Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. Ia
seorang keturunan dari Keraton Yogyakarta bersama dengan rakyat Indonesia ia
melawan pemerintahan Belanda yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830. Lima
tahun berperang dengan Belanda telah memakan korban jiwa dan kerugian yang cukup
banyak dialami oleh dua pihak oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa perang tersebut
merupakan perang dengan korban jiwa paling besar di Indonesia.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah di Indonesia. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah
Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Salah faktor kuat yang
mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro adalah saat pihak Belanda memasang
patok di tanak milik Diponegoro di desa Tegalrejo.
1
Baca juga: Biografi Teuku Umar Pahlawan Indonesia.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai
berusaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satu di antaranya
adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat,
kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat
sebagai Raja Kesultanan sehingga membuat pemerintahan pada waktu itu dipegang
oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda.
Pangeran Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap keraton karena Patih
Danuredjo sangat mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda banyak
mengubah susunan tata cara kehidupan di Keraton. Sejak saat itulah pemberontakan
dilakukan oleh Diponegoro karena ia menganggap bahwa Belanda tidak menghargai
adat istiadat setempat dan menarik pajak kepada masyarakat setempat untuk
kepentingan pihak Belanda.
Perang yang terjadi antara pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dengan
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral De Kock. Perlawanan yang dilakukan
oleh Pangeran Diponegoro untuk menentang Belanda mendapat dukungan dari rakyat.
Atas saran dari pamannya, ia membuat sebuah markas di Gua Selarong. Semenjak
saat itu, ia mulai menyatakan untuk perang melawan Belanda. Perang Sabil itulah nama
perlawanan dari Diponegoro yang mempunyai maksud "perlawanan menghadapi kaum
kafir".
Perang Sabil membawa pengaruh sampai luas hingga ke wilayah Jawa. Salah satu
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangannya mendapat dukungan dari Sunan
Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.
Belanda juga melakukan sayembara untuk penangkapan Pangeran Diponegoro, yang
dimana siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan diberi hadiah oleh
Belanda mengingat saat peperangan yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830
tersebut beliau sering berpindah-pindah tempat.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Pada tanggal 28 Maret 1830, saat Jenderal De Kock membuat sebuah perundingan
yang dimana ia meminta agar langsung bertemu dengan Pangeran Diponegoro di
Magelang, namun dalam perundingan tersebut Belanda sudah menyiapkan rencana
untuk menangkap Diponegoro. Beliau menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggotanya dilepaskan.
Diponegoro mengalami pengasingan selama beberapa kali mulai dari Ungaran,
Batavia, Manado, hingga Makassar. Pada tanggal 8 Januari 1855, beliau meninggal
dunia di Benteng Rotterdam. Selama berlangsungnya peperangan ini Belanda
mengalami kerugian dari segi finansial dan pasukan yang gugur saat berperang.
2
Penghargaan sebagai Pahlawan
Namanya digunakan sebagai Jalan di beberapa kota besar Indonesia. Tidak hanya
jalan, namanya juga digunakan sebagai nama-nama tempat antara lain: Stadion
Diponegoro, Universitas Diponegoro. Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada
tanggal 6 November 1973 melalui Keppers No.87/TK/1973.
Pada tanggal 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan
Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik
yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada tahun 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro.
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan
kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih
dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang
menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
3
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin, (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan,12 Januari 1631 -
meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun).
Sultan Hasanuddin terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Sultan Hasanuddin merupakan anak kedua dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi
Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya
bernama I Sabbe To'mo Lakuntu yang merupakan Putri bangsawan Laikang.
4
Wafatnya Sultan Alauddin dan Pengangkatan Sultan Malikussaid sebagai Raja
Gowa ke-15
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46
tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya Sultan
Malikussaid mengantikan kakek beliau menjadi Raja Gowa ke-15. Beliau
dilantik pada tanggal 15 Juni 1639.
Sejak itulah kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. Selain mendapat
bimbingan dari ayahnya, Hasanuddin juga banyak dibimbing oleh mangkubumi
kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan
cerdas yang sekaligus guru dari Arung Palakka yang merupakan Raja Bone.
Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja karena pesan dari ayahnya sebelum
wafat. Wasiat dari Raja kepada Sultan Hasanuddin disetujui oleh Mangkubumi
Kerajaan Karaeng Pattingaloang. karena melihat sifat-sifat Hasanuddin yang
tegas, berani dan juga memiliki kemampuan serta pengetahuan yang luas.
5
Itu sebabnya Kerajaan Gowa menentang usaha monopoli VOC dan ini yang
membuat VOC berusaha untu menghancurkan dan menyingkirkan Kerajaan
Gowa. Kerajaan Gowa pada saat itu merupakan kerajaan terbesar yang
menguasai jalur perdagangan.
Setelah merasa Perjanjian Bungaya itu sangat merugikan bagi rakyat dan
Kerajaan Gowa, akhirnya pada 12 April 1668 perang kembali pecah.
Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau
menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan
menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada
Perjanjian Bungaya.
Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan
penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan
jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan
penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara.
6
Wafatnya Sultan Hasanuddin
Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram
1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau
dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng
Kale Gowa di Kampung Tamalate.
7
Pong Tiku
Pong Tiku dilahirkan di Pangala, Toraja,
Sulawesi Selatan pada tahun 1846. Sebagai anak seorang pemimpin adat
yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah sekitarnya, Pong
Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para
pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk
membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah
kemasyarakatan.
Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku
kemudian mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan
daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh
senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang
dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal
sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu
bernama benteng Buntubatu.
8
Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak
persenjataan dan membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan
dengan para penguasa lain di Toraja. Persiapan yang telah dilakukan itu
memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi
gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi
militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah
kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu
yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian komandan
militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat
kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di
Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.
9
dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12
Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan.
Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri. Dalam pelariannya dari
satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat
perjuangan melawan Belanda.
10
Andi Mappanyukki adalah putra Raja Gowa XXXIV, Makkulau Karaeng
Lembangparang yang memulai perang dengan Belanda pada tahun
l905.Beliau merupakan mertua pahiawan nasional Andi Djemma.
Semenjak berusia 20 tahun, beliau sudah ikut berjuang untuk merebut
kemerdekaan Indonesia dengan bertempur melawan Belanda di wilayah
Gowa. Setelah bertempur sengit, Belanda berhasil merebut pertahanan
utama Andi Mappanyukki di Gunung Sari. Beliau kemudian melanjutkan
perlawanan dengan bergerilya. Pada tahun 1907, Belanda menangkap Andi
Mappanyuki dan mengasingkannya ke Pulau Selayar selama dua tahun.
Pada tahun 1931, atas usulan Dewan Adat, beliau diangkat menjadi Raja
Bone dengan gelar Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Sebagai Raja Bone,
beliau tegas menolak bekerja sama dengan penjajah. Pemerintah Belanda
yang menganggapnya sebagai tokoh berbahaya kemudian menurunkannya
dengan paksa dari tahta. Beliau lalu diasingkan bersama istri dan putrinya
di Tana Toraja selama 3,5 tahun.
11
OPU DAENG RISAJU
12
Hidup memang suatu pilihan. Sebagai wanita keluarga kerajaan, Opu
Daeng Risaju sebenarnya bisa hidup tenang dan nyaman menikmati
kekayaan dan kedudukannya. Namun, ia lebih memilih berjuang demi
rakyat yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan akibat ulah para
penjajah.
Keikutsertaannya dalam partai politik dimulai pada tahun 1927. Saat itu
ia memilih untuk bergabung menjadi anggota Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) cabang Pare-pare. Tiga tahun kemudian tepatnya 14
Januari 1930, ia terpilih sebagai Ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Palopo.
Posisi sebagai Ketua PSII membuatnya sering mengikuti kongres PSII baik
di Sulawesi Selatan maupun PSII Pusat yang berkedudukan di Batavia.
Kegiatan berpolitiknya di PSII itu dipandang sebagai duri dalam daging
oleh pemerintah Belanda yang menguasai tanah Luwu.
13
Keberadaan Opu Daeng Risaju di Latonro akhirnya berhasil diketahui
mata-mata NICA. Dalam suatu penyergapan, ia ditangkap dan dipaksa
berjalan kaki hingga 40 km menuju Watampone. Di kota itu, ia dipenjara
satu bulan lamanya sebelum akhirnya dibawa ke Sengkang dan
dipulangkan ke Bajo.
Bersama putranya H. Abdul Kadir Daud, Opu Daeng Risaju yang usianya
kian senja pindah ke Pare-pare setelah kedaulatan RI mendapat
pengakuan pada tahun 1949. Ketika putranya meninggal dunia, ia
kembali ke Palopo hingga tutup usia pada 10 Februari 1964. Jenazah
wanita pejuang itu dimakamkan di Lokke yang merupakan makam para
raja Luwu.
14
Andi Makkasau putera satu-satunya Parenrengi Karaeng Tinggimae adalah seorang
bangsawan tinggi, ayahnya Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe, keturunan langsung
dari dua kerajaan utama di Sulawesi yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Sinderang. Andi
Makkasau dibesarkan dan dididik dalam lingkugan keluarga istana Datu Suppa, terutama
pendidikan agama Islam serta pendidikan etika, moral dan lainnya sebagaimana layaknya
seorang putera raja.
Pada tahun 1926, Andi Makkasau dinobatkan sebagai Datu Suppa yang kemudian
diberi gelar sebagai Datu Suppa Toa, penobatan rakyat kepada Andi Makkasau tampaknya
amat membawa pengaruh yang amat besar terhadap rakyatnya, masyarakat Suppa semakin
merasakan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka terutama dalam
usaha mereka menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya
dengan demikian Andi Makkasau membentuk dan mempelopori organisasi kemasyarakatan
dengan tujuan menggembleng kesadaran nasional dan mengobarkan semangat perjuangan
rakyat menuju Indonesia merdeka, organisasi yang dibentuk diantaranya : Partai Sarikat Islam
di Parepare dibentuk pada tahun 1927, Sumber Darah Rakyat (SUDARA) dibentuk tahun 1944,
Penunjang Republik Indonesia (PRI) dan pada tanggal 28 Agustus 1945 dibentuk Pandu
Nasional atau Pemuda Nasional Indonesia (PNI).
Andi Makkasau selama hidupnya diisi untuk berjuang melawan penjajah karena ia
tidak mau melihat kebebasan dan kemerdekaan rakyat diinjak-injak oleh kekuasaan penjajah,
hidupnya diakhiri di bawah kekejaman Belanda yaitu pada tanggal 28 Januari 1947 dengan
cara ditenggelamkan di tengah laut dengan di ikatkan batu besar pada kakinya, kemudian
tepatnya pada tanggal 30 Januari 1947 Andi Makkasau ditemukan oleh masyarakat
Marabombang dalam keadaan terikat terdampar di pesisir pantai.
15