Anda di halaman 1dari 6

Bendara Pangeran Harya Dipanegara

(lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11


November 1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena
memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda.
Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Daftar isi

 1Asal usul Diponegoro


 2Perang Diponegoro (1825-1830)

o 2.1Periode-periode penting

 3Kehidupan pribadi

 4Penghargaan sebagai Pahlawan

 5Daftar pustaka

 6Referensi

 7Pranala luar

Asal usul Diponegoro[sunting | sunting sumber]


Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga
di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri
selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden
Mas Antawirya.[1]
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya
bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:

 B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;


 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung
Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;

 R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;

 R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri
selir;

 R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II),
jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;

 R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan;


 R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;

 R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.

 Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di
Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk
Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin
Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal
di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti
Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu
anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian
seperti itu tidak disetujuinya.

Perang Diponegoro (1825-1830)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Jawa
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang
sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di
Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik
berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan
yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara
perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim
Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan
persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda
Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro
memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi keduanya adalah saudara sepupu. [3]
Diponegoro, c.1830.

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita,
tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat
memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu,
kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi
dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro
1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu
berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya
sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik
dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang
mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus
sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena
taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata
dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi,
Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga
para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang
belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan
sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang
pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode
perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan
melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-
tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam
pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai
dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau
Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan
perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon,
sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk
Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton
Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi
amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama
untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Periode-periode penting[sunting | sunting sumber]

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830
yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.

 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo


Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens mengusulkan agar
Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan
Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia, Hindia Belanda.
 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April.

 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.

 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan


kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan


Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat
Kota Makassar.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen.

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya
semuanya kini hidup tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi,
dan Maluku bahkan di Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

Penghargaan sebagai Pahlawan[sunting | sunting sumber]

Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar
Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi
agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan
namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas
Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat,
patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu
masuk Undip Tembalang.
Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan.

Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8
Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro
pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21
Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of
the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran
Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita
mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya. [5][6]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan,
didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan
"Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran
Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai