Anda di halaman 1dari 19

Panduan Dasar Cara Mendapatkan Kebenaran yang Pasti

Alat untuk mencari kebenaran cuma ada 2. Pertama, akal. Kedua, perasaan. Apa ada yang lain?
Kalau ada, silahkan Anda hubungi saya, biar nanti kita tambahin. Hehehe!

Mencari kebenaran itu ibarat memetik buah di pohon. Kalau buah adalah kebenaran, sedang
pemetiknya adalah orang yang mencari kebenaran, maka, alat untuk memetiknya, adalah akal
dan perasaan.

Hm, coba Anda baca sekali lagi kalimat barusan. Sudah? Nah, berhati-hatilah. Jangan sampai
Anda khilaf. Ingat yaa, akal dan perasaan itu alat untuk mencari kebenaran. Bukan sumber
kebenaran.

Pertanyaannya.. bagaimana caranya menggunakan akal, dan bagaimana cara menggunakan


perasaan? Terus, apa tandanya seseorang yang lagi menggunakan akal, dan apa tandanya
seseorang yang lagi menggunakan perasaan? Nah, kalau gitu, sekarang, coba kita lihat contoh
sebuah kisah. Kemudian, silahkan Anda coba tebak seseorang di kisah berikut ini lagi
menggunakan akal atau perasaan.

Here we go!

01. Ciri-Ciri Penggunaan Perasaan


Hehehe! Dari kata-katanya saja, bisa ketahuan, dia itu mencari kebenaran dengan akal atau
perasaan. Tidak lain dan tidak bukan, orang tersebut ternyata tengah menggunakan
perasaannya. Dengan kata lain, ciri-ciri orang yang menggunakan perasaan itu, dasarnya:

Suka atau tidak suka


Enak atau nggak enak
Menyenangkan atau membosankan
Menarik atau nggak menarik
Bagus atau jelek
Udah biasa atau belum biasa
Yang bikin PW atau bikin cape deh
Dan sebagainya

Biasanya, sikap seperti ini disebut dengan istilah subjektif, dan emosional.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat kasus lainnya..~


Naah, ketahuan, si B itu menolak maupun menerima sesuatu atas dasar suka atau nggak suka.
Berarti, dia menggunakan perasaan. Karena memang orang yang menggunakan perasaan itu
tidak punya hujjah, tidak punya alasan, tidak punya argumen. Kalau ditanya-tanya terus, ujung-
ujungnya dia bakal menjawab, "Pokoknya..". Atau, "Yang penting..". Seperti halnya tadi:

"Ya pokoknya nggak mau!"


"Pokoknya nggak boleh gitu!"
"Yang penting harus nurut!"
"Pokoknya nggak boleh tahu!"
Dan sebagainya. Intinya, yah itu tadi, bersifat emosional, dan subjektif.
Pertanyaannya, emangnya kenapa kalau menggunakan perasaan? Nggak boleh gitu? Yah untuk
persoalan tertentu, nggak apa-apa sih. Seperti halnya kenapa milih pakai kemeja atau batik, milih
warna hijau atau biru, dan lain sebagainya.

Tapi, yang bahayanya, kalau menggunakan perasaan untuk menjawab persoalan aqidah. Lebih
tepatnya, ketika sedang memilih agama. Yang notabene relevan dengan tujuan hidup Anda.
Lantaran, yang namanya iman itu kan harus tazdiqul jazm (yakin 100% tanpa keraguan sedikit
pun). Pembenaran yang pasti gitu.

Karena, jawaban dari perasaan itu nggak pasti benar. Nah, sekiranya aqidah Anda dibangun dari
sesuatu yang nggak pasti bener, jadinya Anda pun nggak pasti juga mengamalkan apa-apa yang
diperintahkan Allah. Makanya muncul kata-kata:

"Yaa haram-haram dikit nggak apa-apalah..


"Yaa sekali-sekali nggak usah sholat nggak apa-apalah..
Yaa kalau alkoholnya banyak, haram. Kalau dikit, harum!
Yaa ini negara banyak agama, Khilafah nggak cocok mah!!"

Dia ngomong gitu, karena belum 100% yakin bahwa Allah itu ada, dan senantiasa melihat dirinya,
kemudian kelak ia akan dihisab.

Buktinya coba, berapa kali Anda denger ada berita artis yang pindah agama karena nikah, terus
besok-besok pas cerai, dia pindah agama lagi? Walah, bukan cuma sekali-dua kali. Sering bingits!
Pas lagi mood, habis-habisan. Kalau nggak mood, males. Nggak niat gitu.

