Anda di halaman 1dari 15

Biografi Pangeran Diponegoro Pahlawan Nasional

Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. Ia
seorang keturunan dari Keraton Yogyakarta bersama dengan rakyat Indonesia ia
melawan pemerintahan Belanda yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830. Lima
tahun berperang dengan Belanda telah memakan korban jiwa dan kerugian yang cukup
banyak dialami oleh dua pihak oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa perang tersebut
merupakan perang dengan korban jiwa paling besar di Indonesia.

Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November di Yogyakarta. Ia adalah putra


pertama dari Hamengkubuwana III yang pada saat itu menjabat sebagai Raja ke tiga di
Kesultanan Yogyakarya. Ibunya bernama R.A.Mangkarawati, seorang garwa ampeyan
(istri selir) yang berasal dari Pacitan.
Pangeran Diponegoro mempunyai nama asli, yaitu Bendara Raden Mas Antowirya.
Ia pernah menolak tawaran dari Sultan Hamengkuwuana III, untuk mengangkatnya
sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta. Salah satu alasannya menolak tawaran
tersebut adalah mengingat ibunya bukanlah permaisuri (istri raja yang pertama).
Walaupun merupakan keturunan ningrat, Diponegoro lebih suka pada kehidupan yang
merakyat sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo yang merupakan
tempat tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I,
Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo daripada di Keraton.

Perang Diponegoro (1825-1830)

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah di Indonesia. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah
Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Salah faktor kuat yang
mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro adalah saat pihak Belanda memasang
patok di tanak milik Diponegoro di desa Tegalrejo.

1
Baca juga: Biografi Teuku Umar Pahlawan Indonesia.

Setelah kekalahan Belanda dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda


yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan keuangan
mereka dengan memberlakukan pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia
Belanda (Indonesia). Belanda juga melakukan monopoli perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak dan praktek monopoli tersebut yang dilakukan oleh
Belanda membuat rakyat Indonesia menderita.

Tidak hanya itu, untuk memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai
berusaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satu di antaranya
adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat,
kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat
sebagai Raja Kesultanan sehingga membuat pemerintahan pada waktu itu dipegang
oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda.
Pangeran Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap keraton karena Patih
Danuredjo sangat mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda banyak
mengubah susunan tata cara kehidupan di Keraton. Sejak saat itulah pemberontakan
dilakukan oleh Diponegoro karena ia menganggap bahwa Belanda tidak menghargai
adat istiadat setempat dan menarik pajak kepada masyarakat setempat untuk
kepentingan pihak Belanda.
Perang yang terjadi antara pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dengan
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral De Kock. Perlawanan yang dilakukan
oleh Pangeran Diponegoro untuk menentang Belanda mendapat dukungan dari rakyat.
Atas saran dari pamannya, ia membuat sebuah markas di Gua Selarong. Semenjak
saat itu, ia mulai menyatakan untuk perang melawan Belanda. Perang Sabil itulah nama
perlawanan dari Diponegoro yang mempunyai maksud "perlawanan menghadapi kaum
kafir".
Perang Sabil membawa pengaruh sampai luas hingga ke wilayah Jawa. Salah satu
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangannya mendapat dukungan dari Sunan
Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.
Belanda juga melakukan sayembara untuk penangkapan Pangeran Diponegoro, yang
dimana siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan diberi hadiah oleh
Belanda mengingat saat peperangan yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830
tersebut beliau sering berpindah-pindah tempat.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.

Pada tanggal 28 Maret 1830, saat Jenderal De Kock membuat sebuah perundingan
yang dimana ia meminta agar langsung bertemu dengan Pangeran Diponegoro di
Magelang, namun dalam perundingan tersebut Belanda sudah menyiapkan rencana
untuk menangkap Diponegoro. Beliau menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggotanya dilepaskan.
Diponegoro mengalami pengasingan selama beberapa kali mulai dari Ungaran,
Batavia, Manado, hingga Makassar. Pada tanggal 8 Januari 1855, beliau meninggal
dunia di Benteng Rotterdam. Selama berlangsungnya peperangan ini Belanda
mengalami kerugian dari segi finansial dan pasukan yang gugur saat berperang.

