Anda di halaman 1dari 125

WOMEN IN BUDDHISM

Charsumarn Kabilsingh

Yayasan Serlingpa Dharmakirti Oktober 2009

WANITA DALAM AGAMA BUDDHA Judul Asal Penulis Penerbit Asal : Women in Buddhism (Questions and Answers) : Prof. Dr. Chatsumarn Kabilsingh : Faculty of Liberal Arts, Thammasat University Bangkok, Thailand 10200, tahun 1998 Diterbitkan ulang dalam bentuk e-book, dalam situs Buddhist Publication Society (BPS), Sri Lanka Penerjemah Penyunting Tata Letak Sampul Penerbit & Hak Cipta Alih Bahasa : Lita : Hendra Widjaja Juniarti Salim : Mettasari Lim : Virya : Yayasan Serlingpa Dharmakirti, Palembang www.serlingpadk.org email: serlingpadk@yahoo.co.id Izin penerjemahan dan penerbitan dalam bahasa Indonesia diberikan secara tertulis oleh Buddhist Publication Society (BPS), Sri Lanka, kepada Yayasan Serlingpa Dharmakirti, Juni 2008. Pustaka Keenam Cetakan Pertama, 5.000 buku, November 2009

Daftar Isi
Prof. Dr. Chatsumarn Kabilsingh.............................................................................. Pendahuluan................................................................................................................. Pertanyaan 1 Ketika Ratu Mahapajapati memohon pada Buddha agar diperbolehkan memasuki Sanggha, mengapa Buddha sempat ragu namun akhirnya mengizinkannya?......................................................................................................... Pertanyaan 2 Apa saja syarat-syarat penahbisan bhikkhuni?...................................................... Pertanyaan 3 Mengapa pria hanya memerlukan dua tataran penahbisan, sementara wanita memerlukan tiga tataran penahbisan?....................................................... Pertanyaan 4 Mengapa bhikkhuni menjalani lebih banyak sila (sikkhapada) daripada bhikkhu?........................................................................................................................ Pertanyaan 5 Apa alasannya bahwa Tipitaka itu lebih berpihak pada pria?............................
iii

ix x

1 5

11 15

Pertanyaan 6 Apakah benar Tipitaka menekan kaum wanita?.......................................... Pertanyaan 7 Apa pendapat Anda mengenai Delapan Garudharma?.............................. Pertanyaan 8 Bhikkhu memiliki tiga jubah, sedangkan bhikkhuni memiliki lima jubah. Apa saja kelima jubah itu?.................................................................... Pertanyaan 9 Setelah wanita menjadi anggota Sanggha, bagaimana mereka diperlakukan oleh para bhikkhu?............................................................................. Pertanyaan 10 Bagaimana para bhikkhu menyikapi tindakan Buddha yang menerima kaum wanita?...................................................................................................... Pertanyaan 11 Bagaimana status para bhikkhuni semasa hidup Buddha?......................... Pertanyaan 12 Adakah bhikkhuni yang tercerahkan?............................................................ Pertanyaan 13 Mengapa bhikkhu tidak boleh menerima makanan yang dipersembahiv

17 21

27

31

33 35 37

kan bhikkuni?............................................................................................................... Pertanyaan 14 Semasa hidup Buddha, peran apa yang dimainkan kaum wanita dalam agama Buddha?........................................................................................................... Pertanyaan 15 Bagaimanakah silsilah Sanggha Bhikkhuni dalam sejarah agama Buddha?..... Pertanyaan 16 Apakah bhikkhuni juga terdapat di negara-negara lainnya?............................... Pertanyaan 17 Adakah bhikkhuni dalam tradisi Therawada?....................................................... Pertanyaan 18 Mengapa tidak ada penahbisan bhikkhuni di Thailand?..................................... Pertanyaan 19 Apakah mungkin untuk mendirikan Sanggha Bhikkhuni di Thailand?............ Pertanyaan 20 Benarkah bahwa bhikkhu tidak boleh menyentuh wanita karena wanita tidak murni?................................................................................................................. Pertanyaan 21 Wanita pada umumnya diyakini tidak bersih. Seberapa benarkah keyakinan
v

39 41 43 45 47 49 51

55

ini?....................................................................................................................... Pertanyaan 22 Mengapa wanita dianggap sebagai suatu komoditas?................................ Pertanyaan 23 Mengapa ada wihara di utara yang tidak memperbolehkan wanita mengitari stupa (pradaksina)?......................................................................... Pertanyaan 24 Sering kali dikatakan bahwa wanita adalah musuh dari hidup suci. Bisakah Anda jelaskan perkataan ini?............................................................ Pertanyaan 25 Benarkah bahwa begitu wanita diperbolehkan masuk ke dalam Sanggha, maka usia agama Buddha akan memendek menjadi 500 tahun?..................................................................................................................... Pertanyaan 26 Mengapa wanita tidak dapat menjadi Buddha?........................................... Pertanyaan 27 Bagaimana sikap Buddhis terhadap prostitusi?........................................... Pertanyaan 28 Bagaimana sikap umat Buddha terhadap aborsi?........................................

57 59 61

65

67 71 75 77

vi

Pertanyaan 29 Bagaimanakah perkembangan sejarah dari mae ji? Dan seperti apakah keadaannya sekarang ini?......................................................................................... Pertanyaan 30 Bagaimana mae ji bisa berperan dalam perkembangan sosial dan agama?...... Pertanyaan 31 Mengapa beberapa keluarga di utara menjual putri mereka agar dapat menahbiskan putra mereka?..................................................................................... Pertanyaan 32 Mengapa orang-orang lebih suka memberikan persembahan kepada bhikkhu daripada kepada mae ji?............................................................................ Pertanyaan 33 Dibandingkan dengan pria, mengapa wanita lebih sering ke wihara dan berbuat jasa?............................................................................................................... Pertanyaan 34 Sebagai perumah tangga, apa yang seharusnya dilakukan para wanita Buddhis?....................................................................................................................... Pertanyaan 35 Benarkah bahwa kalau seorang perumah tangga tercerahkan, ia harus
vii

79 83

85

89

91

93

ditahbiskan dalam waktu 7 hari?.................................................................... Pertanyaan 36 Apa sifat unik agama Buddha di Amerika yang mungkin menarik perhatian kaum feminis?................................................................................... Catatan Penyunting........................................................................................... Tentang Yayasan Serlingpa Dharmakirti........................................................ Tentang Pusat Meditasi Mahakassapa............................................................ Info Buku Berikut............................................................................................... Daftar Donatur...................................................................................................

95 97 99 104 105 106 108

viii

PENDAHULUAN
Apakah Pencerahan hanya bisa dicapai oleh para biku sehingga pada awalnya Buddha menolak perempuan ke dalam Sanggha Monastik? Mengapa sepertinya Buddha mendiskreditkan para wanita? Apakah hanya para wanita yang memiliki ego sehingga para bikuni harus menghormati para biku yang lebih junior? Apa yang membuat bikuni memiliki sila yang lebih banyak? Setelah wanita menjadi anggota Sanggha, bagaimana mereka diperlakukan oleh para bhikkhu? Benarkah bahwa begitu wanita diperbolehkan masuk ke dalam Sanggha, maka usia agama Buddha akan memendek menjadi 500 tahun? Adakah bhikkhuni yang tercerahkan? Demikian sederetan pertanyaan yang kerap kali ditanyakan oleh para perempuan yang merasa menjadi golongan kelas dua.

ix

Prof. Dr. Chatsumarn Kabilsingh


Lahir dalam sebuah keluarga Buddhis di Thailand pada tahun 1945 dengan nama Chatsumarn Kabilsingh. Sebagai seorang yang sangat terpelajar dan cerdas, beliau menghabiskan waktu lebih dari 30 tahun mengajar Agama dan Filsafat di Universitas McMaster Kanada dan Universitas Thammasat Thailand. Penulis banyak buku tentang agama Buddha Asia, Agama Buddha, Ekologi, dan Wanita Dalam Agama Buddha ini adalah satu dari 1000 wanita di dunia yang dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2004 beliau mendapat penghargaan dari PBB sebagai Wanita Paling Berpengaruh di Dunia. Sejak tahun 2002-2006 menjadi anggota komite bagi Penghargaan Perdamaian Niwano. Beliau adalah salah satu pendiri Asosiasi Buddhis Sakyadhita tahun 1987. Menjadi Ketua Sakyadhita sejak tahun 1991-2005. Penyunting di Yasodhara, sebuah koran bagi para aktivis wanita Buddhis dunia, sejak tahun 1987sekarang. Koran ini telah beredar di lebih dari 50 negara. Beliau menerima penahbisan sebagai bhikkhuni di Sri Lanka tahun 2001 dengan nama Dhammananda. Beliau adalah seorang aktivis dan reformis
x

sosial yang sangat langka. Nama beliau disejajarkan dengan nama-nama besar dalam agama Buddha lain seperti H. H. Dalai Lama ke-14, Bhikkhu Buddhadasa, Thay Thich Nhat Hahn, Sulak Sivaraksa, dan A.T. Ariyaratne,. Beliau juga adalah bhikkhuni Therawada pertama di Thailand. Saat ini beliau adalah Kepala Wihara Songdhammkalyani, satu-satunya wihara untuk para bhikkhuni di Thailand.

Saya menjadi bhikkhuni bukan supaya orang-orang menghormati saya. Saya melakukannya karena saya ingin meneruskan ajaran Buddha. Saya mencoba untuk menghidupkan kembali empat pilar dalam agama Buddhabhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasikayang akan menjadi penopang agama Buddha di masa depan. Saya tidak peduli seandainya orang-orang berbeda pendapat dengan saya tentang para bhikkhuni. Masyarakat akan menjadi salah satu penengah kami yang adil
Sumber: Thedhamma.org xi

Ajaran Buddha melampaui perbedaan suku, bangsa, kasta, dan gender, sehingga ajaran ini bisa menegaskan bahwa pencapaian spiritual tertinggi melampaui rintangan maupun diskriminasi gender

Pertanyaan 1

Ketika Ratu Mahapajapati memohon pada Buddha agar

diperbolehkan memasuki Sanggha, mengapa Buddha sempat ragu namun akhirnya mengizinkannya?

Bagi mereka yang tertarik akan penahbisan wanita, ini merupakan salah satu pertanyaan paling membingungkan, yang sangat memerlukan pemahaman secara kontekstual. Tatkala Raja Suddhodanaayahanda dari Pangeran Siddharthamangkat, maka kewajiban istri terhadap suaminya telah selesai1. Itu merupakan waktu yang tepat bagi Mahapajapati untuk secara serius benar-benar menjalani ajaran dan praktik yang diajarkan Buddha. Namun, ketika ia mendekat dan memohon, Buddha hanya berkata, Janganlah meminta seperti itu. Tipitaka, kanon utama yang paling penting, tidak menjelaskan alasan apa pun mengenai tidak diperbolehkannya kaum wanita memasuki Sanggha. Ada banyak penafsiran yang di kemudian hari tertulis dalam kitab-kitab komentar. Ini juga menimbulkan kepercayaan secara umum bahwa Buddha tidak memperbolehkan kaum wanita untuk menjalani hidup suci. Hal ini bukannya tak beralasan. Menurut norma-norma sosial India, menjalani hidup suci bukanlah jalan yang diperuntukkan bagi kaum wanita. Kitab Manudharma Wanita Dalam Agama Buddha
1

Sastra2 dengan sangat gamblang menegaskan bahwa penyelamatan wanita hanya dapat dilakukan melalui bhakti (pengabdian) kepada suaminya. Akan tetapi, Mahapajapati merasa mantap dengan keputusannya. Seperginya Buddha, ia mencukur sendiri rambutnya dan mengenakan jubah kuning. Ini diikuti oleh 500 putri Sakya lainnya. Mereka mengikuti-Nya hingga tiba di Vesali, tempat Buddha berdiam. Setibanya di arama3 (tempat kediaman) itu, mereka tidak berani menjumpai Buddha karena takut ditolak lagi. Bhikkhu Ananda, sepupu dan pengiring pribadi Buddha, mendapati mereka di gerbang masuk, bertaburan debu, dengan jubah yang compang-camping, dan kaki penuh darah. Keadaan mereka memelas. Mereka menangis putus asa. Bhikkhu Ananda mendengar permintaan mereka, dan atas nama mereka ia mendekati Buddha. Lagi-lagi, Buddha melarang Bhikkhu Ananda dengan cara yang sama, Ananda, tolong jangan meminta seperti ini. Ada pelbagai alasan yang perlu dipertimbangkan untuk memahami adanya kemungkinan kesulitan atau halangan yang terbersit dalam pikiran Buddha. Pertama, Mahapajapati merupakan seorang ratu yang selama ini hanya hidup dalam kenyamanan. Demikian pula kelima ratus putri istana itu. Menjalani hidup tapa, yang hanya membolehkan mereka tidur di kaki pohon atau di dalam gua, bakal terlalu berat bagi mereka. Atas dasar welas asih, Buddha menghendaki mereka menimbang ulang hal tersebut.
2

Women in Buddhism

Lagi pula, menerima sejumlah besar wanita untuk sekaligus ditahbiskan pasti membutuhkan guru-guru untuk membimbing dan melatih mereka. Buddha juga tidak bisa terus-menerus mendampingi mereka. Sanggha pun belum cukup mampu untuk menangani sejumlah besar wanita. Belakangan, hal ini terbukti ketika wanita telah diterima menjadi anggota Sanggha. Para bhikkhu yang mampu mengajari para bhikkhuni bukan saja harus terdidik, namun juga harus memiliki sikap yang tepat untuk membantu mengangkat kaum wanita secara spiritual. Waktu itu, Buddha dikecam pihak luar karena dianggap memecah belah keluarga dengan menahbiskan para suami maupun para istri. Tatkala Mahapajapati bersama 500 putri Sakya tersebutmenghadap Beliau, ini sudah pasti bakal menyebabkan timbulnya kecaman. Apalagi kaum Sakya tidak menikah dengan orang dari suku lainnya. Menahbiskan 500 wanita Sakya pasti bakal memengaruhi status quo dari kondisi sosial masa itu. Namun belakangan terungkap bahwa para suami dari para wanita tersebut sebelumnya sudah menjadi anggota Sanggha. Jadi, kecaman tersebutbahwa menerima kaum wanita akan memecah-belah keluarga merekamenjadi tidak beralasan. Kenyataan bahwa wanita-wanita ini mengikuti-Nya berjalan kaki ke Vesali merupakan bukti komitmen mereka yang tulus untuk menjalani hidup suci, sekaligus menghapus keraguan bahwa permohonan mereka itu mungkin Wanita Dalam Agama Buddha
3

sekadar dorongan sesaat. Hal-hal ini bisa jadi merupakan sebagian alasan di balik keraguan Buddha. Buddha membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan pro dan kontra dari permohonan mereka tersebut. Bhikkhu Ananda juga mencoba memahami penolakan Buddha. Apakah karena kaum wanita tidak mampu mencapai pencerahan spiritual? Jika memang demikian, maka penahbisan sebagai jalan spiritual hanya terbuka bagi kaum pria. Mengenai hal ini, Buddha sudah menjelaskan bahwa baik pria maupun wanita sama-sama berpotensi untuk mencapai pencerahan spiritual. Pernyataan ini perlu kita garisbawahi, karena inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah keagamaan bahwa seorang pemimpin religi secara terbuka menyatakan bahwa kaum pria dan wanita adalah sederajat dalam hal spiritual. Sebelumnya dalam ajaran Hindu, kitab yang paling suci (kitab Weda) hanya diperuntukkan bagi kaum pria. Ajaran Buddha melampaui perbedaan suku, bangsa, kasta, dan gender, sehingga ajaran ini bisa menegaskan bahwa pencapaian spiritual tertinggi melampaui rintangan maupun diskriminasi gender. Berdasarkan alasan penting ini, Buddha mengizinkan kaum wanita memasuki Sanggha. Women in Buddhism

Pertanyaan 2

Apa saja syarat-syarat penahbisan bhikkhuni?


Penahbisan bhikkhuni memerlukan paling sedikit lima bhikkhuni lainnya. Pada hari yang sama, setelah ditahbiskan oleh Sanggha Bhikkhuni, si wanita juga harus ditahbiskan oleh paling sedikit lima orang bhikkhu. Pavattini (bhikkhuni yang melakukan penahbisan) setidaknya harus telah menjadi bhikkhuni selama dua belas tahun. Ia juga harus memahami Dhamma dan Vinaya dengan baik, dan juga mesti ditunjuk sebagai penahbis oleh kedua Sanggha. Setelah wanita mulai ditahbiskan, menjadi bhikkhuni adalah sesuatu yang waktu itu sangat populer. Akibatnya, timbul masalah kekurangan tempat tinggal, sehingga tiap pavattini hanya diperbolehkan memberi penahbisan dua tahun sekali. Si penahbis juga harus mengajar dan melatih para bhikkhuni di bawah bimbingannya, termasuk merawat mereka seandainya mereka jatuh sakit. Ada tiga jenis penahbisan bhikkhu. Pertama, Ehi-Bhikkhu Upasampada, yaitu penahbisan yang diberikan langsung oleh Buddha pada masa-masa awal tanpa ritual resmi. Buddha hanya berucap, Datanglah Bhikkhu, dan ini dianggap sebagai penahbisan lengkap. Wanita Dalam Agama Buddha
5

Berikutnya adalah penahbisan dengan menerima Tiga Permata, yakni Buddha, Dhamma, dan Sanggha, sebagai pelindung. Ini adalah bentuk penahbisan yang dilakukan para guru di masa awal, saat menahbiskan para siswanya. Belakangan, tatkala permohonan penahbisan jauh meningkat, dibuatlah sejenis penahbisan yang lebih resmi. Penahbisan ini disebut natticatuthakammavaca, yang dilangsungkan dengan seorang penahbis dan dua guru pembimbing, serta sekelompok bhikkhu yang berjumlah paling sedikit sepuluh orang sebagai saksi. Penahbisan ini diberikan oleh Sanggha, dan merupakan bentuk penahbisan yang lazim ditemui dewasa ini. Namun ada sejenis penahbisan lain khusus untuk para bhikkhuni. Dulu, pernah terjadi suatu peristiwa terhadap seorang wanita. Wanita itu telah menuntaskan prosedur penahbisan Sanggha Bhikkhuni, namun ia gagal menghadap Sanggha Bhikkhu di desa lainnya pada hari yang sama, sebagaimana yang diharuskan oleh ketentuan penahbisan. Waktu itu, ada beberapa penjahat yang tengah mengintai di jalan akan menculiknya. Buddha memperbolehkan dutenasampada, yaitu penahbisan melalui wakil yang ditunjuk. Orang ini adalah bhikkhuni lain yang ditunjuk oleh Sanggha Bhikkhuni untuk mewakili si calon bhikkhuni tersebut. Ini juga dianggap penahbisan yang sah. Wanita yang memohon penahbisan bhikkhuni harus berusia minimal 20
6

Women in Buddhism

tahun, dengan seizin orangtuanya, serta tidak menderita penyakit yang dapat menghalanginya dalam menjalani hidup monastik. Wanita itu harus telah menuntaskan masa latihan selama dua tahun sebagai sikkhamana, serta sanggup memenuhi persyaratan pokok seperti jubah, mangkuk, dan sebagainya.