Yah, begitulah, resiko dari penggunaan perasaan.

02. Ciri-Ciri Penggunaan Akal


Kalau orang sudah menggunakan akal, dia selalu memilki argumen. Dan argumennya pun itu bisa
dipertanggungjawabkan. Jadinya kalau digunakan untuk mencari aqidah, maka aqidahnya benar
100%, dan tidak akan bisa dinafikan.

Berbeda dengan suatu agama yang aqidahnya tidak berargumen, seperti yang ada di kisah
berikut ini
Hehehe! Nangis itu si A tuh..

Hehehe! Yang seperti inilah harus di-stop. Kan harus ada ujungnya. Setiap argumen, itu pasti ada
pemikiran yang paling dasar. Dengan kata lain, harus objektif. Karena memang sifat akal itu
konstan. Apa yang telah benar secara pasti, maka yah apa-apa itu tidak akan pernah berubah.

Seperti halnya tatkala kita ditanya, "1 + 1 = berapa?" Kita jawablah, "2." Sekiranya akal sudah
membenarkan jawaban "2" secara pasti, maka selamanya jawabannya yah itu. Tidak akan
berubah selamanya.

Meski apapun yang memaksa Anda untuk berkata yang salah, pasti Anda tetap akan bersikeras
menjawab sesuatu yang benar, kalau memang sesuatu itu telah terbukti benar secara pasti
dengan akal Anda.

Seperti halnya ketika ada yang memfitnah Anda, katanya Anda itu anak tiri. Nah, padahal, Anda
sudah membuktikannya, udah ikut test macem-macem, hasilnya yah Anda itu anak kandung.

Meski Anda diancam orang, "Ayo katakan bahwa Kamu ini anak tiri! Kalau nggak, aku tempeleng
Kamu!"

Pasti Anda tetep bakal berkata, "Aku ini anak kandung!"

Kemudian Anda pun ditempeleng, "PLAAKK!!".

Lalu dia ancam lagi, "Sakit kan? Makanya! Ayo katakan bahwa Kamu ini anak tiri!"

Pasti tetep aja Anda bakal kekeuh, "Tidak!! Aku ini anak kanduuung!!!"
Pun, sekiranya tiba-tiba Anda jadi menjawab yang salah, karena takut dengan ancamannya, itu
yang berubah adalah perasaan Anda, bukan akal Anda maupun kebenarannya.

Seperti halnya kalau dia udah ambil pisau, "Ayo katakan bahwa Kamu ini anak tiri! Kalau nggak,
aku bunuh Kamu!

Kemudian Anda berkata, "Iya iya iya iya, aku ini anak tiri! Anak tiri!"

Nah, agar bisa memilki aqidah yang benar, haruslah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar, dengan benar dan pasti. Maka dari itu, sepakatlah kita, bahwa sebaiknya kita mencari
kebenaran, dengan menggunakan akal.

Penggunaan Akal VS Penggunaan Perasaan


Paling, persoalan berikutnya, kita harus tahu dulu, apakah yang dimaksud dengan "benar" itu?
Supaya kita bisa mendapatkan kebenaran.

03. Apa itu Kebenaran?

Benar itu adalah, ketika pernyataan sama dengan kenyataan. Ketika ada yang bilang, donat itu
bulat, kemudian pas dicek ternyata benar donatnya bulat, maka itu artinya benar. Tapi kalau ada
yang bilang donat itu kotak, tapi kenyataannya donat itu bulat, maka itu artinya salah.

Wah, istilah dari siapa itu? Yah silahkan Anda eksperimenkan saja. Kalau benar, berarti benar.
Hehehe! Dan memang, begitu pulalah yang telah dipaparkan oleh para ahli. Silahkan Anda search
di Google, bisa buka Wikipedia, KBBI, Ensiklopedi, dan lain-lainnya.

Jadi, itu tadi. Contoh lainnya:

Ketika ada orang yang katanya lagi buka www.DaniSiregar.com, benar atau salah tuh dia?
Benar, kalau memang dia lagi buka www.DaniSiregar.com. Salah, kalau ternyata dia lagi
buka www.Facebook.com.
Ketika ada orang yang bilang, Bumi itu bulat, benar atau salah tuh dia? Benar, kalau
memang bulat. Salah, kalau memang nggak bulat.
Ketika ada yang bilang, Surga itu ada, benar atau salah tuh dia? Yah benar, kalau memang
Surga itu ada. Salah, kalau Surga itu ternyata nggak ada.
Ketika ada yang bilang, Tuhan itu ada. Benar atau salah tuh dia? Yah benar, kalau memang
Tuhan itu ada.

