Anda di halaman 1dari 5

Mengapa Saya Tidak Tertarik untuk

Menjadi Ateis?
 August 7, 2021  Muhammad Nuruddin
Kalau pertanyaan ini diajukan ketika saya masih duduk di bangku SMP ataupun
SMA, jangankan untuk menjawab, mendengarnya saja mungkin saya sudah
terheran-heran. “Kenapa kamu nggak jadi orang Ateis aja?” Kalau ada yang
bertanya begini, paling saya akan bertanya, “emang Ateis itu artinya apa?” Lalu
dijawab, “Ateis itu artinya orang yang tidak percaya Tuhan.”

Saya akan menjawab balik, “loh, buat apa saya mengingkari keberadaan Tuhan?
Berdasarkan apa yang saya pelajari di Pesantren, dan merujuk pada apa yang
diajarkan oleh orang tua saya, Tuhan itu ada. Nggak usah pake bukti. Tuhan itu
memang ada. Dan kita diminta untuk percaya. Saya kira itulah jawaban yang
akan saya ajukan kalau pertanyaan ini saya terima sebelum saya benar-benar
dewasa.

Dan, tampaknya, masih banyak juga orang Muslim yang beriman dengan cara
seperti itu. Beriman dengan cara ikut-ikutan. Kalau ditanya dalil, mereka akan
mendadak kebingungan. Kita bisa menyebut iman semacam ini sebagai “iman
warisan”, bukan iman yang tertancap kokoh melalui proses pencarian yang
matang. Kepada orang-orang semacam ini, saya ingin berpesan, segeralah
pelajari dasar-dasar agama Anda dengan matang.

Karena kepercayaan yang hanya berlandaskan pada tradisi dan imitasi (ikut-
ikutan) itu akan goyah dengan mudah. Sekali diterpa keraguan, maka dia akan
runtuh secara perlahan-lahan. Dan kalau sudah runtuh, maka remuklah sudah
agama Anda. Karena keimanan adalah salah satu aspek terpenting dalam
beragama, yang apabila salah satu dasarnya hilang, maka keberagamaan Anda
tidak akan diterima oleh yang Maha kuasa. Itu kalau kita beriman hanya dengan
warisan.   

Lain cerita dengan keimanan yang berbasis pada dalil dan argumentasi. Seirbu
satu filsuf datang untuk meragukan keimanan Anda, selama Anda punya
argumen yang kokoh untuk mempertahankan keimanan tersebut, maka
keimanan tidak akan mudah goyah. Masalahnya, berapa banyak Muslim yang
punya kekokohan iman semacam ini? Tidak ada jalan lain untuk memperkokoh
keimanan itu kecuali dengan mempelajari ilmu yang membahas tentang dasar-
dasar keimanan itu sendiri. 

Di sinilah pentingnya ilmu kalam. Ketika mempelajari ilmu kalam, saya memiliki
kesempatan untuk menguji semua kepercayaan yang pernah saya terima itu.
Apa bukti kalau Tuhan itu ada? Apa bukti kalau Nabi Muhammad Saw itu adalah
seorang nabi, dan al-Quran yang diwahyukan kepadanya merupakan kitab suci?
Apa bukti kalau malaikat, setan, jin itu benar-benar ada? Dia kan tidak bisa
terlihat? Bagaimana Anda bisa membukitkan keberadaannya?

Berbekal argumen-argumen yang dipaparkan oleh para teolog Muslim,


Alhamdulillah sekarang saya sudah tidak kebingungan lagi dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Iman yang tadinya berasal dari warisan itu kini
sudah tumbuh sebagai iman yang berbasis pada penalaran. Iman semacam ini,
percayalah, tidak akan mudah goyah. Apalagi kalau sudah diselimuti perasaan
cinta yang mendalam.

Sesuatu yang kita cinta tak akan mudah musnah hanya dengan permainan kata.
Ketika melihat orang-orang Ateis, kita sebenarnya patut mengasihani mereka.
Saya ingin sekali membantu mereka menemukan jalan kebenaran. Tapi apa mau
dikata. Sejauh ini saya belum menemukan Ateis yang benar-benar jujur dalam
mencari kebenaran itu. Yang paling banyak saya temui adalah Ateis-ateis
provokatif, yang tampaknya memang sejak awal sudah berniat untuk
mengingkari Tuhan.

Pokoknya, bagi mereka, Tuhan itu harus tidak ada. Terlepas apakah pilihan ini
rasional atau tidak, sebagai manusia yang sudah kehilangan akal sehat, itu tidak
penting bagi mereka. Bukti-bukti rasional tentang keberadan Tuhan sudah
banyak dipaparkan oleh para teolog sepanjang sejarah. Tapi tetap saja mereka
tidak menghiraukan itu. Mereka mencari sekian banyak cara untuk
membuktikan kelemahan argumen-argumen itu. Tanpa sadar sedikitpun bahwa
klaim mereka sendiri tidak punya landasan yang logis sama sekali. 

