibatkan rakyat Minangkabau menjadi
sengsara. Akhirnya pada tahun 1833, perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, pihak-pihak yang semula
bertentangan bersatu melawan Belanda.

Setelah bertahun-tahun melakukan perlawanan yang sangat sengit, barulah pada tanggal 16 Agustus
1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Tuanku Imam Bonjol menyerah
kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama
ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda. Tuanku Imam Bonjol lalu diasingkan
ke Cinajur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat
Manado. Di Minahasa ia meninggal dunia pada 18 November 1864 saat usia 92 tahun. Lalu Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
1) Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang terdapat di pulau Jawa. Kerajaan ini
didirikan oleh Raden Patah di tahun 1478. Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan
sekaligus pusat penyebaran agama Islam kala itu. Penyebaran Islam saat itu sangat dipengaruh oleh jasa
para wali baik di pulau Jawa maupun yang berada di luar pulau Jawa seperti Maluku hingga ke wilayah
Kalimantan Timur.

Di masa pemerintahan Raden Patah, kerajaan Demak mendirikan masjid yang kala itu juga dibantu
oleh para wali ataupun sunan. Kemudian, kebudayaan yang berkembang di kerajaan Demak juga
mendapat dukungan dari para wali terutama dari Sunan Kalijaga. Kehidupan masyarakat di sekitaran
Kerajaan Demak juga telah diatur oleh aturan-aturan Islam tapi tetap tak meninggalkan
tradisi lama mereka.

2) Kerajaan Samudera Pasai


Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang berdiri pada abad ke-13
Masehi di Aceh Utara. Kerajaan ini menjadi tempat persinggahan utama pedagang-pedagang Islam dari
berbagai negara dan memiliki hubungan baik dengan Dinasti Yuan di Tiongkok. Kerajaan Samudera Pasai
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Malikul Thahir dan Sultan
Malikul Mansur.

3) Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka adalah kerajaan Islam yang berdiri pada tahun 1405 Masehi di Semenanjung
Malaya. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara dari Blambangan, Jawa Timur yang kemudian memeluk
Islam dan berganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah. Kerajaan Malaka menjadi pusat perdagangan dan
penyebaran Islam di Asia Tenggara karena memiliki pelabuhan yang strategis dan menjalin hubungan
baik dengan China.

4) Kerajaan Banten
Kerajaan Banten adalah kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-16 Masehi di Banten. Kerajaan ini
merupakan pecahan dari Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Kerajaan Banten
memiliki pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Jawa Barat.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.

5) Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-16 Masehi di Jawa Tengah.
Kerajaan ini didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pajang.
Kerajaan Mataram menjadi kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Jawa karena berhasil menaklukkan
kerajaan-kerajaan lain seperti Demak, Pajang, Surabaya, Blambangan dan Madura. Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung
6) Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa adalah kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-14 Masehi di Sulawesi Selatan.
Kerajaan ini didirikan oleh Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna yang merupakan raja pertama Gowa. Kerajaan
Gowa menjadi kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Sulawesi karena memiliki armada laut yang hebat
dan menjalin hubungan dagang dengan berbagai negara. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin

Anda mungkin juga menyukai