Wanita Dalam Agama Buddha

Laki-laki dan wanita bisa terlihat berbeda. Tetapi di dalam Zen mereka adalah sama. Menganggap mereka berada adalah absurd. Apa yang bisa dipelajari oleh orangorang yang percaya pada keabsurdan ini? -the book of zen8

Women in Buddhism

Pertanyaan 3

Mengapa pria hanya memerlukan dua tataran penahbisan, sementara wanita memerlukan tiga tataran penahbisan?
Ada 5 jenis penahbisan, yaitu 2 bagi pria dan 3 bagi wanita. Penahbisan samaneri (calon bhikkhuni) adalah penahbisan mula (pabbajja) dengan 10 sila. Wanita yang memenuhi syarat untuk memperoleh penahbisan ini umurnya harus sudah cukup untuk mengusir burung-burung gagak dari sawah. Di kemudian hari, usia minimal ini ditetapkan sebagai 7 tahun. Pria yang lebih tua kadang kala juga hanya menerima penahbisan mula ini. Orang yang bisa mengajukan permohonan untuk penahbisan lanjut (upasampada) paling tidak harus berusia 20 tahun dan memiliki kondisi fisik normal. Wanita yang telah menikah boleh ditahbiskan pada usia 12 tahun dengan seizin suaminya. Masa latihan bagi sikkhamana ditentukan di kemudian hari. Pernah ada seorang wanita yang telah menikah yang memohon penahbisan tanpa menyadari bahwa dirinya tengah mengandung. Kehamilannya baru diketahui sesudah penahbisan. Oleh karena itu, diturunkanlah sebuah peraturan bahwa wanita harus menjalani latihan sikkhamana selama dua tahun. Selama masa ini, seorang sikkhamana menjalani 6 anudharma, yang merupakan enam sila pertama dari Wanita Dalam Agama Buddha
9

sepuluh sila untuk samaneri. Sekalipun demikian, seorang sikkhamana dianggap memiliki tataran latihan yang lebih tinggi daripada samaneri walaupun hanya menjalani enam sila. Hal ini menyiratkan bahwa sesungguhnya, sikkhamana adalah seseorang yang berada dalam tahap persiapan untuk memperoleh penahbisan lanjut. Selama dua tahun latihan itu, sekalipun ia hanya melanggar satu sila, ia harus mengulanginya lagi dari awal. Ia diwajibkan memenuhi persyaratan latihan dua tahun tanpa pelanggaran.

10

Women in Buddhism

Pertanyaan 4

Mengapa bhikkhuni menjalani lebih banyak sila (sikkhapada) daripada bhikkhu?


Dalam tradisi Theravada, bhikkhu menjalani 227 sila dan bhikkhuni menjalani 311 sila. Perbedaan ini kerap kali menyebabkan kesalahpahaman bahwa Buddha sebenarnya tidak menginginkan kaum wanita memasuki Sanggha, sehingga Beliau sejak awal menetapkan aturan-aturan untuk merintangi kaum wanita. Melalui studi banding antara Patimokkha4 bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (yang dipaparkan dalam Konferensi Internasional Mengenai Kajian Thailand, yang diadakan di Chiangmai, 1417 Oktober 1996), terlihat bahwa kalau dihitung berdasarkan kelompok aturan, bhikkhu menjalani delapan kelompok aturan sedangkan bhikkhuni menjalani tujuh kelompok aturan. Satu kelompok aturan yang hanya ada bagi para bhikkhu disebut Aniyata. Di dalam kelompok aturan ini, ada dua aturan yang diusulkan Visakha perumah tangga sekaligus dermawati utama di masa awal agama Buddha. Aturan pertama melarang para bhikkhu berada dalam satu tempat tertutup bersama seorang wanita. Sedangkan aturan kedua melarang para bhikkhu berada sendirian bersama seorang wanita di tempat terbuka, di luar jangkauan pendengaran orang lain. Wanita Dalam Agama Buddha
11

Dalam Parajika, bagian pertama dari Patimokkha yang berkenaan dengan pelanggaran terberat, bhikkhu atau bhikkhuni mana pun yang melanggar salah satu dari aturan-aturan tersebut telah kalah atau jatuh tepat pada saat melakukan perbuatan tersebut. Ada empat aturan bagi bhikkhu dan delapan bagi bhikkhuni. Aturan-aturan tambahan yang harus dijalani bhikkhuni dalam kelompok aturan ini juga ada bagi bhikkhu, namun dikelompokkan sebagai Sanghadisesa kelompok aturan kedua yang lebih ringan. Apabila melanggar aturan Sanghadisesa, seorang bhikkhu harus menjalankan masa manatta, yaitu pengunduran diri sementara dari Sanggha. Perlu dicatat bahwa pengelompokan aturan seperti ini bisa jadi merupakan perubahan yang dilakoni para bhikkhu di masa belakangan. Dalam kelompok Patidesaniya, terdapat delapan aturan untuk bhikkhuni. Bhikkhu juga menjalani aturan-aturan yang sama, namun aturan-aturan tersebut dihitung sebagai satu aturan dan dikelompokkan di dalam kelompok aturan Sekhiya, yaitu kelompok aturan yang berbeda. Inilah salah satu alasan mengapa jumlah aturan bagi para bhikkhuni jauh lebih banyak. Dalam kelompok Pacittiya, bhikkhuni menjalani 166 aturan, sedangkan bhikkhu 92 aturan. Ada 70 aturan yang sama-sama dijalani kedua Sanggha. Selanjutnya, bhikkhu mempunyai 22 aturan khusus, dan bhikkhuni mempunyai 76 aturan khusus. Diantara ke-76 aturan khusus bhikkhuni, jelasjelas ada banyak aturan yang berkenaan dengan syarat-syarat penahbisan
12

Women in Buddhism

yang juga harus dipenuhi bhikkhu. Akan tetapi, bagi bhikkhu aturan-aturan tersebut tidak termasuk dalam Patimokkha. Ini juga mengakibatkan seolaholah jumlah aturan Patimokkha bagi bhikkhuni lebih banyak. Berdasarkan alasan-alasan di atas, bhikkhuni menjalani jumlah aturan Patimokkha yang lebih banyak daripada bhikkhu. Namun kenyataannya, mereka menjalani himpunan aturan yang mirip.

Wanita Dalam Agama Buddha

13

Mereka yang terburuburu mengharapkan hasil cenderung tidak mendapatkan apapun pada akhirnya. Perhatian pada peristiwa sehari-hari adalah jalan keluarnya
14

Women in Buddhism

Pertanyaan 5

Apa alasannya bahwa Tipitaka lebih berpihak pada kaum pria?


Saya memusatkan jawaban saya hanya dalam konteks Theravada, yang melestarikan ajaran Buddha dalam bahasa Pali. Pemeluk tradisi Theravada meyakini bahwa berdasarkan sudut pandang sejarah, ajaran mereka adalah ajaran yang paling murni. Kita perlu memahami bahwa Tipitaka yang kita ketahui sekarang ini bukanlah karya yang berasal dari masa ketika Buddha masih hidup. Pengetahuan agama perlu dipraktikkan dan diwariskan dari guru kepada para siswanya yang terpilih. Karena itulah, tidak ada ajaran agama yang tercatat. Hal ini juga terjadi pada ajaran Buddha. Tipitaka pertama kalinya dituliskan di Sri Lanka setelah tahun 450 BE5 (sekitar tahun 90 SM). Apa yang dituliskan adalah sesuai dengan pemahaman para bhikkhu yang menuliskannya. Apa yang mereka putuskan untuk dituliskan bersifat subjektif. Karena itulah, dapat dipahami mengapa Tipitaka berpihak pada kaum pria. Tipitaka ditulis oleh kaum pria yang menganut nilai-nilai kemasyarakatan India. Mereka adalah para pria yang, menurut Vinaya, diharapkan menjalani hidup suci. Rintangan terbesar terhadap kemurnian mereka adalah lawan jenis mereka, kaum wanita. Karena itulah, banyak ajaran yang dilestarikan dan dituliskan para pria ini menganggap kaum wanita (yang merupakan perwujudan dari rintangan yang mereka hadapi) sebagai sesuatu yang jahat, Wanita Dalam Agama Buddha
15

kotor, dan sebagainya. Ini adalah tameng penting untuk melindungi diri mereka supaya tidak terjerembab ke dalam hal-hal yang tidak murni. Saat membaca Tipitaka, kita harus mengingatkan diri sendiri akan keterbatasan ini, guna menyaring intisarinya dari keterbatasan lingkup sosialnya. Jika ajaran tersebut dilihat pada tataran paramattha6, jelas bahwa ajaran Buddha itu bebas dari bias gender. Agama Buddha merupakan agama pertama di dunia yang mengakui potensi spiritual yang sama bagi pria dan wanita. Ini membuka ruang khusus bagi agama Buddha, yang berawal dari India, untuk mengangkat tataran spiritual dunia ini tanpa dibatasi oleh suku, kasta ataupun gender.

16

Women in Buddhism

Pertanyaan 6

Apakah benar Tipitaka menekan kaum wanita?


Tipitaka, yang merupakan kanon besar dari ajaran Buddha, terdiri dari tiga bagian utama. Ajaran Buddha dituliskan dan dimasukkan ke dalam tiga keranjang, yang disebut kitab-kitab Pitaka. Bagian pertama, kitab Vinaya, mengatur larangan dan perbolehan monastik bagi bhikkhu dan bhikkhuni. Bagian kedua, yaitu Sutta, berisikan ajaran-ajaran dari Buddha dan para siswa utama-Nya. Sebagian ajaran tersebut berkenaan dengan pengembangan batin. Ajaran-ajaran seperti ini bebas dari konteks sosial. Sementara itu, sebagian lainnya masih diselubungi nilai-nilai kemasyarakatan India. Sebagian dari Sutta meliputi Jataka atau kisah-kisah mengenai kehidupan lampau Buddha, yang terjalin dari kisah-kisah populer dari negeri India. Kedua bagian dari Tipitaka ini (yaitu Vinaya dan Sutta) diuncarkan dalam Konsili Buddhis Pertama7, yang diadakan tiga bulan setelah Buddha mencapai Mahaparinibbana. Abhidhamma, bagian ketiga dari Tipitaka, merupakan pemaparan filosofis mengenai batin serta fungsinya. Abhidhamma disusun oleh para penulis kitab komentar di belakangan hari. Ketiga bagian Tipitaka tersebut untuk pertama kalinya tercatat dalam bentuk tertulis, setelah tahun 450 BE (sekitar tahun 90 SM). Materi-materi yang ditemukan dalam Tipitaka dapat dibagi menjadi dua bagian utama: lokuttara dan lokiya8. Lokuttara berisikan Dhamma murni yang mengarah Wanita Dalam Agama Buddha
17

pada kebebasan batin. Pada dasarnya, batin tidak memiliki perbedaan gender. Dengan demikian Dhamma lokuttara melampaui perbedaan dan bias gender. Bagian berikutnya, yaitu lokiya, merupakan ajaran dalam konteks sosial dan sejarah. Karena itulah, bagian ini tunduk pada faktor-faktor sosial dan sejarah. Bagian ini selanjutnya dapat dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama merupakan ajaran yang diambil dari konteks sosial India, sehingga diteruskan dan diperkuat oleh nilai-nilai sosial India. Inilah yang menempati sebagian besar dari materi di dalam Tipitaka, yang sepertinya menekan wanita, seandainya Tipitaka itu kita baca tanpa memahami kerangkanya. Kategori kedua jelas-jelas menunjukkan sikap agama Buddha yang mencoba membebaskan diri dari nilai-nilai sosial India, seperti sistem kasta. Buddha secara tegas menolak sistem kasta yang merupakan tolok ukur sosial untuk membagi manusia ke dalam berbagai kasta. Sebaliknya, Beliau menegaskan bahwa seorang brahmin bukanlah orang yang terlahir dari orangtua brahmin, namun seseorang menjadi brahmin karena tindakannya yang bajik. Beliau lalu mengumandangkan pandangan-Nya dengan sangat jelas bahwa pria dan wanita memiliki potensi yang sama dalam mencapai pencerahan spiritual. Pencerahan spiritual seorang wanita berasal dari tindakannya sendiri, bukan melalui pengabdian kepada suaminya. Begitu diterima dalam Sanggha, wanita memiliki kesempatan yang sama untuk mempraktikkan
18

Women in Buddhism

Dhamma. Banyak peraturan Vinaya diturunkan agar para bhikkhu tidak memanfaatkan para bhikkhuni. Misalnya, bhikkhu tidak boleh meminta bhikkhuni untuk mencuci jubah atau selimut mereka. Dalam materi-materi di bagian ini, kita temukan bahwa Tipitaka mendorong dan mengangkat kaum wanita. Kita perlu memahami hal ini sebagai semangat sejati agama Buddha. Sesungguhnya, usaha untuk mengangkat derajat kaum wanita merupakan suatu perombakan sosial, agar mereka sama-sama berbagi tanggung jawab sebagai salah satu dari keempat kelompok umat Buddha yang sama-sama bertanggung jawab terhadap perkembangan ataupun kemunduran agama Buddha. Kesimpulannya, dapat kita katakan bahwa memang benar bahwa ada beberapa bagian dalam Tipitaka yang menekan kaum wanita, namun bagianbagian ini tidak mewakili semangat sejati ajaran Buddha.

Wanita Dalam Agama Buddha

19

Tipitaka

Lokuttara Melampaui gender

Lokiya Dalam konteks sosial

Diturunkan melalui nilai-nilai sosial India

Semangat Buddhis Sejati membebaskan dan mengangkat derajat wanita

20

Women in Buddhism

Pertanyaan 7

Apa pendapat Anda mengenai Delapan Garudharma?


Ketika akhirnya Buddha mengizinkan kaum wanita untuk bergabung dalam Sanggha, Beliau menurunkan Delapan Garudharma untuk mereka jalani. Ratu Mahapajapati menganggapnya laksana mahkota bunga yang menghiasi kepalanya. Akan tetapi, Delapan Garudharma banyak dikecam, karena bagaimana pun, Buddha tidak terbebas sama sekali dari kondisi kemasyarakatan India. Mari kita cermati Delapan Garudharma ini: 1. Seorang bhikkhuni, yang (sekalipun) telah ditahbiskan selama satu abad, harus menyapa dengan hormat, berdiri dari duduknya, memberi salam dengan menangkupkan kedua telapak tangannya, dan memberi sujud yang sepantasnya kepada seorang bhikkhu, meski bhikkhu itu baru ditahbiskan hari itu. Seorang bhikkhuni tidak boleh melewati musim penghujan di tempat yang tidak ada bhikkhunya. Setengah bulan sekali, seorang bhikkhuni mesti memohon dua hal Wanita Dalam Agama Buddha
21

2. 3.

dari Sanggha Bhikkhu: menanyakan (tanggal) hari Uposatha, dan memohon bhikkhu datang untuk memberikan bimbingan. 4. Seusai musim penghujan, seorang bhikkhuni harus mengundang Sanggha Bhikkhu dan Sanggha Bhikkhuni berkenaan dengan tiga hal: apa yang telah dilihat, apa yang telah didengar, dan apa yang dicurigai. Seorang bhikkhuni yang melanggar suatu aturan penting, harus menjalani masa manatta (hukuman) selama setengah bulan di hadapan kedua Sanggha. Bila, selama menjadi sikkhamana, seorang bhikkhuni telah menjalani enam aturan selama dua tahun, ia harus memohon penahbisan dari kedua Sanggha. Seorang bhikkhu tidak boleh disakiti atau dicerca dengan cara apa pun oleh seorang bhikkhuni. Sejak saat ini, nasihat dari bhikkhuni kepada bhikkhu dilarang. Nasihat oleh bhikkhu tidak dilarang. (Cv. X. SBE. XX, hal. 354)9

5.

6.

7. 8.

Sesungguhnya, Buddha menetapkan Delapan Garudharma tersebut untuk dijalani oleh para bhikkhuni sebagai perlindungan bagi diri mereka sendiri.
22

Women in Buddhism

Jika dilihat sepintas, bisa saja orang berpikir bahwa Delapan Garudharma itu merupakan aturan untuk mengendalikan wanita. Untuk memahami dan menghargai Garudharma ini, kita perlu memandangnya dalam konteks sosial dan sejarah yang terjadi. Masyarakat India senantiasa bersifat patriarkat10. Pria senantiasa menjadi pusat pemikiran dan perhatian. Wanita dididik dalam kondisi budaya dan sosial yang menempatkan mereka sebagai anak bawang. Mereka diasuh orangtua mereka ketika muda, dilindungi suami mereka tatkala menikah, dan dinaungi para putra mereka di usia lanjut (menurut kitab Manudharma Sastra). Wanita dianggap sebagai makhluk yang selalu bergantung pada orang lain. Wanita tidak boleh ditinggal sendirian sampai-sampai mereka tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri. Hidup mereka sepenuhnya tergantung pada bimbingan anggota keluarga pria mereka. Kehidupan religi tidak boleh disinggung-singgung. Wanita mengharapkan keselamatan spiritual hanya melalui bakti dan pelayanan kepada suaminya. Ia boleh memberikan persembahan, selaku pendamping suaminya. Akan tetapi, ia tidak boleh melaksanakan ritual apapun secara bebas. Ia juga tidak diperbolehkan untuk melafal atau membaca kitab Weda karena wanita kotor. Dan sebaliknya, wanita kotor karena tidak mempelajari Weda. Kondisi sosial dan keagamaan menjadikan bakti kepada suami sebagai satusatunya penyelamatan bagi wanita. Hal ini juga dikaitkan dengan kewajiban Wanita Dalam Agama Buddha
23

untuk melahirkan anak lelaki bagi keluarga. Diyakini bahwa anak lelaki harus melaksanakan ritual akhir untuk membukakan pintu surga bagi orangtuanya. Jika wanita tidak dapat melahirkan anak lelaki untuk keluarga suaminya, keberadaannya benar-benar dianggap sial. Agama Buddha muncul dari negeri India yang sarat dengan nilai-nilai sosial ini. Kita harus ingat bahwa pada masa-masa awal, semua bhikkhu adalah pria India yang berasal dari berbagai kasta, yang tertempa oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial ini. Wanita mulai memasuki Sanggha setidaknya lima tahun setelah Sanggha Bhikkhu terbentuk. Jadi wajar dan dapat dipahami apabila Buddha menempatkan Sanggha Bhikkhuni di bawah Sanggha Bhikkhu demi keharmonisan hidup dan dengan tujuan untuk membangun landasan pengaturan yang berimbang. Sanggha Bhikkhuni bisa dianggap sebagai adikadik perempuan yang tiba belakangan, yang mesti menerima dan menghormati Sanggha Bhikkhu, sebagai kakak-kakak mereka yang lebih tua. Buddha sangat sadar bahwa dengan diterimanya sejumlah besar pengikut wanita, Beliau pasti membutuhkan bantuan dari para bhikkhu untuk membantu-Nya dalam mengajar dan melatih para bhikkhuni yang baru saja ditahbiskan itu. Cara termudah untuk memuluskan jalan bagi para bhikkhuni baru itu adalah dengan memposisikan mereka di bawah Sanggha Bhikkhu agar manfaat dari hal ini bisa dipetik.
24

Women in Buddhism

Namun seiring dengan berkembangnya kisah ini, kita temukan bahwa para bhikkhu itu masih mengharapkan para bhikkhuni tersebut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi mereka, sebagaimana yang biasanya para bhikkhu itu alami ketika masih menjalani hidup berumah tangga. Perbedaannya sekarang adalah bahwa alih-alih melayani pria di rumah, para bhikkhuni tersebut melayani mereka dalam lingkup wihara. Jika dilihat secara negatif, Delapan Garudharma tersebut menjadi aturan untuk mendukung dan memperkuat nilai-nilai seperti ini. Lagi-lagi telaah lanjut menunjukkan bahwa kita tidak boleh menganggap Delapan Garudharma itu sebagai kewenangan akhir tanpa keluwesan. Saya bisa mengutip sebuah contoh dari Garudharma Pertama yang mengatakan bahwa seorang bhikkhuni, yang sekalipun telah ditahbiskan selama seratus tahun harus memberi hormat kepada seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan hari itu. Belakangan, ada sebuah kejadian di mana enam orang bhikkhu yang dengan iseng mempertontonkan paha dengan mengangkat jubah mereka untuk menarik perhatian para bhikkhuni tersebut. Dalam hal ini, Buddha meminta para bhikkhuni itu untuk tidak menghormati bhikkhu-bhikkhu ini. Ini menunjukkan bahwa aturan apa pun yang ditetapkan Buddha selalu mesti disertai syarat tertentu. Jangan sampai suatu aturan dijalani tanpa memahami semangatnya. Saya juga perlu menjelaskan bahwa Garudharma Keenam, yang menyebutkan Wanita Dalam Agama Buddha
25

bahwa seorang sikkhamana yang telah menyelesaikan latihan 2 tahun harus memohon penahbisan lanjut itu merupakan ketentuan yang diturunkan belakangan. Ketika Buddha memperbolehkan Ratu Mahapajapati untuk memasuki Sanggha, sang ratu ditahbiskan sebagai bhikkhuni. Sikkhamana belum ada pada masa itu. Kesimpulan yang bisa ditarik dari ketimpangan yang sepertinya nyata ini adalah bahwa aturan Garudharma tersebut dimasukkan pada kurun belakangan, namun dicanangkan pada saat penahbisan bhikkhuni diciptakan. Ini dilakukan guna menekankan kewenangan dari aturan tersebut. Mungkin saja, si penulis aturan itu berpikiran bahwa aturan ini adalah aturan yang bagus agar Sanggha Bhikkhu bisa mengendalikan Sanggha Bhikkhuni. Lagi pula, Delapan Garudharma tersebut mungkin saja sudah terdapat di dalam Patimokkha itu sendiri.

26

Women in Buddhism

Pertanyaan 8

Bhikkhu memiliki tiga jubah, sedangkan bhikkhuni memiliki lima jubah. Apa saja kelima jubah itu?
Kelima jubah yang diperuntukkan bagi bhikkhuni adalah sebagai berikut: 1. Sanghati, jubah tambahan yang kerap kali terlipat dan diletakkan di satu bahu. Jubah ini memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah untuk dibentangkan dan digunakan sebagai alas duduk atau alas tidur. Kegunaan kedua adalah sebagai selimut tambahan di musim dingin. Uttarasanga adalah jubah biasa. Jubah ini boleh dikenakan untuk menutupi kedua bahu, atau salah satu bahu saja. Antarasavaka adalah jubah bawah untuk menutupi bagian bawah tubuh dan diikatkan di pinggang dengan sabuk katun yang dibuat khusus bagi bhikkhu dan bhikkhuni. Di Thailand, jubah ini disebut rad pakot. Jubah ini dikenakan dengan bagian yang terlipat di bagian depan, yang terselip rapi di bawah sabuk tersebut. Tepi bawah jubah ini harus sama rata. Wanita Dalam Agama Buddha
27

2. 3.

4.

Udakasatika merupakan jubah mandi yang diwajibkan bagi bhikkhu maupun bhikkhuni. Potongannya sama dengan jubah no. 3, hanya saja jubah ini tidak memiliki jahitan tepi. Bagi bhikkhuni, jubah ini dikenakan lebih tinggi untuk menutupi payudara hingga lutut ketika sedang mandi. Dulunya, para bhikkhu mandi telanjang. Visakha11, sang siswi perumah tangga, menyatakan kepada Buddha bahwa tidak sepantasnya para bhikkhu mandi telanjang. Sejak saat itu, jubah ini menjadi persyaratan monastik, sebagai tambahan atas ketiga jubah sebelumnya.

5.

Samkacchika, kain penutup dada, hanya diwajibkan bagi para bhikkhuni. Pada awalnya, para bhikkhuni mengenakan jubah yang sama persis dengan yang dikenakan para bhikkhu. Tetapi, tatkala mereka mengumpulkan derma makanan, angin menerpa jubah mereka hingga melekat erat pada tubuh depan mereka. Akibatnya, payudara mereka di balik jubah tersebut tampak jelas. Penduduk setempat menertawakan mereka, sehingga akhirnya Buddha mewajibkan kain penutup dada bagi mereka. Kain ini harus diikat kencang untuk meratakan payudara mereka.

Persyaratan lainnya adalah kain bulanan, yang sekalipun tidak tercakup


28

Women in Buddhism

di dalam kelima jubah di atas, namun perlu bagi para bhikkhuni. Kain ini dikenakan saat datang bulan. Semasa hidup Buddha, bahan kain tidak mudah diperoleh. Akibatnya, kain bulanan ini menjadi milik Sanggha. Setiap bhikkhuni boleh memakainya jika diperlukan. Setelah itu mereka harus mencucinya hingga bersih dan mengembalikannya agar bisa digunakan bhikkhuni lainnya. Ada pakaian lainnya yang tidak diperbolehkan bagi para bhikkhuni, yaitu Sangghani. Sangghani merupakan pakaian hias yang dikenakan di pinggul, seperti yang sering dipakai para perumah tangga wanita.

Wanita Dalam Agama Buddha

29

Ajaran Buddha melampaui perbedaan suku, bangsa, kasta, dan gender, sehingga ajaran ini bisa menegaskan bahwa pencapaian spiritual tertinggi melampaui rintangan maupun diskriminasi gender
30

Women in Buddhism

Pertanyaan 9

Setelah wanita menjadi anggota Sanggha, bagaimana mereka diperlakukan para bhikkhu?
Tidak ada catatan langsung mengenai hal ini. Namun, dari studi terhadap Vinaya, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun juga, para bhikkhu itu adalah pria yang berasal dari masyarakat India. Karena terbiasa dilayani wanita, para bhikkhu memperlakukan para bhikkhuni bak istri mereka. Para bhikkhuni itu terpaksa menghabiskan waktu untuk mencucikan selimut, jubah, dan sebagainya untuk para bhikkhu, persis seperti wanita yang harus mengurusi kaum lelaki dalam kehidupan rumah tangga mereka. Bhikkhuni menerima perlakuan seperti ini dari para bhikkhu, hingga akhirnya umat perumah tangga melihat dan melaporkannya pada Buddha. Setelah mendengar keluhan tersebut, Buddha memanggil kedua belah pihak terkait. Kedua pihak mengakui bahwa apa yang dilaporkan kepada Buddha adalah benar. Buddha lalu menetapkan Vinaya bagi para bhikkhu agar jangan meminta para bhikkhuni untuk melayani mereka seperti ini. Kita bisa lihat jelas maksud dari Buddha bahwa ketika Beliau mengizinkan wanita masuk Sanggha, yaitu pada dasarnya untuk memperbolehkan wanita mendalami dan mempraktikkan ajaran-Nya, maka para wanita itu bukan lagi perumah tangga. Karenanya, mereka tidak lagi perlu melakukan pekerjaan rumah tangga. Tiap Wanita Dalam Agama Buddha
31

orang yang telah ditahbiskan wajib menangani kebutuhan dasarnya sendiri dan memanfaatkan waktu untuk mencapai tujuan spiritualnya, yaitu berjuang mencapai pencerahan. Para bhikkhu maupun para bhikkhuni telah meninggalkan kehidupan rumah tangga mereka dengan pencapaian spiritual. Mengharapkan bhikkhuni untuk melayani bhikkhu itu bertentangan dengan prinsip dasar saat Buddha mengizinkan wanita memasuki Sanggha.

32

Women in Buddhism

Pertanyaan 10

Bagaimana para bhikkhu menyikapi tindakan Buddha yang menerima kaum wanita?
Sekali lagi, tidak ada catatan langsung dari masa hidup Buddha, sebagian karena ketika Buddha mengizinkan wanita memasuki Sanggha, Ratu Mahapajapati-lah yang menghadap pada-Nya. Berkat kedekatan hubungan sang ratu dengan Buddha, sekalipun mungkin sebagian bhikkhu berkeberatan terhadap keputusan Buddha, tak seorang pun berani menyatakannya sampai akhirnya tercatat dalam sejarah. Tetapi dalam Konsili Pertama yang dipimpin oleh Maha Kassapa tiga bulan setelah Buddha parinibbana, tercuat ketidakpuasan terhadap diterimanya wanita dalam Sanggha. Mereka meminta Bhikkhu Ananda untuk mengakui bahwa dirinya bersalah karena atas nama wanita ia berperan sebagai perantara untuk menghadap Buddha sehingga para wanita itu diterima menjadi anggota Sanggha. Yang Mulia Ananda dengan jelas menegaskan bahwa ia tidak melihat keterlibatannya itu sebagai pelanggaran. Namun, atas rasa hormatnya terhadap Sanggha, ia mengaku bersalah. Ada satu peristiwa menarik yang perlu disebutkan sehubungan dengan hal ini. Bhikkhu Maha Kassapa, yang memimpin konsili bersejarah ini, memiliki Wanita Dalam Agama Buddha
33

hubungan kurang baik dengan para bhikkhuni. Kita bisa temukan sebuah catatan peristiwa tatkala beliau bermaksud mengajari Sanggha Bhikkhuni, namun ia diperolok para bhikkhuni tersebut yang mengungkapkan keraguan mereka, bagaimana mungkin Bhikkhu Maha Kassapa bisa mengetahui Dhamma dengan latar belakangnya sebagai seorang brahmin12. Selain itu, para bhikkhuni tersebut juga terang-terangan menyatakan bahwa mereka lebih menyukai ajaran Bhikkhu Ananda. Hal ini membuat Bhikkhu Maha Kassapa sangat gusar, dan lagi-lagi atas nama para bhikkhuni, Yang Mulia Ananda terpaksa turut campur dengan minta maaf pada Maha Kassapa. Kejadian latar ini menyiratkan sudah adanya perasaan tidak menyenangkan antara Bhikkhu Maha Kassapa dan Sanggha Bhikkhuni. Apa yang selanjutnya terjadi dalam Konsili Pertama tersebut bisa dipahami.

34

Women in Buddhism

Pertanyaan 11

Bagaimana status para bhikkhuni semasa hidup Buddha?


Tatakala Buddha mengizinkan kaum wanita menjadi anggota Sanggha, sejumlah besar wanita menyambut kesempatan yang dianugerahkan kepada mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah India. Sebagian wanita ingin memasuki Sanggha untuk melarikan diri dari kehidupan yang melelahkan karena terpaksa mengurusi dapur hampir sepanjang hayatnya. Ada yang ingin menghindari hidup tanpa arti karena menjanda. Ada yang melakukannya karena ikut-ikutan gaya. Dan ada yang sekadar ikut-ikutan jejak kerabat dekatnya. Untuk beberapa alasan terakhir yang disebutkan di atas, sebagian bhikkhuni memang terbukti hanya menyusahkan Sanggha. Namun kebanyakan dari wanita ini memang tulus dalam pencarian spiritual mereka, karena itulah pertama kalinya mereka menikmati kebebasan seperti ini. Ada bhikkhuni yang diakui Buddha sebagai yang paling piawai dalam Vinaya, dalam mengajar Dhamma, dan sebagainya. Para bhikkhuni ini aktif menyebarkan ajaran Buddha, seperti halnya para bhikkhu. Ada beberapa bhikkhuni yang pandai berceramah serta sangat terkenal di kalangan para menteri dan keluarga bangsawan. Suatu ketika, seorang raja Wanita Dalam Agama Buddha
35

meminta seorang bhikkhuni terpelajar untuk menjelaskan topik Dhamma tertentu. Raja itu menanyakan hal yang sama kepada Buddha. Raja itu takjub mengetahui bahwa bhikkhuni tersebut membabarkan topik Dhamma itu, persis seperti yang diuraikan Buddha. Sang raja merasa bahagia dan yakin bahwa sesungguhnya ajaran Buddha telah berakar dengan baik.

36

Women in Buddhism

Pertanyaan 12

Adakah bhikkhuni yang tercerahkan?


Tipitaka menyebutkan ada lebih dari 500 bhikkhuni. Ada 13 orang bhikkhuni pilihan yang menerima pujian dari Buddha berkat keunggulan mereka: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Mahapajapati dipuji berkat reputasinya sebagai bhikkhuni pertama. Kema Theri, mantan ratu dari Raja Bimbisara, dipuji karena kebijaksanaannya. Upalavanna Theri dipuji atas kepiawaiannya melakukan kegaiban. Patacara Theri dipuji atas ingatannya yang tajam terhadap Vinaya. Dhammadinna mengajar. Theri dipuji karena kemampuannya dalam

Nanda Theri dipuji berkat kemampuannya bermeditasi. Sona Theri dipuji karena kesabarannya. Sakula Theri dipuji karena memiliki penglihatan waskita. Wanita Dalam Agama Buddha
37

9.

Kundalakesi Theri dipuji karena mencapai pencerahan secara tibatiba.

10. Bhadda Kapilani dipuji karena kemampuannya mengingat kehidupan lampau. 11. Bhadda Kaccana (Putri Yasodhara) dipuji karena abhinna13 agungnya. 12. Kisa Gotami dipuji karena mengenakan jubah dengan rapi. 13. Sigalamata dipuji karena teguh dalam keyakinannya.

38

Women in Buddhism

Pertanyaan 13

Mengapa bhikkhu tidak boleh menerima makanan yang


dipersembahkan bhikkhuni? Dalam Patidesaniya, bagian dari Patimokkha, memang terdapat larangan seperti ini. Jika kita telaah kitab Vibhanga, yang memuat konteks sejarah dari aturan Patimokkha, kita akan temukan sebuah kisah yang menarik. Seorang bhikkhuni sepuh berusia 120 tahun pergi ke kota sejauh 4 hingga 5 km untuk mengumpulkan derma makanan. Ketika ia kembali, seorang bhikkhu muda tengah menunggu dengan mangkuknya yang kosong. Terdorong rasa hormat terhadap para bhikkhu, sebagaimana yang tercantum dalam Garudharma, dengan sepenuh rasa hormat ia mempersembahkan makanan yang ia terima hari itu. Timbul gagasan dalam benak si bhikkhu muda bahwa ia tidak perlu bersusah-payah mengumpulkan derma makanan, namun sebaliknya cukup menerima dana makanan dari bhikkhuni sepuh ini hari berikutnya lagi. Pada hari ketiga, bhikkhuni tersebut pergi ke kota untuk mengumpulkan derma makanan. Tatkala tengah berkeliling di kota, sebuah kereta melintasi jalan yang dilaluinya. Ia mundur ke tepi, terjatuh, lalu pingsan. Sang hartawan yang menunggangi kereta itu turun untuk menanyakan keadaaannya, lalu Wanita Dalam Agama Buddha
39

mengetahui bahwa bhikkhuni itu pingsan karena lapar dan letih akibat tidak makan selama tiga hari. Setelah mengetahui alasannya, si hartawan mengecam si bhikkhu muda, lalu mengadu kepada Buddha. Sejak saat itu, untuk melindungi para bhikkhuni supaya tidak dimanfaatkan para bhikkhu, Buddha menetapkan aturan bahwa bhikkhu tidak boleh menerima dana makanan dari para bhikkhuni.

40

Women in Buddhism

Pertanyaan 14

Semasa hidup Buddha, peran apa yang dimainkan kaum wanita dalam
agama Buddha? Di halaman-halaman sebelumnya, saya telah memberikan gambaran mengenai apa saja yang sudah dilakukan para bhikkhuni. Sekarang, saya ingin menyebutkan peran dari Visakha sebagai studi kasus yang mencerminkan peran positif yang dimainkan kaum wanita semasa hidup Buddha. Visakha terlahir dalam keluarga Buddhis. Sewaktu kecil, ia biasanya mengikuti kakek-neneknya mendengarkan ajaran Buddha. Ia menikah dengan keluarga yang sama kayanya. Ia tidak saja tertarik pada agama Buddha, namun ia juga berhasil mempengaruhi Singala, mertuanya yang kaya itu untuk beralih memeluk agama Buddha. Karena hal ini, terkadang orang-orang memanggilnya dengan nama Singalamata atau ibunda dari Singala untuk menghormatinya. Sejak kecil, Visakha bergaul dengan banyak umat Buddha sehingga ia dikenal oleh Buddha dan Sanggha. Peranannya tidak hanya terbatas menjalani ajaran Buddha, namun ia juga memainkan peran penting sebagai penasihat dan pendukung yang setia. Selain itu, ia juga sangat menguasai Dhamma dan Vinaya. Wanita Dalam Agama Buddha
41

Ketika melihat ada bhikkhu yang tidak berlaku baik, ia mengadukannya kepada Buddha. Hasilnya, ada aturan yang ditetapkan atas permintaannya. Dua aturan Aniyata muncul atas usulannya. Jubah mandi bagi para bhikkhu juga menjadi persyaratan monastik, seperti yang diusulkannya. Sebagai penasihat Sanggha, pernah ada kejadian seorang bhikkhuni hamil yang diusir oleh Bhikkhu Devadatta. Akan tetapi bhikkhuni ini memohon pada Buddha dan bertahan atas kemurnian dirinya. Buddha memerintahkan Sanggha untuk menyelidiki kembali kasus ini dan Visakha diminta menjadi anggota komite yang ditunjuk untuk menasihati Sanggha. Visakha berasal dari keluarga besar. Ia sendiri punya banyak anak dan cucu, artinya ia adalah perumahtangga yang berpengalaman. Berdasarkan penyelidikannya, ia menemukan bahwa bhikkhuni tersebut telah hamil sebelum ditahbiskan. Setelah kemurnian bhikkhuni itu terbukti, Buddha mengizinkannya untuk tetap menjadi bhikkhuni, tanpa harus melepas jubah. Belakangan, bayinya diangkat sebagai anak oleh keluarga kerajaan. Sebagai siswi perumah tangga, Visakha memainkan peran yang sangat penting. Ia benar-benar memenuhi persyaratan seorang umat Buddha yang bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dan membangun agama Buddha di masa-masa awal.

42

Women in Buddhism

Pertanyaan 15

Bagaimanakah silsilah Sanggha Bhikkhuni dalam sejarah agama


Buddha? Sanggha Bhikkhuni hidup berdampingan dengan Sanggha Bhikkhu di India selama lebih dari 1.000 tahun. Sebuah kutipan dalam Vinaya Pitaka menyebutkan bahwa diterimanya wanita ke dalam Sanggha akan mengurangi rentang usia agama Buddha menjadi hanya 500 tahun. Kutipan ini ternyata tidak benar. Ketika Raja Asoka Agung naik takhta sekitar tahun 248 BE (290 SM), ia mencanangkan kebijakannya untuk mendukung dan menyebarluaskan agama Buddha dengan mengutus misionari ke sembilan penjuru. Salah satu misi tersebut dipimpin oleh Mahinda Thera, yaitu putra Raja Asoka sendiri, guna mengembangkan agama Buddha di Sri Lanka. Belakangan, Putri Anula, saudara ipar Raja Devanampiya Tissa dari Sri Lanka, mengungkapkan keinginannya untuk ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Yang Mulia Mahinda Thera mengusulkan kepada Raja Devanampiya Tissa untuk mengutus seorang duta kepada Raja Asoka guna memohon agar mengutus Yang Mulia Bhikkhuni Sanghamittasaudari Mahinda Theraserta Sanggha Bhikkhuni untuk datang dan mendirikan Sanggha Bhikkhuni di Sri Lanka. Wanita Dalam Agama Buddha
43

Bhikkhuni Sanghamitta tiba di Sri Lanka bersama sekelompok bhikkhuni dengan membawa serta bibit pohon bodhi sebagai tanda hormat kepada Raja Devanampiya Tissa. Putri Anula dan rombongannya yang besar itu menerima penahbisan dan menjadi kelompok bhikkhuni pertama di Sri Lanka. Putri Sanghamitta Theri tetap berdiam di Sri Lanka hingga akhir hayatnya. Di Cina, Ching Chien merupakan wanita Cina pertama yang memohon penahbisan, dan menerima penahbisan hanya dari Sanggha Bhikkhu. Kemudian, di tahun 972 BE (sekitar 430 M), Bhikkhuni Devasara dari Sri Lanka diundang bersama serombongan 10 orang bhikkhuni lainnya. Mereka tiba di Nanking dan menahbiskan 300 wanita Cina. Penahbisan bhikkhuni di Cina ini bercabang kembang hingga mendirikan Sanggha Bhikkhuni di Korea dan Asia Timur, dan terus bertahan hingga hari ini.

44

Women in Buddhism

Pertanyaan 16

Apakah bhikkhuni juga terdapat di negara-negara lainnya?


Selain para bhikkhuni di negara-negara Asia, selama 2 hingga 3 dekade terakhir ini, agama Buddha telah menyebar hingga ke barat. Gelombang penting perpindahan umat Buddha ke barat terjadi pada silsilah tradisi Tibet. Gelombang ini terjadi sejak Yang Mulia Dalai Lama mengungsi dari Tibet pada tahun 1959. Banyak bhikkhu dan guru Tibet mengikuti jejak beliau. Keberhasilan agama Buddha di AS adalah terutama berkat jasa dari tradisi Tibet ini. Para wanita yang ditahbiskan dalam silsilah Tibet ini kebanyakan merupakan samaneri, karena hanya itu yang terdapat dalam tradisi Tibet. Belakangan, ketika semakin banyak wanita barat ditahbiskan dalam silsilah Tibet, Yang Mulia Dalai Lama mengemukakan gagasan bahwa mereka ini bisa menerima penahbisan lanjut dari silsilah Cina yang telah ada di Taiwan dan Hongkong. Hasilnya, sekarang sudah ada beberapa bhikkhuni utama di dalam silsilah Tibet. Wihara Hsi Lai, yaitu wihara cabang dari Wihara Fo Kuang Shan di Taiwan, juga memainkan peranan penting dalam penahbisan bagi wanita sejak tahun Wanita Dalam Agama Buddha
45

1988. Seiring dengan meningkatnya jumlah bhikkhuni Barat dalam silsilah Tibet, pernah dilangsungkan pelatihan Vinaya bagi mereka di Bodh Gaya (1996). Waktu itu, lebih dari 100 orang bhikkhuni dan samaneri hadir. Di bulan Desember 1996, 10 orang wanita Sri Lanka ditahbiskan. Penahbisan ini diadakan oleh Bhikkhu Sanggha Korea di Sarnath, India. Fo Kuang Shan juga berencana untuk melangsungkan penahbisan bhikkhuni di Bodh Gaya, India, pada tanggal 1523 Februari 1998. Kebutuhan wanita untuk menikmati dan menjalani hidup suci telah terasa di seluruh dunia, dan sekarang kita saksikan datangnya bala bantuan dari Sanggha Cina dan Korea untuk membantu mendukung dan membangun Sanggha Bhikkhuni di negaranegara yang masih belum melangsungkan penahbisan wanita.

46

Women in Buddhism

Pertanyaan 17

Adakah bhikkhuni dalam tradisi Theravada?


Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara sederhana dengan ya atau tidak. Kita perlu pahami bahwa tatkala Buddha mencanangkan empat kelompok umat Buddha, yakni bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika, tidak ada perbedaan antara Theravada dan Mahayana. Malahan, pembedaan tersebut baru muncul ratusan tahun kemudian. Para bhikkhuni yang memelopori penahbisan di Cina merupakan bhikkhuni Theravada. Bahkan, Vinaya yang dijalani oleh Sanggha Cina adalah Dhammagupta, yang merupakan subbagian dari Theravada. Selama pemerintahan Raja Asoka di abad ke-3 BE, terdapat sedikitnya 32 aliran. Namun, hanya 18 aliran yang memiliki catatan jelas dan himpunan ajarannya tersendiri. Di antara 18 aliran tersebut, 12 berasal dari cabang aliran awal, dan 8 lainnya terbentuk dari Mahasanghika, yang kurang lebih bisa dikatakan sebagai cikal bakal dari Mahayana. Alasan utama Theravada tidak menerima Sanggha Bhikkhunikarena berasal dari silsilah Mahayanatidaklah berdasar. Silsilah penahbisan yang diikuti Mahayana berasal dari agama Buddha awal. Wanita Dalam Agama Buddha
47

Pertanyaan selanjutnya, apa perbedaan Mahayana dan Theravada? Secara umum, Mahayana berbeda dari Theravada dalam hal pembabaran filosofisnya tentang Dhamma. Namun demikian, semua cara dalam menjelaskan Dhamma berakar dari ajaran awal agama Buddha, yang kemudian bercabang dan berkembang dalam Mahayana.

48

Women in Buddhism

Pertanyaan 18

Mengapa tidak ada penahbisan bhikkhuni di Thailand?


Seperti telah disebutkan sebelumnya, penahbisan bhikkhuni perlu dilakukan dua kali, yakni ditahbiskan dulu oleh Sanggha Bhikkhuni, lalu oleh Sanggha Bhikkhu. Sanggha Bhikkhuni tidak pernah datang ke Thailand. Akibatnya, tidak pernah ada penahbisan bhikkhuni maupun Sanggha Bhikkhuni. Semasa Dinasti Sukhothai, abad ke-12 dan 13 dianggap sebagai zaman keemasan agama Buddha. Pria dan wanita tampak mempraktikkan ajaran Buddha dan menjalani sila. Raja sendiri tidak saja mempraktikkan ajaran Buddha, namun juga cukup terpelajar sehingga mampu memberikan khotbah pada tiap hari bulan purnama. Selama 417 tahun berkuasanya Dinasti Ayudhya, di masa berikutnya ketika ibukota Thailand pindah ke selatan, ke Ayudhya, Thailand mengalami masa-masa sulit. Selalu terjadi peperangan, baik dengan kaum penyerbu maupun peperangan antar pihak-pihak yang berkuasa di dalam negeri. Keadaan sosial yang mengganggu ini bukanlah kondisi yang ideal untuk belajar ataupun mempraktikkan ajaran Buddha. Waktu itu, jarang ada orang yang tertarik belajar agama Buddha. Perhatian utama terhadap keseharian hidup menjadi lebih penting. Tak pernah terlintas bahwa wanita bakal punya cukup waktu untuk berpikiran mempraktikkan Wanita Dalam Agama Buddha
49

agama Buddha hingga mau menjalani hidup suci. Dari sebuah studi banding, kita peroleh satu faktor yang sama, yang menyebabkan wanita menjalani penahbisan. Faktor itu adalah bahwa para wanita berkomitmen cukup mendalam terhadap ajaran Buddha hingga terinspirasi untuk menjalani hidup suci. Ini memang terjadi di Sri Lanka, Cina, Korea, dan Jepang. Namun di Thailand, wanita belum memperoleh kesempatan itu.

50

Women in Buddhism

Pertanyaan 19

Apakah mungkin untuk mendirikan Sanggha Bhikkhuni di Thailand?


Kisah perjuangan untuk mendirikan kembali Sanggha Bhikkhuni telah berlangsung sejak tahun 1927, ketika kedua putri dari Narin Klueng, yaitu Sara dan Chongdi, ditahbiskan sebagai bhikkhuni. Mereka ditolak oleh kedua belah pihakyakni pihak Sanggha dan pihak keluarga kerajaan. Namun, ada satu hal rumit yang perlu dipertimbangkan secara kritis. Tuan Narin Bhasitatau yang sering dipanggil penduduk setempat dengan nama Narin Khlueng merupakan seorang politikus yang terang-terangan mengecam kelengahan Sanggha. Ia mencoba membentuk sekelompok orang yang berpikiran liberal di sekitar dirinya. Tampaknya, ia seorang kritikus sosial yang berpikiran maju pada masa itu. Ia menentang Sanggha dan monarki absolut itu. Hasilnya, ia dicurigai oleh Sanggha dan anggota keluarga kerajaan. Ia begitu mendukung Sanggha Bhikkhuni hingga ia menawarkan kedua putrinya untuk ditahbiskan sebagai samaneri, lalu menjadi bhikkhuni. Bisa jadi gagasan tersebut memang baik, namun gagasan itu disusupi motif politiknya yang lain, hingga menyebabkan Sanggha maupun keluarga kerajaan menolak upayanya untuk mendirikan kembali Sanggha Bhikkhuni di Thailand. Kedua putrinya itu, beserta 7 hingga 8 bhikkhuni lainnya yang tinggal di Wanita Dalam Agama Buddha
51

Wat Nariwong, di sebidang tanah yang disumbangkan untuk kegiatan keagamaan oleh Narin Klueng sendiri, diperintahkan untuk lepas jubah. Kedua putrinya itu menolak. Mereka ditangkap, lalu dipenjarakan. Jubah mereka dicopot secara paksa dari tubuh mereka. Akibat peristiwa ini, komite para bhikkhu sesepuh menetapkan fatwa yang melarang bhikkhu mana pun untuk memberikan penahbisan bhikkhuni, penahbisan samaneri ataupun penahbisan sikkhamana kepada kaum wanita (1928). Sampai saat ini, fatwa ini belum dicabut. Secara teknis, Sara dan Chongdi menerima penahbisan hanya dari para bhikkhu, sehingga tidak sah menurut Sanggha Thailand. Namun dalam situasi itu, andaikan penahbisan mereka itu sahih karena sudah mendapatkan penahbisan ganda, mereka tetap akan ditolak dengan alasan lainnyamereka ini adalah putri dari Narin Klueng. Sekitar 30 tahun kemudian, Ny. Voramai Kabilsingh, seorang wanita yang kurang lebih seumur dengan Sara dan Chongdi, mencoba mencari jalan untuk ditahbiskan agar bisa menjalani hidup suci sebaik-baiknya. Tetapi semua bhikkhu Thailand yang ia dekati menegaskan bahwa itu tidak mungkin. Ia kemudian bertemu seorang bhikkhu Cina (Y. M. Yen Kiat), yang menerjemahkan baginya Patimokkha bhikkhuni dari aliran Dharmagupta. Bhikkhu itu mengatakan bahwa Ny. Voramai Kabilsingh masih dapat menerima penahbisan bhikkhuni dari Sanggha Cina di Taiwan. Pada tahun
52

Women in Buddhism

1971, ia berangkat untuk menerima penahbisan bhikkhuni dari Tao An Fa Tzu di Wihara Sung San di Taiwan. Ia menjadi bhikkhuni Thailand pertama yang menerima penahbisan penuh. Sekembalinya ke Thailand, ia melanjutkan keterlibatannya dalam menyebarluaskan agama Buddha dalam komitmen sosialnya, seperti percetakan, panti asuhan, penerbitan majalah Dhamma, dan sebagainya. Jika hal yang satu ini dilihat secara global, wanita Buddhis Thailand tidak lagi boleh tetap terisolasi, namun harus membuka diri terhadap perkembangan wanita Buddhis di dunia ini. Selama dua sampai tiga dekade terakhir, secara internasional wanita Buddhis sudah sama-sama bergerak untuk mengupayakan penahbisan bhikkhuni, untuk menemukan cara hidup yang membuat mereka lebih bermanfaat bagi masyarakat. Thailand juga terpengaruh oleh gerakan positif dari wanita Buddhis internasional ini. Di Thailand, pendirian kembali Sanggha Bhikkhuni terbentang di hadapan kita. Tetapi masalah yang lebih utama adalah membangun yayasan pendidikan dan pelatihan Buddhis, baik di tataran individu maupun pada tataran pemerintahan, agar kita bisa secara pasti menanti kelak, tatkala umat Buddha, baik pria maupun wanita, dapat hidup berdampingan untuk mendukung agama Buddha dengan seluruh potensi mereka. Cara hidup bhikkhuni memerlukan orang-orang yang sangat berkomitmen, Wanita Dalam Agama Buddha
53

yang tentu jumlahnya tidak banyak. Namun kesempatan tersebut tetap harus terbuka bagi mereka yang jumlahnya sedikit tersebut, yang ingin secara tulus mengabdikan diri untuk mendalami, mempraktikkan, serta menjadi teladan spiritual bagi kaum wanita.

