Anda di halaman 1dari 7

MAZHAB BERPIKIR

OLEH:
ULFAH
KELOMPOK 6

Sumber Pengetahuan.
Berangkat dari adanya kemutlakan yang nantinya menyusun system berpikir kita, maka
persoalannya kemudian adalah bagaimana mencari sebuah fakurltas dalam diri kita yang
digunakan untuk menilai sesuatu, dimana penilai itupun masih harus dinilai kebenarannya.
Secara umum ada beberapa mazhab pimikiran yang bisa digolongkan sebagai berikut:
1. Skirptualis.
Skriprualis adalah sebuah system berpikir yang didalam menilai kebenaran digunakan
teks kitab. Asumsi dasar yang tergabung adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh
kerenanya dalam penilaian kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks
kitab sama saja dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skiriptual adalah orang
yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat
sempit bahkan hamper tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya
kembali lagi ke teks kitab.
Namun dalam wilayah epistemology, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan,
antara lain:
Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tesebut. Kalau
yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya. Bagai mana caranya diantara
banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar. Kalau kita lang sung percaya maka
kitab lain kita harus juga langsung percaya. Nah, kalau kontaradiksi kitab mana yang
benar? Artinya, kelemahan pertamanya adalah butuh suatu dalam membuktikan
kebenaran sebuah kitab.
Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: Terjebak
pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantunga dengan umatnya.
Kebenaran Al-Quran, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam.
Umat, Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab merka masing-masing. Sementara
kita tidak dapat memakasakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak
akan menerima teks kitab umat lain.
Kelemahan ketiga adalah teks adalahtanda atau symbol yang membutuhkan
penafsiran. Kitab tidak bisa berteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran.
Sementara dalam penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual
seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai berbeda.
Sebagi contoh surah 80:1 dan 2:1
Tidak tepat dalam membuktikan penciptaan.

2. Idealis Platonia.
Pemikiran plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan
masih berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki

pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahuan itu hilang. Untuk itu yang harus
manuasia lakuakan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali. pengetahuan yang kita
miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari
pengingatan kembali. Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan kembali.
Namun, seagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.
Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah berada di alam ide.
Turnan dari yang pertama, kalaupun (jadi disumsikan teori ini benar) ternyata sebelum
lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan
kita saat ini selaras denga pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras,
apa yang dapat dijadikan bukti.
Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum
dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau
dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita
bukan saja memiliki ide, tetapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita
justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berdasarkan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena
itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia.
Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisme. Tetapi empirisme
memiliki kekurangan sebagai berikut :
Indera terbatas. Mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitu
telinga dan indera lainnya. Olehnya, indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat
terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cintah misalnya,
tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan
benda pada dua zat dengan kerpatan molekul berbeda. Ketika kita masukkan pensil
dalam gelas berisi air kita akan melihanya bengkok karena kerpatan molekul air, gelas
dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum perasa/yakinis.
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolak ukur kebenaran. Ciri khas
mereka adalah yakin saja. Mereka mengapa dirinya sebagai orang yang paling mampu
mendengar suarua hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak
orang beragama yang seperti ini pada hal system berpikir macam ini memiliki kekurangan
dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
Tidak jelas yang didengar itu adalah suara hati atau justru sekedar gejolak emosional
atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai

hanya gejolak emosional lantas dianggap suara hati atau bisikan setan. Nah,
persoalannya bagaimana cara membedakannya.
Kalu pun yang didengar adalah suara hati, maka akan subjektifitas karena hati orang
berbeda. Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas bukan kemutlakan.
Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati, kalau akal menjustifikasi
pengguna hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan
mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali kepoin sebelumnya.

