Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PPKN

PELOPOR PERJUANGAN DI DAERAH INDONESIA

Siti Sarah Humairah VIII-C


5 PELOPOR PRIA PERJUANGAN DI DAERAH INDONESIA

1. Sultan Hasanuddin

Pahlawan nasional satu ini memiliki julukan “Ayam Jantan dari Timur”.
Dia adalah Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan, dan merupakan
putra kedua dari Sultan Malikussaid. Beliau lahir di Makassar, 12 Januari
1631.
Setelah diangkat menjadi Raja Gowa ke-16 pada November 1653,
Sultan Hasanuddin lantas meneruskan perjuangan sang ayah melawan
Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC yang sudah melakukan
praktik monopoli perdagangan.

Usaha untuk melakukan monopoli demi bisa menguasai perdagangan di


Indonesia Timur ini lantas mendapatkan perlawanan dari Sultan
Hasanuddin. Bersama Sultan Alaudin dan Sultan Muhammad Said, Sultan
Hasanuddin melakukan perlawanan terhadap VOC.

Perlawanan Kerajaan Gowa tentu saja membuat VOC yang dipimpin oleh
Laksamana Cornelis Speelman dengan kekuatan mutakhirnya berang.
Sultan Hasanuddin berhasil menyatukan beberapa kerajaan kecil untuk
membantunya melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Akhirnya Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya, pada


18 November 1667 dengan berbagai pertimbangan. Pada 12 April 1668,
perang besar antara Kerajaan Gowa melawan Belanda kembali pecah.

2. Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda lahir pada 21 Januari 1591 di Banda Aceh. Ia
menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang sangat muda dan
sempat mengalami puncak kebesaran pemerintahannya di Aceh.

Sebagai raja dari sebuah kerajaan Islam dengan sendirinya beliau untuk
pembangunan perekonomian sangat besar. Selama menjadi Raja Aceh,
Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti penjajahan asing dan
sikap ini nampak terwujud di dalam menghadapi bangsa-bangsa asing
yang datang ke Aceh.

Ia selalu menunjukkan sikap tegas dan berwibawa sebagai Raja dari


sebuah Kerajaan «Merdeka».
Akan tetapi kegagalan yang disertai oleh sekian banyak korban tidak
mematahkan semangat Sultan Iskandar Muda.

3. Sultan Ageng Tirtayasa


Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad
(sultan Banten ke-5) dan Ratu Martakusuma yang lahir pada 1631.
Kakeknya bernama Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir atau
dikenal sebagai Sultan Agung, sultan Banten ke-4 yang juga gigih
memerangi Belanda.

Melawan Belanda, yang pada waktu itu VOC menerapkan monopoli yang
merugikan Banten, namun Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian
perdagangan dengan VOC dan menjadikan pelabuhan Banten sebagai
pelabuhan terbuka, sehingga Banten tidak mengalami kerugian.

Ketika terjadi sengketa antara 2 orang anak Sultan Ageng, yaitu


Pangeran Haji dan Pangeran Purbaya, belanda ikut campur dan
membela Sultan Haji, sehingga Sultan Ageng harus berhadapan dengan
putranya sendiri.

Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dibidang ekonomi, beliau berusaha


mensejahterahkan rakyatnya dengan cara membuka daerah persawahan
dan mengembangkan irigasi.

4. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III
memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785
di Yogyakarta. Sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena
memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa karena
terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran
terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa
pendudukannya di Nusantara.

Perang tersebut terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur


tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para
petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh
warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Meskipun kediaman
Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar
pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa
yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa
Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu
Retnaningsih dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan
Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi
dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock
berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

5. Pattimura

Thomas Matulessy juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura atau


Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku. Pattimura
lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah pada 8 Juni 1783 dari keluarga
Matulessy. Ayahnya bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama
Fransina Silahoi.

Sejak abad ke 17 dan 18 berlangsung serentetan perlawanan bersenjata


melawan Belanda dikarenakan terjadi praktik penindasan kolonialisme
Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja
paksa dan sebagainya. Selama dua ratus tahun rakyat Maluku
mengalami perpecahan dan kemiskinan. Alih-alih mendapatkan
keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan adanya
berbagai kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib
dan contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat
Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.

5 PELOPOR PEREMPUAN PERJUANGAN DI DAERAH INDONESIA


1. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien termasuk keturunan dari bangsawan Aceh. Beliau lahir
tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim,
Aceh Besar. Semasa kecil, Cut Nyak Dien dikenal sebagai gadis yang
cantik. Kecantikan itu semakin lengkap dengan pintarya Cut Nyak Dien
dalam bidang pendidikan agama.

Motif dari kegigihan Cut Nyak Dien terhadap Belanda adalah untuk
membalas kematian suaminya yang gugur akibat perang. Perjuangannya
pun akhirnya membawa ia kepada Teuku Umar, seorang laki-laki yang
akhirnya menjadi suami kedua beliau.

Namun sayangnya, Cut Nyak Dien ditangkap, lalu meninggal di


Sumedang 6 November 1908, di usia 60 tahun.

2. Raden Ajeng Kartini


Raden Adjeng (RA) Kartini merupakan keturunan priyayi Jawa, anak dari
pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Dia
lahir di Jepara, 2 April 1879.

Sejarah perjuangan RA. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita


bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu
ayahnya sendiri. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai
menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan
berasal dari Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon
yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini.

3. Dewi Sartika

Dewi sartika lahir dari keluarga Priyayi sunda ternama, yaitu R. Rangga
Somanegara (ayah) dan R. A. Rajapermas (Ibu). Ayahnya adalah seorang
pejuang kemerdekaan hingga akhirnya sang ayah dihukum dibuang ke
Pulau Ternate oleh pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal disana.
Meski pada saat itu melanggar adat istiadat, orang tua Dewi Sartika
bersikukuh menyekolahkannya ke sekolah Belanda.
Perjuangan Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah tidak sia-sia, ia
dibantu oleh kakeknya yang bernama R.A.A.Martanegara, dan Den
Hamer yang menjabat sebagai Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu.
Pada tahun 1904 ia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamai
«Sekolah Isteri». Sekolah isteri terus mendapat perhatian positif dari
masyarakat. Murid-murid bertambah menjadi banyak, bahkan hingga
ruang kepatihan Bandung yang sebelumnya dipinjam juga sudah tidak
lagi cukup untuk menampung murid-murid.
Untuk mengatasinya, sekolah isteri akhirnya dipindahkan ke tempat
yang lebih luas. Maka dari itulah pelajaran yang berhubungan dengan
pembinaan rumah tangga banyak pula ia berikan di dalam mengajar.
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang
mencari dana, jerih payahnya tidak dirasakan sebagai beban, tapi
berganti menjadi kepuasan batin karen aia telah berhasil mendidik
kaumnya. Ssalah satu semangat yang dimilikinya yaitu dorongan dari
berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Surawinata
suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudka perjuangan,
baik tenaga maupun pemikiran.

4. Cut Meutia

Perempuan bernama lengkap Cut Nyak Meutia ini lahir di Perlak,


Aceh pada tahun 1870. Ia merupakan seorang panglima Aceh saat
melawan Belanda. Bersama suaminya, ia menyerang pusat patroli
Belanda di daerah pedalaman Aceh.
Perjuangan Cut Nyak Meutia melawan pasukan belanda dimulai ketika
beliau sudah menikah dengan Teuku Chik Muhammad atau yang lebih
dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret
1905 M, Teuku Chik di Tunong berhasil ditangkap oleh belanda dan
dihukum mati ditepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku
Chik di Tunong sempat berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggro agar
menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
5. Fatmawati

Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ketika ia lahir,


ada dua nama yang akan diberikan kepadanya, yaitu Fatimah yang
berarti bunga teratai dan Siti Djabaidah, yang diambil dari nama salah
satu istri Nabu Muhammad SAW.

Fatmawati, seorang wanita tangguh, menggunakan mesin jahit Singer


yang ia operasikan dengan tangan untuk menjahit bendera Merah Putih.
Ia sedang hamil tua saat itu, dan dokter menyarankan agar ia tidak
menggunakan kakinya untuk mengoperasikan mesin jahit.Menurut pada
buku Kukuh Pamuji Meneliti Museum Istana Kepresidenan Jakarta, tugas
menjahit bendera itu hanya bisa diselesaikan dalam waktu dua hari
karena kondisi fisik Fatmawati, antara lain sedang hamil tua dan
memiliki bendera berukuran besar.

Anda mungkin juga menyukai