54

Women in Buddhism

Pertanyaan 20

Benarkah bahwa bhikkhu tidak boleh menyentuh wanita karena


wanita tidak murni? Salah satu kebiasaan yang dipraktikkan, bahwa wanita tidak boleh bersentuhan langsung dengan bhikkhu, hanya berlaku di Thailand. Tidak ada larangan semacam itu di dalam Vinaya. Di dalam Tipitaka, ketika Bhikkhu Ananda bertanya bagaimana seorang bhikkhu semestinya bersikap terhadap wanita, tertulis bahwa Buddha menjawab Menjauhlah dari mereka. Dan seandainya mereka berhadapan dengan wanita, mereka jangan sampai menatap para wanita itu. Seandainya memang benar, tentunya perintah ini perlu kita pertanyakan. Mungkin saja perintah ini hanya ditujukan kepada Bhikkhu Ananda. Seperti yang kita tahu, Bhikkhu Ananda adalah bhikkhu tampan dan berkepribadian menarik. Pernah suatu ketika ia nyaris tergoda dalam rayuan seorang wanita, namun Buddha segera turun tangan dan menyadarkannya. Ajaran tersebut bisa jadi merupakan perintah umum, kalau kita paham bahwa sebagian besar bhikkhu belum tercerahkan. Seandainya mereka diperbolehkan berdekatan dengan wanita, mereka dengan mudah menjadi bingung. Supaya tidak goyah, para bhikkhu semestinya menjauhi wanita. Namun, tidak bersentuhan langsung dengan wanita tidak menyiratkan ketidakmurnian dan sifat negatif bawaan wanita. Wanita Dalam Agama Buddha
55

Buddha sendiri tidak pernah berusaha menghindari wanita. Beliau menerima mereka pada setiap waktu yang pantas karena Beliau telah tercerahkan, telah melampaui hasrat seksual apa pun. Dalam Tipitaka, ada juga bagian yang lebih positif, dan di sana dinyatakan bahwa Beliau menganjurkan para bhikkhu untuk memperlakukan wanita lain yang sebaya ibunda mereka sendiri sama seperti ibunda mereka sendiri itu. Bagaimana mungkin keempat kelompok umat Buddha bisa bekerja sama sebagai landasan bagi agama Buddha apabila kaum wanita, yang merupakan separuh dari umat manusia, senantiasa dikucilkan? Jika wanita dilemahkan dalam upayanya mendukung Sanggha, maka agama Buddha juga menjadi tak berarti karena digunakan sebagai wahana pembebasan hanya bagi separuh dari umat manusia. Baik wanita maupun pria harus bersatupadu, sebagaimana yang digariskan oleh Buddha, guna mendukung dan mengembangkan agama Buddha.

56

Women in Buddhism

Pertanyaan 21

Wanita pada umumnya diyakini tidak bersih. Seberapa benarkah


keyakinan ini? Banyak wihara melarang wanita berjalan mengitari stupa. Bukti mengenai hal itu jelas terlihat terutama di bagian utara Thailand. Praktik ini tidak tercantum dalam ajaran Buddha yang otentik. Akan tetapi, praktik ini dianut secara umum dan diturunkan sebagai kebiasaan. Dalam kenyataannya, keyakinan ini berakar dalam Hinduisme. Menurut Hinduisme, secara keagamaan wanita dianggap tidak bersih karena siklus haidnya. Jika dilihat dari sisi yang berlawanan, dapat dikatakan bahwa wanita sebenarnya memiliki kekuatan alami. Mereka mampu menghapuskan kekuatan mantra-mantra suci yang telah lama dipraktikkan oleh para pria dan paderi Hindu. Karena itulah para paderi Brahmin terpaksa mengusir wanita keluar dari tempat suci mereka. Kaum pria, yang memiliki posisi sosial yang lebih unggul, harus mengendalikan wanita yang memiliki kekuatan alami tadi dan menyatakan bahwa mereka ini tidak bersih selama masa haid. Praktik dan keyakinan ini entah bagaimana akhirnya terbawa ke dalam kebiasaan di Thailand. Contohnya saja, saat meragikan beras, para wanita yang sedang haid dilarang mendekat. Kalau tidak, berasnya akan membusuk. Mereka percaya bahwa haid itu memiliki kekuatan rahasia yang bisa membuyarkan Wanita Dalam Agama Buddha
57

kekuatan sihir. Ini adalah keyakinan dan praktik Hindu yang terbawa masuk ke dalam budaya Thailand, dan sebagian besar orang Thailand mengira bahwa melarang wanita haid adalah praktik Buddhis sejati, padahal kenyataannya tidak. Dari sudut pandang Buddhis, haid merupakan pengeluaran zat cair secara fisik dan alami yang harus dialami wanita setiap bulannya, tidak lebih dari itu. Sepanjang periode ini, wanita cenderung memiliki emosi yang lebih labil. Mereka lebih membutuhkan dukungan religi dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya. Tapi ironisnya, dalam kenyataannya mereka dilarang memasuki wihara, dan dianggap tidak bersih.

58

Women in Buddhism

Pertanyaan 22

Mengapa wanita dianggap sebagai suatu komoditas?


Pandangan bahwa wanita merupakan komoditas diungkapkan secara terang-terangan dalam Manudharmasastra, sebuah kitab sosial keagamaan yang digunakan kaum Hindu. Menurut kitab tersebut, wanita dianggap sebagai kaum yang lebih lemah, yang tidak mampu mengambil keputusan sendiri, serta merupakan makhluk yang bergantung pada pihak lain. Sebagai komoditas, wanita harus diasuh orangtua mereka tatkala kecil, oleh suami mereka setelah menikah, dan oleh para putra mereka di masa tuanya. Pandangan semacam ini tentu bukan semangat Buddhis. Ajaran Buddha memberikan ruang yang sama bagi pria maupun wanita untuk berkembang secara spiritual, dan mereka memiliki potensi yang sama untuk mencapai pencerahan.

Wanita Dalam Agama Buddha

59

Setiap momen adalah momen terbaik dan setiap tempat adalah tempat terbaik. Seandainya saja kita mengerti hal ini dengan sepenuh hati

60

Women in Buddhism

Pertanyaan 23

Mengapa ada wihara di utara yang tidak memperbolehkan wanita mengitari stupa (pradaksina)?
Banyak wihara di Thailand, terutama yang ada di utara, tidak memperbolehkan wanita mengitari stupa. Para bhikkhu menjelaskan bahwa relik Buddha ditempatkan di tengah-tengah stupa saat sedang dibangun. Seandainya wanita diperbolehkan mengitari stupa, artinya mereka bakal berjalan pada posisi yang lebih tinggi daripada relik tersebut, dan ini artinya menghilangkan kesucian dari kekuatan relik Buddha. Ini tentunya tidak benar. Dengan mengatakan hal ini, secara logis tersirat bahwa kaum wanita begitu hebatnya hingga mampu menghilangkan kesucian dari kekuatan relik Buddha. Tentu saja bukan ini masalahnya. Keyakinan bahwa wanita tidak bersih tidak hanya terbatas pada masyarakat India. Masyarakat-masyarakat yang lebih tua dan primitif, terutama orangorang kesukuan juga meyakini kepercayaan tersebut. Ini merupakan akibat dari ketidakmampuan mereka dalam menjelaskan mitos haid. Semua praktik yang berdasarkan kitab Weda, terutama Atharvaveda yang isinya dipenuhi black magic, entah mengapa memperingatkan para praktisinya Wanita Dalam Agama Buddha
61

untuk tidak bersentuhan langsung dengan wanita yang sedang haid karena menstruasi dapat menghilangkan kekuatan magis. Hasilnya, semua bhikkhu dan pria yang menaati ajaran kitab-kitab Weda itu menetapkan aturan yang melarang wanita untuk memasuki daerah suci. Di wihara, cuma membatasi wanita yang sedang haid tidaklah cukup. Karena itulah, aturan-aturan tersebut diperluas dengan membatasi semua wanita. Selama zaman Dinasti Ayudhya, akibat desakan kebutuhan hidup, para bhikkhu dan ahli sihir terpaksa mempelajari aneka kekuatan sihir untuk membantu para siswa mereka bertahan hidup melewati masa-masa peperangan yang sering terjadi kala itu. Mereka juga menerapkan larangan terhadap wanita guna memperhebat praktik magisnya. Waktu itu, para bhikkhu tidak terpisahkan dari kepercayaan dan praktik Hindu, sehingga ini mengakibatkan sangkalan terhadap semangat ajaran Buddha yang sejati serta pupusnya ajaran dan praktik Buddhis. Begitulah, sering kita temukan banyak praktik Hindu yang diterima dengan mengatasnamakan agama Buddha. Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan dan praktik yang dibawa oleh bhikkhu belum tentu adalah praktik Buddhis. Umat Buddha harus menyadari campur-aduk ini, yang terjadi dalam konteks sejarah kita, dan harus dapat membedakan mana agama Buddha yang sesungguhnya sehingga dapat menjalani ajarannya secara kritis. Women in Buddhism

62

Dari kasus di atas, kita lihat bahwa kepercayaan setempat yang diwariskan melalui tradisi kadang kala bisa terbentuk menjadi nilai sosial negatif yang menjadi alat yang efektif untuk menekan kaum hawa. Perubahan luar dalam menegakkan hak-hak hukum semata tidak selalu menjamin terjadinya perubahan dalam sikap dan nilai sosial. Kita harus benar-benar mendalami kitab-kitab agama Buddha karena kitab-kitab tersebut memberikan pada kita landasan yang kuat untuk mendapatkan pandangan cerah yang diiringi kekuatan spiritual yang perlu dan penting guna membawa kita terhadap sikap yang lebih positif terhadap wanita. Dan pada akhirnya, hal ini akan berujung pada kemajuan terhadap masyarakat Buddhis.

Wanita Dalam Agama Buddha

63

Sahabat di dalam hati susah didapat. Saat sang sahabat pergi, sebagian dirinya ikut pergi. Hai Sahabat, hal terbaik apa yang terjadi hari ini?

64

Women in Buddhism

Pertanyaan 24

Sering kali dikatakan bahwa wanita adalah musuh dari hidup suci.
Bisakah Anda jelaskan perkataan ini? Perkataan ini merupakan instruksi Buddha kepada para bhikkhu, sebagaimana yang tercantum dalam Tipitaka. Buddha mengingatkan para bhikkhu untuk berhati-hati terhadap wanita. Akibatnya, di Thailand sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila seorang wanita hendak memberi persembahan kepada seorang bhikkhu, maka bhikkhu tersebut selalu harus membentangkan sehelai kain untuk menerimanya. Wanita cenderung rendah diri dan tak berharga. Bahkan ada sebagian yang menganggap dirinya sendiri sebagai halangan terhadap kesucian para bhikkhu. Kita harus menerima ajaran ini dengan pandangan baru. Ini merupakan salah satu contoh yang menunjukkan betapa ajaran ini secara alami memihak kepada kaum pria, dengan ajaran yang diberikan berdasarkan sudut pandang dan kepentingan para bhikkhu. Para bhikkhu yang baru ditahbiskan, yang baru menjalani sejejak latihan batin dapat dengan mudah terkontaminasi akibat bertemu dengan wanita. Ini bukan salah si wanita, namun lebih karena kelemahan para bhikkhu, yang mengakibatkan mereka harus menjaga kesadaran ketika bertemu Wanita Dalam Agama Buddha
65

dengan lawan jenisnya. Sekalipun tidak ada wanita di hadapan mereka, sebagian bhikkhu tetap bermasalah dengan wanita dalam imajinasi dan fantasi mereka sendiri. Wanita tidak bisa dianggap bertanggung jawab atas kesalahan apa pun yang dilakukan bhikkhu. Para bhikkhu itu sendirilah yang harus berlatih dan menjauhkan diri dari nafsu seksual. Mereka yang telah tercerahkan sudah melampaui perbedaan gender. Buddha tidak pernah merasa perlu menghindari wanita, karena mereka tidak lagi tampak bagi-Nya sebagai objek seks. Beliau seimbang sempurna dan mampu mengendalikan segala keinginan. Dalam percakapan dengan Bhikkhu Ananda, Buddha memintanya untuk tidak menatap wanita, dan untuk tidak berlama-lama saat berbicara dengan mereka. Bagi pria tiada belenggu yang lebih kuat daripada wanita. Di saat yang sama Buddha juga mengingatkan wanita bahwa bagi wanita, tiada belenggu yang lebih kuat daripada pria, dan bahwa pria juga merupakan musuh terhadap kesucian wanita. Akan tetapi yang terakhir ini tidak berlaku bagi para bhikkhu. Karena di Thailand hanya ada para bhikkhu yang membabarkan Dhamma, maka kita hanya memperoleh ajaran sepihak bagi kaum pria. Alhasil, masyarakat cenderung menyalahkan wanita, seolah-olah wanita adalah satu-satunya sumber ketidaksucian.

66

Women in Buddhism

Pertanyaan 25

Benarkah bahwa begitu wanita diperbolehkan masuk ke dalam

Sanggha, maka usia agama Buddha akan memendek menjadi 500 tahun?

Setelah wanita diperbolehkan masuk ke dalam Sanggha, tercatat dalam Vinaya bahwa Buddha meramalkan usia agama Buddha akan memendek menjadi 500 tahun. Untungnya, sekarang ini sudah sekitar 2.000 tahun setelah ajaran Buddha dicatatkan, dan kita sudah bisa menilai dengan jelas bahwa perkataan seperti ini semata-mata merupakan purbasangka terhadap kaum wanita dan tidak bersesuaian dengan semangat ajaran Buddha. Kita telah menelaah konteks sejarahnya sehingga bisa melihat bagaimana Sanggha Bhikkhu dan Sanggha Bhikkhuni hidup berdampingan di India. Selama Raja Asoka berkuasa (sekitar abad ke-3 SM) Sanghamitta Theri putri raja sendiridiundang bersama-sama sekelompok bhikkhuni untuk mendirikan Sanggha Bhikkhuni di Sri Lanka dan mereka memperoleh dukungan kerajaan sepenuhnya dan hidup dengan baik hingga lebih dari seribu tahun lamanya. Di India, temuan sejarah maupun temuan arkeologi telah membuktikan Wanita Dalam Agama Buddha
67

bahwa Sanggha Bhikkhuni tetap ada sampai abad ke-10 dan 11 Masehi. Contohnya, sebuah prasasti yang ditemukan di Bodh Gaya menyebutkan bahwa Bhikkhuni Kuranji, yang sebelumnya adalah istri Raja Indramitra, mencapai pencerahan; prasasti dari Kusana menyebutkan bahwa Bhikkhuni Buddhamitta, siswi dari Bhikkhu Bala, dikenal sebagai Tipitaka , yaitu orang yang sangat piawai dalam Tipitaka. Bukti-bukti ini cukup kuat sehingga bisa dikatakan bahwa kedua Sanggha tersebut hidup berdampingan, hingga kaum Islam Turki menyerang India. Setibanya di Sri Lanka, Sanghamitta Theri dan bhikkhuni lain dari India menahbiskan Putri Anula, saudari ipar dari Raja Devanampiya Tissa, beserta sejumlah besar wanita kerajaan. Sebuah prasasti dari abad ke-16 yang ditemukan di Kukurumahandamana menyebutkan tentang Rumah Sakit Mahindarama yang berada di depan bhikkhuni arama14 di Anuradhapura. Sepertinya para bhikkhuni di masa itu juga terlibat dalam kesejahteraan masyarakat. Kitab Mahavamsa dan Culavamsa15 menyebut-nyebut kegiatan dari Sanggha Bhikkhuni. Tahun 1050 M, setelah serangan seorang raja dari India Selatan, Sanggha Bhikkhu maupun Sanggha Bhikkhuni pupus dari Sri Lanka. Belakangan, para bhikkhu Thailand datang ke Sri Lanka atas undangan kerajaan. Mereka lalu mendirikan kembali Sanggha Bhikkhu, yang terus bertahan hingga hari ini. Sanggha Bhikkhuni tidak disebut-sebut di sini. Semasa Sanggha Bhikkhuni berkembang di Sri Lanka, sekelompok dari
68

Women in Buddhism

mereka memenuhi undangan dari Cina dan mendirikan Sanggha Bhikkhuni di sana pada tahun 434 M. Silsilah bhikkhuni ini meluas hingga ke negerinegeri tetangga seperti Korea dan Vietnam. Ada dua hal yang perlu disebutkan sehubungan dengan ini. Pertama, perlu dicatat bahwa agama Buddha masih terus berkembang dewasa ini (2540 BE/1997 M), tidak hanya di Timur tetapi juga hingga ke belahan Barat dan mulai mengakar di sana. Kedua, kita perlu menyebutkan bahwa pupusnya Sanggha Bhikkhu maupun Sanggha Bhikkhuni selalu terjadi bersamaan. Fakta dan bukti sejarah ini menyangkal kepercayaan umum bahwa menerima wanita dalam Sanggha akan memendekkan usia agama Buddha hanya sampai 500 tahun.

Wanita Dalam Agama Buddha

69

Orang yang cepat marah dan tak sabar tak menyelesaikan apapun. Bagi mereka yang pikirannya harmonis dan tenang, seratus berkat datang sendiri
Women in Buddhism

70

Pertanyaan 26

Mengapa wanita tidak dapat menjadi Buddha?