5. Rasionalisme.
Rasionalisme kurang lebih berarti sebuah pahaman yang menjadikan akal sebagai
ukuransebuah kebenaran. Rasionalisme disini, bukan berarti seperti pendangan barat karena
rasionalisme dalam pendangan barat berarti menggunakan metode ilmiah yang justru
berangkat dari dokrin empirical.
Menurut kang jalal, sesuatu kadang dianggap tidak rasional karena tiga hal. Pertama
tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indara manusia biasanya dianggap tidak rasional.
Hal ini umumnya menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari ratarata. Sewaktu perang Khibar, kaum muslim menundudukkan benteng terakhir kaum Yahudi.
Para sahat ssejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi
Sayidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak rasional, padahal hal ini
rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu. Ketidak tahuan adalah kemudian
yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma irasonal.
Rasionalisme tidal menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga
perasaan. Akan tetapi, kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang
ditangkap oleh bagian diri kita. Namun, bagi sekelompok orang akal tidak dapat digunakan
untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya, penggunaan akal sangat dekat
dengan mengakal-akali sesuatu.
Untuk menjawab ini ada banyak hal. Pertama, kita mengakal-akali sesuatu memiliki
kesan negative dalam aspek bahasa. Padahal selama kita sadar (Termasuk ketika mengatakan
mengakal-akali) yang kita gunakan akal. Jadi mengugurkan diri sendiri. Melarang orang
menggunakan akal disaat dia menggunakan akal. Kedua, kalau tidak pakai akal, kita
menggunakan apa, mau pakai dengkul?. Ketiga, kalau akal terbatas dimana batasnya.
Memang benar bahwa akal terbatas disbanding penciptaNya(selanjutnya dibahas dalam
Materi Dasar-dasar Kepercayaan ), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana
batasnya?. Hukum akal menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat.
Jadi, kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapan
dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauhmana kita gunakan akal kita untuk
mengetahui.
Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. Secara biologis
manusia memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirsasi, eksresi, regenerasi, dan

sebagainya. Bedanya cuma satu yaitu akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan
akalnya bisa lebih buruk dari pada binatang.
Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk
menjawab hal ini sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tetu saja kerbau adalah
makhluk yang cerdas karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran
modern menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang
mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh, dimana tubuh disisi kana diatur melalui tulang
belakang menuju ke otak kiri begituplun sebaliknya. Artinya otak tidak ada hubungannya
dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti jantung, paru-paru, dan sebagainya.

Dalam diri kita ada beberapa fakultas pengetahuan, di antaranya:


Indera yang menangkap warna, bentuk, bunyi, bau dan sebagainya. Perbedaannya
dengan empirisme, empirisme menjadikan idera sebagai tolak ukur sedangkan
rasonalisme menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.

Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide
menusia dan monyet yang kesumuanya memiliki realitas eksternal, namun jika
digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal(dalam ide) tapi
tidak di realitaskan eksternal.

Wahmi. Berkaitan dengan persaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu
secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih
dikontrol, bukan sebagi pengontrol bukan sebagai patokan utama.

Akal. Fukultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.

Kiita telah semapai pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun persoalannya
lagi bahwa ternyata akal pun msih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal
ini, kita kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti
menandakan adanya proses analogi sederhana. Motor adalah akalnya, mengendarai motor
adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain atau berpikir. Dalam prose itu harus
menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti lampu lalu lintas dan ramburambu makas akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau
aturan berpikir akan menyebabkan kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tetapi penggunaannya yang
tidak tepat. Untuk kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya yang
itupun harus dinilai kebenarannya.
Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut
yang sering disebut logika Aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
1. Prinsip Identitas. Prisnsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya
sendiri. Secara matematis dirumuskan A=A
2.

Prinsip Non Kotradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang
berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus
matematika AB.

3.

Prinsip Kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak sesuatupun yang kebetulan.
Setiap sebab melahirkan akibat. Rumusnya S
A.

4.

Prinsip keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan
sebabnya. Rumusnya S A.

Pembuktian.
Logical formal ditetang oleh kaum Marxian dengan logika dialektikanya. Mereka
memahami bahwa logika formal hanyalah prinsip Non Kontradiksi karena mereka memahami
adanya kontradiksi internal pada materi. Sebelum kita jawab ada baiknya jika kita sedikit
bahas tentang logika dialektik.
Logika dialektika adalah prinsip berpikir kaum marxisme yang didalamnya ada 4 poin
(yang penulis ingat 2 poin saja karena buku yang membahas hal ini hilang). Pertama Negasi
der Negation. Isinya adalah bahwa dalam satu materi terjadi kontradiksi internal. Misalnya
biji jagung. Pada ruang dan waktu yang bersamaan terjadi dialektika antara biji jagung
sebagai tesa dan binih sebagai anti teas. Jika asntitesanya kuat maka antitesanya menjadi
sintesa. Jadi biji jagung = bukan biji jagung. Kalau memang sesuatu berbeda dengan dirinya
maka kotoran = makanan dan seterusnya. Jika demikian akan terjadi kehancuran. Nah
bagaimana dengan kasus biji jagung. Biji jagung memiliki potensi menjadi benih yang untuk
pengaktulannya membutuhkan factor eksternal seperti air, tanah dan cahaya.jika syarat
terpenuhi, maka potensi itu akan mengaktual. Artinya bukan kontradiksi internal, tetapi gerak
sebstansi yang tergantung pada factor eksternal.
Jadi jika dijawab seperti diatas, kaum Marxian akan mempertahankan pedapatnya
dengan mengatakan 1Kg pasir beda dengan 1Kg pasir karena yang pertama dan kedua
pastilah memiliki selisih meski sangat kecil. Atau kita sekarang beda dengan kita yang
dahulu, makanya diri kita berbeda dengan diri kita. Sanggahan ini dapat dibantah dengan cara
bahwa kita membahas masalah eksistensi yang tetap. Mengapa, karena esensi selalu berubah
(esensi terbagi substansi dan aksiden dan keduanya mengalami perubahan). Kedua, jika kita
ingin memberitakan penjelasan tetang eksistensi dengan cotoh esensi, maka kita katakana
bahwa sesuatu itu dibandingkan dengan dirinya sendiri pada ruang dan waktu yang sama.
Contoh diri kita detik ini dibanding dengan detik itu sendiri. Mereka biasanya menjawab
bahwa jika sesuatu dibandingkan pada saat yang sama maka tidak ada waktu. Ketiadaan
waktu menyebabkan ketiadaan materi. Artinya kita tidak dapat membanding sesuatu pada
dirinya sendiri pada waktu itu. Ini adalah lelucon. Mengapa kalau tidak bisa, buktinya tadi
kita bisa. Kedua, yang tidak ada bukan waktu (t) tetapi selisih waktu (t). buktinya sesuatu
pada waktu tertentu tetap ada. Jadi prinsip negasi der negation tidak rasonal.
Prinsip kedua adalah Quantity to Quality, jumlah menuju kualitas. Cotoh air pada suhu
0 derajat celcius berada pada kualitas padat. Pertambahan kuantitas panas akan menyebabkan
mencairnya es atau perubahan dari kualitas padat akan menjadi kualitas cair. Penambahan
kuantitas panas menjadi 100 derajat celcius akan menyebabakan perubahan dari cair ke gas.
Prinsip ini sama dengan gerak substansi dalam filsafat. Jadi prinsip kedua bukan

menggugurkan prinsip non kontradiksi, tetapi justru membenarkan. Artinya prinsip ini
bersifat logis dan niscaya.
Pembuktian berikutnya.
Jika seorang anak kecil menangis karena mainannya diambil, tetapi mainannya kita beri
pada yang lain, maka ia tetap akan menangis karena ia tahu bahwa dirinya sama dengan
dengan dirinya sendiri, bukan orang lain. Bahkan kambing jika kita beri emas dan rumput ia
tidak akan mengambil emas karena rumput = rumput dan emas = emas. Artinya justru prinsip
ini berlaku universal.
Pembutian Kausalitas dan Keselarasan.
Ketika kita menangkap sesuatu maka akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin
dia ada dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya dan akaibat pasti selaras dengan sebabnya.
Tidak mungkin benih jagung menyebabkan tumbuhannya pohon kurma. Semua yang ada di
alam ini adalah bukti kemutlakan prinsip nyang niscaya lagi rasonal ini. Tetapi untuk jelasnya
silahkan baca buku logika atau kajian.

Anda mungkin juga menyukai