Begitulah, defenisi dari benar.

04. Cara Menggunakan Akal Agar Berfikir

Nah, kita telah membuktikan, bahwa ternyata sebaiknya kita menggunakan akal untuk mencari
kebenaran. Pun, kita telah mengetahui apa itu kebenaran. Maka, selanjutnya kita harus
mengetahui, bagaimana cara kerja akal untuk berfikir, supaya bisa mendapatkan kebenaran?

Hmm, tahu nggak Anda? Cara berikut ini, sungguh luar biasa sebetulnya. Pasti Anda akan
tercengang. Soalnya, bahkan para filsuf yang hobi mikir filsafat-filsafat gaje yang suka bikin orang
pusing itu aja, kalah. Sekiranya Anda paham ini, berarti Anda sudah berada di atas, bahkan
melampaui para ahli filsafat yang gaje-gaje itu. Hehehe!
Karena, teori berfikir yang akan saya paparkan ini (teori at-tafkir) memilki 4 syarat. Sedangkan
teori berfikir yang diajarin filsafat itu cuman 3. Apa saja 4 itu? Nah, berikut ini 4 syarat untuk
berfikir:

1. Harus ada fakta yang diindera (musyahad)


2. Harus ada indera (mahsus)
3. Harus ada otak (dimaagh)
4. Harus ada informasi terdahulu (Malumat Assabiqoh)

Tentunya, kalau indera dan otak seseorang itu tidak sedang sakit keras, hingga indera dan
otaknya tidak bisa bekerja optimal. Harus sehat.

Kalau yang diajarin filsafat, cuman sampai di nomor 3 saja. Nomor 4 nggak disebutnya. Padahal,
kalau Anda nggak punya 1 saja dari 4 komponen tersebut, maka Anda nggak bisa berfikir deh.
Maka dari itu, mari kita bahas satu per satu.

#1. Harus Ada Fakta yang Diindera (Musyahad)

Kenapa harus ada fakta (musyahad) yang diindera? Yah karena itu tadi, kalau nggak ada fakta
yang diindera, yah nggak bisa mikir. Mau otak kita diperas sebegimanapun, tetep aja nggak bisa
mikir. Kalau dipaksain, bisa stres lama-lama. Hehehe!

Buktinya? Coba, ayo kita diskusi tentang: >>> Tebon! Gimana? Tahu Anda apa itu tebon? Apa
tebon itu? Mana tahu. Wong faktanya nggak terindera.

Lagi. Coba, Anda berfikir tentang, gimana tampilan kamar saya! Gimana? Tahu Anda gimana?
Mana tahu. Wong faktanya nggak terindera. Kalau dipaksain terus, jadinya ngayal Anda (bukan
kebenaran). Mungkin Anda bakal berkata:

"Oooh.. itu.. kamar si Dani..


ada sempak warna pink di bawah tempat tidurnya...
teruuuss.. di kamarnya ada poster Kamen Rider Gaim..
sama ada coret-coretan love-love gitu.. terus..." tuh kan, ngayal..

Lagi. Coba, Anda berfikir tentang, gimana Arsy-Nya Allah! Gimana? Kan katanya Allah Itu duduk
di atas Arsy-Nya (QS. Thaha (20): 5). Tahu Anda gimana? Mana tahu. Wong faktanya nggak
terindera. Inilah kegejean filsafat. Nggak terindera, dipaksain mikir. Streslah jadinya. Makanya
beberapa mahasiswa di UIN, IAIN, dsb, yang belajar filsafat dengan Dosen liberal, itu banyak yang
pusing dan stres. Karena mereka dipaksa mikirin sesuatu yang nggak terindera faktanya.
Nefertimon
Kalau Anda suka nonton Digimon, mungkin ketika Anda ditanya, buraq itu gimana? Anda bakal
terbayang dengan Nefertimon. Hehehe! Karena ketika Anda dikasih clue, buroq itu kan
kendaraan.. (saat itu kendaraan hanya kuda atau unta), bisa terbang, cepat, berwajah menarik.
Maka Anda bakal mengaitkannya dengan apa-apa yang pernah Anda indera. Salah satunya yang
pernah Anda indera, yah Nefertimon. Hehehe!

Namun kalau Anda disodorkan kemudian diajak membahas soal donat, facebook, buku, rumah,
duit, berkelahi, sholat, menulis, jualan, tidur, barulah Anda bisa mikir kan? Karena, ada faktanya
yang bisa terindera (musyahad).

#2. Harus Ada Indera (Mahsus)

Indera itu kan ada 5. Mata, hidung, mulut, telinga, dan kulit. Sekiranya hilang sebagian, maka dia
tidak bisa memikirkan sebagian fakta.

Indera, Syarat Mutlak Proses Berfikir


Misal, ada seorang cowok, yang dia ini wajahnya kurang ganteng. Ketika dia ngajak cewek-cewek
untuk nikah, nggak ada yang mau. Lari cewek-ceweknya. Nah, suatu ketika, ada seorang cewek
yang suka sama cowok ini. Sampe ngejar-ngejar malah. Akhirnya, jadii deh. Hm, kok bisa?
Ternyata, cewek itu buta dari lahir. Dia seneng aja gitu pas digombal. Hehehe!

Jadinya nanti pas bermesraan, agak pusing juga nanti cowoknya. Soalnya nanti pas ceweknya
diajak ngobrol tentang lautan yang biru, senja yang indah, kereta api yang kencang, bukannya
malah bermesraan, yang ada nanti ceweknya nanya-nanya terus, "Lautan itu gimana sih Yank?
Biru itu apa sih Yank? Senja itu gimana sih Yank? Indah itu apa sih Yank? Kereta api itu gimana sih
Yank? Kencang itu apa Yank?"
Begitulah, tanpa indera yang lengkap, jadinya tidak bisa mengerti dan memahami sebagian fakta.
Apalagi yang bikin fatal nggak bisa mikir itu kalau indera mata dan telinganya tidak berfungsi
optimal, ataupun tidak berfungsi sama sekali.

Lain halnya Anda yang dulu ketika dekat api, Anda disodorkan informasi, "Panas.." Sedangkan
ketika di Gunung, Anda disodorkan informasi, "Dingin.." Besok-besok ketika Anda disodorkan
pertanyaan, "Yank, menurut Kamu disini itu panas atau dingin Yank?" Anda bisa mikir, panas itu
yang gimana, dingin itu yang gimana, karena Anda punya 5 indera, lengkap.

#3. Harus Ada Otak (Dimaagh)

Nah, ketika fakta bisa diindera, barulah informasi masuk ke dalam otak. Misalnya, ketika ada
seorang anak kecil yang disodorkan jeruk, lalu kita katakan, "Ini namamnya jeruk." Maka si anak
bakal mengatakan, "Ooh.. jeruk.. pertanda ciri-ciri fakta yang diinderanya tengah dilabeli
"jeruk", dan masuk ke otak.

Begitulah, otak manusia yang sehat memilki kemampuan untuk mengaitkan fakta yang diindera,
dengan informasi.

#4. Harus Ada Informasi Terdahulu (Malumat Assabiqoh)

Informasi terdahulu, inilah yang cukup penting. Yang mana hal ini kerap dilupakan oleh teori
berfikir lainnya.

Memangnya, kenapa penting? Coba, kalau saya katakan ke Anda:

""

Kira-kira, apa tanggapan Anda? Mungkin Anda cuma bakal diem-diem aja, kalau Anda belum
belajar bahasa Jepang. Atau, kalau saya katakan ke Anda:

Kira-kira, apa tanggapan Anda? Mungkin Anda bakal bilang, "Aamiinn.." padahal itu bukan doa,
bisa jadi itu saya ngejek Anda. Hehehe! Yah, Anda nggak paham, kalau Anda belum belajar bahasa
Arab.

Itu sebabnya mungkin Anda bakal pusing ketika membaca maupun mendengar kata "manifesto",
"paradoks", "implementasi", "follow up", "link building", "CTR", "Ueforia", dan kata-kata asing
lainnya, kalau kata-kata itu belum pernah masuk ke otak Anda. Meskipun syarat pertama sampai
ketiga tadi sudah terpenuhi.

Makanya sebenarnya ada film Tarzan itu agak aneh tuh. Kan dari kecil si Tarzannya nggak pernah
dapat informasi (ma'lumat) apapun, terus dia diasuh dan dibesarkan oleh simpanse. Maka,
harusnya pas dia udah gede, dia tak akan paham kalau diajak ngobrol sama manusia gede lainnya.
Karena simpansenya nggak pernah ngajarin bahasa manusia, dan memang nggak paham bahasa
manusia.

Dengan begini, terbantahlah teorinya si Darwin, Karl Marx, dan filsuf-filsuf lainnya. Masak dalam
teori evolusi itu, manusia bisa berfikir tiba-tiba aja gitu sendiri. Mana mungkin?