Kalau sekarang saya ditanya, kenapa tidak menjadi ateis, terus terang, sampai
detik ini, nalar sehat saya tidak pernah mampu untuk menerima ajaran itu. Alih-
alih terusik dengan gagasan mereka, yang ada malah sebaliknya. Saya seringkali
menjumpai kecacatan berpikir dalam alur pemikiran mereka. Kita butuh banyak
waktu untuk mengupas kecacatan berpikir itu satu persatu.

Tapi Anda bisa buktikan sendiri. Kalau Anda berjumpa dengan orang Ateis, beri
mereka kesempatan untuk membuktikan ketiadaan Tuhan dengan argumen-
argumen yang logis. Tanyakan kepada mereka, argumen logis apa yang bisa
Anda kemukakan untuk membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar tiada?

Saya berani menjamin, bahwa mereka tidak akan bisa melakukan itu. Mereka
hanya akan tampil dengan kecacatan demi kecacatan. Kalau cara berpikirnya
saja sudah cacat, bagaimana mungkin saya berani menggadaikan nalar yang
sudah sehat? Sebetulnya, kalau saja mereka jujur dengan nalar sehat mereka,
tidak ada alasan logis untuk menolak keberadaan Tuhan. Yang ada malah
sebaliknya, terlalu banyak alasan logis untuk menerima keberadaan Tuhan.
Karena itu, memilih untuk jadi Ateis, hemat saya, sama saja dengan
mengorbankan nalar sehat itu sendiri.

Saya mau kasih contoh yang paling sederhana. Anda tahu kue donat? Pasti
tahulah. Menurut Anda, kue donat yang terancang sedemikian rapi dan rasanya
enak itu ada yang buat atau nggak? Kayanya hanya orang gila yang akan
menggelengkan kepala. Di mana-mana orang yang bernalar sehat akan bilang,
bahwa kalau ada sesuatu tidak ada, kemudian ada, pastilah di sana ada sebab
yang menjadikannya ada.

Bagaimana sekarang kalau ada seorang profesor, ahli sains, sekaligus tokoh
ternama yang dikagumi oleh banyak orang, datang ke sebuah supermarket,
kemudian bilang sama penjaga kasir, “mba, mohon maaf, menurut saya, donat
ini tidak ada yang buat. Dia ada dengan dirinya sendiri.” Kira-kira apa komentar
Anda tentang orang itu? Gila! Otak sehatmu dibuang di mana? Bisa-bisanya
kamu bilang barang kaya begini menciptakan dirinya sendiri. Ingat loh, ini cuma
sekedar donat. Apalagi alam semesta yang terbentang sedemikian luas.

Apa masuk akal kalau dikatakan bahwa alam ini muncul dengan dirinya sendiri?
Orang Ateis akan mengiyakan pertanyaan ini. Tapi nalar yang sehat akan tegas
menafikan kemungkinan itu. Kita kembali ke donat. Meskipun kita tidak pernah
bertemu dengan pembuat donat, nalar yang sehat mengharuskan kita untuk
percaya, bahwa donat yang tadinya tidak ada kemudian ada itu sudah pasti ada
yang buat. Tidak mungkin dia muncul dengan dirinya sendiri.

“Loh, sebentar, kok Anda bisa-bisanya mempersamakan alam semesta dengan


donat sih?” Kita jawab, bahwa kita memang punya alasan yang logis untuk
mempersamakan keduanya. Donat, dan semua yang ada di alam semesta ini
adalah sesuatu yang berwujud. Mereka berwujud, dan wujud mereka
bergantung kepada sesuatu yang lain. Bukankah begitu? Mereka pun sama-
sama bisa ada, bisa tiada.

Coba Anda sebutkan apa saja yang ada di alam semesta ini. Lalu Anda tanya
kepada akal sehat Anda, apakah dia harus ada? Tidak. Dia tidak harus ada.
Apakah dia harus tiada? Nggak juga. Berarti apa? Berarti dia bisa ada, bisa tiada.
Dan kalau ada, pastilah di sana ada sebabnya. Sesederhana itu logika orang
beriman. Mereka percaya bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan. Karena ia
didahului oleh ketiadaan. Maksudnya didahului oleh ketiadaan, alam itu tadinya
tidak ada, kemudian ada. Sangat logis dong kalau ada yang bilang bahwa
keterlahiran alam itu ada sebabnya?

Orang Ateis menafikan sebab itu. Persis seperti seperti seorang profesor yang
memandang donat tadi sebagai sesuatu mengadakan dirinya sendiri. Meski
bergelar profesor, tetap saja kita akan memandang jawabannya sebagai
jawaban yang gila. Memang ini pikiran yang gila. Dan, sebagai manusia yang
bernalar sehat, saya enggan untuk memeluk pikiran gila semacam itu. Akal sehat
kita terlalu mahal untuk digadaikan kepada pikiran yang cacat. Inilah salah satu
alasan saya kenapa masih teguh pendirian sebagai orang beriman, dan sama
sekali tidak tertarik untuk jadi Ateis.     

Alasan selanjutnya, saya melihat bahwa ateisme itu tidak memberikan manfaat
apa-apa bagi kehidupan kita. Coba Anda pikirkan baik-baik, apa sih manfaat jadi
Ateis itu? Apa manfaat dari pandangan yang menafikan keberadaan Tuhan itu?
Apa gunanya kita menafikan keberadaan Tuhan? Bagi saya tidak ada. Orang
Ateis mungkin akan bilang, “sains!” Ateisme itu tidak percaya Tuhan, tapi dia
percaya kepada sains. Dan Ateisme mengajak orang untuk sungguh-sungguh
dalam mendalami sains. Bukankah itu bisa membawa kemajuan?

Baik, mari kita sepakati pernyataan itu. Betul, sains itu bisa membawa manfaat
dan kemajuan. Kita sepakat dengan hal itu. Tapi apakah Anda bermaksud untuk
mempersamakan sains dengan ateisme? Ingat ya, ilmuwan-ilmuwan yang
religius itu banyak. Bahkan mereka lebih banyak ketimbang ilmuwan yang Ateis.
Kalau sekiranya sains itu mendorong orang untuk menjadi Ateis, karena dirinya
sendiri, niscaya kita tidak akan pernah menemukan orang beriman yang
merangkap sebagai ilmuwan. Sains itu ilmu yang membahas tentang fenomena
alam. Sementara Ateisme adalah paham yang tidak percaya dengan keberadaan
Tuhan. Di mana letak persamaannya, bambang?   

Sains itu tidak mendorong orang untuk menjadi Ateis. Sains itu hanya bertugas
menjelaskan fenomena alam. Dia tidak punya urusan, dan tidak punya
wewenang, untuk menentukan ada atau tiadanya sesuatu yang berada di luar
alam. Mengatakan Tuhan ada, tidak. Mengatakan Tuhan tiada, juga tidak.
Begitulah sikap sains yang sesungguhnya. Kenapa bisa begitu? Karena Tuhan
bukan bagian dari alam. Sedangkan ruang lingkup kajian sains hanya sebatas
membahas tentang gejala-gejala alam. Karena itu, kalau ada orang yang memilih
untuk jadi Ateis, dengan alasan sains, maka sesungguhnya dia tidak paham
dengan tugas utama dari sains itu sendiri. Itu cuma akal-akalan dia aja untuk
menutupi kecacatan nalar berpikirnya.

Kita sepakat bahwa sains bisa membawa manfaat. Tapi bagaimana dengan
ateisme? Manfaat apa yang bisa dia berikan kepada peradaban umat manusia?
Mungkin akan ada yang menjawab, bahwa dengan ateisme kita bisa hidup lebih
bebas, dan tidak terkekang oleh banyak aturan. Lain cerita kalau kita beragama.
Agama memiliki banyak aturan. Dan kita menjadi tidak bebas dengan banyaknya
aturan-aturan itu.

Sebetulnya, jawaban semacam ini bukan terlahir dari nalar yang sehat,
melainkan terlahir dari dorongan hawa nafsu. Ya, yang mereka janjikan ialah
kebebasan, tapi isinya hanyalah kerusakan demi kerusakan. Barangkali,
kebebasan yang mereka maksud ialah kebebasan melakukan hubungan badan
di luar nikah, meminum minuman keras, mengonsumsi obat-obatan, terbebas
dari aturan beribadah, bicara semaunya, bertindak sebebas-bebasnya, tidak ada
istilah haram, dan pada akhirnya mereka ingin mengajak kita untuk hidup
layaknya binatang.

Tuntunan yang diberikan agama justru bertujuan untuk memuliakan dan


meninggikan derajat Anda. Agama memberikan aturan demi kemaslahatan
hidup umat manusia, bukan untuk mengekang kebebasan mereka. Kita merasa
terkekang, karena kita sendiri dikekang oleh hawa nafsu kita. Bukan karena
adanya aturan dalam agama. Betul, agama menetapkan sejumlah kewajiban,
dan memberlakukan sejumlah larangan. Tapi, kalaupun terasa berat, semua itu
tak akan sebanding dan kemaslahatan yang akan kita dapat. Juga tidak akan
sebanding dengan kebahagiaan yang Tuhan janjikan di alam akhirat.
Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai