Anda di halaman 1dari 91

Anpavdo anpaghto tidak menghina, tidak menyakiti mempunyai

samvara, mengendalikan diri, berhati -hati dalam makanan, waspada dalam


pergaulan dan memilih tempat tinggal, itulah Dhamma yang akan memberikan
ketentraman dan kebahagiaan sekarang; Saudara tidak perlu menunggu hasilnya
berpuluh-puluh, beratus-ratus kehidupan kemudian.Ayurarogya sampatti
manfaat hidup sehat baik mental maupun fisik adalah manfaat Dhamma sekarang.
Dittha dhammika payojana Dhamma usia yang sehat, kesehatan yang prima.
Sehat mental dan fisik. Ayurarogya sampatti itulah dittha dhammika payojana
dhamma. Oleh karena itu, buanglah persepsi, buanglah pandangan kalau
Saudara masih mempunyai pandangan bahwa praktik Dhamma atau menjalani
Dhamma itu sulit; karena pada saat Saudara menjalani Dhamma, pada saat itu
Saudara telah memperoleh manfaat. Dengan pengendalian diri, dengan sila,
Saudara akan memuliakan kehidupan Saudara sekarang, dan Saudara akan
memberi kemuliaan pada semua makhluk dan orang banyak sekarang.
Adhicitt e ca yogo adalah meluhurkan pikiran. Adhicitte pikiran yang luhur, ca
yogo melakukan usaha keras untuk meluhurkan pikiran
(sacittapariyodapanam) sampai pikiran kita menjadi bebas dari kotoran batin.
Seandainya Saudara masih belum mampu membebaskan pikiran Saudara dari
kilesa, dari kotoran batin; namun Saudara sudah berusaha dengan
kesungguhan dan terus berusahauntuk membersihkan pikiran, maka setelah
kematian Saudara akan dilahirkan di alam-alam yang lebih baik, alam yang
kondusif untuk praktik Dhamma yang lebih mendalam dan lebih luas.

Meluhurkan pikiran adalah puncak dari kebajikan. Banyak cara untuk berbuat
bajik, tetapi meluhurkan atau membersihkan pikiran adalah puncak dari
kebajikan. Hari ini kita akan memulai satu proyek yang intinya akan menjadi
sarana untuk membantu bagaimana meluhurkan pikiran dengan bermeditasi dan
saya melihat banyak sekali yang berpatisipasi dengan memberikan bantuan. Ada
yang berdana uang, ada yang berdana tanah, ada yang berdana bahan bangunan,
ada yang berdana tenaga. Saya ingin mengajak Saudarabukan meminta
mengajak Saudara untuk menanam kebajikan. Bukan persoalan seberapa besar,
yang ratusan juta dengan yang sekedar seribu dua ribu rupiah tidak berbeda
kalau Saudara berdana dengan tujuan untuk membersihkan pikiran.

Sering sekali kita manusia menganggap jika hidup ini akan tetap dan nyata,
derita akan segera muncul. Namun tatkala kita menyadari kebenaran badan dan
batin ini, derita tidak muncul. Tanpa kelekatan, tidak mungkin derita akan terjadi.
Dalam semua keadaan, akan muncul kebijaksanaan. Bahkan saat melihat
sebatang pohon, kebijaksanaan muncul melalui renungan ini. Saat melihat
tumbuhan diladang, saat melihat serangga, muncul kebijaksanaan. Semuanya
berakhir di titik yang sama menjadi Dhamma titik ketidakpastian. Inilah
kebenaran. Semuanya ini adalah sebuah hal yang tidak tetap. Dalam cara seperti
apa semuanya itu tetap? Satu-satunya yang tetap atau pasti adalah bahwa setelah
muncul, semuanya itu hnaya bersifat sementara dan tidak dapat diandalkan dan
diharapkan. Mereka tidak bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak akan
mengalami perubahan tetapi lantas lenyap. Itu saja. Jika kalian benar-benar
menyadari hal ini, kalian telah menempuh perjalan kalian hingga akhir.
Menurut Ajaran Sang Buddha, jika kalian berpikir, Aku lebih baik dibandingkan
orang lain, ini salah. Pemikiran bahwa, Aku lebih buruk dibandingkan dengan
orang lain, tetap tidak benar. Pemikiran bahwa, Aku setara dibandingkan
dengan orang lain, ini juga tidak tepat, karena sesungguhnya tidada sesuatu
pun yang berupa aku. Dengan mencabut keangkuhan yang berkata AKU,
kalian akan menjadi pengetahu dunia, yang tahu dengan jelas sesuai kebenaran
yang ada. Jika penglihatan kalian benar seperti ini, batin menjadi benar, dengan
pengetahuan sempurna akan hidup sebagaimana adanya. Penyebabnya telah
terpotong. Tanpa penyebab, tiada yang terlahir kembali.

Jadi praktik mesti berlangsung seperti itu. Landasan yang perlu dikembangkan
pada awalnya adalah; pertama-tama jadilah seorang yang jujur, yang lurus
hatinya; kedua, milikilah rasa takut untuk berbuat jahat dan memiliki rasa malu
terhadap perbuatan yang buruk; dan ketiga, rendahkan hati, berkeinginan yang
sedikit dan mudah puas. Mereka yang sedikit keinginannya, yang terkendali
dalam perkataan dan perbuatan, akan mengetahui diri sendiri dan bebas dari
gangguan.

Unsur-unsur ini adalah landasannya, dan tatkala unsur-unsur ini lengkap, hanya
akan ada kebajikan, keteguhan meditatif, dan kebijaksanaan dalam batin.
Mereka akan mengisi batin, dan tiada hal lainnya di sana. Batin seperti itu akan
hidup sepenuhnya dalam kemoralan, keheningan, dan kebijaksanaan.

Jadi para praktisi tidak boleh lengah. Kata-kata ini tidak sering didengar, namun
nasihat ini berlaku bagi segala sesuatunya. Sekalipun saat sesuatu itu baik, saat
kalian merasa benar, janganlah lengah. Jangan lengah terhadap yang salah, yang
baik, atau terhadap yang bahagia atau derita. Buddha mengajarkan kita agar
jangan lengah terhadap apa pun, mengapa? Karena semuanya ini adalah tidak
pasti.

Pelakukan batin kalian seperti ini juga. Jika batin menjadi tenang, janganlah terus
mengenggam keadaan itu. BIarkan saja, jangan lengah. Senang karena tenag
adalah suatu reaksi yang alami, namun sadari saja apa yang tengah terjadi. Baik
atau buruk keadaannya, sadari semuanya itu, jangan menggengam apa pun.
Guru bisa menjelaskan cara-cara melatih batin, tetapi kalianlah yang harus dapat
menjalaninya bagi diri sendiri. Kalian bisa mengetahui segala sesuatu dalam
batin kalian sendiri. Siapa lagi yang bisa melatih dan mengetahuinya untuk kalian?
Jika kalian berpegang pada hal yang benar seperti ini, kalian bisa menjadi santai
di mana pun atau apa pun yang tengah kalian lakukan. Tetapi ini artinya berlatih
sunguh-sungguh. Upaya yang tidak sungguh-sungguh atau tidak benar-benar
tulus tidak akan membantu. Latihan yang sungguh-sungguh bukanlah sesuatu
yang melelahkan karena dilakukan secara batin. Jika kalian sadar penuh akan
diri kalian sendiri, kalian akan tahu apa yang sedang terjadi. Kalian tahu apa
yang benar dan apa yang salah, dan kalian tahu caranya berlatih yang benar.
Benar-benar tidak banyak yang kalian perlukan dalam latihan ini.

Menjadi Manusia Wajar


Oleh: Bhante Sri Pannavaro Mahathera.
Bagi seekor ayam, sebutir jagung akan mempunyai nilai yang lebih tinggi
daripada sebutir permata, karena ayam sama sekali tidak akan mengerti harga
sebutir permata. Ayam tidak pernah berkelahi saling berebut permata, tetapi
sering mereka berkelahi berebut jagung.

Demikian pula kita. Sering kali kita tidak menghargai nilai-nilai luhur dalam
kemanusiaan dan kehidupan ini. Bahkan nilai-nilai luhur itu seolah-olah tidak ada
harganya, persis seperti ayam melihat bahwa permata hanyalah sebagai batu
yang tidak enak dimakan. Sebaliknya, kita memberikan harga yang tinggi pada
segala macam yang tampak. Tidak jarang manusia bertengkar, saling memaki,
berkelahi, saling membunuh untuk memperebutkan kedudukan dan materi.
Kalau kita dengan jujur, dengan terus terang membandingkan dengan ayam,
dalam hal ini terlihat bahwa manusia-manusia menjadi lebih rendah dari ayam. Di
dunia ini tidak pernah terjadi ayam bertarung sampai mati karena berebut
makanan. Pada umumnya, kalau yang merasa kalah, dia lari saja.Inilah anehnya,
inilah ironisnya. Manusia rela mati untuk makanan, berani membunuh untuk
kedudukan pribadi, mau menderita untuk satu gengsi. Bukankah hidup kita dan
hidup orang lain, bahkan hidup mahluk lain itu, sangat berharga? Kehidupan
adalah sesuatu yang lebih berharga dari pada segala-galanya.
Sekarang apakah yang menjadi tuntutan dan tantangan kita? Tantangan kita
adalah; di tengah-tengah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga
sudah menjadi kebutuhan Yang tidak bisa di elakkan, kita harus menjadi manusia
yang wajar. Kalau kita hanya puas dengan cukup makan,, cukup pakaian, ada
tempat tinggal, sedikit obat-obatan dan sedikit uang, tanpa perlu mencapai nilai-
nilai kehidupan yang luhur, memang ini kelihatannya hidup sederhana. Tetapi,
nilainya hanya setara dengan binatang. Belum menjadi manusia yang wajar.
Apalagi kalau makanan, pakaian, tempat tinggal, uang, kekayaan, dan
kedudukan yang dicari berlebih-lebihan. Kalau uang, tempat tinggal, dan
kedudukan tidak dimengerti sebagai sarana hidup, tidak dianggap sebagai
sarana untuk mengabdi menjadi manusia yang baik, melainkan dijadikan tujuan
hidup untuk dapat memiliki sebanyak-banyaknya, maka segala bentuk kejahatan
dapat dilakukan dalam upaya mendapatkan semua itu. Nilai kehidupan seperti ini
tidak lagi setara dengan binatang, tetapi bahkan lebih rendah daripada bintang.

Bagaimana manusia wajar itu? Apakah nilai-nilai luhur itu? Sementara orang
berpendapat, bukankah kita semua ini manusia wajar? Kita berdiri di atas dua
kaki, tidak merangkak seperti hewan, tidak bermoncong atau berparuh, tidak
berbulu lebat. Kita bisa berkomunikasi dan berpakaian. Bukankah kita semua ini
sudah menjadi manusia yang wajar?

Kata manusia berasal dari kata mana dan ussa. Mana artinya batin atau pikiran.
Ussa artinya luhur atau tinggi. Jadi kata manusia mempunyai arti: mahluk yang
mempunyai batin tinggi atau mahluk yang bisa mengembangkan batinnya,
pikirannya, mencapai keluhuran. Dengan demikian, menurut arti katanya, maka
manusia yang berusaha membawa dirinya mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi,
itulah manusia yang wajar. Tinjauan ini menyadarkan kita bahwa tanpa adanya
usaha membawa diri mencari nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, martabat
manusia menjadi melenceng dari sebutan manusia yang disandangnya itu.
Keistimewaan Ajaran Buddha - Oleh : Willy Yandi Wijaya

Buddha.id - Namo Buddhaya, sebelum kita semua membaca


artikel Keistimewaan Ajaran Buddha, ada baiknya kita melihat postingan
terdahulu yaitu Awal Sejarah Masuknya Agama Buddha di Indonesia ini.

Di dunia ini terdapat banyak sekali agama maupun kepercayaan yang terkadang
membuat kita menjadi bingung entah mana yang benar atau salah. Pada
umumnya manusia memeluk suatu agama hanya karena warisan dari orang tua.
Namun, sejak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak manusia
yang berpikiran semakin terbuka dan mulai mempertanyakan keyakinan atau
agama yang selama ini diyakininya. Di sini penulis akan memaparkan
keiistimewaan ajaran Buddha.

Kebebasan berpikir dan Penyelidikan

Kebebasan berpikir yang membuat agama Buddha paling menarik bagi banyak
orang. Di dalam Kalama Sutta (Anguttara Nikaya III, 65) diceritakan bahwa Suku
Kalama bingung oleh banyaknya ajaran, agama, maupun kepercayaan yang
menyebar dan saling mengatakan bahwa agama, kepercayaan maupun ajaran
mereka masing-masing yang terbaik dan paling benar. Di sini lah Buddha
Gautama memberikan 10 panduan yang berlaku sepanjang masa, yaitu

Ma anussavena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu karena turun-


temurun telah diberikan secara lisan, misalnya kepercayaan terhadap burung
gagak dan angka 13 yang membawa sial. Yang penting adalah cara pandang
dalam melihat suatu tradisi lisan yang turun-temurun diberikan karena beberapa
tradisi lisan memang mengajarkan hal-hal yang positif.

Ma paramparaya: Seseorang tidak seharusnya menerima mentah-mentah


sesuatu karena suatu tradisi dilakukan secara turun-temurun, contohnya tradisi
pengorbanan hewan untuk menghindari kemalangan. Perlu kita ketahui bahwa
suatu budaya tidak ditolak dalam agama Buddha. Yang penting adalah
bagaimana cara pandang terhadap budaya tersebut yang tentunya sejalan
dengan etika buddhis.

Ma itikiriya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu secara membuta


karena tersebar umum, dipercayai banyak orang, disetujui banyak orang,
misalnya berita melalui sms yang membuat kepanikan, maupun berita dari
internet tentang suatu hal.

Ma pitakadampadanena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu


sebagai kebenaran hanya karena telah tercantum dalam kitab suci. Kepercayaan
yang membuta terhadap kitab suci bisa membuat fanatik dan penghancuran
terhadap kepercayaan orang lain.

Ma takkahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai


kebenaran hanya karena sejalan dengan logika. Keyakinan ini bisa menjadi salah
jika bersumber dari sumber yang salah maupun data-data yang tidak benar.
Banyak dari kita menerima surat elektronik (e-mail) berisi informasi yang
simpang siur walaupun terkadang dibuat seolah-olah logis dan masuk akal.

Ma nayahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran


hanya karena hipotesis, perkiraan maupun analisis dalam pemikiran dan terburu-
buru mengambil kesimpulan.
Ma akaraparivitakkena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai
kebenaran hanya karena masuk akal seperti yang terlihat atau yang dirasa.

Contohnya seperti ketika orang pada abad pertengahan melihat seolah-olah


bahwa matahari mengelilingi bumi seperti yang terlihat nyata oleh mata mereka
dan dirasa kalau bumi tidak bergerak, padahal kenyataannya sebaliknya.
Ma ditthinijhanakkhantiya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu
sebagai kebenaran hanya karena sesuai dengan anggapan sebelumnya.

Ma bhabbarupataya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai


kebenaran hanya karena kredibilitas, ketenaran, kharisma, kedudukan maupun
pendidikan dari si pembicara. Sering kali kita memercayai perkataan seseorang
yang berpendidikan tinggi, dihormati atau disegani, padahal belum tentu hal
tersebut benar.

Ma samano no garuti: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai


kebenaran hanya karena si pembicara adalah gurunya. Buddha mengatakan hal
ini termasuk untuk pengikutnya karena Beliau tidak ingin seseorang mudah
dikontrol oleh orang lain.

Kesepuluh cara ini membuat kita berpikir ulang sebelum memercayai suatu hal.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Buddha bukan mengajarkan untuk
menolak mentah-mentah suatu hal. Bukan pula langsung menerima atau meyakini
suatu hal dengan membabi buta. Justru yang Sang Buddha harapkan adalah
penyelidikan yang mendalam, khususnya penyelidikan terhadap kebenaran
(dhammawicaya).

Keistimewaan Ajaran Buddha


Oleh : Willy Yandi Wijaya

Di dunia ini terdapat banyak sekali agama maupun kepercayaan yang terkadang
membuat kita menjadi bingung entah mana yang benar atau salah. Pada
umumnya manusia memeluk suatu agama hanya karena warisan dari orang tua.
Namun, sejak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak manusia
yang berpikiran semakin terbuka dan mulai mempertanyakan keyakinan atau
agama yang selama ini diyakininya. Di sini penulis akan memaparkan
keiistimewaan ajaran Buddha.

Kebebasan berpikir dan Penyelidikan


Kebebasan berpikir yang membuat agama Buddha paling menarik bagi banyak
orang. Di dalam Kalama Sutta (Anguttara Nikaya III, 65) diceritakan bahwa Suku
Kalama bingung oleh banyaknya ajaran, agama, maupun kepercayaan yang
menyebar dan saling mengatakan bahwa agama, kepercayaan maupun ajaran
mereka masing-masing yang terbaik dan paling benar. Di sini lah Buddha
Gautama memberikan 10 panduan yang berlaku sepanjang masa, yaitu

1. Ma anussavena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu karena turun-


temurun telah diberikan secara lisan, misalnya kepercayaan terhadap burung
gagak dan angka 13 yang membawa sial. Yang penting adalah cara pandang
dalam melihat suatu tradisi lisan yang turun-temurun diberikan karena beberapa
tradisi lisan memang mengajarkan hal-hal yang positif.
2. Ma paramparaya: Seseorang tidak seharusnya menerima mentah-mentah
sesuatu karena suatu tradisi dilakukan secara turun-temurun, contohnya tradisi
pengorbanan hewan untuk menghindari kemalangan. Perlu kita ketahui bahwa
suatu budaya tidak ditolak dalam agama Buddha. Yang penting adalah
bagaimana cara pandang terhadap budaya tersebut yang tentunya sejalan
dengan etika buddhis.
3. Ma itikiriya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu secara membuta
karena tersebar umum, dipercayai banyak orang, disetujui banyak orang,
misalnya berita melalui sms yang membuat kepanikan, maupun berita dari
internet tentang suatu hal.
4. Ma pitakadampadanena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu
sebagai kebenaran hanya karena telah tercantum dalam kitab suci. Kepercayaan
yang membuta terhadap kitab suci bisa membuat fanatik dan penghancuran
terhadap kepercayaan orang lain.
5. Ma takkahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai
kebenaran hanya karena sejalan dengan logika. Keyakinan ini bisa menjadi salah
jika bersumber dari sumber yang salah maupun data-data yang tidak benar.
Banyak dari kita menerima surat elektronik (e-mail) berisi informasi yang
simpang siur walaupun terkadang dibuat seolah-olah logis dan masuk akal.
6. Ma nayahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran
hanya karena hipotesis, perkiraan maupun analisis dalam pemikiran dan terburu-
buru mengambil kesimpulan.
7. Ma akaraparivitakkena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai
kebenaran hanya karena masuk akal seperti yang terlihat atau yang dirasa.
Contohnya seperti ketika orang pada abad pertengahan melihat seolah-olah
bahwa matahari mengelilingi bumi seperti yang terlihat nyata oleh mata mereka
dan dirasa kalau bumi tidak bergerak, padahal kenyataannya sebaliknya.
8. Ma ditthinijhanakkhantiya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu
sebagai kebenaran hanya karena sesuai dengan anggapan sebelumnya.
9. Ma bhabbarupataya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai
kebenaran hanya karena kredibilitas, ketenaran, kharisma, kedudukan maupun
pendidikan dari si pembicara. Sering kali kita memercayai perkataan seseorang
yang berpendidikan tinggi, dihormati atau disegani, padahal belum tentu hal
tersebut benar.
10. Ma samano no garuti: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai
kebenaran hanya karena si pembicara adalah gurunya. Buddha mengatakan hal
ini termasuk untuk pengikutnya karena Beliau tidak ingin seseorang mudah
dikontrol oleh orang lain.
Kesepuluh cara ini membuat kita berpikir ulang sebelum memercayai suatu hal.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Buddha bukan mengajarkan untuk
menolak mentah-mentah suatu hal. Bukan pula langsung menerima atau meyakini
suatu hal dengan membabi buta. Justru yang Sang Buddha harapkan adalah
penyelidikan yang mendalam, khususnya penyelidikan terhadap kebenaran
(dhammawicaya).
Banyak yang salah mengerti ajaran Buddha dan menganggap bahwa jangan
memercayai siapapun dan kebenaran hanya ada di diri sendiri. Hal ini dapat
menjadi kesombongan karena mengira kalama sutta mengajarkan demikian.
Yang benar adalah bahwa pelajari dan selidiki dahulu kebijaksanaan atau ajaran
disekeliling kita yang dianggap lebih baik dan menuntun kebahagiaan. Jika
ternyata membuat penderitaan, maka hindari ajaran tersebut. Sebaliknya apabila
membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, maka ambil ajaran tersebut.
panduan Keyakinan dan berpikir Buddhis
Pengalaman dan pembuktian sendiri
Keisitimewaan ajaran Buddha dari yang lain juga terletak pada pembuktian
langsung dan berdasar pengalaman pribadi. Sang Buddha memberi kesempatan
berpikir bagi setiap orang dengan sebebas-bebasnya. Apakah ada pendiri
agama di dunia yang seperti Buddha Gautama? Bahkan Sang Buddha
mengajarkan jangan percaya kepada Beliau sebelum ajarannya dipraktikkan dan
dibuktikan sendiri. Ajaran sebaik apapun tidak akan bermanfaat jika tanpa
dialami langsung oleh diri sendiri. Buddha selalu mendorong murid-muridnya
untuk mencoba sendiri apa yang Beliau katakan.

Faktor utama yang paling penting dalam membuktikan suatu ajaran adalah
dengan penyelidikan atau investigasi berdasarkan pandangan benar
(sammaditthi). Menurut Buddha, investigasi kebenaran (dhammawicaya) atau
membuka pandangan merupakan dasar bagi pencerahan dan kebahagiaan sejati.
Tanpa ada keinginan untuk membuka diri dan berusaha untuk membebaskan
pandangan dari ketidaktahuan, seseorang pasti diliputi ketidakbahagiaan.
Haromis dengan Iptek
Ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama Buddha justru
sebaliknya mendapatkan tempat untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama
menolak teori evolusi, perkembangan bioteknologi, maupun teori tanpa batas
tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta
oleh Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-
hal tersebut. Bagi ajaran Buddha, perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang
di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain
dapat dipakai untuk menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak
pisau tersebut, melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh
Beliau ketika dipakai untuk melukai.

Ajaran yang unik


Hanya agama Buddha yang mengajarkan bahwa dunia ini tidak memerlukan
seorang pencipta yang mengontrol segalanya. Sang buddha mengatakan bahwa
segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling terkait, dan saling
memengaruhi. Sebab-akibat yang diajarkan Buddha bukan sekedar satu arah,
namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling terikat dan
berpengaruh. Getaran di satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak
terhadap sekitarnya. Tentunya persekitarannya yang paling dekat yang
menerima dampak yang lebih besar daripada bagian jaring yang jauh. Sama
seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan memengaruhi dan memberikan
dampak terutama terhadap orang-orang serta lingkungan sekitarnya. Inilah
makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas, Kesalingterkaitan Antar
Segala Sesuatu (paticcasamupada).
Ajaran Buddha juga satu-satunya ajaran yang tidak mengenal diri atau roh kekal
pada diri seseorang. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia
selalu mengalami perubahan (anicca), sehingga tidak memerlukan suatu diri
yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena tidak dapat menerima
perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan (dukkha). Karena
tidak adanya diri yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang
baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun
juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri sendiri.
Ketika semakin memperdalam ajaran, banyak guru-guru Buddhis mengucapkan
bahwa mereka tidak dapat membedakan kebahagiaan diri sendiri maupun orang
lain. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri. Itulah
harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk
mendapatkan kebahagiaan sebenarnya selama 45 tahun Beliau menyebarkan
ajaran (Dharma) demi orang banyak (Anguttara Nikaya II, 146).

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Olande Ananda Thera

Namo Buddhaya - Sesungguhnya keberadaan atau usia Buddha Dharma adalah


setua usia umat manusia, namun Buddha Dharma yang kita anut sekarang ini,
adalah yang berasal dari Sang Buddha Gotama . Pangeran Siddharta yang
mencapai Pencerahan Agung dan menjadi Buddha pada tahun 588 SM, dan
mengajarkan kita tentang Empat Kebenaran Mulia.

Sang Samma Sambuddha menyebutkan bahwa walaupun para Buddha tidak


muncul di dunia ini, Empat Kebenaran tentang Adanya Dukkha, Sebab Dukkha,
Akhir Dukkha, dan Jalan Menuju Akhir Dukkha.

Dan semua Buddha yang muncul sebelum Sang Buddha Gotama, juga
mengatakan dan mengajarkan hal yang sama, yaitu tentang Empat Kebenaran
Mulia. Empat Kebenaran Mulia ini adalah bersifat universal, ia tidak hanya milik
masyarakat India, Indonesia, Sri Lanka, atau yang lainnya, tetapi ia dapat
ditemukan dimana saja di dunia ini dan di dunia lainnya.

Kita melihat bahwa Agama Buddha menyebar dari India ke Sri Langka, Burma,
Thailand, Laos, Kambodia dan juga ke bagian Utara melalui Nepal menuju Tibet
dan Cina, Jepang, Korea, Vietnam, sampai ke Indonesia. Dan sekarang Agama
Buddha juga menyebar ke Australia, Amerika Utara, Amerika Selatan, bahkan
sampai ke Rusia.

Dalam perkembangan Agama Buddha seperti itu, kebudayaan dan tradisi


masing-masing negara yang telah ada sebelum Agama Buddha datang, juga
diadopsi ke dalam praktek keagamaan dari masing-masing negara tersebut.
Oleh karena itu, Agama Buddha kelihatan sedikit berbeda bila dilihat dari sisi
luarnya.

Contohnya, bila kita melihat Buddha Rupam (Patung Buddha) di negara yang satu
dengan yang lainnya, ada perbedaannya. Patung Buddha di Sri Lanka, China,
Jepang, mereka semua memiliki ciri-ciri atau roman yang berbeda. Mungkin
kalau Agama Buddha menyebar ke Afrika, kita juga akan menemukan Buddha
yang hitam sesungguhnya aspek luar itu adalah tidak penting.
Sang Buddha sendiri mengatakan: Ia yang melihat Dhamma, akan melihat Saya.
Jadi sesungguhnya Dhamma-lah yang harus kita praktekkan dan realisasikan di
dalam hidup kita masing-masing.

Kata/istilah Dharma atau Dhamma memiliki cukup banyak arti. Dhamma dalam
Buddha-Dhamma-Sangha, berarti: Ajaran dari Sang Buddha. Dalam arti yang
lebih luas, Dhamma dapat berarti: Hukum Alam, Hukum Sebab-Akibat, Hukum
Paticca Samuppada, Hubungan Sebab-Musabab, Karma dan Vipaka. Kadang-
kadang Dhamma juga dapat berarti: Kebenaran sejati.

Dalam puja bakti, kita selalu menguncarkan paritta Saccakiriya Gatha, yaitu
Pernyataan Kebenaran, yang artinya: Buddha-Dhamma-Sangha adalah
pelindungku. Tiada perlindungan lain bagiku, kecuali hanya Buddha, Dhamma,
dan Sangha-lah sesungguhnya pelindungku.

Bila kita menerima BUDDHA sebagai pelindung kita, maka Buddha di sini sudah
tentu adalah Sang Buddha Gotama, yang kita akui sebagai guru para dewa dan
manusia, Ia yang kita terima sebagai Penuntun hidup, Penunjuk Jalan dari Dukkha
(samsara) menuju Nibbana (Nirwana). Buddha, dalam arti yang lebih luas, bukan
hanya Sang Buddha Gotama, tetapi Sifat Kebuddhaan atau Benih Kebuddhaan,
yang mana hal ini sebenarnya sudah ada (terpendam) di dalam diri kita masing-
masing. Ini adalah suatu fakta bahwa kita dapat mencapai Nibbana selaku
makhluk manusia. Itu juga suatu perlindungan yang dapat kita pakai sebagai
pelindung dan penunjuk jalan.

Bagaimana saya dapat membalas budi atas ajaran yang telah anda berikan?
Guru-guru meditasi yang baik sering kali mendengar pertanyaan ini dari murid-
murid mereka, dan jawaban terbaik yang saya tahu adalah jawaban yang selalu
diberikan oleh guru saya, Ajaan Fuang:
Dengan bersungguh-sungguh dalam berlatih.
Setiap kali beliau memberikan jawaban ini, saya tertegun oleh betapa mulia dan
ramahnya beliau. Dan ini bukan hanya sekedar formalitas saja. Beliau tidak
pernah mencari kesempatan untuk menekan murid-muridnya agar memberikan
dana. Bahkan ketika wihara (vihara) kami sangat miskin, beliau tidak pernah
bersikap miskin, tidak pernah mencoba mengambil keuntungan dari rasa syukur
dan kepercayaan murid-muridnya. Ini adalah sebuah perubahan segar dari
beberapa pengalaman saya sebelumnya dengan para bhikkhu desa dan kota
yang biasa dengan cepat memberikan petunjuk mengenai kebutuhan dana
mereka bahkan dari pengunjung biasa yang datang sepintas lalu saja.
Dengan cepat saya mengetahui bahwa sikap Ajaan Fuang adalah wajar di antara
para bhikkhu Tradisi Hutan. Hal ini didasarkan pada sebuah wacana di dalam
Kitab Pali dimana Buddha pada saat menjelang kematian-Nya menegaskan
bahwa penghormatan tertinggi yang ditujukan kepada Beliau bukanlah
penghormatan materi, tetapi penghormatan dengan melatih diri sesuai dengan
Dhamma. Atau dengan kata lain, cara terbaik untuk membalas budi seorang guru
adalah dengan menempatkan Dhamma ke dalam hati dan melatihnya dengan
sebuah cara yang memenuhi tujuan mulia guru Anda mengajarkan Dhamma. Saya
bangga menjadi bagian dari sebuah tradisi dimana kekayaan batin dari ajaran
mulia ini benar-benar hidupdimana seperti yang seringkali Ajaan Fuang
tekankan, kita tidak menjadi sekedar orangorangan dan perbuatan mengajar
Dhamma adalah benarbenar merupakan sebuah berkah.

Jadi, saya begitu sedih ketika sekembalinya saya ke Amerika, saya terlibat dalam
perbincangan seputar dana: perbincangan mengenai praktik memberi dan
kedermawanan yang sering kali diutarakan pada sesi akhir dari sebuah retreat.
Konteks perbincangan tersebutdan bahkan sering menjadi isi pokok
pembicaraan membuat jelas bahwa itu bukanlah sebuah praktik yang tidak
menarik perhatian. Perbincangan itu ditujukan untuk mengumpulkan pemberian
bagi guru atau organisasi yang telah mensponsori retreat tersebut, dan
memberikan beban tanggung jawab bagi para peserta retreat untuk memastikan
agar retreat selanjutnya dapat berlangsung kembali. Bahasa perbincangan itu
sering kali lancar dan penuh semangat, tetapi apabila dibandingkan dengan
jawaban yang diberikan oleh Ajaan Fuang, saya menemukan kenyataan bahwa
perbincangan itu tidak pantas dan meremehkan esensi dari praktik berdana itu
sendiri. Jika seandainya panitia dan para guru benar-benar percaya bahwa para
peserta retreat mereka berhati baik, mereka tidak akan memberikan
perbincangan mengenai hal itu sama sekali. Yang malah membuat segalanya
bertambah buruk, pada perbincangan dana sejenisbersama dengan rekannya,
pusat-pusat meditasi mengirimkan surat donasisering kali dengan memberikan
contoh bagaimana para bhikkhu dan bhikkhuni disokong di Asia sebagai dasar
pembenaran bagaimana dana harus dilakukan serupa di dunia Barat.

Saya memahami alasan di balik perbincangan itu. Guruguru awam di sini


memberikan ajaran ideal bagi kebebasan, tetapi mereka sendiri masih butuh
makanan. Dan tidak seperti kebiasaan monastik di Asia, mereka tidak memiliki
sejarah lama tradisi berdana yang dapat menyokong kehidupan mereka di Barat.
Jadi perbincangan mengenai dana dirancang sebagai sebuah cara untuk
membangun budaya berdana di dalam konteks dunia Barat. Tetapi, seperti yang
sering kali terjadi adalah kasus dimana sebuah budaya baru dirancang bagi
Buddhisme Barat, pertanyaannya adalah apakah perbincangan mengenai dana
tersebut benar-benar dapat menerjemahkan prinsip-prinsip Buddhis ke dalam
konteks Barat atau malah sebaliknya, benar-benar menyimpang dari ajaran
Buddha. Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan melihat
lebih dekat prinsip-prinsip tersebut di dalam konteks asli mereka.

Seperti yang sudah umum diketahui bahwa dana merupakan permulaan dalam
latihan Buddhis. Dana secara langsung maupun tidak langsung telah menjaga
keberlangsungan Dhamma. Jika bukan tradisi India untuk berdana pada peminta-
minta, Buddha tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan jalan menuju Kesadaran. Persaudaraan Sangha tidak akan memiliki
waktu dan kesempatan untuk mengikuti jalan Beliau. Dana merupakan ajaran
pertama di dalam khotbah kelompok: daftar topik-topik yang digunakan Buddha
untuk membawa pendengar-Nya setahap demi setahap hingga mencapai sebuah
apresiasi terhadap empat kebenaran mulia, dan kerap kali dari sana hingga
mencicipi rasa Pencerahan pertama mereka. Ketika menegaskan prinsip-prinsip
dasar karma, Beliau selalu memulai dengan pernyataan,
Terdapatlah apa yang diberikan.
Hal yang kurang diketahui umum adalah bahwa ketika sedang membuat
pernyataan ini, Buddha tidak sedang berhadapan dengan kebenaran nyata atau
omongan basa-basi semata, karena topik memberi sebenarnya menjadi sebuah
topik yang kontroversial pada masa hidup Buddha Gotama. Selama berabad-
abad, para brahmana India telah memuji nilai kebajikan dari praktik memberi
selama pemberian itu ditujukan kepada kaum mereka. Tidak hanya itu,
pemberian kepada kaum brahmana adalah wajib hukumnya. Orang-orang dari
kasta lain, apabila mereka tidak menyerahkan kebutuhan brahmana dalam
bentuk pemberian hadiah, berarti mereka telah mengabaikan kewajiban sosial
mereka yang paling esensial. Dan karena dengan mengabaikan kewajiban sosial
mereka dalam kehidupan sekarang ini, mereka dan keluarganya akan menderita
baik di masa kehidupan saat ini maupun setelah kematian.

Seperti yang dapat diperkirakan, sikap ini memberikan serangan balik.


Beberapa samana atau pertapa, gerakan yang ada di masa kehidupan Buddha
menyerang balik klaim kaum brahmana dengan menyatakan bahwa tidak
terdapat kebajikan sama sekali dalam praktik memberi. Argumen mereka
berujung pada dua kubu. Kubu pertama mengklaim bahwa praktik memberi
tidak memiliki kebajikan karena tidak ada yang namanya kehidupan setelah
kematian. Seorang manusia tidak lebih dari gabungan unsur-unsur fisik yang
dengan kematian akan kembali ke alam. Hanya itu. Oleh karena itu praktik
memberi tidak memberikan manfaat jangka panjang. Kubu lainnya menyatakan
bahwa tidak ada yang namanya praktik memberi karena segala sesuatu di alam
semesta ini telah ditentukan oleh takdir. Jika seorang pendana memberikan
sesuatu kepada orang lain, itu sebenarnya bukanlah sebuah pemberian karena si
pendana tidak memiliki pilihan atau kehendak bebas dalam hal tersebut. Takdir
bekerja dengan sendirinya.

Jadi ketika Buddha, di dalam pengenalan-Nya terhadap ajaran mengenai karma,


memulai dengan mengatakan bahwa terdapat sesuatu yang diberikan, dengan
demikian Beliau meluruhkan pendapat kedua kubu di atas. Praktik memberi pasti
akan memberikan akibat baik di saat ini maupun di masa mendatang, dan praktik
ini juga merupakan akibat dari kehendak bebas si pendana. Akan tetapi,
berbeda dengan pandangan kaum brahmana, Buddha membawa prinsip
kebebasan ini selangkah lebih maju. Ketika ditanya dimana sebuah pemberian
seharusnya diberikan, Beliau menjawab dengan sederhana, Dimana pun pikiran
terinspirasi untuk memberi. Dengan kata lainselain membalas budi kepada
orang tua tidak terdapat sebuah hukum untuk memberi. Hal ini berarti bahwa
pilihan untuk memberi merupakan sebuah tindakan yang didasarkan kebebasan
sejati, dan oleh karena itu merupakan tempat yang sempurna untuk memulai
jalan menuju pembebasan sempurna.
Inilah alasan mengapa Buddha mengadopsi dana sebagai konteks dalam melatih
dan mengajar Dhamma. Tetapi untuk menegakkan prinsip kembar dari
kebebasan dan buah akibat dari praktik memberi, Beliau menciptakan sebuah
budaya berdana yang mewujudkan cita-cita Buddhis. Pertama-tama, Beliau
mendefinisikan dana tidak hanya sebatas pemberian material. Latihan sila, kata
Beliau, juga merupakan salah satu bentuk danapemberian keamanan universal,
melindungi semua makhluk dari perbuatan jahat seseorangmerupakan
perbuatan yang sesuai dengan ajaran Dharma. Hal ini berarti pula bahwa praktik
berdana berlebihan bukan hak istimewa orang kaya. Kedua, Beliau merumuskan
sebuah aturan tingkah laku untuk menghasilkan sebuah sikap praktik berdana
yang akan menguntungkan pihak pendana dan penerima dana, menjaga praktik
memberi ini tetap bermanfaat dan bersifat bebas.
Kita cenderung tidak mengasosiasikan aturan tingkah laku ini dengan kata
kebebasan, tetapi ini karena kita lupa bahwa kebebasan juga membutuhkan
perlindungan, terutama dari sikap yang ingin bebas atas pilihannya tetapi
merasa tidak nyaman ketika orang lain pun memiliki kebebasan atas pilihan
mereka. Aturan tingkah laku yang dibuat oleh Buddha ini bersifat sukarela
Beliau tidak pernah memaksa siapa pun
untuk berlatih sesuai dengan ajaran-Nya tetapi pada saat ajaran-Nya diterapkan,
mereka membutuhkan kerja sama dari kedua belah pihak untuk menjaga agar
ajaran ini tetap efektif dan kokoh.

Aturan ini paling baik dipahami dalam istilah enam faktor yang Buddha katakan
merupakan contoh dari praktik memberi yang ideal:
Si pendana, sebelum memberi merasa bahagia; pada saat memberi, pikirannya
terinspirasi; dan setelah memberi merasa puas. Inilah tiga faktor dari si
pendana
Si penerima dana bebas dari nafsu keinginan atau setidaknya sedang berlatih
untuk mengatasi nafsu keinginan; bebas dari keengganan atau setidaknya
sedang berlatih untuk mengatasi keengganan; dan bebas dari angan-angan atau
setidaknya sedang berlatih untuk mengatasi anganangan. Inilah tiga faktor dari si
penerima dana.
AN 6.37
Walaupun bagian ini kelihatannya menyarankan bahwa masing-masing pihak
bertanggung jawab hanya atas faktorfaktornya sendiri, etika kedermawanan
Buddha secara lebih luas menunjukkan bahwa tanggung jawab atas keenam
faktor tersebut dan terutama untuk tiga faktor dari si pendana sama-sama
dimiliki kedua belah pihak. Dan tanggung jawab bersama ini paling baik
berkembang dalam atmosfer saling mempercayai.

Bagi si pendana, hal ini berarti apabila mereka ingin merasakan kebahagiaan,
inspirasi, dan kepuasan atas pemberian mereka, mereka tidak seharusnya
melihat pemberian mereka sebagai balas budi atas pelayanan yang diberikan
oleh seorang bhikkhu atau bhikkhuni. Hal itu akan mengubah pemberian dana
tersebut menjadi seperti upah dan menghilangkan kekuatan emosi yang ada
dari praktik berdana. Malahan akan lebih bijaksana bila mereka mencari
penerima dana yang dapat dipercaya: orang-orang yang sedang berlatih atau
telah melatih pikiran-pikiran mereka sehingga menjadi bersih dan tanpa
cela. Mereka juga harus memberikan dana mereka dengan cara yang penuh
penghargaan sehingga perbuatan memberi akan memperkuat kebahagiaan
yang menginspirasinya, dan akan menginspirasi si penerima dana untuk
menghargai dana yang diberikan.

Tanggung jawab si penerima dana, bagaimana pun juga, lebih besar. Untuk
memastikan si pendana merasakan kebahagiaan sebelum memberi, para
bhikkhu atau bhikkhuni dilarang menekan si pendana dalam cara apapun juga.
Kecuali dalam keadaan sakit atau dalam situasi dimana si pendana telah
mengizinkan mereka untuk meminta sesuatu, mereka tidak dapat meminta
apapun melebihi kebutuhan-kebutuhan paling utama mereka. Bahkan mereka
tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk tentang apa yang ingin mereka
terima. Ketika ditanya ke mana sebuah pemberian tepat harus diberikan, mereka
harus mengikuti contoh jawaban Buddha dan berkata, Berikanlah di manapun
pemberianmu akan digunakan, atau akan dirawat, atau akan mampu bertahan
lama, atau di manapun pikiranmu merasa terinspirasi untuk memberi. Hal ini
membawa sebuah rasa kepercayaan dalam kesadaran si pendana yang
merupakan sebuah pemberian yang membahagiakan pikiran si pendana.

Untuk memastikan seorang pendana merasakan inspirasi ketika sedang


memberikan sebuah pemberian, para bhikkhu dan bhikkhuni harus menerima
dana dengan penuh perhatian dan dengan sebuah sikap yang penuh
penghargaan. Untuk memastikan si pendana merasakan kepuasaan setelah
berdana, mereka harus hidup dengan hemat, merawat pemberian tersebut, dan
memastikan dana tersebut digunakan dengan cara yang sepantasnya. Dengan
kata lain, mereka harus menunjukkan bahwa kepercayaan si pendana kepada
mereka memang benar-benar dihargai. Dan tentu saja mereka harus bekerja
untuk mengurangi keserakahan, kemarahan, dan delusi mereka. Pada
kenyataannya, ini merupakan motivasi utama dalam upaya untuk mencapai
tingkat kesucian Arahat : sehingga pemberian yang diberikan kepada seorang
Arahat akan memberikan buah kebajikan yang luar biasa bagi si pendana.

Prinsip-prinsip kebebasan dan kesuksesan juga memengaruhi aturan yang


dirumuskan oleh Buddha terutama untuk melindungi pemberian Dhamma (dana
Dhamma). Disini juga, tanggung jawab ditanggung bersama-sama. Untuk
memastikan bahwa guru bahagia, terinspirasi, dan puas dalam ajaran, si
pendengar dianjurkan untuk mendengar dengan penuh rasa hormat, mencoba
untuk memahami ajaran yang diberikan, dan sekali mereka meyakini bahwa
ajaran itu benar-benar bijaksana mereka harus benar-benar tulus
mempraktikkannya sehingga berhasil memperoleh hasil yang diharapkan.
Seperti halnya seorang bhikkhu atau bhikkhuni menerima sebuah pemberian
materi, si penerima dana Dhamma memiliki tanggung jawab sederhana untuk
memperlakukan pemberian tersebut selayaknya.

Sementara itu, guru harus memastikan bahwa perbuatan mengajarnya bukanlah


sebuah balas budi atas sebuah hutang. Di atas semua itu, para bhikkhu dan
bhikkhuni membalas hutang mereka kepada umat awam pendana dengan
mencoba membersihkan pikiran-pikiran mereka dari keserakahan, keengganan,
dan delusi. Mereka tidak memiliki kewajiban apapun untuk mengajar, yang
berarti bahwa perbuatan mengajar adalah sebuah pemberian yang bebas dan
murni. Sebagai tambahan, Buddha menegaskan bahwa Dhamma harus diajarkan
tanpa mengharapkan pemberian materi. Ketika pada suatu kesempatan Beliau
ditawarkan upah guru atas pengajaran-Nya, Buddha menolak menerimanya
dan mengatakan pada si pendana untuk membuangnya. Beliau juga memberikan
teladan bahwa ketika seorang biarawan mengajarkan pahala dari kedermawanan,
ajaran disampaikan setelah sebuah pemberian diberikan; dan tidak sebelumnya,
sehingga noda atau keinginan untuk memberikan petunjuk tidak mencemari inti
ajaran yang disampaikan.

Semua prinsip ini memikul sebuah level kemuliaan yang tinggi dan
mengendalikan kedua belah pihak yang mengapa banyak orang mencoba
mencari cara untuk menyiasatinya bahkan ketika Buddha masih hidup. Cerita-
cerita asli mengenai peraturan kebiaraan cerita yang menggambarkan
kekeliruan tingkah laku yang menyebabkan Buddha merumuskan peraturan-
peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni sering kali menceritakan anggota
Sangha yang memberikan dana Dhamma disertai dengan senar yang disematkan,
dan juga menceritakan umat awam yang dengan senang menarik senar-senar
tersebut untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Persaudaraan:
perlakuan untuk dilayani dengan sebuah senyuman yang menyenangkan.
Ketekunan kokoh Buddha dalam merumuskan peraturan-peraturan untuk
memotong senar-senar ini menunjukkan betapa besar kesungguhan Beliau
menganggap prinsip-prinsip Dhamma sebagai sebuah pemberian yang bebas
dan murni, dan bukan sebagai sebuah ideal belaka. Beliau berharap Dhamma
dapat memengaruhi cara orang-orang berperilaku.

Beliau tidak pernah memberikan sebuah penjelasan terperinci mengapa


perbuatan mengajar Dhamma harus selalu merupakan sebuah pemberian (dana),
tetapi Beliau menyatakan dalam berbagai istilah umum bahwa ketika peraturan
tingkah laku yang diberikan-Nya menjadi buruk sesuai waktu, hal tersebut juga
akan merusak Dhamma. Dan dalam kasus etika kedermawanan, prinsip-prinsip
ini telah sering kali bertahan sepanjang sejarah Buddhis.

Sebuah contoh utama tertulis dalam Apadana, yang para ahli yakini merupakan
catatan yang ditambahkan ke dalam Kitab Pali setelah masa Raja Asoka. Apadana
membahas pahala dari praktik memberi dengan sebuah cara yang menunjukkan
betapa mudahnya para bhikkhu mengajarkannya hanya untuk mendapatkan dana
berlebihan. Mereka menjanjikan bahwa bahkan hanya dengan pemberian sedikit
akan memberikan buah pada pencapaian tingkat kesucian Arahat dan pada jasa
kebajikan di banyak masa kehidupan di masa mendatang, dan bahwa jalan hidup
pendana mulai sekarang akan dipenuhi dengan kesenangan dan martabat.
Pencapaian jasa spesial, akan membutuhkan donasi yang spesial pula. Beberapa
donasi ini memiliki bentuk simbolis yang merupakan perwujudan dari jasa
tertentu sebuah pemberian lampu misalnya, merupakan simbol kewaskitaan
tetapi pemberian jasa tertentu adalah sebanding dengan seminggu berdana
makanan bagi seluruh anggota Sangha, atau setidaknya bagi bhikkhu-bhikkhu
yang mengajar

Disini jelas terlihat bahwa para bhikkhu yang menyusun Apadana memberikan
kelonggaran pada keserakahan mereka, dan dengan mudah mengatakan pada
pendengar mereka apa yang mau didengar oleh si pendengar. Kenyataan bahwa
naskah-naskah ini tertulis untuk generasi selanjutnya menunjukkan bahwa para
pendengar merasa puas. Oleh karena itu pada guru dan murid, berbuat kolusi,
telah menyimpangkan budaya berdana menuju arah kekotoran batin mereka
sendiri. Dengan melakukan hal ini, mereka berarti juga telah menyimpangkan
Dhamma. Jika praktik memberi menjamin Pencerahan, hal ini berarti akan
menggantikan jalan mulia beruas delapan dengan jalan satu ruas: berdana.
Apabila jalan menuju Pencerahan selalu dipenuhi martabat dan kesenangan,
konsep daya upaya benar akan menghilang. Akan tetapi ketika gagasan-gagasan
ini diperkenalkan ke dalam tradisi Buddhis, semenjak itu pula mereka
memperoleh cap otoritas dan telah memengaruhi praktik-praktik Buddhis. Di
Asia, para umat Buddha cenderung memberikan dana dengan sebuah simbol
harapan akan pahala di masa mendatang; dan daftar pemberian yang dipuji
dalam Apadana dibaca seperti sebuah katalog dana yang diletakkan di depan
altar oleh semua umat Buddha Asia bahkan hingga saat ini.

Hal ini menunjukkan bahwa sekali budaya berdana telah menyimpang, maka hal
ini akan dapat menyimpangkan praktik Dhamma secara keseluruhan selama
berabad-abad. Jadi, apabila kita benar-benar mau serius membawa budaya
berdana ke dalam dunia Barat, kita harus waspada dalam memastikan bahwa
upaya kita menghargai prinsip-prinsip yang membuat praktik berdana memang
benar-benar sebuah latihan Buddhis yang sesungguhnya. Ini berarti tidak lagi
diperlukan taktik pengumpulan dana modern untuk mendorong rasa
kedermawanan dari para peserta retreat atau umat Buddha biasa secara umum.
Ini juga berarti diperlukan pemikiran kembali mengenai pembicaraan perihal
dana, mengingat banyak kegagalan dari taktik ini. Dengan memaksa para
peserta retreat memberikan dana pada para guru, hal ini tidak akan membawa
kebahagiaan sebelum memberi, dan malah kedengaran seperti sebuah
permintaan tip pada akhir santapan. Usaha terus-menerus dalam menarik
sanubari para peserta retreat sebagai sebuah cara untuk menarik sokongan
mereka memperlihatkan kurangnya kepercayaan atas perhatian para peserta
dan meninggalkan rasa yang buruk. Dan dalam cara apapun dana tersebut
dipergunakan bagi kepentingan para guru, hal ini tetap tidak mengubah
kenyataan bahwa itu telah menjadi sebuah pembayaran atas pelayanan yang
telah diberikan. Entah para guru memikirkan hal ini dengan sadar atau tidak, hal
ini membuat mereka mengatakan kepada para pendengar apa yang mereka pikir
para pendengar mereka ingin dengarkan. Dhamma tidak dapat menolong, malah
sebaliknya akan membuat mereka menderita.

Solusi ideal adalah dengan menyediakan sebuah kerangka dimana para praktisi
Dhamma yang serius dapat mendukung entah mereka diajarkan untuk berdana
atau tidak. Dengan cara ini, perbuatan mengajar dana akan benar-benar menjadi
sebuah dana murni. Dan seiring dengan itu, meskipun sebuah langkah menuju
arah budaya berdana yang murni masih akan menjadi sebuah penangguhan di
semua perbincangan mengenai dana pada akhir retreat, dan mengacu pada
tradisi berdana Buddhis dalam meminta sokongan, dengan demikian dibutuhkan
waktu untuk mengembalikan martabat dari berdana. Pada retreat-retreat, dana
dapat didiskusikan dalam sebuah cara umum, di dalam konteks, banyak
perbincangan Dhamma diberikan mengenai betapa baik mengintegrasikan
praktik Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhir retreat, sebuah
keranjang dapat diletakkan sebagai keranjang dana, dengan sebuah catatan
bahwa si guru belum dibayar untuk mengajar di retreat tersebut. Cukup itu saja.
Tidak perlu permohonan balas jasa. Tidak perlu kartu pengingat. Para peserta
retreat yang sensitif akan dapat menarik kesimpulan dan akan dengan senang
hati, terinspirasi, dan puas mengetahui bahwa mereka dipercaya untuk
melakukan praktik berdana dari dan bagi diri mereka sendiri.

Makan Dengan Bijaksana.


Oleh YM. BHante Sri Pannavaro Mahathera.

Matt aut ca bhattasmim, pantaca sayansanam makan dengan bijaksana,


tidak berlebihan serta memiliki tempat tinggal dan pergaulan yang sesuai.
Dahulu, mungkin Saudara berpikir bahwa masalah ini adalah masalah kecil
masalah makanan dan pergaulan, tetapi sekarang apakah Saudara mengatakan
masalah ini masalah kecil? Setiap hari kita disuguhi berita, anak-anak kita,
saudara-saudara kita yang keracunan, yang shabu-shabu, yang ganja, yang
narkotik, dan sebagainya. Itu adalah persoalan makanan, makanan yang
menghancurkan manusia. Hal ini bukanlah hal yang sepele. Pergaulan
menghancurkan moral. Hal ini bukanlah hal yang sepele.
Kalau seseorang sudah kecanduan makanan-makanan yang beracun, suatu saat
dengan segala macam usaha dan dibantu orang banyak dia bisa berhenti , tetapi
kadang-kadang memang amat susah. Kalau orang ini kelak menghadapi masalah,
menghadapi persoalan dan dia menjadi stress, maka dia akan teringat racun-
racun yang dahulu pernah dimakannya, yang katanya bisa membawa orang ke
alam surga, lalu dia kembali menjadi ketagihan.

Memperhatikan makanan, memperhatikan pergaulan dan tempat tinggal adalah


instruksi, amanat yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri pada waktu
memberikan amanat di depan 1250 Arahat. Peringatan keras sesungguhnya, dari
Sang Buddha: berhati -hatilah pada makanan, waspadalah pada pergaulan dan
tempat ti nggal! Sekarang penyakit-penyakit muncul, para dokter mengatakan
makanan. Ada peribahasa yang mengatakan, Mulut kita tidak besar, hanya
selebar daun; tetapi penyakit masuk melalui mulut dan kejahatan ke luar melalui
mulut.

Ucapan kita menciptakan kejahatan, makanan kita mendatangkan penyakit.


Makanlah sederhana. Apakah Saudara-saudara umat Buddha sudah pernah
mencoba Atthasila (delapan sila)? Pada hari-hari purnama, sebulan dua kali,
syukur empat kali, cobalah berlatih mengendalikan diri, mengendalikan
makanan. Membuat persiapan untuk kemajuan kualitas spiritualitas kita dengan
melakukan latihan Atthasila pada hari-hari tertentu. Saya pernah mengatakan
kalau saudara-saudara kami yang Muslim, setahun sekali berpuasa 29 30 hari,
kalau umat Buddha menjalani Atthasila sebulan dua kali, setahun barulah dua
puluh empat kali, masih kalah dengan mereka yang beragama Islam. Apakah
umat Buddha tidak malu? Apalagi Sang Buddha memberi keringanan, puasa
Buddhis itu boleh kredit, tidak usah kontan keras sebulan penuh; sebulan hanya
dua kali, tetapi kredit itu juga kadang-kadang tidak dibayar.

Oleh : Upacarika Oscar Niora

Orang baik adalah pelaku dari perbuatannya, pewaris dari perbuatannya,


lahir dari perbuatannya, berhubungan dengan perbuatannya, dan memiliki
perbuatannya sebagai hakim. Apa pun perbuatan yang ia lakukan, apakah
baik atau buruk, perbuatan itulah yang akan diwarisinya
Bergegaslah berbuat kebajikan,dan kendalikan pikiran dari
kejahatan ;pikiran yang lamban melakukan kebajikan, akan menyenangi
kejahatan.
Bila ingin berbuat baik lakukanlah secepatnya, jika suka menunda-nunda
pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu
lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk
melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran cenderung senang dengan
melakukan perbuatan yang tidak baik.

Ketika kita telah melakukan suatu kebajikan, kita merasa kebajikan tersebut telah
cukup untuk mengkondisikan kita bahagia saat ini dan terlahir di alam yang
berbahagia pada kehidupan berikutnya. Perlu disadari bahwa kejatuhan suatu
makhluk karena ia selalu merasa dirinya baik dan merasa cukup akan kebajikan
yang telah ia lakukan sehingga tidak giat dalam menanam kebajikan.

Berkeinginan terlahir di alam yang berbahagia harus kita imbangi dengan


kebajikan yang kita tanam. Renungkanlah apakah kebajikan yang kita lakukan
telah cukup? Jangan terlena dengan kesenangan duniawi yang kita nikmati
sekarang. Manfaatkanlah waktu kita sebaik mungkin dengan mempraktikkan
Dhamma ajaran Sang Buddha. Adalah lebih berbahagia memberi dari pada
menerima,

Seseorang dikatakan Baik bila ia memiliki ketajaman mata hati. Menjadi baik itu
penting, tapi merasa baik itu tidak baik. Kebijaksanaan akan membuat
seseorang menjadi benar, bukan merasa benar. Orang baik, tidak akan
berpikiran bahwa ia adalah yang paling Baik . Sebaliknya orang yang merasa
baik, di dalam pikirannya hanya dirinya yang paling baik. Orang baik bisa
menyadari kesalahan dan kekurangannya serta mau memperbaikinya.

Sedangkan orang yang merasa baik , merasa tidak perlu untuk mengakui
kesalahan dan kekurangannya. Orang baik setiap saat akan introspeksi diri dan
bersikap rendah hati. Tetapi orang yang merasa baik , merasa tidak perlu
introspeksi. Karena merasa sudah benar dan selalu mempunyai sikap tinggi hati.
Orang baik memiliki kelembutan hati Ia dapat menerima masukan/kritikan dari
siapa saja.

Orang yang merasa baik, hatinya keras. Ia sulit untuk menerima nasihat, masukan
apalagi kritikan.

Orang baik akan selalu menjaga perkataan dan perilakunya, serta berucap
penuh kehati-hatian . Orang yang merasa baik , berpikir, berkata, dan berbuat
sekehendak hatinya tanpa mempertimbangkan dan mempedulikan perasaan
orang lain.

Pada akhirnya orang baik akan dihormati, dicintai dan disegani oleh hampir
semua orang. Namun orang yang merasa baik sendiri hanya akan disanjung oleh
orang-orang yang berpikir sempit, yang sepemikiran dengannya, atau orang-
orang yang sekadar ingin memanfaatkan dirinya.

Mari terus memperbaiki diri untuk bisa menjadi orang baik, agar tidak selalu
merasa benar. Bila kita sudah termasuk tipe orang baik , bertahanlah dan
tetaplah rendah hati.

Dan mulai sekarang sebaiknya SELALU MERASA MASIH KURANG


BAIK ,SEHINGGA SELALU BERBUAT BAIK
Hukum Tilakkhana termasuk Hukum Kebenaran Mutlak, artinya bahwa
hukum ini berlaku dimana-mana dan setiap waktu (tidak terikat oleh waktu dan
tempat). Hukum Tilakkhana ini mengacu pada 3 corak kehidupan yang pasti
terjadi dan terdapat pada segala sesuatu yang berkondisi. Apa saja 3 corak
kehidupan itu?
1. Sabba Sankhara Anicca (ketidakkekalan atau perubahan)
Segala sesuatu dalam alam semesta yang terdiri dari perpaduan unsur-unsur
adalah tidak kekal. Buddha Gautama
melihat bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang
terus berubah atau berevolusi.
2. Sabbe Sankhara Dukkha (tidak memuaskan atau penderitaan)
Bahwa segala sesuatu yang tidak kekal tersebut sesungguhnya tidak memuaskan
dan oleh karena itu merupakan penderitaan (dukkha) karena tidak bisa
menerima perubahan yang terjadi.
3. Sabbe Dharma Anatta (tidak ada jiwa yang abadi)
Pada akhirnya akan kembali pada pengertian bahwa tidak ada yang dapat
disebut sebagai Aku atau jiwa atau roh yang abadi karena semua bentuk
selalu berubah. Jadi tidak ada yang namanya jiwa atau roh yang abadi. Semua itu
hanyalah pandangan egoisme terhadap diri.
PERUBAHAN (ANICCA)
Sudah menjadi sifat umum dari segala sesuatu yang berkondisi untuk selalu
mengalami perubahan (impermanence). Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya tiada satu bentuk pun yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
kekal. Semua kondisi berjalan dengan sendirinya. Terkadang kita tertawa, di lain
waktu kita menangis. Bahkan sejak kita dilahirkan di dunia ini, baik disadari
ataupun tidak, kita terus menerus mengalami perubahan usia, karakter,
intelektualitas dan kebijaksanaan.

Apakah kita bisa mencegah perubahan itu? Tidak ada ilmu pengetahuan yang
bisa mencegah jalan alami ini. Kita semua tidak dapat mencegahnya. Dapatkah
Anda mengeluarkan napas tanpa menghirupnya? Atau Anda hanya menarik
napas tanpa mengeluarkannya? Tidak mungkin itu terjadi. Manusia ingin
segala sesuatu agar kekal, tetapi tidak bisa. Itu adalah hal yang mustahil. Jika
seseorang menyadari bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, pikirannya
berangsur-angsur terbuka. Dan ketika ada sesuatu yang muncul, dia hanya akan
mengatakan: Oh, satu lagi wujud perubahan.
PENDERITAAN (DUKKHA)
Ketika penderitaan muncul, tidak seorang pun yang dengan mudah bersedia
menerimanya. Kecenderungan orang akan beranggapan bahwa penderitaan ini
bukan milikku, kebahagiaan adalah milikku. Namun, hal itu justru semakin
menjauhkan orang tersebut dari kedamaian dan malah terus membuatnya
menderita.
Kemelekatan (attachment) merupakan salah satu sifat dari pengumbaran nafsu
keinginan. Semakin seseorang melekat pada sesuatu, semakin sulit pula bagi dia
untuk melepaskan diri dari penderitaan dan melihat kebijaksanaan.
TIDAK ADA ROH YANG KEKAL (ANATTA)
Buddha Gautama menolak semua teori dan spekulasi mengenai jiwa
sebagai sesuatu yang abadi atau kekal. Demikian juga jiwa yang sifatnya
sementara maupun jiwa yang akan menyatu dengan sesuatu yang disebut Maha
Abadi. Seluruh tubuh ini tersusun dari 4 elemen: tanah (unsur padatan), air
(unsur cairan), api (unsur panas),
dan angin (unsur gerak). Ketika semuanya bersatu dan membentuk
tubuh, kemudian kita menamakannya sebagai pria, wanita, dan lain-lain. Tapi itu
hanya nama saja, bukanlah diri. Disamping paham anatta (tanpa jiwa) yang
merupakan ciri khas ajaran Buddha, terdapat pula 2 paham lain yang saling
bertolak belakang dan sama-sama tidak dibenarkan oleh Buddha Gautama,
yaitu:
Atthavada paham bahwa roh/jiwa adalah kekal abadi dan akan berlangsung
sepanjang masa
Ucchedavada paham bahwa setelah mati atma itupun akan turut lenyap

Bagi yang benar-benar gemar meditasi, kadang ketika saya melihat mereka
bermeditasi, nyaris tak seorang pun yang berwajah tersenyum. Tak heran
meditasi Anda tidak maju-maju. Jadi kebaikan Anda sendiri, tolonglah tersenyum
ketika Anda bermeditasi. Sesungguhnya senyum menjadikan meditasi lebih
mudah. Anda bisa mendapat lebih banyak energi, Anda bisa masuk ke dalam
ketenangan lebih mendalam, dan Anda benar-benar menaruh kebahagiaan ke
dalam meditasi Anda.
Anda tahu, kadang sebagian bhikkhu bhikkhuni bukan dari kelompok kami,
sebab kami memiliki sistem kendali mutu yang baik sebelum kami membiarkan
mereka mengajar mengatakan, Oh jangan. Jika Anda bahagia, Anda akan
melekatinya.Saya pikir, Ya ampun. Apa yang orang-orang ini bicarakan? Sudah
berapa lama Anda menjadi bhikkhu? Apakah Anda pernah membaca apa yang
Buddha katakan?

Anda seharusnya bahagia dalam meditasi ! Ajaran Buddha itu seharusnya


mengurangi duka. Lalu, jika Anda dapat mengurangi duka, bukankah itu berarti
Anda jadi lebih bahagia, makin bahagia, dan semakin bahagia?

Jika Anda lebih bahagia, Anda tak melekat kepada kebahagiaan itu, namun Anda
melepas duka. Jadi, lakukanlah, makin bahagia makin bagus. Letakkan bahagia
dalam meditasi Anda. Namun banyak orang berkata, Ajahn Brahm, Anda hanya
bicara dari pengalaman Anda sendiri, dari gagasan Anda sendiri. Bagaimana
dengan ajaran Buddha tradisional!?

Dalam salah satu pembabaran Tipitaka, dalam Majjhima Nikaya, Dhammachedi


Sutta, atau pembabaran Monumen Dhamma, alkisah ada seorang raja penyokong
utama Buddha bernama Raja Pasenadi.

Raja ini sudah menjelang ajal, dan ia hendak menemui Buddha untuk terakhir
kalinya di vihara-Nya. Ketika tiba di kediaman Buddha, ia langsung bersujud
kepada-Nya dan mulai menciumi kaki-Nya.

Buddha lalu bertanya, Anda ini seorang raja. Apa yang Anda lakukan?

Raja menjawab, Saya sudah mengenal Anda seumur hidup saya, dan saya sangat
mengasihi Anda. Ada ungkapan cinta yang begitu mendalam dalam ajaran Anda,
dan Anda sudah begitu banyak membantu saya. Alasan lainnya, saya sekadar
senang datang ke vihara ini.

Buddha bertanya inilah bagian penting dari pembabaran ini Mengapa


Anda senang datang ke sini?

Raja berkata, Kapan pun saya datang mengunjungi vihara ini, tidak seperti
tempat lain yang saya kunjungi, semua bhikkhu dan bhikkhuninya selalu
berwajah senyum ramah dan begitu bahagia. Itu yang membuat saya bahagia,
itulah sebabnya saya senang datang kemari.

Ucapan itu memberi saya sebuah jendela wawasan yang baru mengenai
bagaimana suasana vihara zaman Buddha. Para bhikkhu dan bhikkhuninya
semuanya berwajah senyum. Itulah sebabnya orang senang untuk datang
berkunjung kesana.

Jadi, jika Anda datang ke vihara dan melihat orang-orang disana tidak tersenyum,
maka pasti ada yang salah disana.

Melihat Kekurangan Diri Sendiri.


Oleh: YM. Bhante Sri Pannavaro Mahathera.
Salah satu kesulitan terbesar manusia adalah melihat kekurangan dan
kesulitannya sendiri. Berat, pahit, untuk melihat kekurangan diri sendiri. Kita
ingin berpaling cepat, lari dari segala macam kesulitan dan kegagalan. Dengan
berbagai harapan berusaha menutupi segala macam persoalan kehidupannya.
Dan memang, mempunyai berbagai harapan adalah sesuatu yang paling
menyenangkan untuk menyembunyikan penderitaan.
Lihatlah kehidupan ini dengan wajar, apa adanya. Lihatlah dengan segala
kekurangan dan penderitaannya. Dengan berpandangan demikian kita tidak
hanya melihat kehidupan ini sebagai emas dan juga tidak sebagai kotoran. Sulit
untuk melihat kenyataan, lebih-lebih kenyataan dirinya sendiri. Tetapi, dengan
mau melihat kenyataan akan membuat kita berpikir dewasa.

Berani melihat kenyataan dengan wajar, mengetahui sebab penderitaan, dan


berusaha keras mengatasi sebab itu untuk mewujudkan hidup yang harmonis
serta bahagia. Tanpa pandangan yang benar tentang kehidupan ini, manusia
sering melarikan diri dari kenyataan. Menutupi persoalan dengan mencari
kenikmatan; menghindari kesukaran dengan mengejar kesenangan. Ini bukan
menyelesaikan masalah, tetapi bahkan menambah persoalan dan menambah
penderitaan baru.

Jangan lari dari diri sendiri ! Kembalilah kepada diri sendiri yang seutuhnya.
Dengan kembali kepada diri sendiri, maka kita akan melihat diri sendiri. Dengan
melihat diri sendiri, kita akan menyadari semua kekurangan diri kita. Dengan
berpangkal menyadari kekurangan diri, akan bangkitlah semangat untuk
membangun kembali, mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia.

Suatu ketika, seorang yang bernama Kevaddha datang kepada Buddha dan
meminta Beliau menunjuk seorang bhikkhu untuk mempertunjukkan mukjizat
supaya orang2 di tempat itu lebih banyak mempercayai Buddha.
Buddha menolak permintaan itu dan kemudian menjelaskan tentang tiga mukjizat:
Yang pertama adalah mukjizat kekuatan kesaktian seperti misalnya: berubah
menjadi banyak, menghilang, menembus dinding, masuk ke dalam bumi seolah-
olah itu adalah air, berjalan di atas air seolah-olah itu adalah tanah, terbang
bagaikan seekor burung, dan berbagai kesaktian lainnya.

Yang kedua adalah mukjizat membaca pikiran: Demikianlah pikiranmu, seperti


inilah pikiranmu, demikianlah buah pikiranmu.

Yang ketiga adalah mukjizat ajaran dengan mengajarkan: Engkau seharusnya


berpikir dengan cara ini dan bukan berpikir dengan cara itu! Engkau seharusnya
memperhatikan ini dan bukan itu! Engkau seharusnya meninggalkan ini dan
harus berdiam dalam pencapaian itu!,
dengan demikian ajaran akan membimbing orang sesuai dengan perkembangan
batin mereka, untuk kebaikan mereka sendiri, dan dengan menggunakan cara
yang sesuai untuk mereka.
Mukjizat pertama dan kedua bisa dipertunjukkan dengan tujuan memberi kesan
kepada orang2, tiada bedanya dengan mempertunjukkan keajaiban. Perbuatan
seperti itu merupakan perbuatan rendah yang tidak dapat memberikan
penerangan untuk menolong orang terbebas dari penderitaan.
Mukjizat ketigalah yang dapat disebut mukjizat yang sebenarnya karena dapat
menolong orang terbebas dari penderitaan, membuat orang terbebas dari
keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.

Setiap pagi, ketika kita bangun, kita mempunyai dua puluh empat jam yang baru
untuk hidup. Alangkah berharganya pemberian ini! Kita mempunyai kapasitas
untuk hidup dalam satu cara sehingga dua puluh empat jam ini akan membawa
kedamaian, kegembiraan dan kebahagiaan bagi diri kita maupun yang lainnya.

Kedamaian itu hadir tepat di sini dan saat ini, di dalam diri kita sendiri dan di
dalam setiap hal yang kita lakukan dan kita lihat. Masalahnya adalah apakah kita
bersentuhan dengannya atau tidak. Kita tidak perlu pergi jauh untuk menikmati
langit biru. Kita tidak perlu meninggalkan kota kita atau bahkan tetangga kita
untuk menikmati mata seorang anak yang cantik. Bahkan udara yang kita hirup
bisa menjadi sumber kegembiraan.

Kita bisa tersenyum, bernapas, berjalan dan memakan makanan kita dengan cara
yang memungkinkan kita untuk bersentuhan dengan kebahagiaan berlimpah
yang tersedia. Kita sangat baik di dalam mempersiapkan diri untuk hidup, tetapi
kurang baik di dalam menikmati kehidupan. Kita tahu bagaimana harus
mengorbankan sepuluh tahun untuk sebuah diploma dan kita mau bekerja
sangat keras untuk mendapatkan pekerjaan, mobil, rumah dan sebagainya.
Tetapi kita sulit mengingat bahwa kita hidup pada saat ini, satu-satunya waktu
bagi kita untuk hidup. Setiap tarikan napas kita, setiap langkah yang kita lakukan,
dapat diisi dengan kedamaian, kegembiraan dan ketenangan. Kita hanya butuh
untuk bangun, hidup di saat sekarang ini.

Buku kecil ini diterbitkan sebagai sebuah lonceng kewaspadaan, suatu


peringatan bahwa kebahagiaan terjadi hanya pada saat ini. Tentu saja, rencana
untuk masa depan adalah suatu bagian dari hidup. Bahkan satu rencana pun
hanya bisa dilaksanakan pada saat sekarang ini. Buku ini merupakan ajakan
untuk kembali pada saat ini dan menemukan kedamaian dan kegembiraan.
Saya sajikan beberapa pengalaman saya dan sejumlah teknik yang mungkin bisa
membantu. Tetapi janganlah menunggu sampai menyelesaikan buku ini baru
menemukan kedamaian. Kedamaian dan kebahagiaan terdapat pada setiap saat.
Pada setiap langkah itulah kedamaian terdapat. Kita akan berjalan
bergandengan tangan. Selamat mengikuti.

Cinta, tanpa nafsu untuk memiliki, memahami dengan baik bahwa dalam hakikat
tertinggi, tidaklah ada kepemilikan maupun pemilik: inilah cinta
yang tertinggi. Cinta, tanpa berbicara dan berpikir mengenai Aku, memahami
dengan baik bahwa apa yang dinamakan Aku sebenarnya hanyalah
delusi. Cinta, tanpa memilih maupun mengecualikan, memahami dengan
baik bahwa melakukan hal tersebut (diskriminasi) berarti menciptakan
kualitas sifat-sifat yang bertentangan dengan cinta itu sendiri: perasaan tidak
suka, kejengkelan maupun kebencian.
Cinta, merangkul semua makhluk: kecil maupun besar, jauh maupun dekat, baik
di darat, air, maupun udara.
Cinta, merangkul semua makhluk tanpa memihak, bukan hanya terhadap orang-
orang yang berguna, menyenangkan dan kita sukai. Cinta, merangkul semua
makhluk, baik yang memiliki batin luhur maupun rendah, batin yang baik
ataupun jahat. Mereka yang berhati mulia dan baik dirangkul karena cinta
mengalir ke mereka secara spontan. Mereka yang berhati rendah dan jahat juga
dirangkul karena mereka lah yang sangat membutuhkan cinta. Banyak dalam diri
mereka, benih-benih kebajikan mungkin telah mati karena kurangnya
kehangatan untuk dapat tumbuh dan bertunas, karena benih itu telah musnah
akibat kedinginan dalam dunia yang tanpa cinta.
Cinta, merangkul semua makhluk, memahami dengan baik bahwa kita semua
sama-sama merupakan pengembara dalam siklus eksistensi bahwa kita semua
mengalami hukum yang sama mengenai penderitaan.
Cinta, bukan api sensasi yang membakar, menghanguskan dan menyiksa, yang
menyebabkan lebih banyak luka daripada yang dapat ia obati yang seketika
menyala terang, dan tiba-tiba padam, menyisakan banyak perasaan dingin dan
kesepian dibandingkan sebelumnya.
Melainkan, cinta yang terulur bagaikan tangan yang lembut namun
kokoh kepada makhluk-makhluk yang sakit dan bermasalah, tidak berubah
dalam hal perasaan simpatiknya, tanpa kebimbangan, tidak menyurut ketika
mendapatkan respon apapun. Cinta yang memberikan kesejukan yang nyaman
kepada mereka yang terbakar oleh api penderitaan dan nafsu; yang
merupakan kehangatan pemberi kehidupan bagi mereka yang ditinggalkan
dalam padang pasir kesepian yang dingin, bagi mereka yang gemetaran
kedinginan dalam kebekuan dunia tanpa cinta; bagi mereka yang hatinya seolah
telah menjadi kosong dan kering akibat panggilan berulang-ulang meminta
pertolongan yang tak kunjung tiba, akibat perasaan putus asa yang paling
dalam. Cinta, yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur
yang mengerti, memahami dan siap untuk membantu. Cinta, yang merupakan
kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah cinta tertinggi. Cinta, yang oleh Ia
yang Telah Tercerahkan disebut sebagai pembebasan dari hati, keindahan
yang paling luhur: inilah cinta tertinggi.
Dan apa perwujudan tertinggi dari cinta?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya
penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk
mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.

Buddha.id - Namo Buddhaya, hallo pembaca setia situs apa kabarnya? semoga
semua dalam keadaan baik dan tentunya berbahagia selalu. Pada kesempatan
yang indah ini saya ingin berbagi sebuah kisah yang sangat Mulia sekali kenapa
saya katakan demikian ? sebab gadis ini rela meninggalkan hidupnya yang
mewah dan nyaman demi menjadi Biksu.

Ini bisa dikatakan sangat luar biasa sekali sebab bisa dikatakan sangat langkah
melihat seseorang mengorbankan semuanya dan menjadi seorang Biksu demi
mendalami Dhamma, meskipun sebenarnya ada juga orang sedemikian rupa
dibelahan dunia lainnya tetap saja kita harus kasih dua jempol untuk gadis ini.
Kisah gadis muda ini seperti mengingatkan kita kembali bagaimana
Pangeran Siddhartha juga melakukan hal demikian Sang Pangeran yang
hidupnya bergelimang kemewahan serta mempunyai istri yang cantik serta anak
yang baru lahir pergi melepaskan semuanya untuk menjadi seorang petapa demi
menolong semua makhluk terbebas dari penderitaan lanjutkan membaca Sekilas
Mengenai Siddhrtha Gautama

Kisah Gadis Muda Tinggalkan Kemewahan Duniawi dan Jadi Biksu

Umumnya perempuan muda memimpikan karier, pernikahan, kesenangan dan


kebahagiaan serta keinginan tanpa batas, dan merencanakan untuk
mendapatkan semua yang terbaik dalam hidup mereka. Tapi tak demikian
dengan perempuan asal China yang satu ini.

Perempuan bernama Ting Tien ini justru melewatkan impian utama bagi
masyarakat Tiongkok untuk memiliki cinta sejati, dengan menjadi seorang
biarawati.

Dikutip dari Dailymail, Sabtu (14/6/2014), padahal di kehidupan sebelumnya,


perempuan berusia 24 tahun ini 'bermandikan' pakaian ala desainer ternama dan
selalu ber-make up.

Tapi dia tak ragu membuat keputusan untuk meninggalkan hidupnya yang
nyaman dan mewah di Kota Jinan yang terletak di timur China. Ia pun memotong
rambutnya hingga gundul, mengikuti cara hidup, pengorbanan dan beribadah
sebagai biksu.

Tien melakukan aksi kontroversialnya itu setelah lulus dari Universitas Qingdao
di Provinsi Shandong, Ting. Berlatar kekecewaan ia dan temannya tentang gaya
hidupnya. Merasakan bahwa mereka semakin materialistis.

Setelah itu, Tien ke sebuah biara yang dikenal dengan "Temple


Xinlongdongzhi", kuil yang berada di ketinggian gunung setinggi 13.000 kaki
yang tertutup salju di Provinsi Sichuan. Di tempat itu, ia mengaku menemukan
apa yang dicarinya sebagai pencerahan hidup.

Tien pun mengganti namanya menjadi Caizhenwangmu, dan menghabiskan hari-


harinnya untuk beribadah dan meditasi dalam ritual spiritual Buddha.
Kini, Tien hidup bersama biarawan lain. Jauh dari kehidupan materialistis.

Setelah memposting foto kehidupan barunya di dunia maya, namanya menjadi


buah bibir di China. Di negara yang notabene banyak orang-orang mengejar
kesenangan duniawi, mencari uang dan kesuksesan dan pujian. Kini Tien merasa
hidupnya jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Meski banyak yang angkat jempol atas keputusannya, tak sedikit orang yang
mengernyitkan dahi dengan langkah Tien menjadi biksu.

"Sulit untuk menjawab mengapa aku memilih untuk menjadi seorang biarawan.
Tidak ada hal buruk yang terjadi padaku, dan aku tidak berusaha untuk
melarikan diri dari dunia," jawab Tien melalui Twitter, kepada orang-orang yang
menanyakan terkait keputusannya menjadi biksu.

"Aku hanya merasa perlu pemahaman tentang hidup dan mati, dan semua
tentang itu. Aku juga ingin melakukan apa yang bisa kulakukan untuk membuat
dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua makhluk hidup. Terlebih lagi,
saku percaya bahwa Buddha yang telah membuatku menjadi seorang biksu,"
tutup Tien. (Riz) liputan6.com

Demikianlah Kisah Gadis Muda Tinggalkan Kemewahan Duniawi dan Jadi Biksu,
semoga artikel bermanfaat bagi kita semua. Salam Metta

Buddha.id - Namo Buddhaya, apa yang dilakukan pria ini sungguh mulia sekali
dan memang harus kita contoh. Sebab di Jaman modern ini perlakuan anak pada
orang tua lebih banyak yang melawan dari pada yang berbakti, kalau kata
pepatah "Orang tua kaya anak jadi Raja, Anak kaya orang tua jadi babu /
pembantu".

Kisah mengharukan ini patut kita jadikan contoh dan renungan agar kita selalu
ingat dan berbakti pada orang tua. Chen Xingyin adalah seorang petani miskin
yang berasal dari desa Tongxin, Fengdu, kota Chongqing. Chen kehilangan
kedua tangannya ketika berumur 7 tahun yang disebabkan kecelakan listrik.

Meskipun ia tidak memiliki kedua tangannya namun ia tetap setia dan berbakti
pada ibunya yang sudah tua dan sakit. kesabaran dan ketekunan Chen Xingyin
dalam menjalani beratnya hidup sudah tidak diragukan lagi, ia tidak pernah
menyerah dalam menghadapi setiap masalah yang menderanya.

Chen adalah putra bungsu dari saudara yang berjumlah enam orang. Ia sudah
merawat ibunya yang sakit semenjak tahun 2014. Ibunya yang berusia 88 tahun
adalah seorang yang divonis menderita bronchitis semenjak lima tahun yang lalu.

Walau keadaan Chen sangat sulit ia sangat tegar dan mampu melakukan
semuanya sendiri Sebagai seorang difabel tentu tidak mudah menjalankan
semuanya sendiri, bahkan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri pun pasti akan
sangat sulit.

Namun kesulitan tidak pernah membuat Chen menyerah begitu saja. Ia mampu
mengurus dirinya sendiri secara mandiri, bahkan ia juga mampu merawat ibunya
yang sedang sakit. Tiap hari ia menyuapi Ibunya dengan sendok yang ada di
mulutnya.

Dari kisah ini tentu kita bisa ambil nilai positifnya seperti :

1. Berjuang Tak Pernah lelah

2. Ibu Adalah segalanya

3. Tetap Berkerja dan tak mengharapkan belas Kasihan dari Orang Lain

Bagaimana setelah membaca ini ? sangat mengharukan sekali bukan ? semoga


artikel ini membawa manfaat dan menjadi renungan untuk kita semua agar
kedepannya membawa kebahagian. Salam metta ^-^
Buddha.id - Namo Buddhaya, hallo teman apa kabar ? semoga semua dalam
keadaan baik dan tentunya sehat selalu. Pada kesempatan baik ini saya
menemukan sebuah artikel yang sangat bagus untuk kita renungkan
semua. Kuasailah Pikiran Anda, artikel yang saya dapatkan dari
Facebooknya Dhamma kehidupan ini semoga dapat memberikan manfaat
untuk kita semua.

Ketika pikiran sedang dalam keadaan keji, ia dapat membunuh mahluk hidup
tetapi ketika ia sedang dalam keadaan tenang dan tekun, ia dapat bermanfaat
bagi orang lain. Ketika pikiran terkonsenterasi pada pemikiran-pemikiran yang
baik, dan didukung oleh usaha yang benar dan penuh pengertian, efek yang
dihasilkan sangat besar sekali. Pikiran dengan pemikiran yang benar dan murni
akan membawa kehidupan yang sehat dan rileks.
Buddha besabda, "Tidak ada musuh yang dapat mencelakakan seseorang
sehebat pikiran yang serakah, pikiran yang penuh dengan kebencian,
pikiran yang penuh dengan keiri-hatian dan kebodohan."

Pikiran seseorang mempengaruhi keadaan diri sendiri secara mendasar. Pikiran


mempunyai kekuatan yang sama sebagai obat tetapi juga sebagai racun.

Seseorang tidak tahu bagaimana mencocokan pikirannya dengan keadaan, maka


orang tersebut dapat dikatakan seperti telah mati. Putarlah pikiran anda ke dalam,
dan cobalah untuk mencari kebahagiaan dalam diri anda sendiri.

Hanya ketika pikiran dikontrol dengan benar dan terarah ia dapat berguna bagi
pemiliknya dan bagi orang yang lainnya. Pikiran yang tidak teratur dan kacau
merupakan suatu kerugian baik bagi pemiliknya maupun orang lainnya. Semua
kekacauan yang ditimbul di dunia ini adalah ciptaan dari manusia yang belum
belajar untuk mengatur, menyeimbangkan, dan menenangkan pikirannya.

Ketenangan bukanlah kelemahan. Tingkah laku yang tenang setiap waktu


menunjukan tingkat kebudayaan seseorang. Tidaklah begitu sulit untuk menjadi
tenang ketika segala sesuatunya berada dalam keadaan menyenangkan, tetapi
untuk berada tetap tenang ketika sesuatu dalam keadaan tidak menyenangkan,
sangatlah sulit dilakukan. Ini adalah suatu kondisi sulit yang patut untuk
diperjuangkan, karena dengan berlatih untuk bertindak-tanduk tenang dalam
kontrol, seseorang membangun kekuatan karakternya.

Salam Metta ^_^


Makna Fang Sen Atau Melepas Makhluk Hidup - Terdengar tidak asing lagi
bagi kita yang beragama Buddha. Kegiatan seperti ini dilakukan orang dengan
motivasi dan alasan yang berbeda-beda misalkan untuk semacam syukuran,
pindah rumah atau pelimpahan jasa kepada leluhur dan pengharapan sesuatu
( meminta keinginan )

Umat Buddha memandang Fang Sen ini sebagai kegiatan yang harus terus
menerut di laksanakan, sebab memiliki arti yang sangat mendalam yaitu : Dapat
mengembangkann cinta kasih kepada semua makhluk hidup.

Biar tidak salah, kegiatan Fang Sen adalah melepas satwa jadi bukan orang yang
dilepas yah hehehe. Pelepasan hewan ini mengandung arti pula membebaskan
penderitaan hewan agar tetap hidup dalam habitat nya yang artinya sama juga
dapat membebaskan kesukaran dalam hidup yang kita alami.

Pelepasan makhluk hidup ini juga merupakan salah satu tindakan untuk
menambah karma baik kita, dan sepertinya sudah menjadi tradisi dalam Agama
Buddha. Dalam kitab suci Tipitaka, Anguttara Nikaya III: 203, Sang Buddha
mengajarkan lima aturan moral (sila) yang dikenal dengan Pancasila Buddhis.
Salah satu dari lima sila tersebut adalah bahwa seorang umat Buddha bertekad
melatih diri menghindarkan diri dari "Pembunuhan Makhluk Hidup

Pembunuhan, apapun bentuk dan alasannya, adalah merupakan perbuatan


kejahatan karena pembunuhan berarti mengakhiri kehidupan makhluk lain. Jika
kita sebagai manusia memiliki keinginan untuk tetap hidup, serta tidak ingin
kehidupan kita dirampas dan dipenjara oleh makhluk lain, demikian juga yang
dirasakan dan diinginkan oleh makhluk lain.

Hal ini adalah hukum alam yang tidak dapat dipungkiri, akan tetapi kita mungkin
berusaha menghindarinya dengan lebih mengutamakan kepentingan diri kita
sendiri dengan anggapan bahwa kepentingan kita jauh lebih di atas dan lebih
berharga daripada kepentingan makhluk lain.

Tanpa kita sadari sesungguhnya akibat dampak dari membunuh adalah


kebencian dan dendam turun-temurun, dampak lain adalah iklim bumi yang
tidak lagi kondusif dan damai, serta terjangkitnya berbagai penyakit yang
menakutkan dan musibah lainnya.

Manfaat utama Fangshen adalah mencegah terjadinya pembunuhan hewan yang


tidak berdaya, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kepedulian kita
terhadap sesama pula. Sifat peduli dan welas asih yang ditanamkan dalam
kegiatan Fangshen ini harus juga dikembangkan dan menyatu dalam kehidupan
sehari-hari.

Buddha.id - Namo Buddhaya, sebelumnya saya ingin minta maaf kepada kawan-
kawan seDhamma sebab beberapa hari ini buddha.id jarang update dan hal itu
dikarenakan web sedang dalam perbaikan hal ini membuat saya harus memutar
otak untuk segera memperbaikinya.

Perkiraan saya mungkin senin 28 Maret 2016 masalah ini cepat selesai dan saya
bisa kembali lagi berbagi konten-konten Buddhis yang bermanfaat. Tak lupa
juga saya mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara/i yang sudah Mari
Berdana Dengan Mencetak Kitab Suci KOO ONG KUAN SEE IEM KENG,
( Tutup 31 Maret 2016 )

Oke kembali ke topik pembahasan kita akan mengulas pertanyaan salah satu
umat dari dari Jakarta yang bernama Yulia yang bertanya ke Bhikku
Uttamo dengan pertanyaan sbb :

Tanya : Bhante, Saya Ingin Bertanya, Apakah Perbedaan Antara Liam Keng dan
Paritta ?

Jawab : Keng' atau Paritta mempunyai arti yang kurang lebih sama yaitu sebuah
atau sebagian dari kotbah yang pernah diuraikan oleh Sang Buddha pada suatu
saat di tempat tertentu. Kotbah Sang Buddha ini semuanya berisikan petunjuk
agar orang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.

Seorang umat Buddha dalam melakukan ritual keagamaannya, biasanya


mengulang kembali kotbah Sang Buddha tersebut. Dalam masyarakat Buddhis,
kotbah Sang Buddha yang menggunakan bahasa Pali atau bahasa yang pernah
dipergunakan di India waktu itu disebut sebagai 'Paritta' yang arti sebenarnya
adalah perlindungan.

Sedangkan, kotbah Sang Buddha yang telah diterjemahkan kedalam bahasa


Mandarin disebut sebagai 'cing' atau 'keng'. Dengan demikian, 'Liam keng' atau
'Nien Cing' adalah sama artinya dengan 'membaca paritta'.

Baca juga : Manfaat dan Kekuatan Paritta Suci

Demikianlah tanya jawab singkat Apakah Perbedaan Antara Liam Keng dan
Paritta ? oleh Bhikku Uttamo semoga bermanfaat. Salam Metta
Buddha.id - Ada pertanyaan menarik dari salah satu umat yang bertanya kepada
Bhikku Uttamo, kira-kira begini pertanyaannya.

Tanya : Dalam Agama Buddha terdapat 3 aliran yaitu Theravada, Mahayana dan
Tantrayana.
Yang mao saya tanyakan ke Bhante : Mengapa dalam ajaran Mahayana
kebanyakan
ajarannya mengarah ke ajaran Bodhisatva dan sutra-sutra yang dibacakan itu
kebanyakan
sutra Bodhisatva ?
Apakah dalam Ajaran Sang Buddha pernah cerita mengenai sutra-sutra
tersebut ? Contohnya : Mahakaruna Dharani, Amithaba Sutra, Bhaisjyaguru
Sutra ?
Terima kasih atas jawaban Bhante.

Jawab : Dalam masyarakat Buddhis berkembang Agama Buddha dengan dua


tradisi besar yaitu tradisi India yang dikenal dengan istilah Theravada, dan
tradisi Tiongkok yang dikenal dengan istilah Mahayana. Tantrayana atau
Vajrayana atau Agama Buddha dengan tradisi Tibet lebih sering digolongkan
sebagai bagian dari Agama Buddha tradisi Tiongkok.

Perbedaan Agama Buddha tradisi India dengan tradisi Tiongkok secara


sederhana dapat dilihat dari saat Pangeran Siddhattha mencapai kebuddhaan.
Saat Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Sempurna di Bodhgaya menjadi
Buddha Gotama dapat dianggap sebagai titik nol untuk mempelajari kedua
tradisi besar dalam Agama Buddha.

Theravada lebih banyak memberikan keterangan dan penjelasan yang


berhubungan dengan berbagai kejadian setelah Pangeran Siddhattha mencapai
kebuddhaan. Karena itu, berbagai kotbah Sang Buddha banyak dikutip dalam
penjelasan secara Theravada.

Mahayana lebih banyak memberikan keterangan dan penjelasan yang


berhubungan dengan berbagai kejadian sebelum Pangeran Siddhattha mencapai
kebuddhaan. Karena itu, berbagai penjelasan Dhamma dalam Mahayana banyak
membabarkan tentang bodhisatta atau calon Buddha.

Adanya perbedaan itu pula yang menyebabkan beberapa bagian kitab suci yang
dipergunakan di kedua aliran tidaklah sama. Dharani dan sutra yang ditanyakan
di atas tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka yang dipergunakan Agama
Buddha tradisi India atau Theravada.

Meskipun ada sedikit perbedaan di antara kedua aliran besar ini, hendaknya
para umat Buddha tidak mempertajam perbedaan tersebut. Umat Buddha
hendaknya lebih banyak membicarakan berbagai persamaan yang ada di kedua
tradisi.

Dalam bahasa sederhana, berbagai hal yang sama dalam kedua tradisi
hendaknya tidak dibeda-bedakan. Sebaliknya, hal yang berbeda dalam kedua
tradisi hendaknya tidak dipersamakan. Setiap umat Buddha dapat memilih dan
menjalani Agama Buddha dengan tradisi yang sesuai kecocokan masing-masing
tanpa harus saling menjelekkan tradisi lain.

Semoga jawaban ini bermanfaat.


Salam metta, B. Uttamo

Buddha.id - Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang
kita miliki; harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan,
keamanan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu
bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya,
karena manusia memang memiliki potensi untuk itu.

Manusia bukanlah makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala
kebutuhannya harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama
Buddha, manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan
digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur
persoalan nasib seseorang.

Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan
merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan
meminta kepada para dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala
keinginannya, tanpa mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu
dipersembahkan sajian yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih
mempercepat terkabulnya permintaan mereka.

Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para Dewa atau Maha Dewa
untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Umat Buddha memuja Sang Buddha, sama sekali tidak dengan harapan untuk
memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun spiritual, seperti: rezeki, harta,
pekerjaan, jodoh, keturunan, keselamatan, berkah, diampuni dosanya, sorga,
atau pamrih apapun.

Bukan juga karena perasaan takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud
kepada Sang Buddha karena Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan
Kebebasan. Karena itu, tidaklah berkelebihan bila Puja Bakti, sembahyang,
dalam agama Buddha adalah betul- betul mumi dan tulus.

Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di hadapan Buddha Rupang, kita


bermaksud membuat diri kita merasa berhadapan langsung dengan Sang
Buddha. Dengan cara demikian kita memperoleh inspirasi dari sifat pribadi Sang
Buddha yang mulia, dan menghirup kasih sayang Beliau yang tak terbatas, serta
merenungi dan mencoba untuk mengikuti contoh mulia Beliau.

Pohon Bodhi juga merupakan lambang pencapaian penerangan sempuma.


Obyek-obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna
untuk memusatkan pikiran seseorang kala bermeditasi.

Seseorang yang sudah maju tidak memerlukan obyek-obyek luar tersebut


Karena dengan mudah ia dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan
Sang Buddha dalam batinnya. Demi kebaikan kita sendiri dan karena rasa terima
kasih, maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tapi yang diharapkan
oleh Sang Buddha dari para pengikutnya bukanlah penghormatan seperti itu.
Sang Buddha bersabda; bahwa cara penghormatan yang paling tepat adalah
melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.

Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa permohonan, minta-minta keselamatan,


berkah, rezeki, pengampunan, dan lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang
Buddha sendiri, ataupun Tuhan. Beliau tak pernah manjanjikan hadiah kepada
mereka yang berdoa kepada-Nya. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa
sia-sianya doa-doa permohonan, tapi juga Beliau mencela perbudakan mental
seperti itu.

Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan umatnya berdoa atau memohon atau
meminta-minta kepada Tuhan, karena Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama
Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat
menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Tuhan dipandang sebagai
Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan demikian, doa permohonan tidak
tepat ditujukan kepada Tuhan dalam pengertian agama Buddha.

Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenamya,
yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Demikian juga
halnya dengan Sang Buddha, karena telah menyadari dan menyelami hakikat
Tuhan yang sebenamya, maka Beliau tidak seharusnya dipaksa untuk mengurusi
hat-hal duniawi. Umpamanya, dengan menjadikannya sebagai cukong yang
senang berdagang kesejahteraan atau kebahagiaan; ataupun sebagai hakim
yang dapat disuap dengan doa-doa, puji-pujian, maupun persembahan kurban.

Sebagai Guru yang menganjurkan Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak
mengajarkan doa permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau
kegunaan doa yang demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat
membuat suatu analogi yang sederhana.

Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah,
air, cuaca, perawatan, dan lainnya yang sama. Tapi:

- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi
pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah
sesuai dengan benih yang ditanam.
Adakah yang mampu mengabulkan doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan
lewat analogi tersebut sudah sangat gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan
sesuai dengan benih / karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa
didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Untuk membuat
keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti kita miliki atau ciptakan.

Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa menebar pupuk,
menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka tak ada yang tumbuh.
Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan karma baik,
tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.

Sang Buddha saat menjelaskan bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam


pikiran kita, menyatakan bahwa membunuh akan menyebabkan antara lain,
berusia pendek. Menghindari pembunuhan, akan menyebabkan usia panjang
dan bebas dari penyakit Bila kita gagal mengikuti nasihat yang paling mendasar
ini, tetapi tetap berdoa agar berumur panjang dan memiliki kesehatan yang balk,
kita telah salah tafsir.

Sebaliknya bila di masa lalu seseorang telah menghindari pembunuhan,


menyelamatkan nyawa seseorang atau makhluk lain, maka harapannya mungkin
bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama, Sang Buddha mengatakan bahwa
kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika kita murah hati pada
kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan kita bertambah,
maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila kita kikir saat ini, kita
sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita di masa mendatang.

Bila ada yang merasa doanya terkabul, maka terkabulnya doa itu sesungguhnya
karena ia memiliki sebabnya. Ia mempunyai tabungan karma baik di
kehidupannya yang dulu, atau karena usahanya pada kehidupannya sekarang ini.
Untuk itu beberapa agama cenderung merangkaikan kata doa menjadi Berdoa
dan bekerja. Kita tentu menyetujui bahwa yang menjadi penentu terpenuhinya
keinginan kita adalah kata bekerja. Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan
kita masih bisa tercapai.

Tapi kalau berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak pasti. Apakah semua ini
berarti bahwa doa permohonan adalah satu hal yang sama sekali tidak berguna?
Walaupun jelas doa itu sendiri tak bisa mengabulkan keinginan kita, tentu tak
bisa dikatakan mutlak sia-sia. Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih
baik daripada melamun dengan pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri,
mabuk-mabukan, atau perbuatan buruk lainnya.

Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia, Sang Buddha


mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau
mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan
pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan
yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran
menjadi tenang.

Makin maju tingkat meditasi kita, makin tenang, jemih, dan terang pikiran kita.
Dengan pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan
lebih bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih
lanjut, ini akan mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat
kita menjadi lebih baik.

Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan kita pun menjadi
baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, walaupun kita tidak berdoa,
memohon, atau meminta. Meditasi merupakan cara sembahyang yang paling
mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan seseorang untuk mengucapkan apa-
apa yang tidak ia mengerti. Tidak memperbesar keinginan atau keegoisan
dengan permohonan atau permintaan untuk kepentingan/keuntungan diri sendiri.

Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?

Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan atau pertolongan
itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau
maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan
situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.

Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita bersih, otomatis
para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha
membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau black-magic
yang ingin mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang lampau
telah masak dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak
sanggup menolong lagi.
Dalam arti sejati:

Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang
dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya
dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar
diperoleh.

Walau tak ada larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat
Buddha tidak seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa.
Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai
potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya karena ketidaktahuannya
atau kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka manusia gagal untuk
menyadari kemampuan tersebut.

Perlu diketahui bahwa pertolongan yang dapat diberikan oleh para Dewa
maupun makhluk lain hanyalah terbatas pada pertolongan yang bersifat duniawi,
tidak kekal, bisa musnah, bisa hilang; sehingga akhimya bisa menimbulkan
penyesalan dan kedukaan. Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati, dan
kesempurnaan, hanya dapat dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri.
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, Kalau memang agama Buddha tidak
mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang
dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?

Sang Buddha mengajarkan agar kita memperbaiki yang ada di dalam diri kita
sendiri, mengikis Lobha, Dosa, dan Moha. Makin bersih batin kita, makin mampu
kita menahan diri dari perbuatan salah; yang berarti makin sedikit buah-buah
pahit yang bakal kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang adalah
PARITTA atau SUTTA.

Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan ucapan diarahkan untuk
berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat karma baik lewat pikiran
dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta adalah sebagai
pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat terhadap
Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada sifat-sifat
luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita
semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta
sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.
Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana Buddha, Dhamma, dan
Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai perlindungan yang pasif, karena
berlindung di sini merupakan pernyataan tekad, janji kepada diri sendiri untuk
mempelajari, mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya mencapai
Tujuan. Jadi terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita sendiri;
sama sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan kita,
tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.

Ada juga Paritta yang mirip doa, berisi harapan, memang. Tetapi jelas itu tidak
bisa disebut doa, memohon, atau meminta, karena sebetulnya itu adalah
PATTIDANA atau Pelimpahan Jasa. Terkabul atau tidaknya harapan itu tergantung
pada karma masing-masing. Bukan tergantung pada belas kasihan suatu makhluk.
Ada juga yang bermakna ADITTHANA, tekad, untuk mewujudkan harapan itu
dengan jalan melaksanakan Dhamma.

Bila kita tak bisa membaca paritta, karena sebagai pemula, maka kita bisa
mengucapkan: Semoga semua makhluk berbahagia. Kalimat itu diulang-ulang
terus. Bila hal itu sering kita lakukan dan hayati, maka batin kita akan diliputi oleh
rasa cinta kasih (metta). Bila kita hendak melakukan perbuatan/karma buruk
yang merugikan makhluk lain, kita cepat menyadari. Baru saja saya mendoakan
agar semua makhluk berbahagia, mengapa sekarang saya ingin menyakiti
orang/makhluk lain? Karma buruk batal kita laksanakan, buah buruk pun tak
bakal kita rasakan. Sembahyang, Puja Bakti, dalam agama Buddha bukan untuk
memaksakan keinginan kita, atau mengubah apa yang ada di luar diri kita, tapi
untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita, mengikis kekotoran batin;
Lobha, Dosa, dan Moha.

Persembahan, boleh atau dilarang?

Masalahnya bukan boleh atau dilarang, tetapi bermanfaat tidaknya tindakan itu.
Sang Buddha tidak pemah melarang umat awam; Sang Buddha hanya
memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud
dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan,
meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah
menyucikan pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari
kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa
dari luar dirinya untuk dapat menjadi bahagia. Dan Sang Buddha sebetulnya
tidak memerlukan atau pun memperoleh apa-apa dari persembahan kita!
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?

Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita
sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan
kekikiran. Selalu merasa kurang dan haus. Ini membuat pikiran. kita tidak tenang,
mendorong kita untuk menghalalkan segala cara untuk mernperoleh yang kita
inginkan. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya
adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa merasa
kehilangan. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita,
yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.

Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?

Mempersembahkan hewan kurban juga baik dan bermanfaat. Tapi, disamping


kebaikannya itu, karena ia juga telah sengaja menimbulkan suatu pembunuhan
yang termasuk karma buruk, berarti persembahan hewan kurban manfaatnya
menjadi berkurang, susut Apalagi bila setelah sembahyang, hewan kurban itu
dimakan sendiri tidak didanakan kepada orang lain, maka manfaatnya menjadi
semakin kecil.

Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan manusia, tidak terlalu mengagung-
agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga tidak terlalu merendahkan kehidupan
binatang. Sang Buddha hanya menempatkan pada proporsi yang sebenarnya saja.
Memberikan komentar tentang persembahan kurban, Sang Buddha menyatakan:
Barang siapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya
makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan memperoleh
kebahagiaan setelah kematian .

Bagaimana dengan doa kaul?

Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan,


kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor. Secara sadar atau tidak,
doa itu bermakna; Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak, kalau
Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang. Tapi kalau Tuhan/Dewa
tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam panggang. Bila Tuhan/Dewa yang
kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, apakah kita tidak
salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya? Ibarat kita menjanjikan
uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem, bila Om Liem mau mengabulkan
permintaan kita

Bagaimana kaul secara Buddhis?

Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, Semoga dengan kebaikan
yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan
kebahagiaan/rezeki/makanan/anak. Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru
kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir
jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita
berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari
pak tani.

Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua
makhluk berbahagia.
Buddha.id - Bicara Klenteng dan Vihara tentu sudah tidak asing untuk kita semua.
Namun sayangnya banyak orang salah kaprah yang menganggap Klenteng dan
Vihara itu sama. Yah mungkin karena biasanya Klenteng dan Vihara ada dalam
satu lingkup sehingga banyak orang berpendapat Klenteng dan Vihara itu sama
saja.

Baca Juga : Klenteng Tertua di Tangerang Boen Tek Bio

Biar tidak salah dan untuk sekedar menambah wawasan kamu kali ini Buddha.id
akan ulas perbedaan antara Klenteng dan Vihara dibawah ini :

Klenteng

Merupakan rumah ibadah umat Konghucu/Tao, namun terkandang Theravada


juga suka bersembayang di Klenteng tersebut ( tergantung orangnya )
Biasanya bangunan berarsitektur ala Tiomgkok
Di dalam Klenteng terdapat rupang para dewa/dewa yang dipuja umat
Terdapat tempat tunggku untuk membakar kertas sembahyang
Biasanya juga sekaligus merupakan tempat perkumpulan/yayasan sosial,
seperti Kelompok Pemain Barongsai, dll.

Klenteng biasanya diberi nama dari bahasa mandarin atau bahasa indonesia
misalkan Klenteng Tjo Soe Kong.

Vihara

Adalah rumah ibadah umat Buddha


Biasanya berarsitektur India/Thailand, ada pula yang berarsitektur Tiongkok
Tidak ada tempat untuk membakar kertas sembahyang
Sebuah tempat bisa dikatakan Vihara apabila: memiliki minimal 1 ruang
dhammasala(ruang kebaktian), memiliki kuti (tempat tinggal bikkhu),
perpustakaan, bahkan ruang khusus untuk khotbah. Vihara yang lebih kecil
disebut Cetya yang hanya memiliki 1 ruang dhammasala (ruang kebaktian)
tanpa memiliki dhammasala dan perpustakaan. Vihara yang lebih besar dan
memiliki taman disebut Arama. Vihara bisa disebut Arama apabila: memilkiki
minimal 1 ruang dhammasala, kuti, perpustakaan, ruang khotbah, dan yang
paling penting taman.

Vihara biasanya diberi nama dari bahasa pali atau Sanskerta misalkan Vihara
Dharma Ramsi

Demikianlah uraian singakat tentang Perbedaan Klenteng dan Vihara, kurang


lebihnya anda bisa tambahkan dengan meninggalkan komentar dibawah ini.
Semoga artikel bermanfaat untuk kita semua Salam Metta.
elebihan Agama Buddha Yang Patut Dibanggakan - Buddha.id, Buddha
adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak Benua India dan
meliputi beragam tradisi kepercayaan. Buddha sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu " Budh " yang berarti ' menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya,
bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati mematuhi.

Lebih tepatnya Buddha berarti seseorang yang telah mencapai penerangan atau
pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran serta alam semesta. Sebagai
refrensi utama karena di dalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama.
Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya
dalam 3 buku yaitu Sutta Pitaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Pitaka
(peraturan atau tata tertib para bhikkhu), dan Abhidhamma Pitaka (ajaran hukum
metafisika dan psikologi)

Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainya. Beliau


diagungkan karena kebaikan, kebijaksaan, dan pencerahan-NYA. Buddha sendiri
sebagai sebuah agama yang memiliki beberapa kelebihan. Apa saja itu ? Berikut
ulasan nya.

1. Agama Buddha adalah agama yang suci

Dalam agama Buddha tak ada pertumpahan darah. Agama Buddha tidak
menyebabkan peperangan. Bahkan Buddha sendiri melarang penyebaran
ajaran-NYA melalui senjata dan kekerasan.
2. Agama Buddha adalah agama yang damai dan tanpa monopoli
kedudukan

Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai saudara.


Buddha juga mengajarkan umatnya untuk tidak menjadi musuh orang-orang tak
seagama ataupun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Dalam
agama buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai
kedudukan yang tinggi. dengan kata lain setiap orang dapat mencapai
kebuddhan.

3. Buddha mengajarkan belas kasih yang Universal

Buddha mengajarkan kita untuk menebar kasih sayang dan cinta kasih kepada
semua makhluk tanpa terkecuali. Kasih sayang dan cinta kasih harus dipancarkan
kepada semua makhluk hidup termasuk hewan sekecil apapun.

4. Dalam ajaran Buddha, Tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya

Sang Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaran-Nya.


Semua adalah pilihan sendiri tergantung pada hasil kajian masing-masing
individu. Buddha bahkan menyarankan " jangan percaya apa yang kukatakan
padamu samapai kamu mengkaji dengan kebijaksanaan kamu sendiri secara
cermat dan teliti apa yang kukatakan " Jadi jelas ajaran Buddha memberikan
kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

5. Ajaran Buddha tidak membedakan kasta

Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. Manusia dapat baik
atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan pula percaya atau
menganut satu ajaran agama. Buddha memandang seseorang baik atau jahat
karena perbuatan nya.

6. Agama Buddha mengajarkan Hukum Sebab Akibat

Buddha mengajarkan segala sesuatu muncul karena ada sebab. Tidak satupun
muncul tanpa alasan. Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan,
pujian ,kerugian, penghinaan,celaan, penderitaan semua adalah akibat dari apa
yang anda tabur.
Nahh, sekian dulu ya arikel mengenai kelebihan-kelebihan agama Buddha.
semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. terima kasih.

Namo Buddhaya..!!
Buddha.id - Namo buddhaya, hallo sahabat semua bagaimana kabarnya? lama
saya tidak menulis disini rasanya kangen juga, namun saya tidak pernah
ketinggalan informasi-informasi terbaru yang ada pada situs ini.

Pada kesempatan yang baik ini saya akan sedikit menulis tentang "Jangan
Pernah Menunda Jika Hendak Melakukan Kebajikan" namun sebelum
kawan-kawan seDhamma membaca tulisan singkat saya ini ada baiknya
membaca tulisan saya yang sebelumnya yaitu Mau Jadi Apa Kita di Kehidupan
Yang Akan Datang .

Seperti kita tau untuk melakukan suatu perbuatan baik itu sangatlah sulit, banyak
orang saat ini cenderung senang dengan melakukan perbuatan tidak baik yang
sebenarnya dia juga paham kalau yang dia perbuat akan menimbulkan
suatu KARMA buruk atau bisa menyebabkan orang tersebut terlahir ke alam
yang rendah dan terus menderita.

Oleh sebab itu terlahir sebagai manusia sebenarnya kita sudah cukup beruntung
sebab Dalam Agama Buddha Alam Manusia Paling Baik Untuk Mencapai
Kesempurnaan, Kenapa Demikian ? , silahkan baca terlebih dahulu.

Untuk itu kawan-kawan seDhamma dimanapun berada jika kita mengerti kalau
perbuatan jahat hanya akan mengantarkan kita ke gerbang penderitaan, maka
jangan pernah menunda-nunda jika kita mau melakukan kebajikan, sebab hanya
dengan banyak melakukan kebajikanlah yang akan menolong diri kita sendiri
terbebas dari hal-hal yang buruk ( tidak baik ).

Kenapa Demikian, Jangan Pernah Menunda Jika Hendak Melakukan


Kebajikan ??

Sebagai contoh, pernahkah teman-teman mengalami dimana saat kita ingin


melakukan perbuatan baik misalkan datang ke vihara lalu kemudian timbul
dipikiran "Ah males minggu depan aja perginya", begitu seterusnya yang pada
akhirnya kita tidak pernah pergi ke vihara tersebut karena pikiran kita senang
memikirkan hal-hal yang sebenarnya itu adalah bisikan yang tidak baik.

Maka dari itu jika kita sudah mempunyai niat yang kuat untuk melakukan
kebajikan jangan pernah menunda-nunda dan kita harus jalankan secepat
mungkin sebab jika seseorang menunda-nunda maka pahalanya datang perlahan
dan hanya sebagian dan jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan
perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara
keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan
perbuatan yang tidak baik.

Sang Buddha membabarkan syair berikut:

Bergegaslah berbuat kebajikan, dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;


barang siapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam
kejahatan. [Dhammapada IX : 116 Papa Vagga]

Terima kasih sudah membaca. Semoga artikel bermanfaat, Jika berkenan Anda
juga bisa memberikan sedikit Donasi , untuk kemajuan dan perkembangan
situs ini. Salam Metta..!!

Sembayang Hantu Kelaparan Atau Ghost Festival - Merupakan sebuah tradisi


dalam kebudayaan Tionghoa yang biasa disebut Festival Tionggoan yang jatuh
pada bulan ke 7 pada tangggal 15 ( Bulan hantu ).

Dimana dipercaya banyak kalangan umat Tionghoa kalau pada bulan ini pintu
alam baka dibuka semua dan hantu-hantu dapat keluar bersuka ria dialam
manusia. Oleh karena itu pada pertengahan bulan 7 ini diadakan perayaan dan
sembayang sebagai penghormataan kepada hantu-hantu tersebut.

Kegiatan seperti ini sebenarnya bawaan dari produk masyarakat AGARIS, pada
zaman dahulu kala yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta Dewa-
dewa supaya panen yang biasanya jatuh pada musim gugur dapat terberkati dan
hasil berlimpah.

Lalu adanya pengaruh Buddhisme menimbulkan kepercayaan mengenai hantu-


hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia
manusia. Festival hantu kelaparan atau Cioko atau disebut juga sembayang
rebutan ini pada dasarnya. Salam Metta

Buddha.id - Namo Buddhaya, sudah lama juga saya tidak menulis artikel di
buddha.id dan cukup tertinggal juga hal tersebut dikarenakan kesibukan di
dunia nyata yang tidak bisa saya tinggalkan. Namun pada kesempatan yang baik
ini saya akan menulis tentang Mau Jadi Apa Kita di Kehidupan Yang Akan
Datang. ( Hanya pendapat )

Tentunya kawan-kawan seDhamma mengetahui kalau ada empat hal yang tidak
bisa dihindari yaitu Lahir, Tua, Sakit dan Mati sang Buddha sangat jelas
membabarkan hal tersebut, tapi disini saya tidak akan mengurai satu-persatu dan
hanya akan mengulas sedikit tentang kematian.

Hidup Ini Tidak Pasti, Tapi Kematian Itu Pasti pernah saya tulis di postingan
sebelumnya silahkan baca kembali ini bisa dibilang lanjutan dari postingan
tersebut. Jika kita mengetahui kehidupan ini sebenarnya tidak pasti namun
kematian itu pasti tentunya kita harus mulai berbenah untuk saat ini.

Sebab kita tidak tau sampai kapan hidup kita ini akan berakhir, hendaknya kita
harus mempersiapkan diri kita " Mau terlahir bagaimana kita dikehidupan yang
akan datang ", mengapa saya katakan demikian ?

Kita semua tau ketika kita meninggal rantai penderitaan kita tidak akan terputus
begitu saja kita akan masih mengalami kelahiran kembali entah menjadi manusia,
hewan maupun Dewa, kita bisa tentukan sendiri. Benarkah bisa sedemikian rupa ?

Ya, perbuatan yang kita lakukan pada kehidupan ini akan menentukan kehidupan
kita untuk kehidupan akan datang jika semasa hidup kita terus melakukan
kejahatan, kikir dan suka membunuh makhluk hidup jangan harap akan terlahir
dialam bahagia.

Baca juga : 5 Karma Buruk Paling Mengerikan

Jadi pada intinya selagi kita masih hidup perbanyaklah berbuat kebajikan sebab
tidak ada jalan lain yang akan mengantarkan kita ke alam bahagia selain banyak
melakukan perbuatan baik, kita harus persiapkan ini semua.

Demikianlah postingan tentang Mau Jadi Apa Kita di Kehidupan Yang Akan
Datang, semoga artikel bermanfaat. Salam Metta..!!
Buddha.id - Yang menarik dari kota Singkawang bukan hanya terdapat banyak
Klenteng serta Amoy-amoy nya yang cantik nan jelita. Di kota ini tentu perayaan
Cap Go Meh yang selalu ditunggu-tunggu menjelang hari raya imlek.

Selama dua minggu, mulai Imlek sampai perayaan Cap Go Meh, kota
Singkawang akan berubah menjadi Kota Tiongkok. Di kota ini, setiap rumah, toko,
pasar, klenteng, dan jalan-jalan akan dihiasi lampion-lampion merah. Sangat
meriah bukan.

Sehari menjelang perayaan Cap Go Meh, kota Singkawang, salah satu kota wisata
di Kalimantan Barat, mulai banyak dikunjungi para wisatawan dari dalam dan luar
kota bahkan sampai luar negeri. Semua hotel penuh. Jadi untuk Anda yang ingin
ke kota ini, harus melakukan pemesanan jauh-jauh hari, salah satunya melalui
Ticktab.com.

Baca Juga : Sejarah Serta Asal Usul Perayaan Cap Go Meh


Selama perayaan hari besar masyarakat Tionghoa di kota ini, tatung merupakan
salah satu atraksi paling dinantikan. Penduduk etnis Tionghoa di Singkawang
menyakini, untuk menangkal gangguan roh jahat, mereka wajib melakukan arak-
arakan tatung. Dengan atraksi-atraksi para tatung, mereka berharap roh jahat
tersebut takut dan tidak mengganggu penduduk.

Tradisi tatung di salah satu kota wisata di Kalimantan Barat ini dikisahkan sudah
ada sejak 200 tahun yang lalu. Tradisi yang berasal dari Tiongkok selatan ini
dibawa oleh etnis Tionghoa yang saat itu bekerja menjadi buruh tambang emas
di kawasan Monterado, Kalimantan Barat.

Kata tatung yang berasal dari bahasa Tiongkok memiliki arti orang yang
dirasuki roh dewa atau roh leluhur. Mereka yakin, roh yang masuk dalam
tubuh para Tatung adalah roh-roh baik dan mempunyai kehebatan.

Di Singkawang, jumlah tatung sudah mencapai ribuan dan di hari Cap Go Meh,
mereka semua akan mengikuti arak-arak untuk membersihkan kota. Sebelum
melakukan arak-arakan, setiap tatung wajib datang ke Klenteng Tengah Tri
Dharma Bumi Raya untuk minta izin Dewa Bumi Raya. Hal ini dilakukan sehari
sebelum Cap Go Meh.

Tepat di hari Cap Go Meh, mereka akan melakukan ritual pembersihan kota.
Inilah atraksi yang paling menarik sekaligus mendebarkan bagi penonton.
Mereka melakukan beragam atraksi berbahaya sambil menunjukkan kekuatan
dan kekebalan tubuhnya. Seperti, menginjak pecahan kaca, duduk di atas ujung
pedang, dan menusuk tubuhnya.

Saat ini, atraksi ini sudah masuk dalam kegiatan wisata di Singkawang. Jika kamu
dan keluarga ingin menyaksikan atau merayakan perayaan Cap Go Meh di kota
Singkawang, lakukan perencanaan yang baik dan persiapkan perjalanan wisata
kamu dengan baik dan lengkap. So, happy holiday ya!
Buddha.id - Namo Buddhaya, bicara tentang pelimpahan jasa tentunya sudah
tidak asing dan kita sering mendengarnya atau bahkan mungkin melakukannya
untuk alm. keluarga yang sudah meninggal. Topik ini sangat menarik dan
terkadang kita dibuat bingung dan kurang mengerti bagaimana menjalankan
tradisi yang sudah ada sejak jaman Sang Buddha ini.

"Menghormat mereka yang patut dihormat, itulah Berkah Utama (Manggala


Sutta)"

Di dalam tradisi kita sebagai umat Buddha, memperingati upacara kematian atau
memperingati saat-saat kematian orang yang kita sayangi, saat-saat wafat orang
yang kita cintai sesungguhnya telah dimulai sejak jaman Sang Buddha. Tentu saja
bukan hanya dengan mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua
atau almarhum. Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha
dalam upacara peringatan kematian seperti hari ini. Ada dua cerita yang
berkembang dalam masyarakat Buddhis.

Cerita yang pertama telah sering kita dengar yaitu cerita seorang murid Sang
Buddha yang paling sakti, yang paling hebat, bernama Bhante Moggalana.
Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M.
Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat
luas. Padahal cerita itu tidak terdapat dalam Tripitaka.

Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante


Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain
selain alam manusia. Memang bagi kita yang sudah biasa melatih meditasi,
sebetulnya melihat alam lain bukanlah sesuatu hal yang luar biasa. Melihat alam
surga, melihat alam neraka bukanlah sesuatu yang sulit.

Surga 26 tingkat pun bisa dilihat satu demi satu. Tidak ada masalah. Pada waktu
itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi yang lebih
dikenal orang dengan istilah 'malaikat'. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-
alam menderita, alam setan, setan raksasa yang kita sebut Asura, setan kelaparan
atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat
alam-alam menderita yang sangat menyedihkan ini.

Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di
situ. Di sana, terlihat ibunya dalam keadaan kurus kering dan telanjang bulat.
Bhante Moggalana merasa sangat kasihan sekali kepada ibunya. Beliau berusaha
menolong ibunya. Beliau mencoba memberikan makanan dan minuman kepada
ibunya. Namun, segala pemberian beliau bukannya menolong ibunya;
pemberiannya justru menambah penderitaan ibunya. Karena kebingungan atas
kegagalannya menolong sang ibu, Bhante Moggalana menghadap Sang Buddha.

Bhante Moggalana bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab musabab


kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Sang Buddha menjelaskan
bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang
melakukannya dengan cara pelimpahan jasa.

Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang
telah meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu, Bhante Moggalana
kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah
dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang
Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana.

Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu,


mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian
melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara
pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi.

Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu,
keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda,
pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana
berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa.
Upacara pelimpahan jasa ini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan
para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut
penanggalan Imlek. Itulah cerita tradisi.

Bila cerita di atas adalah merupakan cerita yang berkembang dalam tradisi
masyarakat tertentu, maka ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab
suci Tri Pitaka. Kitab Suci Tri Pitaka memberikan cerita dengan versi lain tentang
upacara pelimpahan jasa.

Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika
mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam
kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah berdana,
raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara bersama
dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hari itu, karena dia
punya kesempatan mengundang Sang Buddha ke istana.

Akan tetapi pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para
makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak
tampak. Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman.
Pada pagi keesokan harinya raja Bimbisara segera pergi ke vihara, bertemu
dengan Sang Buddha. Sang raja bertanya kepada Sang Buddha tentang gangguan
yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik. Sang Buddha
menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah
sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu.

Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di


alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian
menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana.
Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan
dana makanan dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah
menjadi saudaranya itu.

Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Sang Buddha
untuk menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa
kebaikannya dilimpahkan kepada mereka. Para makhluk menderita itu
merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan inilah yang
menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam
bahagia.

Dalam kesempatan itulah Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang


Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di
persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam
menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita
dengan penuh kesedihan.

Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada
satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan,
tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka?
Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan
jasanya kepada mereka.

Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi


melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek.
Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus
menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih
tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang
menerima pelimpahan jasa!
Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam
pun kita bisa merenung. 'Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya
lakukan sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh
kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.' Kenapa dipilih 'bulan
tujuh', ini tentu ada sebabnya.

Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan
pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh
udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup
banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua
jaman dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang
mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang 'dibuka'.

Baca Juga: Imlek Bulan 7 Tanggal 1 Pintu Neraka Terbuka

Oleh sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu
agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara
singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara
Agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa
harus menunggu bulan-bulan tertentu.

Bhikkhu Uttamo: Cara Melakukan Pelimpahan Jasa

Demikianlah ulasan tentang Asal Mula Adanya Pelimpahan Jasa dan Sejarah,
semoga artikel bermanfaat. Salam Metta..!!
Buddha.id - Namo Buddhaya, sangat sayang sekali jika teman-teman tidak baca
artikel ini, sangat mengharukan dan harus kita terapkan kepada kedua orang tua
kita. Konten ini saya dapatkan dari Facebooknya Dhamma Vijja dan saya akan
share kembali disini tentunya dengan tujuan baik.

Jasa orangtua amat besar dan sulit terbalas oleh anak-anaknya selama hidupnya.
Dalam Anguttara Nikaya Bab IV ayat 2 Sang Buddha memberikan
perumpamaan sebagai berikut : Bila seorang anak menggendong ayahnya
dipundak kiri dan ibunya di pundak kanan selama seratus tahun, maka anak
tersebut belum cukup membalas jasa kebaikan yang mendalam dari
orangtuanya.

Anak-anak amat berhutang budi kepada orangtuanya. Tanpa kasih sayang dan
pengorbanan orangtua, anak-anak tidak mungkin dapat hidup bahagia. Sang
Buddha pernah mengatakan bahwa orangtua laksana Brahma bagi anak-
anaknya.

Oleh sebab itu, anak-anak seyogyanya berbakti kepada orangtuanya. Anak-anak


seyogyanya merasa gembira dan bahagia bila berkumpul dengan orangtuanya.
Anak-anak seyogyanya berlaku baik dan sopan terhadap orangtuanya.

Dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda, Berlaku
baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik
terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap pertapa
merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini, berlaku baik terhadap Para Ariya
juga merupakan kebahagiaan.

Anakanak seyogyanya berusaha melakukan kewajibannya sebagai anak dengan


sebaik-baiknya. Dalam Sigalovada Sutta diuraikan mengenai 5 macam kewajiban
anak kepada orangtuanya, yaitu,

Merawat dan menunjang kehidupan orangtuanya terutama dihari tua mereka.


Membantu menyelesaikan urusan-urusan orangtuanya.
Menjaga nama baik dan kehormatan keluarganya.
Mempertahankan kekayaan keluarga, tidak menghambur-hamburkan harta
orangtua dengan sia-sia.
Memberikan jasa-jasa kebahagiaan kepada orangtuanya yang telah meninggal
dunia.

Dalam Angguttara Nikaya Bab IV ayat 2, Sang Buddha juga memberikan petunjuk
mengenai cara terbaik untuk membalas budi dan jasa kebaikan orangtuanya,
yaitu sebagai berikut :
Apabila anak dapat mendorong orangtuanya yang belum mempunyai keyakinan
terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), sehingga mempunyai
keyakinan kepada Tiratana; apabila anak dapat membuka mata hati orangtua
untuk hidup sesuai dengan Dhamma, membimbing mereka untuk memupuk
kamma baik, berdana, melaksanakan sila, mendorong mereka mengembangkan
kebijaksanaan, maka anak tersebut dapat membalas budi dan jasa-jasa kebaikan
orangtuanya.
Sesungguhnya, dengan berbuat demikian, selain anak tersebut telah membalas
jasa-jasa orangtuanya, ia juga telah menumpuk karma-karma baik bagi dirinya
sendiri.

Ada seorang umat bertanya kepada Bhante Uttamo. Umat ini mempunyai
masalah dengan orangtuanya. Ketika dia menyuruh anak-anaknya bernamaskara
atau bersujud di depan nenek, sang nenek bilang tidak perlu melakukan sujud
sepert itu.
Bhante menjawab bahwa orangtuanya mungkin masih kurang pengertian akan
makna namaskara atau bersujud.

Baca juga : Mari Kita Berbakti dan Selalu Menghormati Orang Tua
Dan bhante pun berharap orangtuanya tersebut ikut juga mendengarkan
penjelasan bhante ini. Orangtua yang tidak mau mendapatkan namaskara dari
anaknya adalah orangtua yang masih memiliki pandangan sempit tentang
bersujud. Mungkin mereka takut apabila mendapat namaskara, mereka akan
segera meninggal.

Padahal ketika anak ber-namaskara kepada orangtuanya, orangtua hendaknya


justru memberikan doa kepada sang anak agar mereka semua berbahagia, agar
mereka sejahtera dan agar mereka sukses selalu. Bhante pun menghimbau kita
sebagai seorang anak hendaknya ber-namaskara kepada orangtua minimal
setahun sekali, misalnya bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, sebagai bentuk
penghormatan anak kepada ayah dan ibu. ( Bhante Uttamo Mahathera )
Buddha.id - Namo Buddhaya, sudah lama juga saya tidak menulis artikel tentang
tanya jawab seperti ini, padahal ini sangat bagus untuk menambah wawasan
Buddhis kita. Pada kesempaan ini kita akan mengulas tentang Seluk Beluk
Berdana YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera yang Buddha.id rangkum
dari ww.bbcid.org sbb :

Tanya: Apakah syarat-syarat/cara-cara yang harus diperhatikan sewaktu ingin


memberikan dana?

Jawab: Kiranya dalam mempersembahkan dana, seseorang dapat


mempertimbangkan kemurnian sila si pemberi dan penerima, cara
mempersembahkan dana, cara mendapatkan barang yang didanakan
(legal/ilegal), rutinitas dana, dan manfaat barang yang didanakan; dengan
memperhatikan beberapa hal ini agar selalu positif (baik), maka dana akan bisa
diarahkan agar berbuah yang maksimal.

Tanya: Apakah ada barang yang tidak boleh didanakan kepada anggota Sangha?

Jawab: Dana yang dapat mengkondisikan seorang anggota sangha melanggar


peraturan seharusnya dihindari, misalnya saja: barang-barang yang
mengandung alkohol.

Tanya: Apakah anggota Sangha ada syaratnya dalam menerima persembahan


dana?

Jawab: Kiranya menerima dana yang mengarah pada perkembangan batin dan
usaha mempertahankan kehidupan sebagai pertapa.

Tanya: Bolehkan seorang bhikkhu menerima sesuatu yang tidak ia gunakan, atau
yang telah ia miliki?

Jawab: Boleh saja, karena itu adalah hak si pemberi untuk memilih barang yang
dirasa pantas dipersembahkan. Seorang bhikkhu hanya menerimanya, masalah
menggunakannya, tentu itu juga urusan pribadi sang bhikkhu.

Tanya: Apakah anggota sangha menggunakan bedak dan pakaian dalam?


Apakah kita boleh mendanakan sabun wangi, makanan, roti kering, bek atau milo?

Jawab: Pada umumnya anggota sangha tidak menggunakan bedak, bila ada itu
mungkin untuk kesehatan. Bila pakaian dalam, tidak semua tradisi
menggunakannya tetapi ada beberapa tradisi yang menggunakannya. Sabun
harum boleh saja, karena sungguh sulit mencari sabun yang tidak harum di masa
sekarang. Jadi, itu tidak masalah. Makanan boleh saja didanakan, tidak masalah.
Ini semua nantinya akan diatur oleh pengurus vihara untuk penggunaannya

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan


Dalam berdana, walau umat mempersembahkan uang, hendaknya jangan
berpikir bahwa dia berdana uang, melainkan dia berdana empat kebutuhan
pokok seorang bhikkhu (sandang, pangan, papan dan obat2an). Dengan
demikian, persembahan dananya akan menjadi pantas diterima oleh seorang
bhikkhu yang juga seorang pertapa.

Demikianlah ulasan tanya jawab singkat Seluk Beluk Berdana YM. Bhikkhu Uttamo
Mahathera, semoga informasi bermanfaat dan jika berkenan teman-teman bisa
sebarkan informasi ini. Anumodana..!!

Buddha.id - Namo Buddhaya, tentunya teman-teman seDhamma dimanapun


semua berada sudah tidak asing lagi dengan
sosok Bhikkhu Pannavaro selengkapnya bisa lihat Disini . Pada kesempatan
yang baik ini saya akan berbagi sebuah artikel tentang Perenungan Memberi
Atau Berdana Secara Meditatif yang saya dapatkan dari Facebook Samadi Arama.

Perenungan Memberi Atau Berdana Secara Meditatif

MEMBERI sesuatu adalah bentuk kebaikan yang paling awal, paling mudah
dilakukan. Memberi bahkan bisa dilakukan oleh orang yang kejam dan sadis.
Seorang pembunuh sekalipun masih bisa memberi suatu kebaikan. Minimal
kepada keluarganya sendiri dan kepada teman-temannya. Oleh karena itu, tentu
sangat-sangat disayangkan, kalau kita menjadi agak jauh atau tidak senang
memberi kebaikan.

Karena kalau kita tidak suka memberi, sesungguhnya kita membuang


kesempatan terakhir untuk menambah kebaikan dalam hidup ini. Kalau memberi
itu dijauhi, ini sama seperti kebaikan yang terakhir pun tidak kita punyai, karena
memberi adalah bentuk kebaikan yang paling mudah dilakukan.

Memberi kebaikan berupa materi atau jasa adalah pintu munculnya kebajikan
yang lain. Ibarat pintu terbuka, maka semua yang berada di dalam ruangan akan
tampak dengan jelas dan yang berada di dalam itu akan mempunyai kesempatan
untuk muncul keluar.