Katanya, manusia dulu itu awalnya adalah makhluk dengan 1 sel. Kemudian, berevolusi terus.
Lama-lama menjadi primata. Terus, primata itu berevolusi lagi. Tapi, perubahannya macem-
macem. Ada yang jadi kera, ada yang jadi monyet, ada yang jadi simpanse, dan ada yang jadi agak
gokil dikit, bisa jalan tegak, yaitu Pithecanthropus Erectus.

Teori Evolusi: Dongeng Mainstream di Sekolah


Katanya, memang awalnya Pithecanthropus Erectus itu nggak bisa berfikir. Tapi, nanti dia lama-
lama berevolusi lagi jadi Homo Sapiens, barulah dia bisa berfikir. Kalau mau yang lebih hebat lagi,
dia bisa menjadi homo sapiens sapiens. Begitulah dongeng yang dilantunkan si Darwin ke kita.

Terus, si Karl Marx menjelaskannya lebih detail lagi. Katanya, mereka bisa berfikir, asalkan ada 3
syaratnya. Yakni, otak, indera, dan fakta. Kalau dia udah ngelihat benda, lalu direfleksikanlah ke
indera. Terus, direfleksikan lagi ke otak, maka otak akan bekerja sendiri, untuk memberikan nama
baru dari suatu benda.

Nggak tahu saya, kok tiba-tiba aja gitu homo sapiens sapiensnya bisa nyeplos, "Ini namanya batu..
Yang ini namanya apel.. yang ini namanya sapi.." Ntah kenapa, lama-lama, nama-nama benda
semakin bertambah. Ada benda bernama laptop, flash disk, mobil, dan lain-lain.
Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kok bisa inisiatif begitu memberikan nama-nama suatu
benda? Darimana dia tahunya? Padahal, dia tidak pernah mendapatkan ma'lumat apa-apa sama
sekali.

Kalau gitu, yang benar gimana dong? Yang benar, yah yang dikabarkan Al-Qur'an:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!"

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana."

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

[TQS. al-Baqarah (2): 31-33]


Yaps, sebelum Nabi Adam diturunkan ke dunia, beliau sudah memiliki ma'lumat yang lengkaps!!
Makanya ketika sampai di dunia, nggak kebingungan. Sudah bisa ngapa-ngapain. Kalau monyet
kan, pas diletakkan di suatu tempat, bingung dia, nggak bisa ngapa-ngapain.

Kalau kata Ustadz Dwi Condro, ketika beliau Sekolah dulu, awalnya heran pas mata pelajaran
Kimia tentang Penggaraman. Dalam hatinya, Kok ini Kimia malah jadi belajar masak-masak
yaa.. Hehehe! Karena malumat assabiqoh garam itu yah garam di Dapur.

Kemudian, heran juga pas mata pelajaran Fisika tentang Gaya. Dalam hatinya, Kok ini Fisika
malah jadi belajar fashion yaa.. Hehehe! Karena malumat assabiqoh gaya itu yah bergaya-gaya,
berlenggak-lenggok, tepe-tepe.

Begitulah, penjelasan ringkas tentang 4 syarat berfikir.


Belum Selesai...

Kita rangkum dulu yaa apa yang barusan kita bahas.

1. Alat untuk mencari kebenaran itu cuman ada 2. Yaitu, akal dan perasaan. Sebaiknya, kita
gunakan akal. Karena perasaan tak bisa mengantarkan kita kepada kepastian. Sedangkan
akal, bisa.
2. Supaya bisa mendapatkan kebenaran, kita harus tahu dulu, apa sih "benar" itu? Dan
alhamdulillah, kita sudah tahu. Benar itu adalah tatkala pernyataan sama dengan
kenyataan.
3. Supaya bisa menggunakan akal dengan tepat untuk mendapatkan kebenaran, kita harus
tahu dulu, bagaimana cara kerja akal berfikir. Nah, alhamdulillah, kita sudah tahu.
Ternyata, ada 4 syarat agar akal bisa berfikir. Yaitu: fakta, indera, otak, dan malumat
assabiqoh.

Dari 3 pembahasan itu saja, berarti kita sudah bisa mendapatkan kebenaran langsung, yang
notabene pasti, tak akan diragukan.

Namun, kebenaran ini saja tidak cukup. Kita perlu juga cara bagaimana mengetahui kebenaran
dari apa-apa yang ghaib (tidak terindera). Seperti misalnya mengetahui apa yang ada di balik
dinding, apa yang ada di luar Rumah, apa maksud dan rencana Amerika atas kelakuannya waktu
itu, gimana rupa kamar si Dani tadi, dan, termasuk, gimana agar bisa membuktikan keberadaan
Tuhan, agar bisa diimani.

Bersambung....

Anda mungkin juga menyukai