2
Penghargaan sebagai Pahlawan

Namanya digunakan sebagai Jalan di beberapa kota besar Indonesia. Tidak hanya
jalan, namanya juga digunakan sebagai nama-nama tempat antara lain: Stadion
Diponegoro, Universitas Diponegoro. Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada
tanggal 6 November 1973 melalui Keppers No.87/TK/1973.
Pada tanggal 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan
Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik
yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada tahun 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro.
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan
kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih
dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang
menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.

3
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin, (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan,12 Januari 1631 -
meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun).
Sultan Hasanuddin terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah naik tahta sebagai sultan, beliau mendapat gelar Sultan


Hasanuddin, Tumenanga Ri Balla Pangkana ( yang meninggal di istananya yang
indah). atau lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Ia dijuluki e Haantjes van
Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur,
karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.

Sultan Hasanuddin merupakan anak kedua dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi
Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya
bernama I Sabbe To'mo Lakuntu yang merupakan Putri bangsawan Laikang.

Sultan Hasanuddin juga mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama


I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi
permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.

Sejak kecil Sultan Hasanuddin sudah memperlihatkan jiwa kepemimpinan


sebagai seorang pemimpin masa depan. Kecerdasan dan kerajinan beliau dalam
belajar sangat menonjol dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain.
Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala
membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama, rendah hati, jujur
dan memiliki semangat perjuangan.

Selain itu, Hasanuddin pandai bergaul. Tidak hanya dalam lingkungan


bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing seperti
orang melayu, portugis dan inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke
Makassar untuk berdagang.

4
Wafatnya Sultan Alauddin dan Pengangkatan Sultan Malikussaid sebagai Raja
Gowa ke-15
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46
tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya Sultan
Malikussaid mengantikan kakek beliau menjadi Raja Gowa ke-15. Beliau
dilantik pada tanggal 15 Juni 1639.

Selama kepemimpinannya Sultan Malikussaid kerap kali mengajak Hasanuddin


yang masih berusia remaja untuk menghadiri perundingan-perundingan
penting. Hal ini tiada lain dilakukan untuk mengajarkan Sultan Hasanuddin
tentang ilmu pemerintahan, diplomasi dan strategi peperangan.

Sejak itulah kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. Selain mendapat
bimbingan dari ayahnya, Hasanuddin juga banyak dibimbing oleh mangkubumi
kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan
cerdas yang sekaligus guru dari Arung Palakka yang merupakan Raja Bone.

Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan, sekaligus membawa amanah


mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara dengan membawa titah
persatuan nusantara. Terutama pada daerah-daerah dalam gabungan
pengawalan kerajaan Gowa.

Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat


urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur
pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Pengangkatan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa ke-16


I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan
gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya
pada saat beliau berusia 22 tahun. Sultan Hasanuddin bukanlah putra mahkota
yang mutlak menjadi pewaris kerajaan, dikarenakan derajat kebangsawanan
ibunya lebih rendah dari ayahnya.

Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja karena pesan dari ayahnya sebelum
wafat. Wasiat dari Raja kepada Sultan Hasanuddin disetujui oleh Mangkubumi
Kerajaan Karaeng Pattingaloang. karena melihat sifat-sifat Hasanuddin yang
tegas, berani dan juga memiliki kemampuan serta pengetahuan yang luas.