Tetapi sebaliknya, kalau pintu itu tertutup, kita pun sulit melihat yang di dalam,
apalagi yang di dalam bisa keluar ke depan. Orang yang congkak atau arogan,
yang sombong, akan sulit memberi bantuan. Orang yang egois, yang mempunyai
keserakahan besar, iri hatinya besar, akan sulit memberi pertolongan.

Tetapi, orang yang suka memberikan kebaikan-materi ataupun jasa-akan


menjadi rendah hati, tidak sombong, dan siap melakukan hal-hal baik lainnya.
Oleh karena itu, sering dikatakan oleh para bijak bahwa memberi itu laksana
membuka pintu kebajikan yang akan memberi jalan bagi munculnya sifat-sifat
bajik yang lain.

Sementara tidak semua orang bisa melakukan kebaikan yang disebut MEMBERI,
ada sebagian orang yang mungkin merasa sangat berat untuk memberikan
sesuatu. Seseorang berpandangan bahwa memberi itu berarti berkurangnya
kekayaan.

Apa yang kita miliki akan menjadi berkurang karena diberikan kepada orang
lain. Tetapi, suatu ketika rasa berat untuk memberi ini akan bisa diatasi dan
disingkirkan kalau dia mau berjuang.

Seseorang kemudian mulai memberi. MEMBERI membawa KEBAHAGIAAN.


Dan kebahagiaan yang diperoleh dengan memberi akan maju sesuai dengan
pengertian yang menyertainya pada saat dia memberi.

Seseorang yang baru mulai memberi akan merasa bahwa melakukan pemberian
itu merupakan perjuangan yang hebat antara ingin memberi dan tidak ingin
memberi. Sementara orang akan berpikir, "Kalau saya memberikan barang atau
uang ini, lalu bagaimana kalau saya sendiri membutuhkannya nanti?"

Kalau latihan atau niat memberinya meningkat, yang semula mereka berhitung di
dalam memberikan suatu pertolongan, sekarang dia memberi dengan satu
langkah yang lebih baik. Tetapi, dia masih berhitung dengan tujuan yang lebih
halus. "Ya, dengan memberikan bantuan ini, mudah-mudahan citra saya naik di
tengah-tengah masyarakat. "

Tetapi, akan naik setingkat lagi, bila dia tidak lagi memberi pertolongan dengan
tujuan supaya dikenal orang, tidak lagi memberi supaya menjadi terpandang di
masyarakat. Tetapi, dia memberi dengan tujuan yang lebih jauh.

Dia memberi kebaikan agar hidupnya tidak kekurangan, supaya ekonominya


tidak hancur, dan semoga sesudah kematian nanti, dia bisa masuk surga. Semua
ini menunjukkan pengertian yang maju, pengertian yang meningkat dari masing-
masing orang yang ingin memberi.

Akhirnya orang akan sampai pada suatu pemikiran puncak. Seseorang memberi
kebaikan kepada orang lain dengan pikiran, "Saya memberi agar saya bisa
membebaskan diri saya dari keterikatan." Dia memberi dengan tidak lagi
menghitung-hitung untung-rugi. Dia memberi dengan tidak mempersoalkan apa
yang akan dia capai.

Memberi kebaikan kepada siapa pun, dengan tujuan untuk mengurangi


keterikatannya terhadap banyak hal, akan memberikan dampak kejiwaan:
kerelaan. Kalau nanti alam sudah menuntut kita untuk melepaskan sernuanya,
yaitu pada saat kematian tiba, kita sudah siap melepaskan segalanya. Karena kita
sudah berlatih melepas dengan perilaku memberikan kebajikan kepada siapa
pun yang memerlukan bantuan. Kita berlatih untuk tidak mempunyai nafsu
kemilikan yang sangat besar.

Kalau seseorang tidak mau berlatih melepas, hanya ingin mengumpulkan dan
mengumpulkan terus, nanti kalau punya masalah, dia pun akan sulit melepaskan
masalah itu. Bangun tidur, mau tidur, berhari-hari teringat terus masalah yang
mungkin saja hanya sepele.
Dia tersiksa, Mengapa demikian? Karena tidak pernah melatih diri untuk
melepaskan sesuatu dengan memberi bantuan kepada mereka yang menderita.
Oleh karenanya, kalau nanti dipaksa oleh alam untuk : melepaskan semuanya
pada saat kematian menjemput, dia sulit sekali mempunyai pemikiran untuk
melepaskan semuanya, sulit menerima kematian.

Secara akal kita mengerti bahwa semuanya akan berubah, tetapi kenyataannya
tidak semudah itu. Nafsu kemelekatan terhadap milik kita tidak bisa hancur
hanya dilawan oleh akal. Nafsu kemelekatan harus dilawan dengan latihan
meditasi untuk memperkuat kesadaran, dengan berbuat berbagai kebaikan dan
memberikan bantuan kepada mereka yang perlu dibantu. Barulah, hawa nafsu
kemelekatan itu bisa dikalahkan.

Buddha.id - Namo Buddhaya, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Teman-


teman seDhamma tentunya sudah tidak asing dengan sosok B. Sri Pannavaro
bukan? Beliau lahir di Jawa Tengah tepatnya di kota Blora pada tanggal 22 Juli
1954 dengan nama Husodo (Ong Tik Tjong), dan menjabat sebagai Kepala
Sangha Theravada Indonesia.

Selengkapnya : Mengenal Sedikit Tentang Bhikkhu Sri Pannavaro

Pada kesempatan yang baik ini saya akan berbagi sebuah ceramah oleh B. Sri
Pannavaro dengan topik ceramah "KASIH IBU". Tentunya akan sayang sekali
jika teman-teman tidak membaca artikel ini sampai tuntas. Berikut ini
adalah Kasih Ibu Oleh Bhikkhu Sri Pannavaro :

Dalam agama Buddha kedudukan seorang ibu sangat lah istimewa. Dalam
Mangala Sutta disebutkan bahwa menyokong ayah dan ibu merupakan suatu
berkah utama. Kita mungkin mengatakan bahwa kasih sayang ibu adalah tema
sangat sederhana, namun pada praktek kehidupan kita sehari-hari apakah kita
sungguh sungguh sudah menyadari besarnya kasih sayang ibu kita? dan sudah
berusaha untuk membalas budinya?. Jika merasa sudah membalas apakah
dengan cara yang benar?

Banyak kasus di sekeliling kita yang menggambarkan putra putri yang tidak
berbakti pada orang tuanya. Banyak alasan yang menimbulkan hal itu. Bisa
masalah ekonomi, masalah keluarga, bahkan masalah agama juga bisa membuat
seorang anak mengakibatkan orang tuanya menjadi sedih dan menderita.
Cukup banyak kasus yang kita dengar karena alasan seorang anak merasa
agamanya yang paling benar dan agama orang tuanya salah maka dia bisa
mengancam untuk tidak mau mengurus orangtuanya sendiri jika tidak ikut
agamanya.

Mungkin dia merasa niatnya baik. Tetapi niat itu benar jika alasannya itu benar,
dan dengan cara yang juga harus benar bukan dengan paksaan atau ancaman
yang justru membuat orangtuanya merasa menderita.

Agama Buddha juga mengajarkan bahwa untuk dapat membalas budi kepada
orang tua, maka seorang anak harus bisa membuat orangtuanya mempunyai sila
yang baik dan mengerti Dhamma serta hukum hukumnya. Tetapi sepanjang
pengetahuan saya itu bukanlah berarti bahwa seorang anak Buddhis baru bisa
membalas budi orangtuanya jika bisa membuat orangtuanya juga beragama
Buddha.

Menjalankan sila dan mempraktekkan Buddha Dhamma serta hukum hukumnya


tidak identik dengan harus beragama Buddha. Ada orang yang bukan beragama
Buddha namun pada prakteknya dia menjalankan sila dan mengerti tentang yang
baik akan berakibat baik dan melakukan yang buruk akan berakibat buruk.

Bandingkan dengan orang yang mengaku Buddhis tetapi tidak menjalankan sila
dan tidak mengerti ajaran Buddha. Mana yang Buddhis menurut anda? Hidup
sesuai Buddha Dhamma tidak perlu harus beragama Buddha. Buddha Dhamma
bukanlah berupa ritual keagamaan yang dangkal.

Mari kita kembali dalam topik Kasih Sayang Ibu ini. Sebagai seorang anak
Buddhis yang baik maka kita harus membalas budi orangtua kita terutama ibu
kita. Bhante Sri Pannavaro menerangkan caranya dalam ceramah renungan kasih
sayang ibu ini.

Namun jika orangtua kita punya keyakinan lain maka menurut hemat saya
membalas budinya bukan dengan memaksanya menjadi beragama Buddha tetapi
mulai dengan memberikan contoh prilaku kita sendiri yang baik kemudian
secara perlahan lahan mengajarkan tentang sila dan Dhamma serta hukum
hukumnya. Jika kita bisa membuat orangtua kita hidup sesuai Buddha Dhamma
maka kita sudah membalas budi mereka. Anumodana..!!
Buddha.id - Namo Buddhaya, Banyak orang yang berpikir, maraknya gadget,
internet dan media sosial membuat orang menjadi individualis, susah bersosial
dengan orang sekitar, susah diajak meditasi dan konsentrasi, hingga menjadi
tempat subur untuk menyebarkan informasi-informasi negatif.

Berbeda dengan pandangan Bhikkhu Uttamo. Menurut Bhante Uttamo, gadget


dan media sosial tidak bisa dijadikan alasan orang susah konsentrasi. Kalau
orang memang belum bisa diajak meditasi, karena susah konsentrasi dan lain-
lain, bukan salah gadgetnya, memang orangnya saja yang belum mempunyai
kemauan kuat untuk meditasi, ujarnya kepada BuddhaZine.

Justru, menurut Bhante, dengan perkembangan teknologi terutama internet,


harus dimanfaatkan oleh umat Buddha untuk belajar Dhamma. Dengan
mudahnya memperoleh informasi itu, seharusnya umat Buddha bisa
memanfaatkan untuk memperoleh informasi Dhamma seluas-luasnya, imbuh
Bhante yang kini menjadi Kepala Pondok Meditasi Balerejo, Blitar, Jawa Timur.

Lalu Bhante menceritakan mengapa ia memilih membuat situs internet


www.samaggi-phala.or.id pada 13 November 1998 untuk menyebarkan Dhamma.
Langkah Bhante Uttamo termasuk berani karena pada saat itu internet masih
merupakan barang langka.

Pada awalnya karena saya bukan Buddhis, saya merasa kesulitan untuk
memperoleh ajaran Buddha, sehingga setelah menjadi bhikkhu, saya ingin
mempermudah penyediaan informasi bagi yang membutuhkan. Dan internet
merupakan salah satu cara yang paling mudah dan cepat menjangkau umat dan
simpatisan Buddhis di seluruh dunia.

Bhante Uttamo, pada masa pencarian spiritual untuk menjawab berbagai


pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya sempat mempelajari berbagai
agama dan kepercayaan. Ketika itu jalannya untuk berjodoh dengan agama
Buddha penuh jalan berliku dan kesulitan mengakses ajaran Buddha, karena
buku Buddhis belum banyak.

Pertemuannya dengan Pandita Buddha di sebuah kelenteng di Yogyakarta tahun


1980 pada masa kuliah menjadi awal tercerahkannya, membuat semua jelas,
dan pertanyaan-pertanyaan tentang realitas kehidupan pada saat itu bisa
diterima dengan masuk akal.
Dari situlah Bhante Uttamo mulai mendalami ajaran Buddha sampai akhirnya
menjadi bhikkhu di tahun 1986 dan kini telah menyelesaikan vassa ke-30. Karena
belajar dari pengalaman sulitnya mengakses ajaran Buddha, Bhante Uttamo
kemudian mempunyai cara khusus untuk menyebarkan ajaran Buddha, salah
satunya melalui web Samaggi Phala.

Dari pengalaman Bhante Uttamo selama ini mengelola situs Samaggi Phala dan
channel Youtube, banyak orang yang belum mengenal Buddhis mengirim
pertanyaan-pertanyaan melalui email. Setelah membaca web Samaggi Phala,
akhinya banyak orang yang belum mengenal ajaran Buddha jadi bertanya dan
belajar agama Buddha, jelas Bhante.

Menurutnya, pengunjung web Samaggi Phala lebih banyak ingin mempelajari


ajaran Buddha, melihat dan mencari kitab suci Tipitaka, lagu-lagu Buddhis, dan
artikel Dhamma dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Bhante Uttamo menekankan, pada era sosial media seperti saat ini, Dhammaduta
dan umat Buddha harus pandai memanfaatkannya untuk mengakses dan
memberitakan ajaran Buddha seluas-luasnya.
Buddha.id - Namo buddhaya, tentunya kawan-kawan seDhamma sudah tidak
asing dengan sosok Bhikku yang satu ini "Bhikku Uttamo", sangat dikenal umat
dan setiap ceramahnya selalu dinanti-nanti maka tidak heran jika vihara selalu
sesak jika umat mendengar Bhikku Uttamo akan ceramah.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan melihat ulasan tanya jawab umat
kepada B. Uttamo tentang Buddhisme dan Mimpi. Artikel ini saya dapatkan dari
Facebook Artikel Buddhis dan saya coba share kembali disini tentunya dengan
harapan semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan pengetahuan
kita semua.

Buddhisme Dan Mimpi :

1. Bila ditinjau dari Agama Buddha, dimanakah roh kita bila sewaktu kita
tidur ?

Dalam Agama Buddha tidak dikenal adanya roh yang kekal seperti dalam
kepercayaan lain, tetapi kita sebagai manusia terdiri dari badan jasmani dan
batin. Batin ini merupakan paduan unsur dari perasaan, pencerapan, bentuk-
bentuk pikiran dan kesadaran.

Pada waktu tidur seseorang tidak melakukan aktifitas melalui badan jasmaninya,
namun batin belum tentu pasif pula. Banyak sekali bukti bahwa pada saat tidur,
batin masih aktif sehingga timbullah mimpi. Oleh karena itu, tidurnya seseorang
tidak berarti ada sebagian tubuh atau batin kita yang tidak ada di tempat,
semuanya masih lengkap seperti sebelum tidur, pada saat tidur dan setelah tidur.

2. Apakah yang menyebabkan kita mimpi, dan kadang-kadang mimpi itu


menjadi kenyataan ?

Karena memang tidak ada sesuatu bagian tubuh yang meninggalkan kita sewaktu
kita tidur, maka mimpi bisa saja terjadi. Menurut Dhamma, penyebab mimpi bisa
dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :

A. Pikiran kita masih melekat dengan segala sesuatu yang telah kita kerjakan
sebelum kita tidur. Misalnya, banyak membicarakan tentang rumah berhantu,
maka malamnya kita tidur dan mimpi tentang hantu.

B. Karena keinginan yang belum terlaksana, misalnya kita ingin ke luar negeri,
tapi karena kondisinya belum mendukung, maka pada saat tidur, kita bisa mimpi
telah pergi dan jalan-jalan ke luar negeri.

C. Karena kondisi tubuh yang terganggu, misalnya anak kecil yang ingin buang
air kecil, maka ia bisa mimpi buang air di tempat yang sesuai, padahal pada
kenyataanya, dia ngompol.

D. Jenis mimpi yang keempat sering disebut sebagai 'kiriman dewa' karena
mimpi jenis ini bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, mimpi
gigi atas lepas, maka, dalam kepercayaan, dikaitkan dengan meninggalnya salah
satu anggota keluarga kita. Dan, sering hal ini memang terjadi.
Dalam pertanyaan di atas, yang dimaksudkan adalah jenis mimpi yang keempat
ini.

3. Bila kita bermimpi bertemu dengan sanak keluarga kita yang sudah
meninggal, dan mereka meminta kita membakar uang kertas / kertas
sembahyang. Apakah benar itu saudara kita? Apa yang harus kita lakukan?

Mungkin benar, tapi juga bisa tidak. Hanya saja, dalam menghadapi situasi ini,
ada baiknya kita melakukan perbuatan baik dan melimpahkan jasanya kepada
sanak keluarga yang sudah meninggal tersebut, atau bahkan kepada semua
makhluk yang menderita. Dengan demikian, kita akan mempunyai kesempatan
menambah kebajikan, sekaligus bisa menolong mereka yang menderita.
( Contoh Pelimpahan Jasa : Dana Kitab Suci KOO ONG KUAN SEE IEM KENG Jilid
2 Telah di Buka )

4. Kadang kita bermimpi dengan alm anggota keluarga kita dan dia
menceritakan sesuatu yang memang benar adanya, Apa dapat dipastikan
mereka itu saudara kita?

Bisa memang sanak keluarga kita sendiri, tapi juga bisa makhluk lain yang
'menyamar' sebagai keluarga kita; atau mungkin malah pikiran kita sendiri.
Demikianlah ulasan Tanya Jawab Dhamma Bersama YM. Bhikkhu Uttamo Thera
(Buddhisme Dan Mimpi). Semoga artikel bermanfaat. Salam Metta

Buddha.id - Namo Buddhaya, hallo pembaca setia situs apa kabar? semoga
semua dalam keadaan baik, berbahagia dan tentunya sehat selalu. Pada
kesempatan yang baik ini Admin ingin melanjutkan topik tentang Pattidana yang
sebelumnya pernah saya tulis di posting sebelumnya.

Mengapa Pattidana Perlu dilakukan?, tentu ini akan sangat menarik untuk
dibahas dan sayang sekali jika teman-teman melewatkan wawasan yang sangat
bermanfaat ini. Artikel Pattidana ini saya dapatkan di Facebooknya Dhamma
Kehidupan dan saya share kembali disini tentunya dengan harapan semoga
informasi ini dapat memberikan manfaat untuk semua.

Pattidana atau Pelimpahan Jasa adalah suatu tindakan atau ungkapan


sebagaimana salah satu bentuk wujud dari rasa bakti dan hormat
(Katannukatavedi) kepada orang-orang yg telah meninggal, yg mempunyai
hubungan dengan kita, orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita.

Didalam Manggala Sutta telah dijelaskan (Puj ca Pujaniyana Eta Mangalamuttama;


Menghormat kepada yg patut yg dihormati adalah berkah utama) Didalam salah
satu Sutta bagian dari Tipitaka juga ada diceritakan ketika Sang Buddha
melakukan perjalanan dan sewaktu ditengah perjalanan beliau berhenti sejenak
melihat setumpukan tulang dan tengkorak manusia, setelah itu Sang Buddha
bernamaskara didepan tumpukan tulang tersebut.

Pattidana adalah suatu tindakan atau ungkapan rasa bakti dan hormat kepada
orang tua, para leluhur dan kepada sanak saudara yang telah meninggal dunia.

Mengapa Pattidana perlu dilakukan?


Pattidana dilakukan karena adanya satu hal yang dapat menjadi pengharapan
agar orang yang telah meninggal tersebut mengetahui serta merasakan
perbuatan baik yang telah kita lakukan dan dengan tujuan agar mereka ikut serta
merasakan kebahagiaan (bermuditacitta) atas perbuatan kebajikan yang sudah
kita lakukan sehingga dengan cara demikian kita akan membantu memberikan
sebuah kondisi yang baik, kondisi yang membahagiakan didalam diri mereka.

Namun perlu diketahui sebelum seseorang melakukan pelimpahan jasa,


seyogiyannya terlebih dahulu ia harus melakukan suatu tindakan nyata dalam
berkebajikan, barulah kemudian dari jasa kebajikan tersebut di limpahkan dan
di kabarkan kepada mereka, semoga kebajikan yang saya lakukan ini dapat
dirasakan dan dinikmati oleh leluhur, keluarga dan semua makhluk yang ada
hubungan karma dengan saya dimanapun mereka berada.
Pattidana ini hanya bisa diterima bagi mereka yang terlahir dialam Apaya (Alam
Menderita) yaitu para Paradattupajivika Peta (yang terlahir menjadi setan
kelaparan). Dalam hal ini mungkin banyak yg berasumsi dan beranggapan,
bukannya setiap makhluk itu memiliki, mewarisi, terlahir, terlindung dan
berhubungan dengan kammanya sendiri, lantas untuk apa melakukan Pattidana?.

Melakukan Pattidana sebenarnya tidak ada ruginya, justru malah sebaliknya


melakukan Pattidana akan menambah nilai pahala dari kebajikan yang telah
dilakukan. Proses pelimpahan jasa kebajikan yang kita lakukan dapat di
ibaratkan seperti Ketika kita mempunyai sebuah lilin kemudian lilin tersebut
kita nyalakan dan setelah itu kita nyalakan api lilin tersebut ke lilin yang lain , dan
cahaya penerangan lilin tadi tentu tidak berkurang . Justru lilin tersebut akan
bertambah terang karena bantuan sinar dari lilin yang lainnya.

Jadi maksud Pattidana ini sama halnya dengan sebuah nyala api lilin yang tak
akan pernah berkurang cayahanya meskipun sudah dibagi kelilin-lilin yang
lainnya, demikian juga dengan kebajikan yang telah kita lakukan kemudian kita
llimpahkan kepada leluhur, sanak keluarga dan semua makhluk pun tidak akan
mengurangi jasa kebajikan yang sudah dilakukan, kebajikan itu akan selalu tetap,
tidak akan berkurang justru akan semakin bertambah.

Karena pengertiannya adalah kita hanya mengabarkan, menyampaikan, dan


berbagi kebahagiaan, supaya mereka juga ikut turut merasakan kebahagiaan
seperti apa yang kita rasakan, dan supaya mereka turut bermuditacitta dengan
tindakan baik kita, sehingga ketika mereka dalam kondisi berbahagia akan
sangat membantu memicu kesadaran baik dan kepuasan batiniah didalam diri
mereka , serta akan mendorong pada semua kebajikan-kebajikan yang pernah
mereka lakukan semasa hidupnya didunia dan dengan begitu akan membantu
mereka untuk dapat terlahir kembali dialam-alam yg lebih baik.

Contoh sederhana dalam hal ini yaitu Ketika seorang anak yang pergi menuntut
ilmu dikota lain/ luar negri memberitakan kabar kelulusannya kepada
orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira ini, ayah dan
ibunya tentunya akan merasakan kebahagiaan. Padahal apabila di renungkan, si
anak yang lulus tetapi orang tuanya juga ikut merasakan bahagia . Inilah yang
disebut pikiran ikut berbahagia (mudita citta) atau ikut bergembira atas
kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain.
Mudita citta adalah termasuk melakukan salah satu karma baik lewat pikiran.
Oleh karena itu, kondisi demikian inilah yang dimunculkan oleh seorang umat
Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan yang dilakukannya

Pada zaman kehidupan Sang Buddha, Pattidana memang sudah dilakukan. Salah
satunya adalah seorang Raja Magadha yaitu Raja Bimbisara, yang melakukan
pelimpahan jasa ketika para sanak saudarannya yang telah meninggal meminta
pertolongan dan bantuan.

Kemudian Raja Bimbisara menanyakan peristiwa yg dialaminya dan Sang Buddha


pun menyarankan agar Raja Bimbisara melakukan kebajikan serta kemudian
melimpahkannya. Sinngkat cerita, Sesudah melakukan hak itu para sanak
keluarganya merealisasi kebahagiaan dan terlahir dialam yang bahagia.

Seperti air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, demikian
pula hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh kerabat dan keluarga) di alam
manusia ini dapat ikut dinikmati oleh para arwah (peta). Seperti air dari sungai
besar mengalir mengisi lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut
dinikmati oleh para peta(Tirokudda Sutta, Khuddakapatha).

Semoga renungan ini akan memberikan manfaat dalam melakukan ritual momen
Cheng Beng, kepada sanak keluarga dan leluhur kita .Semoga semua makhluk
turur berbahagia. Sadhu!!

anya : Bhante salam yang benar itu kita mengucapkan Namo Buddhaya Atau
Sukkita Hontu ? dan saya mau minta objek yang paling baik untuk meditasi.
Dalam hal emosi atau tentang mengatasi masalah cinta agar saya bisa memahami
cinta dengan benar dengan kebijaksanaan.

Terima kasih untuk bantuan Bhante untuk diri saya ( Semoga semua makhluk
hidup berbahagia )

Jawab : Salam Buddhis yang diucapkan bila seseorang umat Buddha bertemu
dengan umat Buddha yang lainya dapat mempergunakan keduanya sama saja.

Kalau seseorang menggunakan " Namo Buddhaya " , maka orang tersebut
mengajak orang yang berada dihadapan nya untuk MARILAH MEMUJI PARA
BUDDHA. maka salam ini dijawab dengan mengucapkan Namo Buddhaya juga.
Apabila seseorang mengucapkan salam " Sukkita Hontu " , yang bila
diterjemakan secara bebas berarti SEMOGA ANDA BAHAGIA. maka jika
seseorang mengucapkan kata tersebut ia pun membalas dengan kata yang sama.

Dan untuk objek meditasi sebenarnya para guru lebih suka menyarankan orang-
orang yang belajar meditasi menggunakan objek netral yaitu dengan mengamati
proses masuk keluarnya pernafasan. Dengan menggunakan objek pernafasan
seseorang dapat mengembangkan pelatihan kosentrasi dalam Samatha Bhavana
demikian.

Buddha.id - Mengapa Manusia Tidak Dapat Melihat Keberadaan Dewa ?


pernahkah pertanyaan ini muncul dibenak kita ? selama ini kita hanya bisa
melihat gambar-gambar dewa di Klenteng-Klenteng dan yang membuat
penasaran kenapa kita tidak dapat melihatnya ?

Teka-teki ini sebentar lagi akan terjawab. Artikel ini saya dapatkan dari
Facebooknya Kebajikan ( De ) dan saya coba share kembali disini tentunya
dengan tujuan baik agar dapat menambah wawasan kita lebih luas lagi.

Selalu saja ada yang bertanya, Benarkah dewa itu eksis? Jika ada, mengapa
tidak bisa melihatnya?

Tentu dewa itu ada. Kalau memang dewa itu eksis, lalu mengapa kita tidak bisa
melihat keberadaannya? Alasannya sederhana, karena orang-orang dalam
kesesatan. Dalam perjalanan hidup seseorang, tidak peduli betapa tinggi
jabatannya, harta bendanya, pasti tidak akan terhindar dari empat kata ini : lahir,
tua, sakit dan mati. Namun, setelah seseorang menemui ajalnya, bukan hanya
sekadar meninggal, lalu selesai begitu saja, tetapi akan reinkarnasi kembali.

Tidak peduli seberapa tinggi jabatan anda, berapa banyak harta yang anda miliki,
semua itu tidak akan bisa dibawa pergi, ada pepatah yang mengatakan : Hidup
bagaikan mimpi, inilah artinya.

Orang-orang selalu terbiasa memahami Dewa dengan pemikiran manusia, dalam


benak mereka, bahwa dengan membakar dupa dan bersujud sembahyang
kepada Dewa, lantas bisa kaya raya dan memiliki anak, atau bahkan terbebas
dari sakit atau penyakit, namun, orang-orang tidak tahu bahwa dalam perjalanan
hidup seseorang itu diatur berdasarkan berkah (amal baik) yang dihimpun dalam
kehidupan sebelumnya, dan mustahil sesuatu itu lantas akan berubah hanya
karena manusia bersujud kepada Dewa.

Akhirnya, setelah bersujud dan memanjatkan doa kepada Dewa, sakit atau
penyakit yang dideritanya tidak juga membaik, dan karena itu, lantas manusia
tidak percaya lagi dengan Dewa, karena mereka mengganggap tidak ada
gunanya, dan karena harapan dari doa (permintaan) yang tidak terwujud itu lalu
menganggap Dewa itu tidak ada.

Yang namanya manusia juga selalu takut akan kematian, lalu ada yang bergumam,
Alangkah bagusnya seandainya bisa menemukan obat awet muda dan hidup
abadi.

Ketika Anda menceritakan kepadanya bahwa melalui kultivasi, dapat mencapai


tujuan itu, justru ada yang menertawakan, tidak percaya dan menganggapnya
takhayul. Dalam sejarah kita, ada seorang kultivator, yakni Hui Neng (Patriark
keenam dan terakhir, pendiri Pencerahan Seketika (Sudden Enlightenment,
638-713 ), jasadnya tetap abadi tidak membusuk, telah dipersembahkan selama
lebih dari 1000 tahun di Nanhua Temple, Guangdong, Tiongkok, dan ini adalah
fakta yang tak terbantahkan.

Coba anda renungkan, seorang manusia biasa apakah bisa seperti itu? Jasad
yang tidak membusuk, jadi bukankah perubahan dari substansi itu karena
kultivasinya? Mengapa bisa meninggalkan jasad yang abadi seperti itu, karena
untuk memberitahu kepada kita : Dewa itu benar-benar ada.

Dalam benak manusia, Dewa itu pasti berjalan di atas awan, dan hanya dengan
melambaikan tangannya, maka semua orang-orang jahat pun mati seketika.
Namun ketika sang Dewa turun ke bumi, maka Ia tidak boleh memperlihatkan
kekuatan supranaturalnya sebagaimana yang dibayangkan manusia, karena
orang-orang dalam kesesatan, dan banyak yang masih harus menyadarinya
(mendapatkan pencerahan) dalam kesesatan itu, karena itu, tidak diperbolehkan
menunjukkan kekuatan superanaturalnya.

Bukankah ada sebait kata yang berbunyi kepala batu (bersikeras dengan
pendapatnya/ tidak sadar dengan kesalahannya)? Artinya manusia disesatkan
oleh penampilan duniawi, tidak percaya pada Dewa. Ketika umat manusia tidak
lagi memiliki keyakinan positif, tidak percaya dengan karma, berani melakukan
kejahatan apapun, semua orang saling curiga, kritis dimana-mana, maka jarak
manusia jadi semakin jauh dengan Dewa.

Akan tetapi, kebaikan Dewa jauh melampaui dari bayangan manusia, bahkan
meskipun manusia telah mencemarkan Dewa sekalipun, sang Dewa tetap masih
memberi kesempatan lagi. Sebagian dari bencana itu hanyalah peringatan bagi
manusia, namun oleh orang-orang yang keras kepala dan masih tidak sadar juga
malah menganggapnya sebagai bencana alam.

Pengikut Dewa ada dimana-mana, mengalami siksaan dan derita, mengirimkan


pesan kebenaran dan kabar gembira dari Dewa, semua ini hanya untuk
kedamaian dan keselamatan kita, tapi malah diejek dan didiskreditkan.

Ada yang melihat patung Bunda Maria, Buddha, dan Bodhisattva di belahan dunia
itu meneteskan air mata, ini menyiratkan bahwa Dewa telah melihat bencana
yang lebih besar bagi umat manusia, tetapi orang-orang justru masih dalam
kesesatan dan tidak segera menyadarinya.

Buddha.id - Namo Buddhaya, Sudah lama sekali saya tidak membuat artikel
tanya jawab padahal banyak yang suka. Artkel tanya jawab memang sangat
bermanfaat untuk kita menambah wawasan tentang Buddhis dan kali ini kita akan
memulai dengan topik Mengapa Belajar Abhidhamma Itu Sangat Penting?

Oleh U Sikkhananda Andi Kusnadi pada 10 Januari 2012 pukul 21:35

Abhidhamma artinya adalah Dhamma yang tertinggi, inilah intisari tertinggi dari
Ajaran Sang Buddha, jauh lebih dalam dan detil daripada Sutta. Abhidhamma
adalah salah satu dari tiga kumpulan Dhamma (dua lainnya adalah Vinaya & Sutta)
Ajaran Sang Buddha. Banyak orang yang meragukan bahwa Abhidhamma adalah
Ajaran Sang Buddha. Perlu diketahui, dari begitu banyak ajaran di dunia, tak ada
satupun yang dapat menyamai Ajaran Sang Buddha yang berada dalam
kelompok Sutta.

Bila Abhidhamma adalah ciptaan orang lain, maka orang yang menemukan/
mengajarkannya pasti lebih pandai dan bijaksana dari Sang Buddha. Hal itu
adalah mustahil, karena Sammsambuddha adalah level
kebijaksanan/pencapaian tertinggi yang seorang makhluk dapat capai. Sehingga
bila seseorang meragukan Abhidhamma sebagai Ajaran Sang Buddha, maka dia
juga seharusnya meragukan Vinaya dan Sutta.
Mengapa belajar Abhidhamma itu sangat penting?

Banyak orang beranggapan bahwa mempelajari Abhidhamma tidaklah penting,


mereka menganggap bahwa dengan mempelajari Sutta sudahlah cukup.
Anggapan ini mungkin dapat dibenarkan saat zaman Sang Buddha atau saat
masih banyak orang suci yang dapat menjelaskan isi dari Sutta dengan baik. Saat
ini, sangatlah sulit untuk mengerti isi Sutta dengan baik, apalagi ditambah
dengan kendala bahasa Pi yang sangat sulit dicari padanan katanya dalam
bahasa apapun.

Contoh kasus: syair dhammapada No. 183 yang sangat terkenal (yang termasuk
dalam kategori Sutta) yaitu, Hindari kejahatan (perbuatan buruk), perbanyaklah
kebajikan (perbuatan baik), dan sucikan hati dan pikiran. Biar lebih mudah,
ambil bagian pertama saja, Hindari kejahatan (perbuatan buruk). Apakah
hanya dengan mempelajari Sutta seseorang dapat mengerti arti sesungguhnya
dari wejangan Sang Buddha ini? Sekarang bila ditanya, apakah pada saat makan,
bercermin, nonton film, bertamasya, dll., seseorang terbebas dari perbuatan
buruk? Bila hanya mengandalkan pengetahuan dari Sutta, kemungkinan besar
sulit untuk menjawabnya.

Tetapi lewat pengetahuan Abhidhamma, hal itu akan sangat mudah. Selama
kegiatan tersebut terbebas dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan
kebodohan mental (moha), maka dia terbebas dari perbuatan buruk. Maka, bila
saat makan dia tidak terserang keserakahan karena makanan yang lezat, dia
terbebas dari perbuatan buruk. Tetapi saat dia merasa senang dan muncul
pendambaan atau nafsu (keserakahan - lobha) terhadap makanan yang lezat
tersebut, maka kegiatan makan pun menjadi perbuatan buruk.

Mari tinjau Perumpamaan makanan berformalin. Misalnya di dalam Sutta


dikatakan, hindari makanan berformalin karena mereka tidak baik bagi
kesehatan. Seseorang yang mendapatkan informasi tersebut dari Sutta dan
mempercayainya tentu akan mengikuti anjuran tersebut dan tidak akan
mengkonsumsi makanan berformalin.

Tetapi bila dia tidak tahu, mungkin dia tidak akan khawatir akibat dari
mengkonsumsi makanan tersebut. Jadi informasi dalam Sutta tersebut sangatlah
baik dan membantu. Tetapi bila tidak dijelaskan ciri-ciri dari makanan yang
berformalin, bagaimana seseorang dapat mengetahui makanan yang mengadung
formalin? Contohnya adalah tahu berformalin, untuk dapat menghindari
mengkonsumsi tahu tersebut, maka seseorang harus mengetahui ciri-ciri dari
tahu yang mengandung formalin. Namun demikian, formalin bukan hanya
ditemukan pada tahu, tetapi juga pada bahan makanan lainnya seperti ikan,
daging, dll.

Oleh karena itu, mengetahui sifat dan bahaya dari formalin juga sangatlah
penting. Hal itu bagaikan mengetahui sifat-sifat dari faktor mental yang tidak baik
(akusala cetasika). Sedangkan, mengetahui ciri-ciri makanan yang berformalin,
bagaikan mengetahui sifat-sifat dari kesadaran yang tidak baik (akusala citta).
Penjelasan tersebut pasti tidak akan dapat ditemukan di dalam Sutta.

Selain itu, agar dapat hidup lebih baik lagi, maka tidaklah cukup hanya dapat
menghindari hal yang buruk, tetapi juga harus bisa mengembangkan hal yang
baik. Oleh karena itu, mengetahui sifat-sifat dari faktor mental yang lainnya (yang
baik dan netral) dan kesadaran yang lainnya (yang cantik dan adiduniawi) adalah
sangat penting.

Semua itu hanya dapat dipelajari di Abhidhamma. Dengan tambahan


pengetahuan dari Abhidhamma, seseorang dapat dipastikan akan mampu
memahami Vinaya dan Sutta dengan lebih baik. Oleh karena itu, sudah
sepatutnyalah seseorang yang mempunyai kesempatan untuk mempelajari
Abhidhamma, menggunakan waktunya untuk mempelajarinya.

Dalam abhidhamma, kebenaran atau kenyataan atau realita terbagi dua: konvensi
(sammuti-sacca) dan sejati atau mutlak atau sesungguhnya (paramattha-sacca).
Kebenaran konvensi adalah kebenaran yang berdasarkan kesepakatan atau
kebenaran yang secara umum diterima oleh masyarakat luas.

Kebenaran konvensi ini dapat berupa konsep pemikiran (paatti) ataupun


ekspresi (vohra), misalnya pria, wanita, gajah, harimau, kue, pakaian, nama,
angka, dia, kami, dll. Coba lihat angka atau bilangan, ini adalah hanya sebuah
konsep yang digunakan manusia untuk mempermudah dalam melakukan
perhitungan, angka bukanlah kebenaran mutlak. Mari simak pembahasan
tentang angka yang terjadi antara bhante Ngasena dan raja Milinda (kitab
Milinda Paha - pertanyaan raja Milinda).
- Ngasena, sudah berapa vassa (masa kebhikkhuan) anda menjadi bhikkhu?
- Tujuh, Tuanku.
- Tetapi, bagaimana kamu katakan kamu sudah Tujuh vassa? Apakah kamu
ataukah jumlah vassamu yang Tujuh.
- Pada saat itu tampak bayangan raja di lantai dan juga di air yang berada di
panci air, kemudian bhante Ngasena bertanya kepada raja, Bayanganmu, Oh
raja, sekarang tampak di lantai dan di air. Bagaimana sekarang, apakah kamu
yang raja atau bayangan tersebut?
- Akulah yang raja, Ngasena; bayangan tersebut muncul karena aku.
- Begitu juga, Oh raja, jumlah vassaku yang Tujuh, bukan aku. Tetapi, karena ada
aku, Oh raja, angka Tujuh tersebut muncul; Tujuh vassa itu adalah milikku seperti
juga bayangan itu adalah milikmu.
- Sangat luar biasa dan menakjubkan, Ngasena. Pertanyaan yang diajukan
kepadamu, walaupun sulit, telah dipecahkan dengan baik!

Dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa angka Tujuh tersebut hanyalah suatu
konsep yang muncul karena dan digunakan untuk mewakili - suatu keadaan.
Namun sebenarnya, angaka Tujuh itu sendiri tidak ada.

Berbeda dengan konsep, kebenaran mutlak atau sejati adalah kebenaran yang
muncul karena sifat asli atau sesungguhnya dari suatu hal atau benda. Ini
merupakan kebenaran mutlak karena kebenaran ini tidak berubah dari sifat
alaminya walau terkena kondisi apapun atau berada di manapun.

Misalnya, keserakahan (lobha), baik itu muncul di pria, wanita, dewa, brahma,
anjing, kuda, atau makhluk apapun itu, sifat dari keserakahan tidak berubah
(tetap) yaitu selalu mendambakan atau merindukan sesuatu. Ada 2 jenis sifat
alami hakiki/intrinsik (sabhva): sifat umum - berlaku untuk semua jenis
fenomena (smaa lakkhaa) dan sifat spesifik - hanya menjadi milik suatu
entitas tertentu (sabhva lakkhaa). Sifat umum dari semua fenomena adalah
tidak kekal (anicca), penderitaan atau tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa-
inti/tanpa-aku/tanpa-jiwa (annat). Sedangkan sifat spesifik adalah sifat yang
hanya dimiliki oleh individu/ entitas tertentu, tidak dimiliki oleh individu/entitas
yang lainnya. Contohnya, panas dan dingin hanya dimiliki oleh unsur api (tejo
dhtu); keras dan lembut hanya dimiliki oleh unsur tanah (pathav dhtu); dan
sebagainya.

Ada 4 kebenaran mutlak: 1. Kesadaran atau kadang sering disebut sebagai


pikiran (citta), terdiri dari 89 atau 121 macam; 2. Faktor-faktor mental (cetasika),
terdiri dari 52 macam; 3. Materi (rpa), terdiri dari 28 macam; dan 4. Nibbna.
Nibbna adalah sesuatu yang ada dan multak, tidak terkondisi (asakhata);
sedangkan tiga realita yang pertama masih terkondisi (sakhata). Tiga kebenaran
mutlak yang pertama kadang kala juga dikenal sebagai nma-rpa atau
pacakkhandha. Nma adalah fenomena mental yang merupakan gabungan
antara kesadaran (citta) dan faktor-faktor mental (cetasika). Sedangkan, rpa
adalah fenomena jasmani atau materi. Bila ditinjau sebagai lima kelompok
kehidupan (pacakkhandha), maka fenomena ini dapat diurai sebagai berikut:

Kelompok jasmani atau materi (rpakkhandha), terdiri dari 28 macam materi


(rpa).
Kelompok perasaan (vedankkhandha), ini adalah vedan cetasika.
Kelompok pencerapan/persepsi (sakkhandha), ini adalah sa cetasika.
Kelompok bentuk-bentuk mental (sakhrakkhandha), terdiri dari 50 cetasika
(tidak termasuk vedan cetasika dan sa cetasika).
Kelompok kesadaran (viakkhandha), terdiri dari 89 atau 121 macam
kesadaran (citta).
Kelompok pertama termasuk dalam fenomena materi/jasmani (rpa) dan
kelompok sisanya termasuk dalam fenomena mental (nma).

Dalam syair pertama dhammapada, Sang Buddha mengatakan,


Semua fenomena mental mempunyai pikiran sebagai pelopornya, mempunyai
pikiran sebagai pemimpinnya; mereka adalah kreasi pikiran. Jika seseorang
berbicara atau bertindak dengan berlandaskan pikiran buruk, maka penderitaan
(dukkha) akan mengikutinya bagaikan roda pedati yang mengikuti jejak kaki
sapi yang menariknya.

Dalam syair kedua dhammapada, Sang Buddha mengatakan,


Semua fenomena mental mempunyai pikiran sebagai pelopornya, mempunyai
pikiran sebagai pemimpinnya; mereka adalah kreasi pikiran. Jika seseorang
berbicara atau bertindak dengan berlandaskan pikiran baik, maka kebahagiaan
(sukha) akan mengikutinya bagaikan bayangan yang tidak pernah pergi.

Berdasarkan dua syair tersebut, Sang Buddha menyatakan bahwa pikiran adalah
hal yang paling penting. Jadi, adalah suatu kesempatan yang sangat luar biasa
bila seseorang mempunyai kesempatan untuk mempelajari pikiran. Seseorang
dapat mempelajari semua hal tentang pikiran dan yang berhubungan dengan
pikiran dalam abhidhamma secara detil dan lengkap. Diantaranya adalah apa
definisi dari pikiran baik dan pikiran jahat, faktor-faktor apa yang membuat
pikiran menjadi pikiran baik dan jahat, apa yang menyebabkan penderitaan, dan
jalan menuju lenyapnya penderitaan.

Oleh karena itu, dengan mempelajari abhidhamma, seseorang dapat lebih


mengenal dirinya dan kenyataan hidup yang sesungguhnya, yang hanyalah
merupakan fenomena mental dan jasmani. Dengan demikian, mudah-mudahan
kehidupan yang dipenuhi oleh penderitaan, ketidakpuasan, dan kesedihan ini
dapat dijalani dengan baik; yaitu dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat
sehingga tidak membuat kondisi yang ada menjadi lebih buruk. Dan mudah-
mudahan dengan pengertian yang baik tentang sifat alami dari fenomena mental
dan jasmani ini, seseorang dapat lebih mudah dalam memahami dan
mengembangkan jalan yang dapat membawanya ke kebebasan atau berakhirnya
penderitaan (Nibbna), yaitu Jalan Mulia Beruas Delapan (meditasi vipassan).

Namun demikian, abhidhamma hanyalah sebatas teori. Sebaik dan sebagus


apapun teori tersebut tidak akan memberikan dampak yang nyata bila tidak
dipraktekkan. Bila seseorang sudah merasa puas dengan hanya mempelajari dan
memahami abhidhamma, maka dia tidak akan mencapai Nibbna. Jadi jangan
lupa untuk menerapkan pengetahuan teori yang telah didapat dari mempelajari
abhidhamma dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: bila terserang rasa marah,
maka langsung sadari rasa marah tersebut, sehingga tidak berkembang dan
mudah-mudahan cepat reda dan hilang.

Dengan demikian, bukan hanya mengurangi jumlah akibat buruk dari marah
tersebut, tetapi malah menambah akibat baik dari menyadarinya. Hal ini dapat
terjadi karena untuk menyadari rasa marah seseorang harus mengerahkan
kesadaran yang baik (kusala citta) yang didukung oleh perhatian murni (sati)
yang baik. Itu sebenarnya adalah praktek dari meditasi vipassan dan hanya
praktek inilah yang dapat membawa seseorang ke Nibbna.

Sebagai seorang yang belum sempurna, sangatlah mungkin penulis melakukan


kesalahan. Penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua kesalahan
yang terdapat dalam tulisan ini. Jika pembaca menemukannya, penulis akan
sangat menghargai masukan anda. Penulis akan dengan senang hati untuk
mempelajari masukan tersebut dan membenarkan kesalahannya.
Semoga semua pencari Dhamma terus maju dan berkembang dalam Dhamma.
Semoga lebih banyak lagi makhluk yang masih banyak debu di matanya,
menjadi semakin sedikit debunya; dan yang mempunyai sedikit debu di matanya,
secepatnya merealisasi buah dari perjuangannya yaitu kedamaian sejati
(Nibbna).

Singkat kata,
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pencari Dhamma.
Semoga semua makhluk dapat berbagi dan menikmati jasa kebajikan hasil dari
penulisan Dhamma ini.

Buddha.id - sudah lama juga saya tidak menshare artikel tanya jawab yang
sebenernya banyak disukai teman-teman Buddha.id, maklum hal tersebut
dikarenakan mencari artikel tanya jawab seperti ini tidaklah mudah dan cukup
sulit menurut saya.

Baca juga : Memahami 10 Karma Baik Dan 10 Karma Buruk

Ada seorang umat yang bertanya seperti ini ?

Tanya : Namo Buddhaya Bhante, saya ingin bertanya tentang bagaimana


pandangan buddhis terhadap anak indigo ? sebelumnya saya ucapkan terima
kasih.

Jawab : Bicara Buddhis terhadap anak indigo tidak aneh atau heran sebab dalam
agama Buddha yakin ada kelahiran kembali yang terus berulang-ulang. Dalam
bahasa umumnya anak indigo punya bakat alam yang tidak semua orang miliki
alami dari lahir jadi sama saja.

Maksudnya, anak indigo yang punya kemampuan batin lebih dibanding anak
atau orang biasa, karena anugrah di kelahiran lalu. Bisa jadi pada kelahiran lalu
anak tersebut seorang petapa yang sudah memiliki kemampuan batin lebih.

Saat ini dia ( Dulunya petapa / rohaniwan yang punya kemampuan batin lebih )
lahir lagi sebagai manusia, meskipun ia masih anak-anak tapi kemampuan batin
lebihnya itu tidak akan hilang dan terus dibawa sampai entah kapan.

Demikianlah pandangan Bhante yang sederhana ini, semoga berguna untuk


menambah pengetahuan dan wawasan jadi luas. Mohon maaf bila ada yang
kurang berkenan dihati.

Bisakah kemampuan batin anak indigo itu dilatih ?

Tentu bisa, jika dari bawaan lahirnya sudah memiliki sesuatu yang beda
(mempunyai kemampuan batin), maka hal itu bisa dilatih biar lebih jelas
pengelihatan nya dengan perbanyak melakukan meditasi serta membaca paritta-
paritta Buddha. Akan tetapi agak sulit juga jika seseorang bukan bawaan lahir
namun ingin mempunyai kemampuan seperti Anak Indigo.

Namun menurut informasi yang saya dengar, bila mana anak indigo tersebut
menikah (berumah tangga) katanya kemampuan nya akan menghilang, benarkan
demikian?

Jika teman-teman seDhamma mempunyai pengalaman (pengetahuan lebih)


terhadap anak indigo bisa share disini. Salam Metta

uddha.id - Namo Buddhaya, mungkin kamu pernah bertanya-tanya akan hal


ini Mengapa Kita Tidak Bisa Mengingat Kehidupan Kita di Masa Lampau ? tentu
sangat menarik dan akan sangat sayang kalau kamu tidak membacanya sampai
tuntas.

Artikel ini saya dapatkan dari Facebooknya , dan saya akan coba share kembali
di situs buddha.id tentunya dengan harapan tulisan ini akan membawa kebaikan
untuk orang banyak. Dan berikut ini penjelasan dari Mengapa Kita Tidak Bisa
Mengingat Kehidupan Kita di Masa Lampau ?

Pada saat ini, pikiran kita dibatasi oleh ketidaktahuan, membuatnya menjadi
sukar untuk mengingat masa lalu. Juga, banyak perubahan yang terjadi dengan
pikiran dan tubuh kita sejalan dengan proses mati dan dilahirkan kembali,
menyebabkan pengingatan kembali menjadi sukar.

Tetapi, fakta bahwa kita tidak mengingat sesuatu, tidak berarti bahwa sesuatu itu
tidak ada. Kadang-kadang kita bahkan tidak ingat dimana telah meletakkan kunci
mobil kita. Kadang juga kita tidak ingat menu apa yang kita hadapi di meja
makan sebulan yang lalu.

Terdapat orang yang dapat mengingat kehidupan masa lalu mereka. Dalam
masyarakat Tibet, terdapat suatu sistem untuk mengenali reinkarnasi guru besar
berkesadaran sangat tinggi.

Cukup sering, sebagai anak kecil, orang-orang ini akan mengenali benda-benda
atau teman-teman mereka di kehidupan yang lampau. Sebagian orang biasa,
juga bisa mengingat kembali kehidupan masa lampaunya, barangkali dalam
meditasi atau melalui hipnotis.

Apakah penting untuk mengetahui kehidupan masa lampau kita?

Tidak. Yang penting adalah bagaimana kita menjalankan kehidupan yang


sekarang. Mengetahui kehidupan masa lampau kita hanya akan
bermanfaat jika ia membantu kita mengembangkan tekad untuk
menghindari perbuatan negatif yang kita lakukan di masa lampau dan pasti
untuk keluar dari lingkaran masalah yang timbul terus menerus.

Mencoba mengetahui kehidupan masa lalu kita hanya untuk memenuhi rasa ingin
tahu saja, tidak akan bermanfaat. Ia bahkan bisa membuat kita menjadi sombong:
"Oh, aku adalah raja pada kehidupan yang lalu. Saya demikian terkenal dan
penuh bakat. Saya adalah Einstein!" Lalu apa?

Sebenarnya, kita pernah menjadi apa saja dan melakukan apa saja dalam
kehidupan masa lalu yang tak terhitung banyaknya dalam lingkaran keberadaan.

Yang penting adalah membersihkan potensi-potensi negatif kita yang diciptakan


pada kehidupan masa lalu, berusaha untuk tidak menambahnya, dan
memusatkan tenaga untuk mengumpulkan potensi positif serta mengembangkan
nilai-nilai dari tujuan kita.

Ada pepatah Tibet, "Jika engkau ingin mengetahui kehidupan masa lalu anda,
lihatlah keadaan jasmanimu sekarang. Jika engkau ingin mengetahui
kehidupanmu di masa mendatang, lihatlah pikiranmu sekarang."

Kita menerima kelahiran kita yang sekarang sebagai hasil dari perbuatan masa
lalu kita. Kelahiran kembali sebagai manusia adalah suatu keberuntungan dan itu
terjadi disebabkan karena kita telah menjaga moralitas kita di masa lalu.

Sebaliknya, kehidupan kita pada kelahiran yang akan datang ditentukan oleh apa
yang kita lakukan sekarang, pikiranlah yang memimpin semua yang akan kita
lakukan.

Dengan demikian, dengan melihat sikap kita saat ini dan mengujinya apakah
baik atau tidak baik, kita boleh membayangkan kelahiran kembali yang baik
yang akan kita alami.

Kita tidak perlu mencari seorang peramal untuk melihat apa yang akan terjadi
pada diri kita, kita cuma perlu melihat apa yang kita tinggalkan dalam rangkaian
pikiran kita dengan tindakan yang kita lakukan.

Buddha.id - Namo Buddhaya hallo kawan-kawan semua apa kabar ? semoga


semua dalam keadaan baik dan tentunya sehat selalu. Pada kesempatan yang
baik ini kita akan mengulas Cara Melakukan Pelimpahan Jasa yang sebenarnya
pernah dibahas oleh Bhikku Uttamo Disini.

Pertanyaan ini diajukan oleh umat bernama Indra Darmawan dari Surabaya yang
bertanya sbb :

Tanya : Apakah pelimpahan jasa harus dilakukan dengan berdana ke tempat-


tempat ibadah dan orang-orang tergolong suci, atau bisa kita berikan kepada
orang yang menurut kita sedang memerlukan?