Para ahli agama Buddha menjelaskan bahwa dalam penyusunan Tipitaka, ada beberapa bagian yang lebih tua daripada bagian lainnya. Bagian yang tertua adalah Patimokkha, yang merupakan aturan atau sila monastik bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Dalam tradisi Theravada, terdapat 227 sila untuk bhikkhu dan 311 sila untuk bhikkhuni. Kita temukan bahwa bagian dari Tipitakayang mengandung kutipan mengenai tidak mampunya wanita untuk menjadi Buddhadisusun paling tidak 500 tahun setelah Buddha parinibbana, yakni ketika Mahayana telah muncul. Pada masa itu telah berkembang pemahaman bahwa Buddha bukanlah makhluk biasa tetapi memiliki keberadaan adialami. Umat Buddha mulai menggambarkan Buddha dengan 32 ciri mahapurisa16 yang diyakini sebagai ciri-ciri seorang raja agung. Salah satu ciri ini menyatakan bahwa kelamin dari Buddha mesti terbungkus dan tertutup, yang artinya bahwa Buddha telah melampaui nafsu seksual. Belakangan, persyaratan ini hanya ditekankan pada memiliki kelamin, sehingga muncul pemahaman bahwa wanita tidak dapat menjadi Buddha. Hal ini terus diyakini hingga seribu tahun lamanya. Wanita Dalam Agama Buddha
71

Para guru di masa sesudahnya mengalami kesulitan menjelaskan pembatasan kelamin ini. Mereka mengembangkan ajaran untuk menampung kaum wanita dengan menyatakan bahwa jika seorang wanita mencapai standar perkembangan spiritual yang lebih tinggi, maka ia dapat berubah menjadi pria. Beberapa sutra Mahayana seperti Sukhavati Vyuha Sutra menyebut-nyebut Buddha Amitabha yang berdiam di Surga Barat. Di alam ini (Buddhakserta), wanita yang memiliki keyakinan kuat terhadap Buddha Amitabha dapat terlahir kembali sebagai pria. Kepercayaan ini bukan didasarkan pada rasa benci terhadap wanita, atau karena wanita tidak mampu mempraktikkan Dhamma, namun karena rasa welas asih terhadap wanita yang harus melalui penderitaan fisik seperti melahirkan, dan sebagainya. Hal ini benar, sebab di masa lalu dunia kesehatan belum semaju sekarang. Karena itu, kita sering mendengar perumpamaan yang menyamakan wanita yang melahirkan dengan pria yang pergi berperang. Dengan pemahaman ini, dan atas welas asih, Buddha Amitabha mengizinkan wanita yang berkeyakinan terhadapNya untuk terlahir di alam-Nya sebagai pria. Sutra lain yang tidak banyak diketahui orang Thailand adalah sutra mengenai Buddha Aksobhaya yang berdiam di Surga Timur. Alam ini berbeda dengan alam Buddha Amitabha. Wanita yang terlahir di alam ini tetap menjadi wanita, dan seandainya ia ingin memiliki anak, maka seorang anak akan lahir tanpa
72

Women in Buddhism

pembuahan, tanpa harus menjalani derita persalinan, dan lain-lain, serta sama sekali tidak memerlukan keterlibatan pria. Ini bisa dianggap sebagai welas asih yang diungkapkan Buddha Aksobhaya, selangkah lebih maju daripada Sukhavati17 dalam hal pengakuannya terhadap kewanitaan dan keibuan. Setelah itu, Saddharmapundarika Sutra, sebuah teks utama bagi semua aliran dalam tradisi Mahayana, dalam salah satu bab-nya menyebutkan mengenai putri dari sesosok naga18 yang baru berusia delapan tahun namun sangat piawai dalam Dhamma. Ia mempersembahkan permata kepada Bhikkhu Sariputra19. Pada saat Bhikkhu Sariputra menerima persembahan tersebut, ia berkata bahwa dirinya dapat bersalin rupa menjadi pria sebelum Bhikkhu Sariputra sempat menerima persembahan itu. Dalam konteks ini, tersirat pesan bahwa seseorang yang mencapai pencerahan, akan melampaui batasan gender. Dengan kata lain, seseorang mesti melampaui batasan gender agar bisa tercerahkan. Tercerahkan berarti terbebas dari segala ikatan dan batasan, termasuk gender. Begitu tercerahkan, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Sutra Mahayana penting lainnya adalah Vimalakirti Nidesa Sutra yang mengisahkan pertemuan antara Bhikkhu Sariputra dengan sesosok dewi yang berdiam di tempat kediaman Vimalakirti. Setelah lama berbincang Dhamma dengannya, Bhikkhu Sariputra terkesan pada pengetahuan sang dewi akan Dhamma, sekalipun dewi itu adalah wanita. Bhikkhu Sariputrayang Wanita Dalam Agama Buddha
73

seakan-akan beranggapan bahwa Dhamma pada tataran lebih tinggi hanya diketahui kaum priabertanya mengapa dewi itu masih mempertahankan jenis kelamin wanitanya. Sang dewi menjawab bahwa sejak berada di sana selama 12 tahun, ia telah menyelami batinnya sendiri, namun tidak mampu mempertahankan apa pun yang berkelamin wanita. Karena inilah ia tidak mampu mengubah jenis kelaminnya. Sambil berbincang, dengan kekuatan adialaminya, ia berubah wujud menjadi Bhikkhu Sariputra dan mengubah Bhikkhu Sariputra berwujud seperti dirinya. Sang dewi yang sekarang berwujud Bhikkhu Sariputra bertanya kepada Bhikkhu Sariputra yang sekarang berwujud dewi, apakah Bhikkhu Sariputra mampu kembali ke wujud aslinya. Bhikkhu Sariputra menjawab, setelah menyelami dirinya sendiri (yang sekarang berupa wanita) bahwa ia tidak dapat menemukan inti dari kewanitaan. Sang dewi menarik balik kekuatannya itu, dan mengembalikan Bhikkhu Sariputra dan dirinya sendiri ke wujud semula. Sang dewi lalu menjelaskan bahwa dalam praktik Dhamma tertinggi tiada inti kepriaan ataupun kewanitaan. Dengan begitu, bagaimana mungkin seseorang mempertahankan kepriaan atau kewanitaannya? Dalam praktik Dhamma, seseorang jangan sampai bertahan pada suatu rupa tertentu, baik pria maupun wanita. Batin yang tercerahkan melampaui kemelekatan, misalnya kemelekatan terhadap sifat pria atau wanita, sifat baik atau buruk. Lokuttara Dhamma tidak bersifat ganda; pencerahan merupakan keadaan pikiran yang bebas dari dunia konvensional.
74

Women in Buddhism

Pertanyaan 27

Bagaimana sikap Buddhis terhadap prostitusi?


Tiap kali saya menghadiri konferensi internasional di luar negeri, saya selalu ditanya: mengapa di negara Thailand yang 94% dari 60 juta jiwa populasinya adalah umat Buddha, masih terdapat prostitusi? Bahkan wanita yang bepergian ke luar negeri kerap diperlakukan tidak pantas karena dianggap berprofesi sebagai pelacur. Sebagai umat Buddha, kita harus memahami bahwa agama Buddha tidak menyalahkan wanita yang terpaksa bekerja sebagai pelacur untuk bertahan hidup. Tetapi, prostitusi merupakan perilaku buruk, baik bagi pria maupun para pelacur itu sendiri. Dalam suatu penelitiannya, Dr. Thepanom Muangmaen melaporkan adanya seorang gadis yang harus memberikan layanan seksual bagi 30 orang pria selama satu malam saat tahun baru Cina (Imlek). Dari sudut pandang si pelacur, ini dapat dimengerti karena ia terpaksa melakukannya karena kemiskinan dan kebutuhan bertahan hidup. Tetapi, bagaimana dengan ketiga puluh orang pria yang membeli layanannya? Apa sih yang mereka benar-benar butuhkan kalau bukan pemuasan birahi mereka? Buddha tidak memandang rendah para pelacur. Sebaliknya, Beliau Wanita Dalam Agama Buddha
75

memberikan mereka kesempatan untuk memasuki jalan yang benar, sebagaimana yang lain. Suatu ketika, Beliau menerima undangan dari Ambapali, seorang pelacur, untuk makan siang keesokan harinya. Setelah itu, tibalah para pangeran Licchavi20 yang juga memberi-Nya undangan. Buddha menolak karena telah menerima undangan dari Ambapali. Pelacur ini pulalah yang di kemudian hari mempersembahkan hutan mangga kepada-Nya dan kepada para bhikkhu untuk kediaman mereka. Jivaka, tabib terkenal yang secara pribadi merawat Buddha dan anggota Sanggha, juga terlahir dari seorang pelacur. Jivaka tidak pernah dipandang rendah karena kelahirannya itu. Menjadi seorang pelacur bukanlah halangan untuk mencapai pencerahan, jika wanita itu memang mau dan rajin mempraktikkan Dhamma. Bahkan, pengalaman sebagai pelacur bisa membantunya mencapai pencerahan lebih cepat daripada orang lain21. Agama Buddha tidak mendukung prostitusi. Malah sebaliknya, agama Buddha menyatakan bahwa prostitusi adalah perbuatan buruk. Umat Buddha tidak memandang rendah para pelacur. Seandainya para pelacur itu memilih untuk mempraktikkan Dhamma, maka mereka memiliki kesempatan yang sama, dan bahkan mungkin lebih besar, untuk tercerahkan.
76

Women in Buddhism

Pertanyaan 28

Bagaimana sikap umat Buddha terhadap aborsi?


Di lingkungan kaum feminis Barat, aborsi merupakan isu sosial yang paling banyak dibicarakan. Ada yang berpendapat bahwa wanita memiliki hak atas tubuhnya karena tubuhnya adalah miliknya. Agama Buddha tidak menentang pendapat ini, namun dengan jelas berpendapat bahwa aborsi sama dengan membunuh. Orang yang memutuskan untuk melakukan aborsi melanggar sila pertama. Akan tetapi, apakah pemerintah harus membuat undangundang untuk melegalkan tindak aborsi ataupun tidak, itu merupakan persoalan yang mesti dipertimbangkan dari pelbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Terhadap perdebatan yang menimbulkan pertanyaan apakah aborsi berarti mengakhiri kehidupan atau tidak, agama Buddha memiliki penjelasan rinci tentang pembuahan dan pelbagai tahap terbentuknya janin. Penjelasan ini menjabarkan menyatunya sperma dan sel telur, yang lalu melewati minggu pertama, kedua, ketiga, dan keempat mencapai tahap disebut pancasakha atau 5 cabang, yaitu kepala, kedua lengan, dan kedua kaki. Kehidupan telah ada dalam tahap-tahap ini sejak pembuahan dimulai. Pembunuhan terjadi jika setidaknya terdapat 5 faktor: Wanita Dalam Agama Buddha
77

1. 2. 3. 4. 5.

adanya makhluk, mengetahui bahwa makhluk itu hidup, adanya niat membunuh, melakukan upaya membunuh, dan makhluk itu mati.

Jika tindakan seseorang memenuhi kelima faktor di atas, maka pembunuhan telah terjadi, yang menimbulkan akibat perbuatan (vipakkarma). Sebagai umat Buddha, mungkin saja seorang wanita terpaksa melakukan aborsi, namun ia tetap mesti bersedia menerima ganjaran perbuatannya itu tanpa mencoba memutarbalikkan ajaran tersebut agar bersesuaian dengan pilihannya tersebut. Pria memang seharusnya memikul tanggung jawab yang sama atas kehamilan, namun hal ini merupakan masalah yang sangat berbeda.

78

Women in Buddhism

Pertanyaan 29

Bagaimanakah perkembangan sejarah dari mae ji? Dan seperti


apakah keadaannya sekarang ini? Bukti sejarah tertua mengenai mae ji ditemukan dalam sebuah catatan yang ditulis oleh seorang misionari Kristiani yang mengunjungi Thailand pada pertengahan masa Dinasti Ayudhya (sekitar abad ke-17 M). Catatan ini menggambarkan seorang wanita sepuh berpakaian putih yang tinggal di dalam lingkungan wihara. Hingga kini, kata ji masih diperdebatkan. Sebagian mae ji berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata jina, yang berarti penakluk, tetapi kata ini biasanya digunakan bagi Buddha. Jadi, adalah meragukan seandainya kata mae ji ini mengandung arti yang sama. Semasa Buddha hidup, ada istilah parivrajika, yang berarti petapa, namun lagi-lagi para parivrajika ini merupakan aliran non-Buddhis. Ada pula kelompok lain yang dikenal sebagai ajivika, yang juga non-Buddhis. Dalam literatur Thailand kuno, ada disebutkan istilah ji pluey yang merujuk pada para petapa telanjang dari agama Jainisme22. Kata ji semata-mata berarti yang telah ditahbiskan dan dapat digunakan bagi pria maupun wanita. Awalan mae secara harfiah berarti ibu, namun sebenarnya hanya merujuk pada jenis kelamin wanita. Dengan demikian, mae ji mestinya berarti wanita yang telah ditahbiskan. Wanita Dalam Agama Buddha
79

Secara resmi, tidak ada aturan yang berlaku bagi para mae ji. Secara umum, mae ji berarti wanita Buddhis yang rambutnya dicukur bersih, berpakaian putih, dan menjalani 58 sila. Mereka ini dapat berdiam di lingkungan wihara atau di rumah. Kementerian Agama Thailand tidak menganggap mereka telah ditahbiskan sehingga menimbulkan perlakuan yang tidak adil dari berbagai kementerian. Kementerian Komunikasi tidak menganggap mereka telah ditahbiskan sehingga mereka tidak dapat memperoleh rabat khusus separuh harga untuk tiket kereta api. Kementerian Dalam Negeri menganggap mereka telah ditahbiskan sehingga mereka tidak memiliki hak suara pada saat pemilihan umum. Para bhikkhu umumnya mengelompokkan mereka dengan para upasika, umat perumah tangga wanita. Berdasarkan pengelompokkan Buddhis klasik, terdapat bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika. Mae ji tidak termasuk ke dalam kategori mana pun dalam pengelompokan ini. Pengelompokan Komunitas Buddhis Bhikkhu Upasaka perumah tangga laki-laki
80

Bhikkhuni Upasika perumah tangga wanita

Women in Buddhism

Para mae ji bukanlah perumah tangga karena mereka lebih ketat menjalankan kehidupan spiritual, namun mereka juga bukan bhikkhuni karena bhikkhuni menjalani 311 sila dan melewati prosedur penahbisan, sedangkan mae ji hanya menjalani 8 sila tanpa penahbisan resmi. Institut Mae Ji yang berada di bawah naungan ratu kerap kali mencoba mengatasi permasalahan para mae ji yang mengemis, karena perbuatan mereka menghancurkan citra mae ji secara umum, namun masalah ini masih tetap berlangsung. Selama tidak ada kebijakan pasti untuk bertindak, selama Departemen Agama belum berusaha memperjelas status mae ji dengan mengatur pendataan dan menerbitkan kartu pengenal bagi para mae ji agar tiap mae ji bisa diperiksa dan ditempatkan secara benar, selama itulah benalu tidak dapat dicerabut. Biasanya mae ji merupakan orang miskin yang kurang berpendidikan. Masyarakat umum tidak memandang mae ji sebagai wakil para wanita yang mencoba menjalani hidup suci. Karena itulah, masyarakat tidak memedulikan permasalahan yang dihadapi para mae ji ini, ataupun bersimpati terhadap mereka. Mae ji menjadi kelompok minoritas yang terpaksa menghindar dari batu halangan sendirian, tanpa arah yang jelas. Dalam dekade terakhir ini, beberapa wanita kalangan masyarakat atas yang berlatar pendidikan, sosial, dan keuangan yang baik telah menjadi mae ji. Wanita Dalam Agama Buddha
81

Mereka ini secara positif membantu meningkatkan kesejahteraan sosial dan memperbaiki citra para mae ji. Mae ji sendiri menjadi semakin sadar bahwa mereka membutuhkan perbaikan dalam pendidikan, meskipun dengan keterbatasan ekonomi.

82

Women in Buddhism

Pertanyaan 30 agama?

Bagaimana mae ji bisa berperan dalam perkembangan sosial dan

Kondisi nyata yang dihadapi mae ji berbeda dengan apa yang diharapkan masyarakat dari mereka. Masyarakat menganggap mae ji sebagai sumber daya manusia yang tersedia untuk perkembangan kehidupan dan agama. Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan mae ji untuk mengabdikan diri pada pekerjaan sosial, seperti merawat yatim piatu, lansia, dan lain-lain. Kenyataannya, di seluruh negeri ini, jumlah mae ji tidak lebih dari 10.000 orang. Dari jumlah ini, 80% baru mengenyam pendidikan hingga kelas 4-6. Jumlah yang sama berasal dari keluarga petani, tanpa dukungan keuangan maupun pengakuan sosial. Mereka terpaksa bertahan hidup seadanya dan beberapa di antaranya mendapatkan sedikit bantuan dari keluarganya. Gagasan untuk membantu orang lain atau terlibat dalam kesejahteraan sosial benar-benar tidak terpikirkan oleh mereka. Akibatnya, sebagian dari mereka terpaksa mengemis di jalanan untuk menutupi biaya hidup. Lalu, ada juga sejumlah mae ji yang memilih menjadi mae ji karena merasa ditolak oleh kehidupan di dunia ini. Karena mereka menghindari masyarakat, maka mengharapkan mereka untuk terlibat dalam pengembangan masyarakat Wanita Dalam Agama Buddha
83

bertentangan dengan niat awal mereka. Mae ji memang dapat menjadi sumber daya yang efektif untuk kepentingan masyarakat. Namun ada langkah yang harus ditempuh sebelumnya, yaitu mengembangkan para mae ji itu sendiri dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan agar mereka bisa lebih dahulu membantu diri mereka sendiri dan tidak menjadi beban masyarakat. Selanjutnya mereka dapat membimbing teman-temannya baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Membantu mengembangkan mae ji dalam tindakan nyata bisa dilakukan dengan mendirikan sekolah untuk memberikan pendidikan Buddhis dan pendidikan umum agar para mae ji tersebut bisa bergerak seiring dengan masyarakat, bisa memahami permasalahan sosial, sekaligus terbekali dengan pengetahuan Dhamma guna menuntun masyarakat menjadi komunitas Buddhis yang lebih baik. Departemen Agama dan Kementerian Pendidikan merupakan satuan pemerintahan yang bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan mae ji. Telah ada usulan agar mereka segera mendata para mae ji guna mengurangi kesempatan bagi orang luar untuk mengeksploitasi mereka. Mereka juga perlu mengangkat harkat para mae ji dalam proses untuk mengukuhkan mae ji sebagai satu unit religi yang berdayaguna untuk membantu meneguhkan dan menyebarluaskan agama Buddha.
84

Women in Buddhism

Pertanyaan 31

Mengapa beberapa keluarga di utara menjual putri mereka agar dapat


menahbiskan putra mereka? Orang Thailand memegang teguh nilai hidup bahwa memiliki putra yang ditahbiskan merupakan bentuk tertinggi dalam berbuat jasa. Di desa, saat seorang putra mencapai usia 20 tahun, sudah merupakan kebiasaan populer untuk mengadakan acara penahbisan dengan perayaan selama 3 hari menjelang ritual penahbisan itu sendiri. Acara memanggil kwan dapat berlangsung hingga larut malam dengan menyewa penyanyi terbaik untuk melantunkan kisah betapa si ibu terpaksa menahan derita persalinan. Oleh karena itu, jasa baik atas penahbisan seorang putra diyakini akan langsung diterima si ibu. Lalu keluarga tersebut harus mengeluarkan uang untuk arak-arakan, untuk mengusung si calon bhikkhu ke wihara seraya membawa beragam jenis persembahan yang dibawakan gadis-gadis muda secara berpasangan. Prosesi ini bisa begitu ramainya, hingga bisa mencapai setengah kilometer panjangnya. Lalu, ada pula persembahan bagi bhikkhu penahbis, dan bagi dua orang bhikkhu yang bakal mengajar dan melatih calon bhikkhu tersebut. Setidaknya diperlukan 10 orang bhikkhu. Masing-masing bhikkhu itu bakal menerima persembahan. Ini semuanya merupakan pengeluaran yang dilakukan dengan senang hati oleh keluarga kaya di saat penahbisan. Keluarga yang kurang mampu selalu berusaha menyamai standar perayaan Wanita Dalam Agama Buddha
85

semacam ini dengan melangsungkan perayaan mewah. Penahbisan, yang sedianya merupakan ritual sederhana bagi seseorang untuk melepaskan diri dari keduniawian, berubah menjadi ajang sosial bagi keluarga untuk memamerkan kekayaan mereka. Karena tujuan awalnya telah bergeser, sebagian keluarga yang kurang mampu untuk membiayai acara semahal ini bersedia menjual putri mereka, satu-satunya milik mereka yang berharga, guna melangsungkan penahbisan nan mewah bagi para putra mereka. Putri tertua dalam keluarga biasanya diminta oleh orangtua untuk berkorban bagi saudara mudanya dan untuk bersyukur karena dapat bisa membantu orangtuanya. Orangtua mereka akan menerima uang muka dari para agen di Bangkok agar para putri mereka bisa pergi untuk bekerja di Bangkok, termasuk menjadi pekerja seks. Penekanan terhadap tingginya nilai dari penahbisan seorang putra seperti ini merupakan nilai sosial yang sangat dijunjung tinggi, terutama di desa. Penahbisan merupakan satu-satunya saat bagi ibu untuk menerima penghormatan tertinggi karena ia diizinkan memimpin prosesi tersebut. Ini merupakan posisi kehormatan untuk berjalan di depan si calon bhikkhu seraya membopongi jubah di tangannya. Biasanya, para prialah yang memimpin semua ritual yang berkaitan dengan bhikkhu dan wihara. Sebuah kebiasaan yang masih dipraktikkan adalah menahbiskan sang putra
86

Women in Buddhism

sebelum ia menikah, dengan keyakinan bahwa semua jasa akan langsung diterima orangtuanya. Namun jika si putra telah menikah, maka si ibu mungkin harus berbagi jasa baik tersebut dengan menantunya. Kepercayaan seperti ini, sekalipun lazim, bukanlah pemahaman Buddhis sejati. Agama Buddha memperbolehkan wanita untuk ditahbiskan. Keselamatan spiritual sepenuhnya merupakan pencapaiannya sendiri, bukan karena pengabdian terhadap suami, sebagaimana yang dipercaya dalam Hinduisme. Wanita tidak harus menunggu para putranya untuk melangsungkan upacara terakhir agar ia bisa masuk ke surga. Rasa takut bahwa sang menantu bakal berbagi jasa baik dengan si ibu hanyalah berlatar rasa ketidakpastian semata. Jasa baik dapat diibaratkan sebagai cahaya lilin. Dengan menyalakan lilin lainnya, cahaya dari lilin yang pertama sama sekali tidak berkurang. Sebaliknya, semakin banyak kita menyalakan api bagi lilin-lilin lainnya, semakin banyak kita membawa terang ke dunia ini. Hal penting lainnya yang membuat wanita Thailand sangat mendambakan penahbisan bagi para putra mereka adalah karena mereka sendiri tidak berkesempatan untuk ditahbiskan. Akibatnya, mereka bergantung sepenuhnya kepada para putra mereka untuk mempersembahkan kepada mereka bentuk Wanita Dalam Agama Buddha
87

jasa yang tertinggi ini. Seandainya wanita berkesempatan untuk ditahbiskan, maka anak-anak wanita juga sama-sama dapat mempersembahkan bentuk jasa tertinggi bagi orangtuanya. Alih-alih diminta untuk berkorban agar saudara pria mereka dapat ditahbiskan, mereka sendiri bisa menciptakan bentuk jasa tertinggi itu dengan ditahbiskan. Dengan demikian, ia tidak lagi harus dinomorduakan dan juga dapat mengungkapkan rasa syukur terhadap orangtuanya, langsung melalui komitmen dan tindakannya sendiri.

88

Women in Buddhism

Pertanyaan 32

Mengapa orang-orang lebih suka memberikan persembahan kepada


bhikkhu daripada kepada mae ji? Bhikkhu merupakan ladang jasa karena mereka menjalani kehidupan suci dan menyemaikan ajaran agama Buddha. Setelah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mereka mendalami dan mengikuti jejak Buddha. Karena itulah, mereka pantas menerima persembahan. Mempersembahkan makanan kepada para bhikkhu di pagi hari tidak hanya berarti menyediakan makanan demi kesejahteraan mereka, tetapi juga mendukung mereka sebagai penyemai ajaran Buddha. Karena itu, orang-orang meyakini bahwa persembahan kepada bhikkhu bakal menghasilkan jasa kebajikan yang berlimpah ruah. Mae ji, yang menjalani sila dengan baik dan mengikuti jejak Buddha, semestinya juga dianggap sebagai penerima yang setara. Citra yang mereka pancarkan kepada masyarakat itu tidak begitu baik. Alhasil, muncul pemahaman bahwa memberikan persembahan kepada para mae ji tidak menghasilkan jasa kebajikan yang sama karena mae ji tidak ditahbiskan sehingga mereka bukan penyemai ajaran Buddha. Selain itu, ada juga perumah tangga wanita yang menyaru sebagai mae ji untuk mencari nafkah. Ini merupakan sebagian alasan kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap para mae ji. Wanita Dalam Agama Buddha
89

Kebanyakan orang mempertahankan masa lalu, menelusuri masa depan, dan tidak memperhatikan masa kini. Hanya yang dapat menghargai apa yang telah dimiliki sekarang yang bisa hidup sepenuhnya
90

Women in Buddhism

Pertanyaan 33

Dibandingkan dengan pria, mengapa wanita lebih sering ke


wihara dan berbuat jasa? Ini memang benar, kendatipun belum ada statistik resmi untuk membuktikannya. Di lapangan, kita dapati bahwa 85% mereka yang mempersembahkan makanan kepada bhikkhu adalah wanita. Di hari Wan Pra23, 90% yang menghadiri kebaktian, menjalani sila, dan mendengarkan ceramah adalah wanita. Tetapi ini jangan sampai menimbulkan kesimpulan bahwa wanita lebih berkeyakinan dibandingkan pria. Ada beragam faktor lainnya yang mesti dipertimbangkan. Dalam masyarakat Thailand, sebagian besar pria bekerja sementara wanitanya adalah ibu rumah tangga atau menjalankan usaha pribadi. Ini membuat wanita lebih leluasa menghadiri kebaktian pada hari Wan Pra daripada pria. Masyarakat Thailand telah membiasakan wanitanya untuk menjadi umat yang baik, untuk ke wihara, menjalani sila dan mendengarkan khotbah yang disampaikan bhikkhu. Kalau diperhatikan, tujuan utama kebanyakan lansia yang mendengarkan khotbah bukanlah untuk mencoba memahami pesan yang terkandung di dalamnya, namun menurut keyakinan mereka, mendengar khotbah berarti melakukan tindak kebajikan. Masalah apakah Wanita Dalam Agama Buddha
91

ia memahami pesannya atau tidak, itu adalah urusan kedua. Mempraktikkan ajaran bukanlah perhatian utamanya. Nilai sosial lainnya yang jamak terdapat di kalangan masyarakat Thailand adalah keyakinan bahwa terlahir sebagai pria adalah lebih baik daripada wanita, terutama karena pria dapat menerima penahbisan, bentuk tertinggi dari perbuatan jasa. Karena wanita (di Thailand) tidak memiliki akses spiritual ini, maka mereka harus berbuat lebih banyak lagi jasa kebajikan untuk mengatasi kekurangan mereka. Secara umum, kegiatan keagamaan seutuhnya merupakan ranah dari kaum pria. Mereka yang melayani para bhikkhu di wihara pun sebagian besar pernah menjadi bhikkhu dalam hidupnya. Dunia Buddhis adalah dunia kaum pria. Wanita dapat melakukan yang terbaik dengan cara menyediakan berbagai bentuk dukungan materi dan pelayanan untuk memperoleh jasa kebajikan. Dengan pemahaman inilah, akhirnya lebih banyak wanita mengunjungi wihara untuk memastikan agar mereka memperoleh masa depan yang lebih baik, di kehidupan sekarang ini maupun di kehidupan mendatang.

92

Women in Buddhism

Pertanyaan 34

Sebagai perumah tangga, apa yang seharusnya dilakukan para wanita


Buddhis? Agama Buddha akan maju ataupun merosot, tergantung pada keempat kelompok umat Buddha: bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika. Tetapi, begitu melihat adanya kekurangan dalam masyarakat, kita biasanya menuding para bhikkhu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut. Padahal kenyataannya, bhikkhu hanyalah satu dari empat kelompok komunitas Buddhis. Kita semua, upasaka dan upasika, memanggul tanggung jawab yang sama atas permasalahan-permasalahan tersebut. Tatkala Buddha mencanangkan keempat kelompok umat Buddha, Beliau ingin memastikan pencanangan ini akan menjadi landasan yang kokoh. Masingmasing memiliki tanggung jawab yang sama terhadap perkembangan agama Buddha. Ada tiga faktor utama yang memengaruhi pencanangan kelompok ini, yakni (1) mereka telah mendalami dan memahami ajaran Buddha, (2) mereka mempraktikkan ajaran tersebut, dan (3) mereka mampu mempertahankan dan menjelaskan ajaran tersebut secara benar. Selaku umat Buddha, wanita harus senantiasa sadar untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing terhadap pencanangan kelompok umat Buddha ini. Wanita Dalam Agama Buddha
93

Secara umum, umat Buddha di Thailand cenderung bersikap Jika ada yang buruk, itu urusan para bhikkhuni. Jika ada yang baik, itu urusan para bhikkhu. Artinya, jika bhikkhu atau bhikkhuni melakukan sesuatu yang buruk, itu adalah urusan mereka. Kita sebagai umat jangan sampai turut campur. Sikap ini berbahaya bagi agama Buddha. Seandainya kita mengetahui bahwa salah satu dari keempat kelompok ini melakukan hal yang buruk, namun kita tinggal diam, maka sikap diam dan ketidakacuhan kita ini mendorong perbuatan buruk dan semakin mengancam pertumbuhan agama Buddha. Oleh karena itu, penting kiranya bagi masingmasing kelompok Buddhis ini untuk memikul tanggung jawab yang sama dan memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas yang manunggal. Jika satu kelompok berbuat buruk, maka ini akan merugikan kelompok lainnya. Dan di zaman globalisasi ini, tindakan negatif tersebut menimbulkan efek buruk secara beruntun.

94

Women in Buddhism

Pertanyaan 35

Benarkah bahwa kalau seorang perumah tangga tercerahkan, ia


harus ditahbiskan dalam waktu 7 hari? Dalam Tipitaka Pali, terdapat kisah seorang pria yang tercerahkan, namun tidak dapat memperoleh jubah dan mangkuk, sebagaimana yang disyaratkan untuk penahbisan, dalam waktu tujuh hari. Orang ini meninggal akibat kecelakaan. Di Thailand, kendatipun belum ada wanita yang ditahbiskan sebagai bhikkhuni, para mae ji bisa dianggap menjalani hidup selibat sehingga patut dihitung juga. Dijelaskan bahwa batin yang telah tercerahkan terlalu halus untuk tetap berada dalam tubuh fisik seorang umat perumah tangga. Oleh sebab itu, diperlukan penahbisan untuk menyiapkan tubuh guna mempertahankan kehalusan batin tersebut.

Wanita Dalam Agama Buddha

95

Tidak ada kekuatan yang lebih ampuh untuk mengalahkan kebencian kecuali kekuatan cinta kasih dan belas kasih

96

Women in Buddhism

Pertanyaan 36

Apa sifat unik agama Buddha di Amerika yang mungkin menarik


perhatian kaum feminis? Orang Amerika mulai mengenal agama Buddha semasa Perang Dunia Kedua berkat karya dari YM D. T. Suzuki, seorang bhikkhu Jepang. Ciri khas agama Buddha Zen sangat pas dengan kevakuman spiritual di Amerika pada saat itu. Ketika itu banyak orang Amerika bersikap sangat kritis terhadap lembaga gereja konservatif yang terorganisir. Mereka merasa cocok dengan semangat yang pas, yang terdapat agama Buddha Zen. Belakangan, terdapat berbagai bentuk agama Buddha lainnya seperti agama Buddha Cina, Korea, Jepang, dan Tibet. Di antara penyemai ajaran Theravada, para bhikkhu Sri Lanka dan Myanmar lebih unggul karena lebih pandai berbahasa Inggris. Waktu itu, umat Buddha di Amerika merasa perlu untuk memisahkan saripati ajaran Buddha dari aneka pernak-pernik budayanya. Satu faktor penting yang bisa kita temukan dalam agama Buddha adalah pernak-pernik budaya India yang cenderung menindas wanita. Umat Buddha Amerika yang kritis menjadi semakin sadar perlunya memreteli beban budaya yang tidak perlu. Dengan melakukan hal ini, secara luas mereka telah membebaskan wanita Buddhis dari unsur-unsur penindasan. Ciri khas Wanita Dalam Agama Buddha
97

agama Buddha di Amerika ini adalah partisipasi yang kuat dari kaum wanita dalam agama Buddha. Di Asia, wanita memiliki kesempatan terbatas, baik dalam peran maupun tanggung jawabnya, terhadap agama Buddha. Hal ini tidak saja menghalangi partisipasi wanita dalam agama Buddha, tetapi juga menghambat pertumbuhan agama Buddha secara keseluruhan.

98

Women in Buddhism

Catatan Penyunting
1 Mahapajapati Gotami adalah permaisuri dari Raja Suddhodana. Mahapajapati Gotami adalah adik kandung dari mendiang Ratu Mahamaya. Dengan demikian, Mahapajapati Gotami adalah bibi dari Pangeran Siddhartha. (Sumber: Kronologi Hidup Buddha, Bhikkhu Kusaladhamma, Ehipassiko Foundation, 2006) 2

Manu Dhamma Sastra, atau Manava Dhamma Sastra, atau Hukum Manu adalah sebuah kitab yang disusun oleh kaum brahmin di India, sekitar tahun 500 S.M. Kitab ini berisikan pelbagai hukum dan kebiasaan yang mengatur kehidupan masyarakat India kuno. (Sumber: http://www.experiencefestival.com/manu_Dhamma_sastra)

Arama adalah taman atau hutan kecil yang didanakan kepada Buddha atau Sanggha sebagai tempat untuk berdiskusi ataupun bermeditasi. (Sumber: Pali-English Dictionary, T.W. Rhys Davids & William Stede. Mushiram Manoharlal Publishers Pvt Ltd, India, 2001) Patimokkha adalah aturan atau sila yang dijalankan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni. Dalam tradisi Theravada, aturan Patimokkha ini tercantum dalam bagian Suttavibangha, yang merupakan bagian dari Vinaya Pitaka.

5 BE = Buddhist Era. Tahun ke-1 dari penanggalan Buddhist Era adalah tahun wafatnya Buddha, yang terjadi di usia-Nya yang ke-80 (480 SM menurut perhitungan waktu secara historis, dan 544 SM secara tradisi).

Tahun pasti kelahiran Buddha tidak diketahui. Menurut tradisi Buddhis, kelahiran

Wanita Dalam Agama Buddha

99

Buddha berlangsung pada tahun 624 SM, walaupun beberapa perkiraan baru-baru ini menyatakan memperkirakan bahwa kelahiran Buddha terjadi jauh setelah itu mungkin bisa sampai 448 SM. Salah satu pendapat yang umum diterima adalah tahun 560 SM. Untuk menghitung tahun Masehi, kurangkan 544 tahun dari tahun Buddhist Eranya. Perhitungan ini bisa saja berbeda 1 tahun, karena tahun Masehi dimulai di bulan Januari, sedangkan tahun Buddhist Era dimulai di bulan Mei. Sumber: http://www. accesstoinsight.org/history.html.
6 Paramattha atau Paramattha Dhamma diartikan sebagai kebenaran mutlak, kebenaran absolut, atau kebenaran sejati. Dalam konsep ajaran Buddha, semua fenomena alam dan kehidupan ini tidak lain hanyalah terdiri atas realitas nama dan rupa belaka. Nama (fenomena mental/batin, seperti citta dan cetasika) dan rupa (fenomena fisik) inilah yang merupakan kebenaran mutlak dari kehidupan ini. (Sumber: Abhidhamma in Daily Life, Nina van Gorkom, Triple Gem Press, London, 1969) 7

Konsili Buddhis adalah pertemuan para anggota komunitas Sanggha untuk bersamasama menguncarkan ulang ajaran Dhamma dan Vinaya, dengan tujuan utama untuk melestarikan ajaran Buddha yang otentik. Menurut catatan dari tradisi Theravada, Konsili Buddhis Pertama diadakan di Rajagaha. Konsili Buddhis terakhir yaitu yang keenam, diadakan pada tahun 1954 di Yangon, Myanmar. (Sumber: Kronologi Hidup Buddha, Bhikkhu Kusaladhamma, Ehipassiko Foundation, 2006) Lokuttara = transenden, adiduniawi. Lokiya = duniawi.

100

Women in Buddhism

Cv. X. berarti Cullavagga (Bab Kecil, yaitu bab ke-X / ke-10), yang merupakan bagian dari Khandhaka (Bab Besar), Vinaya Pitaka. (Sumber: http://www. accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/ bmc1/bmc1.intro.html). Sedangkan SBE. XX, hal. 354 merujuk pada buku Sacred Books of the East (volume ke-XX / ke-20). Sacred Books of the East itu sendiri merupakan kumpulan teks yang terdiri dari 50 volume, yang berisikan teks-teks kanon utama dari tradisi Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, ajaran Konghucu, Zoroastrianisme, Jainisme, dan Islam. Kumpulan teks ini diterbitkan oleh Clarendon Press, London, 1879-1910. SBE volume XX ini merupakan bagian terjemahan dari Vinaya Pitaka, yang diterjemahkan oleh T.W. Rhys Davids, seorang ahli bahasa Pali dari Inggris. (Sumber: http://www.sacred-texts.com/sbe/ index.htm).

10 Patriarkat berarti sistem pengelompokkan sosial sangat mementingkan garis turunan bapak. Kebalikannya adalah matriarkat. (Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Keempat, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2008) 11 Visakha adalah dermawati Buddhis yang paling utama semasa hidup Buddha. Visakha memainkan peranan penting dalam pelbagai kegiatan yang berhubungan dengan agama Buddha. Sering kali ia ditugaskan mewakili Buddha untuk menuntaskan perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Sebagian dari aturan Patimokkha juga diturunkan berkat campur tangannya. Ia dinyatakan oleh Buddha sebagai yang paling piawai di antara umat awam wanita yang mendukung ajaran Buddha. (Sumber: Kronologi Hidup Buddha, Bhikkhu Kusaladhamma, Ehipassiko Foundation, 2006) 12

Brahmin = seseorang yang berasal dari kasta Brahmana.

Wanita Dalam Agama Buddha

101

Abhinna = kekuatan adibiasa, seperti menyelam ke dalam bumi, berjalan menembus tembok, berjalan di atas air, terbang, dan sebagainya.
13 14

Arama = taman atau hutan kecil yang dipersembahkan kepada Buddha atau Sanggha, tempat mereka bertemu untuk membahas pelbagai hal, termasuk untuk bermeditasi dan pertemuan spiritual. (Sumber: Pali-English Dictionary, T.W. Rhys Davids & William Stede, Munshiram Manoharlal Publishers Pvt Ltd, India, 2001)

Kitab Mahavamsa adalah kitab yang berisikan puisi-puisi tentang raja-raja Sri Lanka, tertulis dalam bahasa Pali. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Mahavamsa) Sedangkan Culavamsa adalah kitab sejarah raja-raja di Sri Lanka, yang juga ditulis dalam bahasa Pali. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Culavamsa) Kitab Culavamsa ini sering dianggap sebagai kelanjutan dari kitab Mahavamsa. Kedua kitab ini adalah kitab sejarah negeri Sri Lanka.
15 16

Mahapurisa = manusia agung. Dalam kitab Digha Nikaya, Lakkhana Sutta, dinyatakan bahwa Buddha memiliki 32 tanda-tanda mayor dan 80 tanda-tanda minor dari sesosok manusia agung (mahapurisa). Tanda-tanda mayor dan minor itu semuanya merupakan tanda-tanda atau ciri-ciri fisik yang khas. (Sumber: http://en.wikipedia. org/wiki/Mahapurisa) Alam Sukhavati adalah surga barat, tempat Buddha Amitabha berdiam.

17 18

Naga adalah sesosok makhluk surgawi yang memiliki bentuk fisik serupa ular raksasa. Konon, naga memiliki musuh abadi, yaitu para burung raksasa supanna, yang sering juga dikenal sebagai burung garuda.

102

Women in Buddhism

19

Ini adalah nama dalam bahasa Sanskerta. Dalam kanon Pali, digunakan nama Sariputta. Sariputta ataupun Sariputra berarti putra dari wanita yang bernama Sari.

Licchavi adalah salah satu negeri non-kerajaan/non-monarki di India kuno, serupa dengan bentuk pemerintahan dari negeri kaum Sakya. (Sumber: The Buddha and His Dhamma, DR. B.R. Ambedkar, Buddha Bhoomi Publication, Nagpur, India, diterbitkan ulang oleh The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, R.O.C., Taiwan)
20

Catatan tim penerjemah: jangan sampai kalimat ini diartikan bahwa tindak prostitusi itu sangat baik untuk mencapai pencerahan!
21 22 Jainisme adalah suatu agama Dhamma kuno dari India yang mengajarkan kelembutan (non-kekerasan) terhadap semua bentuk kehidupan. Filosofi dan praktiknya sangat tergantung pada upaya pribadi dalam memajukan roh secara spiritual untuk kembali kepada Tuhan. Roh yang telah menaklukkan musuh-musuh dalam dirinya sendiri (emosi negatif, dsb), dan yang telah mencapai tataran keberadaan yang tertinggi disebut jina (penakluk/pemenang). Ajaran Jainisme banyak mempengaruhi Hinduisme. Salah seorang pemimpin Jainisme, Mahavira, hidup sezaman dengan Buddha, dan beberapa kali disebut-sebut di dalam Kanon Pali. Jainisme masih berkembang subur hingga saat ini. Salah satu penganutnya yang paling terkenal adalah Mahatma Gandhi. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism) 23

Hari-hari bulan baru, bulan seperempat, bulan purnama, dan paruh bulan dalam penanggalan bulan. (Sumber: http://plainofjars.net/buddh.htm)

Wanita Dalam Agama Buddha

103

Yayasan Serlingpa Dharmakirti


Yayasan Serlingpa Dharmakirti diwujudkan demi efektifitas penyebaran Buddhadharma di wilayah pembinaan Sagin Wilayah II dan di Indonesia. Visi Mendukung terwujudnya pembabaran Buddhadharma demi cinta kasih dan belas kasih kepada semua makhluk melalui perwujudan sarana dan prasarana sosial keagamaan dan kemanusiaan. Misi 1. Membangun dan memelihara tatanan Buddhisme yang berkesinambungan, merata, dan seimbang, 2. Membantu mewujudkan, mengelola, dan mengembangkan gedung pembinaan umat Buddha yang terdiri dari: balai kenangan, ruang ibadah, auditorium, perpustakaan, ruang meditasi, dan pusat studi dan informasi, 3. Memberikan santunan bagi rohaniwan dan guru agama Buddha serta beasiswa bagi calon guru agama Buddha dan umum bagi yang berprestasi dan kurang mampu, 4. Menerbitkan media publikasi tentang ajaran Buddha dan menyebarkannya secara cumacuma, dan 5. Menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan non formal yang bercirikan Buddhis serta pengembangan SDM yang berkualitas

104

PUSAT MEDITASI MAHAKASSAPA


Di Indonesia, agama Buddha berkembang perlahan tapi pasti. Dari pelosok desa sampai di pusat kota, hampir memiliki kendala yang hampir sama yaitu kurangnya sumber daya manusia berkualitas, sarana, dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar dan praktik ajaran Buddha. Untuk membantu kegiatan belajar dan praktik Buddhis: Meditasi, Bina Widya, dan Pabbajja, maka Yayasan Serlingpa Dharmakirti mencoba mewujudkan sebuah pusat pelatihan dan meditasi yang sangat sejuk dan strategis. Pusat pelatihan dan meditasi ini terletak di Desa Mojorejo, Kabupaten Curup, Provinsi Bengkulu. Saat ini panitia telah menyelesaikan pembangunan tahap I/lantai dasar (ruang tidur, ruang belajar, dapur, ruang makan, dan kamar mandi). Untuk itu kami mengajak para dermawan untuk dapat berpartisipasi menyelesaikan pembangunan lantai dua (ruang meditasi dan kamar guru).

GAMBAR 1 Rencana Gedung

Dana dapat disalurkan melalui: BCA KCP Rk. Rajawali, Rekening No. 116-0312277 a.n. YAYASAN SERLINGPA DHARMAKIRTI
Mohon tambahkan angka 8 pada nominal transfer Anda. Setelah transfer, mohon sms konfirmasi: nama, alamat, dana ke Pusat Pelayanan Yayasan Serlingpa Dharmakirti, HP: 081373529913/07117851038 Anumodana

GAMBAR 2 Bangunan Gedung Lt. 1

Info Buku Berikut


POPULAR DEITIES Ingin tahu gambaran mengenai para Buddha, Bodhisattwa, dan makhlukmakhluk suci dalam agama Buddha Cina? Bagaimana melakukan puja atau doa kepada para Buddha, Bodhisattwa? Apa saja hari-hari religius dalam agama Buddha dan apa yang seharusnya kita lakukan pada saat itu? Bagaimana keadaan alam para Buddha, atau bagaimana Bodhisattwa Kuan Yin dapat bermanifestasi dalam 33 bentuk untuk menjangkau orang-orang dan makhluk-makhluk lain? Buku ini akan membantu kita menyingkirkan takhayul dan praktik yang keliru dan pada saat yang sama menawarkan jawaban yang cerdas untuk pertanyaan dari penganut di luar Buddhis. Buku ini yang Anda cari dan butuhkan.... Semoga berbahagia.... Terbit Februari 2010....
106

Buku-buku terbitan YSDK dibagikan secara gratis ke seluruh Indonesia. Apakah Bapak/Ibu, Saudara/i telah memiliki buku berikut ini:

Bagi Bapak/Ibu/Saudara/i yang ingin berpartisipasi dengan berdana Dharma, dapat diberikan secara langsung atau ditransfer ke:

BCA KCP Rk. Rajawali, Rekening No. 116-0312277 a.n. YAYASAN SERLINGPA DHARMAKIRTI
Mohon tambahkan angka 7 pada nominal transfer Anda. Setelah transfer, mohon sms konfirmasi: nama, alamat, dana ke Pusat Pelayanan Yayasan Serlingpa Dharmakirti, HP: 081373529913/07117851038 Anumodana
107

DAFTAR DONATUR
Banten Arya Bodhi Yuardi 51.234 Jakarta Kelly Malida S Kel. Alm. Liem Pie Seng Dewi Sri Nuraitie Vilvi Miafitri Lim Dewi Sri Nuraitie Swandy Meng Yin Deni Sumarlin Winda Elsa Tiana Dwi H Niki William Andrea.S Daniel Titin Sien sien Agnes Novi Meta 300.000 1.000.007 100.000 20.007 100.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 5.000 10.000 10.000 10.000 10.000 20.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 Megawati Sherlly Cynthia Rudi Julianto Priska Natalisa Susi Jenny Surianto Christian William Sunardi Andy Riky Jeffry Yanto Lisye Tio Nanda Vivi Steven Khanti Ninsi 10.000 20.000 20.000 10.000 5.000 5.000 10.000 10.000 10.000 10.000 5.000 10.000 10.000 10.000 10.000 3.000 10.000 10.000 6.000 10.000 5.000 20.000 5.000

Batam 100.007 Susan Almh. Kam Siu Hua 1.500.007 Baturaja Felya Wilson Karina Liandy A Jhon (RM) Makan Alim Yuliana Eliya Chandra Disastra Toko Mido Acon Toko Virgo Mewahati Gani Arianto Kusim Belitung Andryanto/Eka 30.000 20.000 20.000 20.000 20.000 40.000 30.000 50.000 50.000 10.000 50.000 50.000 50.000 50.000

108

10.000 Olivia 5.000 Susan 5.000 Jacky 10.000 Edy 10.000 Jemmy 10.000 Handoko 10.000 Kurniawan 10.000 Susanti 15.000 Yusan 15.000 Angel 10.000 Lidya 10.000 Johan 20.000 Belinda 10.000 Silvina 10.000 Ayin Semua Mahkluk 15.000 50.000 Erwin 15.000 Hendra 10.000 Rainy 100.000 Hartono Tay Jambi Hendra Dewi L Ridwan Nusalin Siek Ai Phing Harnandes 100.000 750.000 210.000 100.000 200.000

Lahat Alm. Romli Lampung Hones Juniawan Lubuk Linggau Chiu Lie Ridwan Alm. Lie Chang Wen Malang Tedhy Sanjaya Menado Eka Seri Nur Ayny Padangsidempuan Lius Armen Febrius SW Palembang Budiman Ong Jap Wan Ping Cika Suryadi Anny Lina Jason Theyono Cahyadi

1.500.000 200.000 50.000 20.000 100.000 100.000 200.000 750.000 750.000 150.000 1.500.000 5.000 20.000 5.000 10.000 5.000 15.000

5.000 Yanti 10.000 Yuli 10.000 Setiawan Chandra 10.000 Budi Hartaman 20.000 Lydia Cahaya 100.000 Nelly W. S. 10.000 Elisa 20.000 Beti 10.000 Dewi Tristiani 10.000 Net Yostrim 1.000 Yuli T 10.000 Merry N 10.000 Yenny 10.000 Venna 10.000 Anggita 10.000 Li Ai Sen 20.000 Sri Tuti 10.000 Meilina 10.000 Linda 10.000 Metta Kusuma Dewi 10.000 Venny 10.000 Selvi 10.000 Yenny S. Willy Handoko (Abeng) 10.000 10.000 Henni 20.000 Chu Siu We 10.000 Yan Ti

109

Meli Yati Farina Rusdi B Sukartek Muliyanti Santi Umat W Dharmakirti Lisa NN Didi NN Cien Cien Elly Mei Mei Tjhin Mie Foen Glenn Demastian NN Hendera Perpustakaan W. Dharmakirti Anijati Megawati dan Metta NN Alm. Bodhi Djaja Tara Tania Tjong Bunyamin

10.000 10.000 5.000 100.000 10.000 10.000 667.000 50.000 5.000 10.000 4.000 10.000 10.000 10.000 20.000 10.000 30.000 15.000 50.000 20.000 100.000 465.000 10.000 100.000 5.000

Aryani Suliani Tina Alam Yulius Riffi Metta NN Jacky Jacky Winata Bobby Sthephen M. Julius H. Ai Lin Yusti Mery Yennie NN Cindy Vlonita IT. NN S. Saddhaputra Tommy W Juliagus Indrati Bunawan Almh. Yunyun & Almh. Fifi

5.000 20.000 10.000 10.000 5.000 15.000 100.000 35.000 100.000 100.000 10.000 5.000 5.000 5.000 10.000 20.000 10.000 10.000 5.000 5.000 24.000 20.000 250.000 200.000 500.000 50.000

Pekanbaru Gunadharma Lawer Alm. Dharmawan Lawer Sampit B. Nyanawira Semarang Kuncoro Suharli Surabaya Alim Tobing Tangerang Dewi Mayasari Ersieyana Ali Yugo dan kel. Indonesia Cinthya Liany Wijaya Sanny Hatabri P Elis Paulina Tandiono Hong Beng Soeng Elis Juliati Pinky Irwan Saputra

250.000 250.000 1.500.000 48.000 25.000 100.007 60.000 300.000 200.000 200.000 200.000 200.000 325.000 300.000 100.000 25.000 50.007

110

Ia berbahagia di alam sini Ia berbahagia di alam sana Pembuat kebajikan akan berbahagia di mana saja

Alm. Romli (Cia Bu Lee)


Lahir: Lahat, 09 Januari 1931 Wafat: Lahat, 25 Juli 2009 Semoga kebajikan yang dilakukan melimpah kepada alm. tercinta. Semoga beliau senantiasa berbahagia. Sadhu... sadhu... sadhu....
Keluarga Besar Alm. Romli (Cia Bu Lee)

Ia berbahagia di alam sini Ia berbahagia di alam sana Pembuat kebajikan akan berbahagia di mana pun

Almh. Tjhin Mie Foen (Marlina)


Lahir: Mentok, 10 Februari 1960 Wafat: Palembang, 16 Oktober 2009

Semoga kebajikan yang dilakukan melimpah kepada mama tercinta. Semoga beliau senantiasa berbahagia. Sadhu... sadhu... sadhu....
Keluarga Besar Almh. Tjhin Mie Foen (Marlina)

Ia berbahagia di alam sini Ia berbahagia di alam sana Pembuat kebajikan akan berbahagia di mana saja

Almh. Teng Mui Eng (Maimunah) Alm. Lim Kim San (Hasan)
Lahir: Palembang, 10 Mei 1938 Wafat: Palembang, 07 Desember 2009 Lahir: Palembang, 24 Maret 1936 Wafat: Palembang, 21 Februari 2004

Semoga kebajikan yang dilakukan melimpah kepada Papa dan Mama tercinta. Semoga mereka senantiasa berbahagia. Sadhu... sadhu... sadhu....
Keluarga Besar Alm. Hasan dan Almh. Maimunah

Anda mungkin juga menyukai