Kerajaan Gowa Menentang Usaha Monopoli VOC


Sultan Hasanuddin melanjutkan perjuangan ayahandanya melawan VOC yang
menjalankan monopoli perdagangannya di Indonesia bagian timur. VOC
menganggap orang - orang Makasar dan Kerajaan Gowa sebagai penghalang dan
saingan berat. Bahkan VOC menganggap sebagai musuh yang sangat
berbahaya.
Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda sedang berusaha
menguasai hasil rempah-rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah
timur Indonesia. Salah satu caranya adalah melarang orang Makasar berdagang
dengan musuh-musuh Belanda seperti Portugis dsb.
Tentu saja keinginan Belanda ditolak mentah-mentah Raja Gowa. Kerajaan
Gowa menentang dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan VOC.
Sultan Alaudin, Sultan Muhammad Said, dan Sultan Hasanuddin berpendirian
sama. Bahwa Tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai
bersama.

5
Itu sebabnya Kerajaan Gowa menentang usaha monopoli VOC dan ini yang
membuat VOC berusaha untu menghancurkan dan menyingkirkan Kerajaan
Gowa. Kerajaan Gowa pada saat itu merupakan kerajaan terbesar yang
menguasai jalur perdagangan.

Peperangan Melawan Belanda dan Perjanjian Bongaya


Dalam perjalanannya, terjadi pertempuran yang berlangsung di medan perang
Sulawesi Selatan antara orang-orang Makassar yang dipimpin oleh Sultan
Hasanuddin dengan VOC dipimpin oleh Laksamana Speelman.
Tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda
berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi mereka belum berhasil
menundukkan Kerajaan Gowa. Karena Sultan Hasanuddin berusaha
menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur
untuk melawan Belanda.

Pertempuran-pertempuran terus berlangsung begitu pula selalu diadakannya


berbagai perjanjian perdamaian dan gencatan senjata, namun selalu dilanggar
oleh VOC dan merugikan Kerajaan Gowa.

Pada saat peperangan Belanda terus menambah kekuatan pasukannya hingga


pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah. Dengan berbagai
pertimbangan akhirnya Sultan Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian
Bungaya, pada 18 November 1667.

Setelah merasa Perjanjian Bungaya itu sangat merugikan bagi rakyat dan
Kerajaan Gowa, akhirnya pada 12 April 1668 perang kembali pecah.

Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar,


menambah kekuatan pasukan Belanda, hingga akhirnya berhasil menerobos
benteng terkuat Kerajaan Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni
1669.

Sultan Hasanuddin Turun Tahta


Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan
Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha
Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan.

Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau
menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan
menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada
Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan
penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan
jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan
penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara.

Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga


Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin
banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha
menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

6
Wafatnya Sultan Hasanuddin
Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram
1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau
dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng
Kale Gowa di Kampung Tamalate.

I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin


Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di
dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di
Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan


mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di
Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di
Indonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai lambangnya
"Ayam Jantan Dari Timur".

Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan


menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan
dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November
1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk
menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.

7
Pong Tiku
Pong Tiku dilahirkan di Pangala, Toraja,
Sulawesi Selatan pada tahun 1846. Sebagai anak seorang pemimpin adat
yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah sekitarnya, Pong
Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para
pemimpin adat lainnya. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk
membahas segala hal yang berhubungan dengan masalah
kemasyarakatan.

Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya


sebagai pemimpin adat, kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun
semakin terlihat. Saat terjadi konflik bersenjata yang melibatkan Pangala
dan daerah Baruppu, ia mengambil alih kepemimpinan pasukan dari
ayahnya yang sudah memasuki usia senja.

Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan


perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi
menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya. Dalam peperangan
itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada akhirnya
peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.

Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku
kemudian mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan
daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh
senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang
dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal
sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu
bernama benteng Buntubatu.

8
Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak
persenjataan dan membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan
dengan para penguasa lain di Toraja. Persiapan yang telah dilakukan itu
memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi
gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi
militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah
kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu
yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian komandan
militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat
kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di
Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.

Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan


kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya.
Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku.
Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan
pertamanya ke Pangala, namun serangan itu gagal. Masih di tahun yang
sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda
ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.

Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan


persenjataannya. Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya
logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong Tiku. Untuk
menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-
bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran
besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-
bukit karang menuju benteng.

Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang


berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal
peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan peperangan tak
seimbang. Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian,
gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng.
Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi,
benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas
Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.

Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun


tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan
senjata. Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman
jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan
benteng Buntubatu. Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda
untuk memasuki benteng tersebut meskipun masa gencatan senjata
belum berakhir.

Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku


kemudian menuju benteng Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang

9
dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan. Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12
Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan.
Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri. Dalam pelariannya dari
satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat
perjuangan melawan Belanda.

Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil


ditangkap di Lilikan pada awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil
ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan
yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada
dalam tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.

Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku


pun ditembak mati Belanda di tepi Sungai Sa'dan. Kematian Pong Tiku
sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja.
Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke
tangan Belanda.

10
Andi Mappanyukki adalah putra Raja Gowa XXXIV, Makkulau Karaeng
Lembangparang yang memulai perang dengan Belanda pada tahun
l905.Beliau merupakan mertua pahiawan nasional Andi Djemma.
Semenjak berusia 20 tahun, beliau sudah ikut berjuang untuk merebut
kemerdekaan Indonesia dengan bertempur melawan Belanda di wilayah
Gowa. Setelah bertempur sengit, Belanda berhasil merebut pertahanan
utama Andi Mappanyukki di Gunung Sari. Beliau kemudian melanjutkan
perlawanan dengan bergerilya. Pada tahun 1907, Belanda menangkap Andi
Mappanyuki dan mengasingkannya ke Pulau Selayar selama dua tahun.

Pada tahun 1931, atas usulan Dewan Adat, beliau diangkat menjadi Raja
Bone dengan gelar Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Sebagai Raja Bone,
beliau tegas menolak bekerja sama dengan penjajah. Pemerintah Belanda
yang menganggapnya sebagai tokoh berbahaya kemudian menurunkannya
dengan paksa dari tahta. Beliau lalu diasingkan bersama istri dan putrinya
di Tana Toraja selama 3,5 tahun.

Menjelang proklamasi, beliau juga bertindak sebagai penasihat BPUPKI.


Setelah Indonesia merdeka, beliau menyatakan bahwa Kerajaan Bone
merupakan bagian dari Republik Indonesia. Pada masa Republik Indonesia
Serikat, beliau ikut menuntut peleburan Negara Indonesia Timur ke dalam
RI. Keteladanan dan keteguhan hati beliau dalam berjuang dilkuti oleh
putra-putranya, yaitu Andi Pangeran Petta Rani dan Andi Abdullah Bau
Maseppe. Beliau wafat pada tanggal 18 April 1967.

Tempat/Tgl. Lahir : Jongaya, Sulsel, 1885


Tempat/Tgl. Wafat : Rantepao, Tanah Toraja, 18 April 1957
SK Presiden : Keppres No. 089/TK/2004, Tgl. 5 November 2004
Gelar : Pahlawan Nasional

Makam Andi Mappanyukki tidak berada di pemakaman raja-


raja Gowa atau Bone sebagaimana lazimnya, tetapi oleh masyarakat
dan pemerintah Republik Indonesia Andi Mappanyuki dikebumikan
di TMP Panaikang, Makassar dengan upacara kenegaraan.

11
OPU DAENG RISAJU

Tatkala Kerajaan Luwu memilih tunduk pada Belanda, Opu Daeng


Risaju lebih memilih kehilangan gelar kebangsawanannya dan
tetap pada pendirian menentang penjajahan. Aktivis Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII) ini ditangkap dan ditahan berulang kali
bahkan disiksa hingga tuli

Opu Daeng Risaju, puteri pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng


dan Opu Daeng Mawellu ini lahir di Palopo pada tahun 1880. Ia
sebenarnya memiliki nama kecil, Famajjah. Sedangkan Opu Daeng Risaju
adalah gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan padanya
setelah menikah dengan suaminya, H. Muhammad Daud.