Jawab : Namo Buddhaya,

Inti pelimpahan jasa adalah perbuatan baik yang dilakukan atas nama orang yang
telah meninggal. Sedangkan untuk obyek kebajikan, tidak harus satu pihak yang
sama terus menerus. Orang bisa melakukan kebajikan kepada siapapun juga, di
manapun saja dan sesering mungkin, tidak ada batasannya.

Yang penting, jangan lupa mengucapkan dalam hati: "Semoga dengan kebajikan
yang telah saya lakukan pada hari ini, dapatlah memberikan kebahagiaan
kepada almarhum ....sesuai dengan kondisi kammanya. Semoga almarhum
bahagia, semoga semua mahluk berbahagia.'

Sdr. Indra Darmawan yang baik, bila ditujukan hanya untuk almarhum /
almarhumah, maka 'pelimpahan jasa' dapat dilakukan dalam tiap perbuatan baik
tanpa kecuali, NAMUN akan lebih efektif apabila perbuatan baik itu adalah
perbuatan baik yang sering dan senang dilakukan oleh almarhum / almarhumah,
karena ia pasti memiliki kesan kuat akan perbuatan baik yang senang
dilakukannya.

Oleh karena itu janganlah terikat kepada promosi untuk melakukan 'pelimpahan
jasa' dengan cara-cara yang umum dilakukan umat Buddha, WALAUPUN itu tetap
perbuatan baik; namun bila ingin 'melimpahkan jasa', cobalah cari perbuatan
baik yang senang dilakukan oleh yang akan 'dilimpahkan jasa.'

Kisah Dewa Jodoh Yue Lao ( ) - Mungkin sudah tidak asing buat sahabat
Buddhis sekalian, Namun kalau boleh jujur saya sendiri mengetahui kisah Sang
Dewa Jodoh ini melalui film Sungokong yang pernah tayang di Tv hehehe.

Sebenarnya bagaimana si kisah Dewa Jodoh Yue Lao ini ?

Dahulu kala konon dalam kepercayaan Tiongkok kuno, ada seorang Dewa yang
bernama Yue Lao yang bertugas mengatur kisah cinta asmara umat manusia di
bumi. Dalam adat pernikahan tradisional Tionghoa, pengantin perempuan dan
mempelai laki-laki berjalan bersama-sama memegang panjang kain merah
dengan pita di tengah. Hal ini dapat menjadi simbolisme perjodohan oleh dewa
Yue Lao.

Yue Lao sendiri digambarkan seorang lelaki tua berwajah lembut dan
berjenggot putih. Dalam tugasnya beliua sering turun ke bumi dan sangat suka
sekali mengikat SIMPUL BENANG MERAH diantara dua kaki anak manusia pria
dan wanita.

Ada sebuah kisah nyata yang menarik dan membuktikan kalau Dewa Jodoh Yue
Lao memang benar-benar ada yaitu:

Seorang pria berusia 35 tahun yang sifatnya suka usil dan menggoda gadis kecil
berusia 5 tahunan dengan melempar sebuah batu kerikil yang membuat gadis
tersebut menangis. Melihat kejadian tersebut Yue Lao menegur pria tadi dengan
mengatakan " Kenapa kamu tega menyakiti calon sang istri " , karena salah satu
kakinya telah terikat oleh benang merah dengan salah satu kaki si gadis kecil.

Mendengar hal ini pemuda itu tertawa dan merasa lucu lalu berkata " Hai pak tua
berjenggot putih omongan anda sungguh ngawur, mana mungkin anak kecil itu
jodohku ? dia hanya anak kecil dan tidak memiliki hubungan apapun denganku
SERU si pemuda tadi..!!
Suatu hari si pemuda mengumumkan akan menikah dengan seorang gadis cantik
nan jelita, Betapa heran dan terkejut nya si laki-laki melihat sang istri ada bekas
luka di dahi nya. Dia bertanya kepada sang istri siapa orang yang melakukan ini
padamu dinda ?

Sang istri menjawab kakanda sayang, belasanan tahun lalu waktu aku masih
kanak-kanak ada seorang pemuda brengsek suka usil yang melempariku dengan
batu kerikil sehingga dahiku terluka dan membekas seperti ini. Sang suami
terkaget dan mengingat apa yang dilakukan nya waktu itu dan baru percaya
omongan kake tua berjenggot tersebut.

dari isi cerita diatas kita dapat mengambil sisi baik nya yaitu : Jangan berfikir dan
mengatakan dia bukan jodohku sebab apapun bisa terjadi di dunia yang penuh
keajaiban ini.
Buddha.id - Kalimantan Barat, Singkawang - Sangat disayangkan tindakan
oknum yang tidak bertanggung jawab ini melakukan pelemparan bom molotov
ke Klenteng Kwan Im Kiung atau Vihara Budi Dharma di Singkawang, Kalimantan
Barat pada Senin (14/11/2016).

Bangunan samping Klenteng Kwan Im Kiung yang juga disebut Vihara Budi
Dharma di Jalan Gusti Situt Mahmud, Kota Singkawang, dilempari bom molotov
sekitar pukul 03.15 WITA. Hingga saat ini masih dalam penyelidikan oleh pihak
kepolisian.

Pembina umat Buddha di Singkawang, Bhikkhu Tithanyano berpesan agar umat


Buddha tetap tenang dan tidak panik menghadapi peristiwa tersebut.

Semoga umat Buddha, terutama yang berada di kota Singkawang, tidak panik,
apalagi membenci atas munculnya kejadian ini, ujar Bhante Tithanyano yang
saat ini menetap di Vihara Vimala Chanda Arama, Singkawang sejak tahun 2006.
Tetap bersikap hati-hati dan waspada dalam bertindak, Bhante berpesan.

Setelah kejadian tersebut, menurut pembina klenteng, Kim Liong masyarakat


tetap berkunjung untuk melakukan ibadah seperti biasa dan pihaknya tetap terus
mengawasi situasi di sana. Namun pihak kepolisian tetap melakukan
pengamanan di sekitar klenteng dengan bantuan dari TNI.

Masyarakat Kalimatan Barat dan Singkawang diminta tetap tenang dalam


menyikapi teror ini. Warga diharapkan tidak terprovokasi dan tetap waspada.
Singkawang sendiri saat ini sedang menghadapi tahapan pilkada.
Masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan melalui
peningkatan keamanan swakarsa, di lingkungan tempat tinggal maupun
lingkungan kerjanya masing-masing, tutur Suhadi.
lam Nya Hukum Karma Bila di Resapi - Buddha.id, dalam kehidupan sehari
tentunya kita sering mendengar kata karma penggunakan kata karma ini jika kita
lihat bukan hanya digunakan oleh umat buddha saja namun terkadang agama lain
pun menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan hal-hal yang tidak baik
(perbuatan).

Padahal jika kita resapi karma bukan hanya karma buruk saja tetapi ada juga
karma baik. Konsep karma juga identik sebagai penyebab kejadian. Kita selalu
berfikir setiap tertimpah kejadian buruk disebabkan oleh karma padahal bukan
seperti itu juga masih banyak faktor-faktor lain nya.

Lalu apa sesungguh nya karma itu ?

Karma adalah suatu niat untuk melakukan perbuatan, niat itulah yang disebut
dengan karma. Perbuatan yang dilakukan dengan pikiran disebut karma melalui
pikiran; perbuatan yang dilakukan dengan ucapan disebut karma melalui ucapan;
dan perbuatan yang dilakukan dengan badan disebut karma melalui badan.
Dengan demikian karma bisa berupa karma baik dan karma buruk.

Jadi apakah yang disebut hukum karma ?

Hukum karma sebenarnya merupakan hukum sebab akibat yang berlaku untuk
siapa saja dan dalam "Samyutta Nikaya" di nyatakan :

Sesuai dengan benih yang ia tabur, demikian pulahlah buah yang dituai. Mereka
yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagian begitu sebaliknya. Sebagai
contoh hukum sebab akibat dapat kamu baca DISINI

Namun kalau dilihat realita dalam kehidupan sangat berbanding terbalik,


Pernyataan Dhammapada tampak bertolak belakang dengan fenomena
yang ada. Kita sering menemukan orang yang banyak sekali berbuat
kebajikan namun masih mengalami penderitaan dan sebaliknya mengapa
demikian ? apa pandangan hukum karma keliru ??

Jawaban nya ada dibawah ini !!!

Menurut waktunya, karma dapat kita bedakan menjadi 4 (empat) kelompok,


sebagai berikut:
a). Karma yang langsung berbuah
Misalnya kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang.
Supaya tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi
walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi.
Terpaksa kita harus membayar tilang Rp 15.000,- (padahal harga sebuah helm
hanya Rp 10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.

b). Karma yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan.Misalnya
orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali, setelah
meninggal langsung terlahir di alam brahma.

c). Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Misalnya


orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga
dalam kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan
mendengarkan Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan
perbuatan kita terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan
melaksanakan Dhamma. Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang
Buddha, bahwa mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah
utama.

d). Karma yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan
kesempatan untuk berbuah. Sering ada orang yang mengatakan bahwa
tercapainya Nibbana apabila karma baik dan buruk telah habis. Padahal karma
itu tidak mungkin habis karena jumlahnya tidak terbatas. Tetapi karma bisa
dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita mempunyai badan dan batin,
artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak dilahirkan kembali, kesempatan untuk
merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada. Akhirnya ada karma yang
tidak sempat berbuah.

Contoh Lain : Mengapa Saya Miskin, Mengapa Saya Jelek, Mengapa Saya Selalu
Tidak Beruntung ? Ini Dia Penyebabnya

Sangat jelas sekali bukan, dari kejadian diatas kenapa orang yang terus berbuat
baik masih menderita kalian bisa melihat dan mengkategoriakan nya. Artikel ini
di edit kembali oleh Buddha.id dan diambil dari http://allabout-
buddhist.blogspot.com/.
Mantra Ta Pei Cou - Tentu sudah tidak asing buat kawan-kawan yang beragama
Buddha, kita sering mendengar nya di klenteng-klenteng maupun di rumah. Nah
pada kesempatan dan hari yang baik ini Buddha.id akan berbagi sedikit
pengetahuan tentang Mantra Ta Pei Cou beserta artinya dan link download MP3
nya.

Buat teman-teman yang sudah tau tidak ada salah nya menyimak dan mengoreksi
jika ada penulisan saya yang salah atau jika tidak keberatan bisa di share
sekalian hehehe.

Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa ( 3 X )

Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye
Dengan Penuh Sujud Aku Berlindung Kepada Tri Ratna

Na Mo O Li Ye Po Lu Cie Ti Suo Po La Ye ,
Dengan Penuh Sujud Aku Berlindung Kepada Yang Maha Sempurna

Phu Ti Sa To Po Ye Mo He Sa To Po Ye
Makhluk Yang Telah Mencapai Pencerahan Bodhi

Mo He Cia Lu Ni Cia Ye ,
Makhluk Agung Maha Welas Asih

Aum Sa Po La Fa Yi Su Ta Na Ta Sie
Aum Beliau Yang Mempunyai Kekuatan Kesempurnaan Dharma

Na Mo Si Ci Li To Yi Meng A Li Ye
Dengan Sepenuh Hati dan Sujud Aku Berlindung Kepadamu

Po Lu Cie Ti Se Fo La Ling To Po
Sumber Segala Kesucian

Na Mo Na La Cin Ce
Setulus Hati Aku Bersujud kepadamu

Si Li Mo He Pu Tuo Sa Mi
Cahaya Kebajikan Agung Yang Tiada Batas

Sa Pho Ah Tha Tou SU Peng Ah Se Yin


Para Buddha sayup - sayup merasakannya

Sa Po Sa To Na Mo Po Sa To
Yang Memiliki Semu Kemuliaan Kebahagiaan Kemakmuran Tak Terkalahkan

Na Mo Po Chie Mo Fa The Tou


Sumber Berkah Semua Makhluk di seluruh Penjuru Alam

Ta Che Ta Aum , Ah Po Lu Si Lu Cia Ti


Aum Beliau Yang Mendengarkan Suara Dunia Mengatasi Segala Rintangan Karma
Cia Lo Ti , Yi Si Li Mo He Phu Thi Sa To
Aku Akan menjalankan Ajaranmu Sampai Tercapainya Pencerahaan

Sa Po Sa Po Mo La Mo La
Memberi Yang Terbaik Untuk Semuanya di Dalam Berkah dan Kebijaksanaan Mu
( Mo Si Mo )

Si Li Tho Yin Chi Lu Chi Lu


Ketenangan Tidak Terhingga Laksana Dharma Melepasakan Keterbatasaan
Mengembangkan Kemajuan Pribadai dan Semua Makhluk

Chien Meng, Tu Lu Tu Lu Fa Se Ye Ti
Berlatilah Atasi Kelahiran dan Kematian Raih Kemenangan Agung Gemilang

Mo He Fa Se Ye Ti To La To La Ti Li Ni
Bersatulah Tenang Jernih Tajam Berani Pancarkan Cahaya Terang Benderang

Se Fo La Ye Ce La Ce La Mo Mo Fa Mo La
Guncang Guncanglah Bebaskan Aku Dari Noda Batin

Mu Ti Li Yi Si Yi Se Na Se Na
Datang Datanglah , Dengar Dengarlah

Ah La Sen Foa La She Li


Raja Dharma Memutar Ajaran

Fa Sa Fa Sen Fo La Se Ye Hu Lu Hu Lu Mo La
Kabar Gembira Senyum Suka Cita Terimalah Dharma Menyatu Dalam Hati

Hu Lu Hu Lu Si Li Suo La suo La
Laksanakan Dharma Tanpa timbul Keraguan Teguh Tak Tergoyahkan

Si Li Si Li Su Lu Su Lu
Raih Kemenangan Tak Terkalahkan Bagaikan Embun Sejuk Yang Menyembuhkan

Pu Thi Ye Pu Thi Ye Pu Tho Ye Pu Tho Ye


Terang Teranglah Batin Sadar Sadarlah Tercerahkan

Mi Ti Li Ye Na La Cin Ce Ti Li Se Ni Na
Beliau Yang Maha Asih Yang Patut di Puja Laksana Pedang Kebenaran Yang Kuat
Dan Tajam

Pho Ye Mo Na Sa Po He
Kepada Yang Sempurna Svaha

Si Tho Ye Sa Pho He
Kepada Yang Mulia Svaha

Mo Ho Si Tho Ye Sa Pho He
Kepada Yang Maha Gaib Svaha

Si To Yu Yi Se P La Ye Sa Pho Le
Beliau Yang Memiliki Gaib Sempurna Svaha

Na La Cin Ce Sa Pho He , Mo La Na La
Pelindung Yang Maha asih Svaha

Sa Pho He , Si La Sen A Mu Cu Ye Sa Pho He


Beliau Yang mampu Mengatasi Semua Kesulitan Svaha, Yang Berwajah Singa
Svaha

Sa Po Mo He Ah Si Tho Ye Sa Pho He
Beliau Yang Memiliki Kegaiban Agung Svaha

Ce Ci La Ah Si To Ye Sa Pho He
Beliau Yang Memiliki Kegaiban Cakra Svaha

Pho To Mo Ci Tho Ye Sa Pho He


Yang Memegang Bungah Teratai Svaha

Na La Cin Ce Pho Cia La Ye Sa Pho He


Pelindung Yang Welas Dan Patut di Puja Svaha

Mo Po Li Sen Ci La Ye Sa Pho He
Resi Agung Yang Menjalani Hidup Suci Svaha

Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye
Dengan Penuh Sujud Aku Berlindung Pada Tri Ratna

Na Mo Ah Li Ye Po Lu Cie Ti
Dengan Penuh Sujud Aku Berlindung

Suo Po La Ye Sa Pho He
Kepada Yang Maha Sempurna Svaha

Aum Si Thien Tu Man To La Pha To Ye


Aum Semoga Jalan Mantra Ini membuahkan Kegaiban Kesuksesan

Sa Pho He
( Svaha )

Mohon koreksinya ya sobat jika ada kesalahan tulisan dan arti. Berikut ini adalah
10 Manfaat Jika Membaca Nya :

1. Dapat membuat hati kita lebih damai dan pikiran lebih jernih dan terang
2. Dapat menghilangkan segala penyakit batin
3. Membuat kita lebih panjang umur
4. Wajah kita akan selalu memancarkan kebahagiaan, sehingga rejei lebih lancar
5. Dapat mengurangi karma buruk yang kita perbuat di masa lampau
6. Dapat mengurangi hambatan
7. Dapat membuka Prajna ( kebijaksanaan) untuk lebih mengerti Dhamma
8. Dapat menimbulkan Bodhicitta sehingga keyakinan Kita terhadap Triratna akan
menjadi lebih kokoh.
9. Dapat terhindar dari rasa ketakutan yang berlebihan dan terhindar dari segala
bencana yang akan menimpa
10. Setelah meninggal dunia akan dijemput oleh Para Buddha dan Bodhisattva ke
Surga (Tanah Suci)

Buddha.id - Namo Buddhaya, Kata Paritta tidak asing lagi bagi kita umat Buddha,
yang selalu kita ucapkan setiap kebaktian bahkan ketika kita di rumah atau
dikantor dan dimana saja. Mudah bagi kita untuk menghafalkan Paritta tetapi
dalam kontek ini bahwa Paritta sesungguhnya harus dimengerti dan diterapkan
dalam arti yang sebenarnya. Paritta dalam bahasa Pali atau Pirit dalam bahasa
Indo sinhala, secara literal berarti penuh perlindungan.

Buddha dalam berbagai kesempatan dengan bahasa pali yang suci merangkai
paritta atau pirit, pastilah terdapat salah pengertian yang menyamakan paritta
sebagai tuah yang misterius atau mantra, tetapi sebenarnya terdapat
penganjuran asli yang etis dan mengandung nilai filosopis dari ajaran buddha,
yang berkaitan dengan aspek-aspek Dhamma.

Paritta yang dibacakan oleh Sangha atau umat, secara individu atau bersama-
sama, untuk memperoleh berkat dari tiratana bagi diri mereka sendiri maupun
bagi orang lain, baik disaat kesusahan maupun kesejahteraan.

Pembacaan Paritta Sutta keluar suara walaupun kecil saat dirumah ada
bagusnya, karena saat pembacaan Paritta Sutta kita mendengar apa yg kt baca
begitu juga yangg lain ikut mendengar ( besar atau kecil, halus atau kasar,
nampak atau tidak nampak ).

Disarankan juga bagi umat, saat pembacaan Paritta Sutta berusahalah niatkan
dalam batin untuk mengulang Ajaran Buddha serta tingkatkan perhatian dan
berkonsentrasi dalam pembacaan paritta yang ditujukan untuk semua makhluk ,
dengan demikian kita sudah melaksanakan Dhamma Dana.

Adapun juga pembacaan paritta sutta dapat menanggulangi pengaruh buruk


yang ditimbulkan dari makhluk jahat, karena pengaruh buruk adalah akibat dari
pikiran jahat. Oleh karena itu pengaruh buruk ini dapat diatasi dengan pikiran
yang sehat.

Satu cara yang pasti untuk menimbulkan keadaan pikiran yang sehat adalah
mendengarkan serta merenungi pembacaan paritta dengan seluruh akal budi
dan keyakinan. Demikian besar serta dahsyatnya kekuatan konsentrasi sehingga
dengan memperhatikan sungguh-sungguh akan Kebenaran yang terdapat dalam
paritta, orang akan mampu mengembangkan keadaan pikiran yang sehat.

Pembacaan paritta-sutta juga mampu mendatangkan berkah material, dengan


dicapainya keadaan pikiran yang sehat melalui konsentrasi dan keyakinan
sewaktu mendengarkan pembacaan paritta. Karena menurut Sang Buddha usaha
yang benar adalah faktor yang diperlukan untuk mengatasi penderitaan.
Mendengarkan pembacaan paritta dengan cara yang benar akan
membangkitkan tenaga untuk melindungi kemajuan duniawi serta kemajuan
batin.

Penyakit jasmani dan batin yang menjadi penyebab segala penderitaan dan
kemalangan hanya membutuhkan satu jenis obat saja. Obat itu adalah Kebenaran
Kesunyataan (Dhamma). Karena itulah mendengarkan Dhamma melalui
pembacaan paritta dengan sikap yang benar akan memberikan manfaat.

Manfaat yang diperoleh adalah keadaan pikiran yang sehat, sehingga


menimbulkan kesehatan jasmani serta batin dan juga kemajuan material serta
spritual. Pengaruh pembacaan paritta juga tidak terbatas oleh jarak, mampu
mengatasi jarak yang bagaimanapun jauhnya.

Paritta memiliki arti perlindungan. Semuanya digunakan untuk menjelaskan


sutta-sutta (khotbah-khotbah) tertentu yang dijelaskan oleh Buddha Gotama.
Sutta-sutta ini ada sebagian yang memang dianggap mampu memberikan
perlindungan dari pengaruh-pengaruh yang membahayakan. Namun, semuanya
sesungguhnya kembali kepada seberapa besar kekuatan keyakinan (Saddha)
yang kita miliki ketika sedang baca Paritta tersebut.

Menjadi seorang umat buddha memang tidak ada keharusan untuk dapat
membaca Paritta dengan baik, benar, serta hafal diluar kepala, tetapi tidak
berarti pula pembacaan Paritta tidak ada manfaatnya dan hanya sekedar
pelaksanaan ritual saja. Adapun manfaat pembacaan paritta antara lain:
(1). Kita membaca dan mengucapkan sesuatu yang baik, dengan demikian kita
telah melakukan kamma baik setidaknya melalui pikiran dan ucapan (untuk itu
penting bagi seseorang yang membaca dan memahami makna paritta dari
terjemahannya).
(2). Membaca Paritta berarti kita berupaya untuk memahami apa yang
sebelumnya kurang kita pahami.
(3). Membaca Paritta berarti mengulang khotbah-khotbah Buddha Gautama
(walaupun tidak semua paritta berasal dari khotbah Buddha), dengan demikian
kita telah melestarikan kelangsungan ajaran Buddha.

Tetapi menurut Milinda Panha, ada tiga alasan dimana Paritta tidak
bekerja:

1. Halangan karena kamma masa lalu.


2. Halangan karena kekotoran batin masa kini, dan
3. Halangan karena kurangnya keyakinan.

Paritta yang merupakan perlindungan bagi semua makhluk akan kehilangan


kekuatannya karena cacat mereka sendiri.

disamping itu ada juga kekuatan yang terdapat dalam pembacaan Paritta Sutta ,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut ::

(-) Kekuatan Kebenaran

"Kemanjuran" paritta disebabkan oleh gabungan beberapa faktor. Pembacaan


paritta merupakan ungkapan saccakiriya yaitu suatu ungkapan pernyataan
tentang Kebenaran. Kekuatan pernyataan itu merupakan suatu perlindungan. Hal
ini berarti mengembangkan kekuatan kebenaran untuk mencapai hal yang
diinginkan. Pada akhir setiap sutta, pembaca memberkati pendengarnya dengan
kata-kata: "etena sacca vajjena sotthi te hotu sabbada" artinya dengan kekuatan
kebenaran kata-kata ini, semoga engkau selamat dan sejahtera. Terdapat suatu
ungkapan bahwa, "kekuatan Dhamma atau Kebenaran akan melindungi pengikut
Dhamma" (Dhammo have rakkhati Dhammacarim), yang jelas menunjukkan
dasar pemikiran diadakannya pembacaan paritta. Keyakinan akan kekuatan
saccakiriya atau pernyataan Kebenaran untuk dapat menyembuhkan penyakit
ataupun melindungi sebenarnya hanyalah salah satu segi manfaat dari paritta.
(-) Kekuatan Moral

Beberapa paritta mengungkapkan tentang hidup yang bermoral. Titik awal dari
Buddha-Dhamma adalah sila (moral). Melalui dasar sila yang kuat seseorang
akan mampu mencapai tingkat konsentrasi pikiran. Apabila moral melindungi
orang yang melaksanakan, maka jika seseorang mendengarkan pembacaan
paritta dengan diiringi suatu perenungan akan Kebenaran kata-kata Sang Buddha
dan penuh keyakinan bahwa kata-kata itu pernah diucapkan oleh orang yang
telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia akan memiliki pikiran yang
dipenuhi oleh moral tinggi sehingga ia mampu mengalahkan segala pengaruh
jahat dan ia juga akan terbebas dari kesulitan.

(-) Kekuatan Cinta Kasih

Sabda-sabda Sang Buddha selalu berisikan cinta kasih. Beliau berkelana di India
melalui jalan-jalan raya, melewati kampung-kampung dan menyinari serta
menghangatkan semua makhluk dengan pancaran sinar cinta kasihnya. Beliau
memberi petunjuk, menerangkan ajaranNya kepada banyak orang. Beliau
membimbing mereka yang mendengarkan ajaranNya mencapai kesempurnaan.
Oleh karena itu pembaca paritta juga diharapkan bertindak seperti itu pula.
Membaca paritta dengan hati penuh cinta kasih dan kasih sayang, mengharapkan
pendengarnya memperoleh kebahagiaan serta perlindungan dari segala
gangguan. Cinta kasih merupakan tenaga yang aktif. Setiap tindakan yang
didasari dengan cinta kasih yang murni akan dilaksanakan dengan pikiran yang
bersih. Tindakan yang bertujuan untuk membantu, memberi semangat,
melancarkan jalan serta mempermudah mengatasi penderitaan, mendapat
Berkah Tertinggi.

(-) Kekuatan Suara

Terdapat keyakinan bahwa getaran suara yang dihasilkan dari pembacaan


paritta-sutta berbahasa Pali dengan suara yang nyaring dan merdu (harmonis
dalam nada) akan menentramkan syaraf serta menghasilkan ketenangan pikiran.
Suara pembacaan paritta yang nyaring dan merdu ini juga memberikan
keselarasan pada sistem jasmani.

Paritta merupakan syair suci yang telah dibabarkan oleh Buddha dan para Ariya
Punggala lainnya, merupakan syair perlindungan bagi mereka yang mempunyai
keyakinan pada saat membaca dan memahaminya. Dengan demikian, bahwa
dengan membaca Paritta bisa menciptakan suatu kondisi yang damai didalam
hati si pembaca. Berbahagialah kita yang selalu membaca Paritta karena begitu
luar biasa manfaat dr Pembacaan Paritta , maka itu marilah kita semua mulai
belajar untuk membiasakan diri sering membaca Paritta Sutta jika ada waktu
ruang. semoga bermanfaat bagi kita semua ,

Semoga semua makhluk bahagia, sadhu sadhu sadhu _/\_

==============
Sumber kutipan :
- Buku Y.M Bhikkhu Khemanando - Fenomena Buddha Dhamma (2010)
- Bunga Rampai Dhammadesana II, Bhikkhu Subalaratano.
- Sharring Dhamma dari Sdr DSG di Grup Vihara Buddha Narada
- Facebook Kalyanamitta Buddhist Page

Anda mungkin juga menyukai