Anda di halaman 1dari 3

Ateisme dan Kebodohan

 August 20, 2021  Muhammad Nuruddin


Apakah orang Ateis bisa kita sebut sebagai orang bodoh? Sebetulnya pertanyaan
ini hanya bisa dijawab dengan benar setelah kita dudukkan terlebih dulu makna
dari kata bodoh itu sendiri. Apa sih bodoh itu? Kalau kita merujuk pada
penjelasan para sarjana Muslim, orang bodoh itu adalah orang yang tidak tahu.
Atau, orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu. Kebodohan pertama sering
disebut dengan istilah jahl basith, yakni kebodohan yang simpel.
Sedangkan yang kedua biasa kita kenal dengan istilah jahl murakkab, atau
kebodohan yang kompleks. Dikatakan kompleks karena orang yang kedua ini
bukan hanya sebatas tidak tahu. Tapi juga tidak tahu kalau dia tidak tahu,
sehingga pada akhirnya dia merasa sok tahu tentang apa yang tidak dia tahu.
Menurut pengetahuan orang yang bernalar sehat, segala akibat pastilah
bergantung kepada sebab. Ini pengetahuan yang hampir sulit diingkari oleh
manusia-manusia yang berakal. Kalau kita percaya dengan hukum ini—dan
kepercayaan terhadap hukum ini merupakan konsekuensi dari kesehatan nalar
kita—maka seharusnya kita juga percaya bahwa di balik keberadaan alam
semesta ini pastilah ada sebab. Dan yang menjadi sebab itu pastilah bukan
alam. Tetapi sesuatu yang lain yang berbeda dengan alam. Alam ini tadinya tidak
ada, kemudian dia ada. Lantas siapa yang mengadakan? Tentu, akal yang sehat
akan mengajukan pertanyaan semacam itu.

Tapi itu tidak berlaku bagi orang Ateis. Orang Ateis akan menolak keberadaan
sebab itu. Menurutnya, alam itu muncul dengan sendirinya sendiri. Tidak ada
sebab lain yang diyakini berperan dalam keterciptaan alam. Yang menjadi
sebabnya adalah dirinya sendiri. Dan karena itu mereka menolak keberadaan
Tuhan. Masalahnya, dalam kehidupan sehari-hari, nalar sehat kita sulit sekali
mengamini cara pandang semacam ini. Masing-masing benda dan makhluk
hidup yang ada di sekeliling kita, itu tidak ada yang bisa menjadi sebab bagi
dirinya sendiri. Mereka adalah sesuatu yang senantiasa bergantung pada
sesuatu yang lain.

Bayangkan sekarang Anda duduk di atas kursi. Lalu Anda bertanya kepada
orang yang duduk di samping Anda, “siapa yang buat kursi ini?”. Tiba-tiba dia
menjawab, “kursi ini tidak ada yang buat. Dia telah ada dengan dirinya sendiri.”
Sudikah Anda memandang waras orang yang memiliki cara berpikir semacam
ini? Jangankan benda seukuran kursi, benda kecil sebesar jarum saja kita yakini
keberadaan pembuatnya, sekalipun pembuatnya tidak pernah kita lihat. Dan tak
pernah kita buktikan keberadaannya dengan pancaindera kita. Kursi itu tadinya
tidak ada, kemudian dia ada. Dan ketika ada, otomatis akal kita memastikan
adanya sebab di balik keberadaannya.  
Alam semesta pun demikian. Apapun yang ada di dalam semesta ini adalah
sesuatu yang bisa jadi ada, bisa jadi tiada. Lantas, ketika dia sudah ada, apakah
dia benar-benar butuh kepada sebab? Bagi orang yang nalar sehatnya sudah
terhenti, mereka akan menjawab tidak. Dia muncul sekonyong-konyong. Dia
muncul secara tiba-tiba, dengan dirinya sendiri. Tapi, yang nalar sehatnya masih
terawat, dia akan kesulitan menerima pandangan itu. Baginya, sebab itu pasti
ada. Dan sebab itu pastilah bukan bagian dari alam, melainkan sesuatu yang
berbeda dengan alam. Dan itulah Tuhan yang disebut dalam bahasa agama.

Logiskah pandangan ini? Sungguh, saya tak dapat membayangkan adanya nalar
sehat yang dapat menolak pandangan semacam ini. Jika ada yang ingin
menggugat kelogisannya, kami persilakan yang bersangkutan untuk
menyampaikan gugatan itu. Sesungguhnya kalau Anda renungkan dengan
seksama, Ateisme itu tak lebih dari sekedar bentuk keidiotan dalam berpikir.
Hanya orang-orang bernalar sakit yang memandang adanya akibat dengan
mengesampingkan sebab, lalu dia jadikan sesuatu sebagai sebab bagi dirinya
sendiri.  

Kembali pada pertanyaan di atas, apakah orang Ateis bisa kita sebut sebagai
orang bodoh? Kalau merujuk pada pengertian di atas, kita tidak dihadapkan
dengan pilihan lain, kecuali berkata iya. Kenapa bisa begitu? Karena mereka
tidak tahu. Bahkan mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Sudah tidak
tahu, tapi merasa paling tahu. Bahkan sok tahu. Mereka menafikan keberadaan
Tuhan dengan nalar yang cacat. Sementara kaum beriman membuktikan
keberadaan Tuhan dengan argumen yang benar-benar kokoh dan kuat. Yang
bodoh dan idiot itu sebenarnya mereka, bukan kita.

Tapi kan mereka itu ada juga yang pintar-pintar? Ada yang bergelar doktor,
menjabat sebagai guru besar, filsuf, ilmuwan, ahli ini, itu dan ini. Banyaklah
pokoknya. Ya, memang kita tidak memungkiri itu. Kita bisa mengatakan mereka
pintar dalam bidang keilmuannya, dan tahu tentang apa yang ditekuninya. Tapi,
ketika berbicara tentang asal muasal kemunculan alam semesta, berbicara
tentang Tuhan, yang menjadi sebab di balik keterlahiran itu, yang mereka
tunjukkan memang hanya kebodohan demi kebodohan.

Sampai sekarang, kalau Anda tantang orang Ateis untuk menyajikan argumen
rasional tentang ketiadaan Tuhan—kalau memang Tuhan itu benar-benar tiada
—mereka tidak akan mampu menyuguhkan jawaban itu. Paling jauh mereka
hanya mengemas kebodohan itu dengan bahasa-bahasa ilmiah yang dapat
memusingkan lawan bicara. Tapi, pada intinya, sejak dulu sampai sekarang,
orang Ateis direkatkan oleh satu ikatan, yaitu mengingkari sebab utama di balik
kelahiran alam semesta. Dan kita tidak melihat hal itu, kecuali sebagai cerminan
dari kebodohan yang nyata.

Anda mungkin juga menyukai