Sebagai seorang keturunan bangsawan Luwu, dalam jiwanya telah


tertanam sikap patriotisme buah didikan dari orang tua dan leluhurnya.
Selain mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan, Opu
Daeng Risaju juga mempelajari peribadatan dan akidah dalam agama
Islam. Sejak kecil Opu Daeng Risaju terbiasa membaca Al-Quran dan
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan seperti nahwu, syaraf dan balagah.
Opu Daeng Risaju juga mempelajari fiqih dari buku karangan Khatib
Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam
di Sulawesi Selatan. Sementara suami Opu Daeng Risaju, H. Muhammad
Daud, merupakan seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah.

Ia pun tumbuh sebagai salah satu tokoh


perempuan yang kharismatis terutama bagi kalangan masyarakat Luwu,
baik Luwu Selatan, Utara maupun Luwu bagian Timur serta Palopo
sebagai ibukota Kerajaan Luwu.

12
Hidup memang suatu pilihan. Sebagai wanita keluarga kerajaan, Opu
Daeng Risaju sebenarnya bisa hidup tenang dan nyaman menikmati
kekayaan dan kedudukannya. Namun, ia lebih memilih berjuang demi
rakyat yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan akibat ulah para
penjajah.

Keikutsertaannya dalam partai politik dimulai pada tahun 1927. Saat itu
ia memilih untuk bergabung menjadi anggota Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) cabang Pare-pare. Tiga tahun kemudian tepatnya 14
Januari 1930, ia terpilih sebagai Ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Palopo.

Posisi sebagai Ketua PSII membuatnya sering mengikuti kongres PSII baik
di Sulawesi Selatan maupun PSII Pusat yang berkedudukan di Batavia.
Kegiatan berpolitiknya di PSII itu dipandang sebagai duri dalam daging
oleh pemerintah Belanda yang menguasai tanah Luwu.

Pihak kerajaan atas kendali Belanda mencabut gelar kebangsawanan Opu


Daeng Risaju pada tahun 1932 dan ia dipenjara selama 14 bulan pada
tahun 1934. Ia kemudian ditangkap bersama sekitar 70 orang anggota
PSII di Malangka oleh Controleur Masamba. Opu Daeng Risaju dituduh
menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar rakyat tidak
lagi percaya kepada pemerintah. Untuk membatasi peluasan anggota PSII
dan menghentikan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Opu Daeng
Risaju bersama para pejuang lainnya dijebloskan ke dalam penjara
Masamba. Pihak kerajaan atas kendali Belanda mencabut gelar
kebangsawanan Opu Daeng Risaju pada tahun 1932 dan ia dipenjara
selama 14 bulan pada tahun 1934. Akibat keteguhan hatinya menolak
bekerjasama dengan Belanda, Opu Daeng Risaju juga rela bercerai
dengan suaminya yang sebelumnya dia anggap sebagai pendukung
aktivitas politiknya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh
mendorong gerobak dan bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah
kota Palopo.

Pada 9 Februari 1942, tentara Jepang mendarat di Makassar dan daerah-


daerah lain di Sulawesi, termasuk tanah Luwu. Kedatangan Jepang tak
sedikit pun menciutkan nyali Opu Daeng Risaju. Semangat juangnya
justru semakin berkobar untuk tetap melakukan perlawanan terhadap
para penjajah.

Saat tentara Jepang menyerah, tentara Sekutu datang diboncengi tentara


NICA. Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda
untuk melakukan serangan terhadap tentara NICA di tahun 1946.
Serangan itu dibalas oleh tentara NICA sebulan kemudian sehingga
banyak pemuda pejuang yang gugur.

Pasca penyerangan tersebut, Opu Daeng Risaju bersembunyi. NICA


mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan menghentikan aksi
Opu Daeng Risaju. Tentara NICA bahkan berjanji akan memberikan
imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju, baik
dalam keadaan hidup atau pun mati.

13
Keberadaan Opu Daeng Risaju di Latonro akhirnya berhasil diketahui
mata-mata NICA. Dalam suatu penyergapan, ia ditangkap dan dipaksa
berjalan kaki hingga 40 km menuju Watampone. Di kota itu, ia dipenjara
satu bulan lamanya sebelum akhirnya dibawa ke Sengkang dan
dipulangkan ke Bajo.

Selama 11 bulan ia menjalani masa tahanannya tanpa diadili dan


mengalami berbagai penyiksaan. Ia dibawa ke sebuah lapangan dan
dipaksa untuk berdiri tegap menghadap matahari. Kepala Distrik Bajo,
Ladu Kalapita menyiksanya saat itu. Pejabat Luwu yang Pro Belanda itu
meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risaju yang kala
itu berusia 67 tahun. Kalapita kemudian meletuskan senapannya dan
mengakibatkan Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur di antara kedua kaki
Kalapita yang masih berusaha menendangnya. Akibat penyiksaan itu,
Opu Daeng Risaju menjadi tuli seumur hidup. Setelah penyiksaan itu,
Opu Daeng Risaju kembali dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang
mirip penjara darurat bawah tanah. Opu Daeng Risaju kemudian
dibebaskan, kembali ke Bua lalu menetap di Belopa.

Bersama putranya H. Abdul Kadir Daud, Opu Daeng Risaju yang usianya
kian senja pindah ke Pare-pare setelah kedaulatan RI mendapat
pengakuan pada tahun 1949. Ketika putranya meninggal dunia, ia
kembali ke Palopo hingga tutup usia pada 10 Februari 1964. Jenazah
wanita pejuang itu dimakamkan di Lokke yang merupakan makam para
raja Luwu.

Ketika memilih untuk berjuang bersama rakyat, ia dengan rela menerima


segala risiko. Penjara, penderitaan, berbagai kesulitan hingga penyiksaan
fisik dijalaninya dengan penuh ketabahan demi membela Tanah Air. Atas
jasa-jasanya kepada negara, Opu Daeng Risaju dianugerahi gelar
pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006,
tanggal 3 November 2006.

14
Andi Makkasau putera satu-satunya Parenrengi Karaeng Tinggimae adalah seorang
bangsawan tinggi, ayahnya Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe, keturunan langsung
dari dua kerajaan utama di Sulawesi yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Sinderang. Andi
Makkasau dibesarkan dan dididik dalam lingkugan keluarga istana Datu Suppa, terutama
pendidikan agama Islam serta pendidikan etika, moral dan lainnya sebagaimana layaknya
seorang putera raja.

Pada tahun 1926, Andi Makkasau dinobatkan sebagai Datu Suppa yang kemudian
diberi gelar sebagai Datu Suppa Toa, penobatan rakyat kepada Andi Makkasau tampaknya
amat membawa pengaruh yang amat besar terhadap rakyatnya, masyarakat Suppa semakin
merasakan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka terutama dalam
usaha mereka menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya
dengan demikian Andi Makkasau membentuk dan mempelopori organisasi kemasyarakatan
dengan tujuan menggembleng kesadaran nasional dan mengobarkan semangat perjuangan
rakyat menuju Indonesia merdeka, organisasi yang dibentuk diantaranya : Partai Sarikat Islam
di Parepare dibentuk pada tahun 1927, Sumber Darah Rakyat (SUDARA) dibentuk tahun 1944,
Penunjang Republik Indonesia (PRI) dan pada tanggal 28 Agustus 1945 dibentuk Pandu
Nasional atau Pemuda Nasional Indonesia (PNI).

Andi Makkasau selama hidupnya diisi untuk berjuang melawan penjajah karena ia
tidak mau melihat kebebasan dan kemerdekaan rakyat diinjak-injak oleh kekuasaan penjajah,
hidupnya diakhiri di bawah kekejaman Belanda yaitu pada tanggal 28 Januari 1947 dengan
cara ditenggelamkan di tengah laut dengan di ikatkan batu besar pada kakinya, kemudian
tepatnya pada tanggal 30 Januari 1947 Andi Makkasau ditemukan oleh masyarakat
Marabombang dalam keadaan terikat terdampar di pesisir pantai.

15

Anda mungkin juga menyukai